Pengertian Semantik Dan Pragmatik
Wednesday, July 3, 2019
Edit
SEMANTIK DAN PRAGMATIK
1. A. Pengertian Semantik
Kata semantik bahu-membahu merupakan istilah teknis yang mengacu pada studi ihwal makna. Istilah ini merupakan istilah gres dalam bahasa Inggris. Para andal bahasa menawarkan pengertian semantik sebagai cabang ilmu bahasa yang mempelajari korelasi antara tanda-tanda linguistik atau tanda-tanda lingual dengan hal-hal yang ditandainya (makna). Istilah lain yang pernah digunakan hal yang sama yaitu semiotika, semiologi, semasiologi, dan semetik. Pembicaraan ihwal makna kata pun menjadi objek semantik. Itu sebabnya Lehrer (1974:1) menyampaikan bahwa semantik yaitu studi ihwal makna (lihat juga Lyons 1, 1977:1), bagi Lehrer semantik merupakan bidang kajian yang sangat luas lantaran turut menyinggung aspek-aspek struktur dan fungsi bahasa sehingga sanggup dihubungkan dengan psikologi, filsafat, dan antropologi. Pendapat yang berbunyi “semantic yaitu studi ihwal makna” dikemukakan pula oleh Kambartel (dalam Bauerle, 1979:195). Menurutnya semantik mengasumsikan bahwa bahasa terdiri dari struktur yang menampakkan makna apabila dihubungkan dengan objek dalam pengalaman dunia manusia. Sedangkan Verhaar (1983:124) menyampaikan bahwa semantik berarti teori makna atau teori arti. Batasan yang hampir sama ditemukan pula dalam Ensiklopedia Britanika (Encyclopaedia Britanica, Vol. 20, 1965:313) yang terjemahannya “Semantik yaitu studi ihwal korelasi antara suatu pembeda linguistic dengan korelasi proses mental atau simbol dalam aktifitas bicara.” Soal makna menjadi urusan semantik. Berdasarkan klarifikasi ini sanggup disimpulkan bahwa semantik yaitu subdisiplin linguistik yang membicarakan makna. Dengan kata lain semantik berobjekkan makna.
B. Deskripsi Semantik
Kempson (dalam Aarts dan Calbert, 1979:1) berpendapat, ada empat syarat yang harus dipenuhi untuk mendeskripsikan semantik. Keempat syarat itu adalah: 1. Teori itu harus sanggup meramalkan makna setiap satuan yang muncul yang didasarkan pada satuan leksikal yang membentuk kalimat. 2. Teori itu harus merupakan seperangkat kaidah. 3. Tori itu harus membedakan kalimat yang secara gramatikal benar dan yangt tidak dilihat dari segi semantik. 4. Teori tersebut sanggup meramalkan makna yang berafiliasi dengan antonym, kontradiksi, sinonim. Dalam kaitannya dengan semiotik, Morris (1983) (dalam Levinson, 1983:1) mengemukakan tiga subbagian yang perlu dikaji, yakni : (i) Sintaksis (syntactic) yang mempelajari korelasi formal antara tanda dengan tanda yang lain (ii) Semantik (semantics), yakni studi ihwal korelasi tanda dengan objek, (iii) Pragmatik (pragmatics), yakni studi ihwal korelasi tanda dalam pemakaian. Manusia berkomunikasi melalui kalimat. Kalimat yang berunsurkan kata dan unsur suprasegmental dibebani unsure yang disebut makna, baik makna gramatikal maupun makna leksikal, yang semuanya harus ditafsirkan atau dimaknakan dalam pemakaian bahasa. Diantara pembicara dan pendengar pun terdapat unsure yang kadang-kadang tidak menampak dalam ujaran. Ujaran yang berbunyi, “Saya marah, Saudara!” terlalu banyak perlu dipersoalkan; misalnya, mengapa ia memarahi saya; apakah lantaran tidak meminjami uang kemudian ia memarahi saya? Dan apakah jawaban kemarahan itu? Kelihatannya tidak gampang mendeskripsikan semantik. Untunglah hal yang dideskripsikan masih berada di dalam ruang lingkup jangkauan manusia.
C. Klasifikasi Makna
Makna sanggup diklasifikasikan atas beberapa kemungkinan sebagai mana diuraikan berikut ini. 1. Makna Leksikal dan Makna Gramatikal • Makna leksikal yaitu makna leksikon/leksen atau kata yang bangun sendiri, tidak berada dalam konteks, atau terlepas dari konteks. Ada yang menyampaikan bahwa makna leksikal yaitu yang terdapat dalam kamus. Makna leksikal merupakan makna yang diakui ada dalam leksem atau leksikon tanpa leksikon itu digunakan. Begitu kata amplop sanggup diberi makna “sampul surat”, dengan tanpa menggunakan kata itu dalam konteks. Maka makna “sampul surat” yang terkandung dalam kata amplop itu merupakan makna leksikal. • Makna gramatikal merupakan makna yang timbul lantaran kejadian gramatikal. Makna gramatikal itu dikenali dalam kaitannya dengan unsur yang lain dalam satuan gramatikal. Jika satuan yang lain itu merupakan konteks, makna gramatikal itu disebut juga makna kontekstual. Dalam konteks itu, kata amplop, misalnya, tidak lagi bermakna “sampul surat”, tetapi sanggup berarti uang suap. Makna gramatikal tidak hanya berlaku bagi kata atau unsur leksikal, tetapi juga morfem. Makna gramatikal juga sanggup berupa korelasi semantis antar unsur. 2. Makna Denotatif dan Makna Konotatif Makna denotatif merupakan makna dasar suatu kata atau satuan bahasa yang bebas dari nilai rasa. Makna konotatif yaitu makna kata atau satuan lingual yang merupakan makna tambahan, yang berupa nilai rasa. Nilai rasa itu bisa bersifat positif, bersifat negatif, bersifat halus, atau bersifat kasar. Dua buah kata atau lebih mempunyai makna denotatif yang sama. Perbedaannya terletak pada makna konotatifnya. Kata kau dan anda, misalnya, mempunyai makna denotatif yang sama, yakni “orang kedua tunggal”. Kedua kata itu berbeda makna konotatifnya . Kata kau berkonotasi “kasar”, kecuali bagi orang-orang Tapanuli/Batak, dan kata anda berkonotasi halus. Demikian juga kata dia dan beliau. Kedua kata itu berdenotasi “orang ketiga tunggal”, tetapi kata dia tidak berkonotasi “hormat”, sedangkan kata dia berkonotasi “hormat”. Dengan kata lain, kata dia bermakna konotasi “positif”, sedangkan kata dia tidak berkonotasi “positif”. Karena tidak berkonotasi “negatif”, kata dia sanggup ditafsirkan berkonotasi “netral” (periksa Chair, 1990:68). Nilai positif dan negatif yang menjadi ukuran nilai rasa, sanggup dinyatakan dengan banyak sekali cara. Hormat dan tidak hormat menggambarkan nilai rasa. Sopan dan tidak sopan juga menggambarkan nilai rasa. 3. Makna Lugas dan Makna Kias Makna lugas merupakan makna yang sebenarnya. Makna lugas disebut juga makna langsung, makna yang belum menyimpang atau belum mengalami penyimpangan. Sebaliknya, makna kias yaitu makna yang sudah menyimpang dalam bentuk ada pengiasan hal atau benda yang dimaksudkan penutur dengan hal atau benda yang sebenarnya. Sebuah kata sanggup digunakan secara lugas dan sanggup pula digunakan secara kias. Dengan kata lain, sebuah kata sanggup mempunyai makna lugas dan mempunyai makna kias. Kedua kemungkinan itu tergantung pada penggunaannya. Makna kias timbul lantaran ada korelasi kemiripan atau persamaan. Orang yang pendek disebut cebol, perempuan badung disebut kupu-kupu malam. Kadang-kadang, korelasi itu ditampakkan dalam isi dan wadah, menyerupai amplop yang berarti “uang suap”. 4. Makna Luas dan Makna Sempit Dilihat dari segi cakupan atau tingkat keluasan makna dua buah kata, makna sanggup dibedakan menjadi dua kategori, yakni makna luas dan makna sempit. Makna luas merupakan jawaban perkembangan makna suatu tanda bahasa. Contoh klasik yang paling terkenal dalam studi semantik bahasa Indonesia yaitu kata saudara, yang tidak hanya bermakna “saudara satu bapak/ibu”, tetapi juga “orang lain yang tidak ada korelasi darah.”. Makna kitab “buku” merupakan makna sempit. Kitab yang berarti “buku” itu tidak lagi “sembarang buku”. Sekarang kata kitab lebih bermakna “buku suci” menyerupai yang tampak dalam pemakaian kitab Al-Qur’an, kitab Injil, kitab Zabur dan seterusnya. Pada tahun 1960-an kata kitab itu masih mempunyai makna yang tidak hanya terbatas pada kitab suci, tetapi juga kitab-kitab yang lain (buku). Dalam kehidupan sehari-hari sering kita dengar juga ungkapan “dalam arti luas” atau “dalam arti sempit”, menyerupai yang sanggup dikenakan pada kata taqwa. Kata taqwa itu dalam arti luas yaitu “berserah diri kepada Allah” dan dalam arti sempit yaitu “menjalankan segala perintah Allah dan menjauhi segala larangan-larangan-Nya”. Dengan demikian, makna luas dan makna sempit itu tidak hanya lantaran perubahan makna, tetapi juga lantaran tingkat cakupan makna yang sudah terkotak menjadi dua, yakni makna luas dan makna sempit.
D. Relasi Makna
Antarmakna dua tanda bahasa atau lebih sanggup berelasi. Dalam kajian semantik, kekerabatan makna-makna itu dipilah-pilah atas sejumlah kategori. Setiap kategori itu dijelaskan pada uraian berikut: 1. Sinonimi Sinonim atau sinonimi yaitu korelasi semantic yang menyatakan adanya kesamaan makna antara satu satuan ujaran dengan satuan ujaran lainnya. Misalnya, antara kata betul dengan kata benar. Dua buah ujaran yang bersinonim maknanya tidak akan persis sama. Ketidak samaan itu terjadi lantaran banyak sekali faktor, antara lain: Pertama, faktor waktu.Umpamanya kata hulubalang bersinonim dengan kata komandan. Namun, kata hulubalang mempunyai pengertian klasik sedangkan kata komandan tidak mempunyai pengertian klasik. Dengan kata lain, kata hulubalang hanya cocok digunakan pada konteks yang bersifat klasik; padahal kata komandan tidak cocok untuk konteks klasik itu. Kedua, faktor daerah atau wilayah. Misalnya, kata saya dan beta yaitu dua buah kata yang bersinonim. Namun, kata saya sanggup digunakan dimana saja, sedangkan kata beta hanya cocok untuk wilayah Indonesia potongan timur, atau dalam konteks masyarakat yang berasal dari Indonesia potongan timur. Ketiga, faktor keformalan. Misalnya, kata uang dan duit yaitu dua buah kata yang bersinonim. Namun, kata uang sanggup digunakan dalam ragam formal dan tak formal, sedangkan kata duit hanya cocok untuk ragam tak formal. Keempat, faktor sosial. Umpamanya, kata saya dan saya yaitu dua buah kata yang bersinonim. Tetapi kata saya sanggup digunakan oleh siapa saja dan kepada siapa saja. Sedangkan kata saya hanya sanggup digunakan terhadap orang yang sebaya, yang dianggap akrab, atau kepada yang lebih muda atau lebih rendah kedudukannya. Kelima, bidang kegiatan. Umpamanya kata matahari dan surya yaitu dua buah kata yang bersinonim. Namun, kata matahari bisa digunakan dalam kegiatan apa saja, atau sanggup digunakan secara umum; sedangkan kata surya hanya cocok digunakan pada ragam khusus. Terutama ragam sastra. Keenam, faktor nuansa makna. Umpamanya kata-kata melihat, melirik, menonton, meninijau, dan mengintip yaitu sejumlah kata yang bersinonim. Tetapi antara yang satu dengan yang lainnya tudak selalu sanggup dipertukarkan, lantaran masing-masing mempunyai nuansa makna yang tidak sama. Kata melihat mempunyai makna umum; kata melirik mempunyai makna melihat dengan sudut mata; kata menonton mempunyai makna melihat untuk kesenangan; kata meninjau mempunyai makna melihat dari daerah jauh; dan kata mengintip mempunyai makna melihat dari atau melalui celah sempit. Dengan demikian, terang kata menonton tidak sanggup diganti dengan kata melirik lantaran mempunyai nuansa makna yang berbeda, meskipun kedua kata itu dianggap bersinonim. Dari keenam faktor yang dibicarakan diatas, bisa disimpulkan,bahwa dua kata yang bersinonim tidak akan selalu sanggup dipertukarkan atau disubstitusikan. 2. Antonimi Istilah antonimi (Inggris: antonymy berasal dari bahasa Yunani Kuno anoma= nama, dan anti= melawan). Makna harafiahnya, nama lain untuk benda yang lain. Verhaar (1983:133) mengatakan: “Antonim yaitu ungkapan(biasanya kata, tetapi sanggup juga frasa atau kalimat) yang dianggap kebalikan dari ungkapan lain”. Secara gampang sanggup dikatakan, antonim yaitu kata-kata yang maknanya berlawanan. Istilah antonim kadang-kadang dipertentangkan dengan istilah sinonim, tetapi status kedua istilah ini berbeda. Antonim biasanya teratur dan terdapat identifikasi secara tepat. Contoh kata-kata yang antonim. besar x kecil lebar x sempit panjang x pendek 3. Hiponimi Istilah hiponimi (Inggris: hyponymy berasal dari bahasa Yunani Kuno anoma = nama, dan hypo = di bawah). Secara harafiah istilah hiponimi yaitu nama yang termasuk di bawah nama lain. Verhaar (1983:131) mengatakan: “Hiponim ialah ungkapan (kata biasanya atau kiranya sanggup juga frase atau kalimat) yang maknanya dianggap merupakan potongan dari makna suatu ungkapan lain.”. Istilah hiponim dalam bahasa Indonesia boleh digunakan sebagai nominal, boleh juga ajektiva. Kita mengetahui bahwa aster, bogenfil, ros, tulip semuanya disebut bunga. Kata-kata ini sanggup diganti dengan kata umum, bunga. Hubungan menyerupai ini oleh Lyons (I, 1977:291) disebutnya hyponymy (lihat juga Palmer 1976:76). Kata bunga yang berada pada tingkat atas dalam system hierarkinya disebut superordinat dan anggota-anggota berupa aster, bogenfil yang berada pada tingkat bawah, disebut hiponim. Berbeda dengan antonim, homonim, dan sinonim, maka hiponim mempunyai korelasi yang berlaku satu arah. Kata merah merupakan hiponim warna; kata warna tidak berada di bawah merah melainkan di atas kata merah. warna merah merah warna Dengan demikian kata warna mempunyai hiponim segala macam warna yang kita kenal, contohnya merah, jingga, hijau. Kata warna merupakan superordinat dari kata merah, jingga, hijau atau kata warna hipernimi (Inggris: hypernymy) kata merah. 4. Homonimi Homonimi yaitu dua buah kata atau satuan ujaran yang bentuknya “kebetulan” sama; maknanya tentu saja berbeda, lantaran masing-masing merupakan kata atau bentuk ujaran yang berlainan. Misalnya antara kata pacar yang bermakna ‘inai’ dan kata pacar yang bermakna ‘kekasih’; antara kata bisa yang berarti ‘racun ular’ dan kata bisa yang berarti ‘sanggup’; dan juga antara kata mengurus yang berarti ‘mengatur’ dan kata mengurus yang berarti ‘menjadi kurus’. Sama dengan sinonimi dan antonimi, kekerabatan antara dua buah satuan ujaran yang homonimi juga berlaku dua arah. Makara kalau pacar I yang bermakna ‘inai’ berhomonim dengan kata pacar II yang bermakna ‘kekasih’ maka pacar II juga berhomonim dengan pacar I. Pada kasus homonimi ini ada dua istilah lain yang biasa dibicarakan, yaitu homofoni dan homografi. Yang dimaksud dengan homofoni yaitu adanya kesamaan suara antara dua satuan ujran, tanpa memperhatikan ejaannya, apakah ejaannya sama ataukah berbeda. Istilah homografi mengacu pada bentuk ujaran yang sama ortografinya atau ejaannya, tetapi ucapan dan maknanya tidak sama. Contoh homografi yang ada dalam bahasa Indonesia tidak banyak. Kita hanya menemukan kata teras/təras/yang maknanya ‘inti’ dan kata teras/teras/yang maknanya ‘bagian serambi rumah’. 5. Polisemi Sebuah kata atau satuan ujaran disebut polisemi jika kata itu mempunyai makna lebih dari satu. Misalnya, kata kepala yang setidaknya mempunyai makna (1) potongan badan manusia, (2) ketua atau pemimpin, (3) sesuatu yang berada disebelah atas, (4) sesuatu yang berbentuk bulat. Dalam kasus polisemi ini, biasanya makna pertama (yang didaftarkan di dalam kamus) yaitu makna sebenarnya, makna leksikalnya, makna denotatifnya, atau makna konseptualnya. Yang lain yaitu makna-makna yang dikembangkan berdasarkan salah satu komponen makna yang dimiliki kata atau satuan ujaran itu. 6. Ambiguiti Ambiguity yaitu tanda-tanda sanggup terjadinya kegandaan makna jawaban tafsiran gramatikal yang berbeda. Tafsiran gramatikal yang berbeda ini umumnya terjadi pada bahasa tulis, lantaran dalam bahasa tulis unsur suprasekmental tidak sanggup digambarkan dengan akurat. Misalnya, bentuk buku sejarah gres sanggup ditafsirkan maknanya menjadi (1) buku sejarah itu gres terbit, atau (2) buku itu memuat sejarah zaman baru. Kemungkinan makna 1 dan 2 itu terjadi lantaran kata gres yang ada dalam kontruksi itu, sanggup dianggap menunjukan frase buku sejarah, sanggup juga dianggap hanya menunjukan kata sejarah. 7. Redundansi Istilah redundansi biasanya diartikan sebagai berlebih-lebihannya penggunaan unsur segmental dalam suatu bentuk ujaran. Misalnya kalimat bola itu ditendang oleh Novi tidak akan berbeda maknanya bila dikatakan bola itu ditendang Novi. Jadi, tanpa menggunakan preposisi oleh. Penggunaan kata oleh inilah yang dianggap redundansi.
E. Perubahan Makna
1. Sebab-Sebab Perubahan Makna Perubahan makna yang pertama, perkembangan dalam bidang ilmu dan teknologi.adanya perkembangan keilmuan dan teknologi sanggup mengakibatkan sebuah kata yang pada mulanya bermakna A menjadi bermakna B atau bermakna C.Misalnya, kata sastra ‘tulisan, huruf’lalu bermetamorfosis bermakna ‘bacaan’; kemudian berubah lagi menjadi bermakna ‘buku yang baik isinya dan baik pula bahasanya’. Selanjutnya, berkembang lagi menjadi ‘karya bahasa yang bersifat imaginative dan kreatif’. Perubahan makna kata sastra menyerupai yang kita sebutkan itu yaitu lantaran berkembangnya atau berubahnya konsep ihwal sastra itu didalam ilmu sussastra. Perkembangan dalam bidang teknologi juga mengakibatkan terjadinya perubahan makna kata. Misalnya, dulu kapal-kapal menggunakan layar untuk sanggup bergerak. Oleh lantaran itu munculah istilah berlayar dengan makna ‘melakukan dengan kapal atau bahtera yang digerakkan tenaga layar’. Namun, meskipun tenaga penggagas kapal sudah diganti dengan mesin uap, mesin diesel, mesin turbo, tetapi kata berlayar masih digunakan untuk menyebut perjalanan di air itu. Kedua, perkembangan social budaya. Perkembangandalam masyarakat berkenaan dengan perilaku social dan budaya, juga mengakibatkan terjadinya perubahan makna. Kata saudara, misalnya,pada mulanya berarti ‘seperut’, atau ‘orang yang lahir dari kandungan yang sama ‘. Tetapi kini, kata saudara digunakan juga untuk menyebut orang lain, sebagai kata sapaan, yang diperkirakan sederajat baik usia maupun kedudukan sosial. Pada zaman feodal dulu, untuk menyebut orang lain yang dihormati, digunakan kata tuan. Kini,kata tuan yang berbau feodal itu, kita ganti dengan kata bapak, yang terasa lebih demokratis. Ketiga, perkembangan pemakaian kata. Setiap bidang kegiatan atau keilmuan biasanya mempunyai sejumlah kosa kata yang berkenaan dengan bidangnya itu. Misalnya dalam bidang pertanian kita temukan kosa kata menyerupai menggarap, menuai, pupuk, hama, dan panen. Kosa kata yang pada mulanya digunakan pada bidang-bidangnya itu dalam perkembangan kemudian digunakan juga dalam bidang-bidang lain,dengan makna yang gres atau agak lain dengan makna aslinya, yang digunakan dalam bidangnya. Misalnya, kata menggarap dari bidang pertanian (dengan segala bentuk derivasinya menyerupai garapan, penggarap, tergarap,dan penggarapan) digunakan juga dalam bidang lain dengan makna ‘mengerjakan, membuat’, menyerupai dalam menggarap skripsi, menggarap naskah drama, dan menggarap rancangan undang-undang kemudian lintas. Keempat, pertukaran tanggapan indra. Alat indra kita yang lima mempunyai fungsi masing-masing untuk menangkap gejala-gejala yang terjadi di dunia ini. Misalnya, rasa pedas yang harusnya ditanggap oleh alat indra perasa pengecap menjadi ditanggap oleh alat pendengar telinga, menyerupai dalam ujaran kata-katanya sangat pedas. Perubahan tanggapan indra ini disebut dengan istilah sinestisia. Kelima, adanya asosiasi yaitu adanya korelasi antara sebuah bentuk ujaran dengan sesuatu yang lain yang berkenaan dengan bentuk ujaran itu. Misalnya, kata amplop. Makna amplop bahu-membahu yaitu ‘sampul surat’ tetapi dalam kalimat (44) berikut, amplop itu bermakna ‘uang sogok’ (44) Supaya cepat urusan cepat beres, beri saja dia amplop. Amplop yang bahu-membahu harus berisi surat, dalam kalimat itu berisi uang sogok. Jadi, dalam kalimat itu kata amplop berasosiasi dengan uang sogok.
F. Analisis Makna
Makna merupakan kesatuan mental pengetahuan dan pengalaman yang terkait dengan lambing bahasa yang mewakilinya. Makna terdiri atas komponen makna, contohnya makna kata perempuan terbentuk dari komponen makna MANUSIA, DEWASA, PEREMPUAN. Analisis makna, selain dilakukan dengan santunan analisis kompinen, sanggup dilakukan melalui prototipe. Menurut pendekatan ini makna kata tidak sanggup diuraikan dalam bentuk komponen semantik lantaran makna kata batasnya kabur dan keanggotaan dalam satu kategori tidak ditentikan oleh ada tidaknya komponen-komponen semantic tertentu, tetapi bergantung pada jarak dari prototipe. Prototipe yaitu representasi mental yang mewakili contoh terbaik satu konsep tertentu. Sebagai contoh, konsep kata kendaraan beroda empat diwakili kendaraan beroda empat sedan yang merupakan prototipe konsep mobil. Untuk menentukan apakah satu kata masih termasuk dalam kategori kendaraan beroda empat atau tidak, kata itu harus dibandingkan dengan prototipe mobil. Misalnya, bus secara niscaya sanggup dimasukkan dalam kategori mobil, tetapi bajaj lebih sulit untuk dimasukkan dalam kategori mobil, lantaran jarak bajaj dari kendaraan beroda empat sedan lebih jauh daripada jarak bus dengan mobul sedan yang mempunyai lebih banyak persamaan. Analisis makna dengan santunan prototipe memungkinkan penyusunan kosakata yang termasuk dalam satu medan makna yang berasal dari ranah tertentu. Pembentukan prototipe dipengaruhi latar belakang sosial budaya dan lingkungan suatu masyarakat bahas, contohnya protipe ranah buah-buahan dalam masyarakat Indonesia yaitu pisang, sedangkan dalam masyarakat bahasa yang tinggal di Eropa apel.
G. Makna Pemakaian Bahasa
Makna dan pamakaian bahasa merupakan dua hal yang tak sanggup dipisahkan. berikut ini diulas dua hal yang menyangkut makna dan pemakaian bahasa itu, yakni makna dan gaya bahasa serta makna dan bahasa tabu.
1. Makna dan gaya bahasa
Dalam pemakian gaya bahasa, unsur makna memegang peranan yang dominan. Gaya bahasa selalu berurusan dengan makna kata. Berbagai jenis gaya bahasa sanggup dilacak kekhasannya dari segi makna itu. Gaya kontras, misalnya, terang mempertimbangkan oposisi, menyerupai yang tampak pada kalimat berikut: a. Anda orang besar, bukan orang sembarangan. b. Jangankan bertani, buruh pun saya jalani. Gaya titik puncak menggunakan oposisi juga, tetapi oposisi gradual. Perhatikan dua kalimat berikut ini! Silakan maju semua, kopral, kapten, colonel, dan jendralnya! Saya tidak gentar. Gaya bahasa yang memperlihatkan pengulangan kata-kata bersinonim juga ada. Pengulangan dengan kata-kata yang bersinonim itu malahan merupakan variasi yang menciptakan gaya itu menjadi segar, menyerupai yang tampak pada contoh berikut. Anda boleh melirik, melihat, menatap, tetapi jangan melotot. Uraian di atas sekedar citra bahwa makna merupakan unsur bahasa yang berkaitan erat dengan gaya bahasa. Makna merupakan unsur yang potensial didayagunakan dalam gaya bahas.
2. Makna dan Gaya Bahasa Tabu
Tidak semua kata atau satuan lingual dalam bahasa layak dalam situasi tertentu. Dengan kata lain, ada satuan bahasa yang tabu dinyatakan dalam lembaga tertentu. Tabu itu sendiri bahu-membahu dilatarbelakangi oleh pertimbangan makna. Dikatakan tabu lantaran makna yang dikandungnya tidak layak dimunculkan dalam situasi komunikasi. Kepada orang yang lebih renta tidaklah pantas digunakan kata anda sebagai penyapa. Kata sapaan bapak dan ibu lebih banyak digunakan. Penutur biasanya tidak kurang nalar untuk menghindari penggunaan kata tabu. Dalam kebudayaan Indonesia, misalnya, ada keengganan untuk menggunakan kata ganti orang kedua tunggal kau atau bentuk posesif mu. Penutur biasanya menghilangkan unsur itu, atau menggantinya dengan unsure lain yang lebih pantas.
2. A. Pengertian Pragmatik
Para pakar pragmatik mendefinisikan istilah ini secara berbeda-beda. Yule (1996: 3), misalnya, menyebutkan empat definisi pragmatik, yaitu (1) bidang yang mengkaji makna pembicara; (2) bidang yang mengkaji makna berdasarkan konteksnya; (3) bidang yang, melebihi kajian ihwal makna yang diujarkan, mengkaji makna yang dikomunikasikan atau terkomunikasikan oleh pembicara; dan (4) bidang yang mengkaji bentuk ekspresi berdasarkan jarak sosial yang membatasi partisipan yang terlibat dalam percakapan tertentu. Thomas (1995: 2) menyebut dua kecenderungan dalam pragmatik terbagi menjadi dua bagian, pertama, dengan menggunakan sudut pandang sosial, menghubungkan pragmatik dengan makna pembicara (speaker meaning); dan kedua, dengan menggunakan sudut pandang kognitif, menghubungkan pragmatik dengan interpretasi ujaran (utterance interpretation). Selanjutnya Thomas (1995: 22), dengan mengandaikan bahwa pemaknaan merupakan proses dinamis yang melibatkan perundingan antara pembicara dan pendengar serta antara konteks ujaran (fisik, sosial, dan linguistik) dan makna potensial yang mungkin dari sebuah ujaran ujaran, mendefinisikan pragmatik sebagai bidang yang mengkaji makna dalam interaksi (meaning in interaction). Leech (1983: 6 (dalam Gunarwan 2004: 2)) melihat pragmatik sebagai bidang kajian dalam linguistik yang mempunyai kaitan dengan semantik. Keterkaitan ini ia sebut semantisisme, yaitu melihat pragmatik sebagai potongan dari semantik; pragmatisisme, yaitu melihat semantik sebagai potongan dari pragmatik; dan komplementarisme, atau melihat semantik dan pragmatik sebagai dua bidang yang saling melengkapi.
B. Interaksi dan Sopan Santun
Seperti telah dikatakan di awal potongan ini, hal-hal di luar bahasa mensugesti pemahaman kita pada hal di dalam bahasa. Untuk memahami apa yang terjadi di dalam sebuah percakapan, misalnya, kita perlu mengetahui siapa saja yang terlibat di dalamnya, bagaimana korelasi dan jarak sosial di antara mereka, atau status relatif di anatara mereka. Marilah kita perhatikan penggalan-penggalan percakapan berikut ini. (1) A: Setelah ini, kerjakan yang lain. B: Baik, Bu. (2) C: Bantuin, dong! D: Sabar sedikit kenapa, sih? Sebagai penutur bahasa Indonesia, Anda akan dengan gampang menyampaikan bahwa di dalam penggalan percakapan (1) status social A lebih tinggi dari B, sedangkan di dalam penggalan percakapan (2) C dan D mempunyai kedudukan yang sama. Sebuah interaksi sosial akan terjalin dengan baik jika ada syarat-syarat tertentu terpenuhi, salah satunya yaitu kesadaran akan bentuk sopan santu. Bentuk sopan santun sanggup diungkapkan dengan banyak sekali hal. Salah satu penanda sopan santun yaitu penggunaan bentuk pronominal tertentu dalam percakapan. Di dalam bahasa Indonesia kita jumpai anda dan dia untuk menghormati orang yang diajak bicara. Di dalam bahasa Prancis kita jumpai pembedaan kata tu dan vouz untuk menyebut orang yang diajak bicara. Bentuk lain dari sopan santun yaitu pengungkapan suatu hal dengan cara tidak langsung. Contoh ketidaklangsungan sanggup kita lihat dalam penggalan percakapan berikut ini. (3) A: Hari ini ada acara? B : Kenapa ? A : Kita makan-makan, yuk! B: Wah, terima kasih, deh. Saya sedang banyak tugas! Di dalam penggalan percakapan di atas, B secara tidak eksklusif menolak seruan A untuk makan. B sama sekali tidak menyampaikan kata tidak. Akan tetapi, A akan mengerti bahwa apa yang diucapkan B yaitu sebuah penolakan. Kata terima kasih yang diungkapkan oleh B bukanlah bentuk penghargaan terhadap suatu pemberian, tetapi sebagai bentuk penolakan halus. Hal ini juga diperkuat oleh kalimat yang diujarkan B selanjutnya. Di dalam percakapan, ketidaklangsungan juga ditemukan dalam bentuk pra-urutan (pre-sequences). Kita juga sering menemukannya dalam situasi sehari-hari. Di dalam penggalan percakapan (3) di atas kita melihat pra-ajakan pada kalimat pertama yang diucapkan oleh A. Di dalam penggalan percakapan (4) kita melihat prapengumuman pada kalimat pertama yang diucapkan oleh A. (4) A: Sebelumnya saya mohon maaf. B: Ada apa, Pak? A: Kali ini saya tidak sanggup memberi apa-apa. Kita sanggup melihat bahwa suatu hal yang diungkapkan dalam percakapan akan lebih berterima jika ada semacam “pembuka” di dalamnya. Permohonan maaf dari A pada contoh (4) di atas merupakan sebuah pengantar untuk penyampaian maksud yang sebenarnya. Salah satu bentuk ketidaklangsungan sanggup ditemukan di dalam mkasud yang tersirat di dalam suatu ujaran. Di dalam hal ini, ketidaklangsungan mensyaratkan kemampuan seseorang untuk menangkap maksud yang tersirat, contohnya kita perhatikan contoh berikut. (5) A: Tong sampah sudah penuh. B: Tunggu, ya. Aku baca Koran dulu. Nanti kubuang, deh ! Di dalam contoh di atas, A tidak menyuruh B secara eksklusif untuk membuang sampah. Akan tetapi, B sanggup menangkap maksud yeng tersirta di dalam ujran A. sanggup kita bayangkan bahwa sesudah B membaca Koran ia akan membuang sampah lantaran hal ini sanggup kita simpulkan dari jawaban B di atas. Jika B tidak peka terhadap maksud A, tentu jawabannya akan berbeda. Bayangkan saja kalau B hanya menjawab, “Ya, betul.”
C. Implikatur Percakapan
Di dalam potongan sebelumnya kita telah melihat bahwa di dalam percakapan seorang pembicara mempunyai maksud tertentu saat mengujarkan sesuatu. Maksud yang terkandung di dalam ujaran ini disebut implikatur. Pembicara di dalam percakapan harus berusaha semoga apa yang dikatakannya relevan denga situasi di dalam percakapan itu, terang dan gampang dipahami oleh pendengarnya. Dengan singkat sanggup dikatakan bahwa ada kaidah-kaidah yang harus ditaati oleh pembicara semoga percakapan sanggup berjalan lancar. Kaidah-kaidah ini, di dalam kajian pragmatic, dikenal sebagai prinsip kerja sama. Grice (1975) menungkapkan bahwa di dalam prinsip kerjasama, seorang pembicara harus mematuhi empat maksim. Maksim yaitu prinsip yang harus ditaati oleh penerima pertuturan dalam berinteraksi, baik secara tekstual maupun interpersonal dalam upaya melancarkan jalannya proses komunikasi. Keempat maksim percakapan itu yaitu maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim relevansi, dan maksim cara. a) Maksim Kuantitas Berdasarkan maksim kuantitas, dalam percakapan penutur harus menawarkan donasi yang secukupnya kepada kawan tuturnya. Kalimat (6) memperlihatkan donasi yang cukup kepada kawan tuturnya. Bandingkanlah dengan kalimat (7) yang tersa berlebihan. (6) Anak gadis saya kini sudah punya pacar. (7) Anak gadis saya yang perempuan sudah punya pacar. Di dalam kalimat (7) kata gadis sudah meliputi makan ‘perempuan’ sehingga kata perempuan dalam kalimat tersebut menawarkan donasi yang berlebih. Maksim kuantitas juga dipenuhi oleh apa yang disebut pembatas, yang memperlihatkan keterbatas penutur dalam mengungkapkan informasi. Hal ini sanggup kita lihat dalam ungkapan di awal kalimat menyerupai singkatnya, dengan kata lain, kalau boleh dikatakan, dan sebagainya. b) Maksim Kualitas Berdasarkan maksim kualitas, penerima percakapan harus menyampaikan hal yang sebenarnya. Misalnya, seorang mahasiswa Universitas Indonesia seharusnya menyampaikan bahwa Kampus Baru Universitas Indonesia terletak di Depok., bukan kota lain, kecuali jika ia benar-benar tidak tahu. Kadang kala, penutur tidak merasa yakin dengan apa yang dinformasikannya. Ada cara untuk mengungkapkan keraguan menyerupai itu tanpa harus menyalahi maksim kualitas. Seperti halnya maksim kuantitas, pemenuhan maksim kualitas oleh ungkapan tertentu. Ungkapan di awal kalimat menyerupai setahu saya, kalau tidak salah dengar, katanya, dan sebagainya, memperlihatkan pembatas yang memenuhi maksim kualitas. c) Maksim Relevansi Berdasarkan maksim relevansi, setiap penerima percakapan menawarkan donasi yang relevan dengan situasi pembicaraan. Bandingkanlah penggalan percakapan (8) dan (9) berikut ini. (8) A: Kamu mau minum apa? B: Yang hangat-hangat saja. (9) C: Kamu mau minum apa? D : Sudah saya basuh kemarin. Di dalam penggalan percakapan (8) kita sanggup melihat bahwa B sudah mengungkapkan jawaban yang relevan atas pertanyaan A. Di dalam penggalan percakapan (9), sebagai penutur bahasa Indonesia kita sanggup mengerti bahwa jawaban D bukanlah jawaban yang relevan dengan pertanyaan C. Topik-topik yang berbeda di dalam sebuah percakapan sanggup menjdi relevan jika mempunyai kaitan. Di dalam hubungannya dengan maksim relevansi, kaitan ini sanggup dilihat sebagai pembatas. Ungkapan-ungkapam di awal kalimat menyerupai Ngomong-ngomong…, Sambil lalu…, atau By the way… merupakan pembatas yang memenuhi maksim relevansi. d) Maksim Cara Berdasarkan maksim cara, setiap penerima percakapan harus berbicara eksklusif dan lugas serta tidak berlebihan. Di dalam maksim ini, seorang penutur juga harus menfsirkan kata-kata yang dipergunakan oleh kawan tuturnya berdasarkan konteks pemakaiannya. Marilah kita bandingkan penggalan percakapan (10) dan (11) (10) A: Mau yang mana, komedi atau horor? B: Yang komedi saja. Gambarnya juga lebih bagus. (11) C: Mau yang mana, komedi atau horor? D: Sebetulnya yang drama bagus sekali. Apalagi pemainnya saya suka semua. Tapi ceritanya tidak terang arahnya. Action baiklah juga, tapi ceritanya saya tidak mengerti. C: Makara kau pilih yang mana? Di dalam kedua penggalan percakapan di atas kita sanggup melihat bahwa jawaban B yaitu jawaban yang lugas dan tidak berlebihan. Pelanggaran terhadap maksim cara sanggup dilihat dari jawaban D. Untuk memenuhi maksim cara, adakalanya kelugasan tidak selalubermanfaat di dalam interaksi verbal (hal ini sanggup kita lihat pula pada potongan yang membicarakan interaksi dan sopan santun). Sebagai pembatas dari maksim cara, pembicara sanggup menyatakan ungkapan menyerupai Bagaimana kalau…, Menurut saya… dan sebagainya.
D. Pelanggaran Terhadap Maksim Percakapan
Pelanggaran terhadap maksim percakapan akan menjadikan kesan yang janggal, kejanggalan itu sanggup terjadi jika informasi yang diberikan berlebihan, tidak benar, tidak relevan, atau berbelit-belit. Kejanggalan inilah yang biasanya dimanfaatkan di dalam humor. Ada banyak sekali bentuk pelanggaran di dalam maksim-maksim percakapan. Tentu kita pun pernah mengalami situasi yang janggal lantaran ada pembicara yang bertele-tele memberikan maksudnya, ada kesalahpahaman, ketidaksinkronan, dan sebagainya. Pengetahaun kita mengenai maksim-maksim di atas akan sangat membantu kita dalam memahami situasi yang demikian.
E. Pertuturan
Di dalam pertuturan ada pertuturan lokusioner, pertuturan ilokusioner, dan pertuturan perlokusioner. Pertuturan lokusioner yaitu dasar tindakan dalam suatu ujaran, atau pengungkapan bahasa. Di dalam pengungkapan itu ada tindakan atau maksud yang menyertai ujaran tersebut, yang disebut pertuturan ilokusioner. Pengungkapan bahasa tentunya mempunyai maksud, dan maksud pengunkapan itu diperlukan mempunyai pengaruh. Pengaruh dari pertuturan ilokusioner dan pertuturan lokusioner itulah yang disebut pertuturan perlokusioner. Pertuturan ilokusioner bertujuan menghasilkan ujaran yang dikenal dengan daya ilokusi ujaran. Dengan daya ilokusi, seorang penutur memberikan amanatnya di dalam percakapan, kemudian amanat itu dipahami atau ditanggapi oleh pendengar. Berdasarkan tujuannya, pertututan sanggup dikelompokkan menyerupai berikut ini. 1. Asertif, yang melibatkan penutur kepada kebenaran atau kecocokan proposisi, contohnya menyatakan, menyarankan, dan melaporkan. 2. Direktif, yang tujuannya yaitu tanggapan berupa tindakan dari kawan tutur, contohnya menyuruh, memerintahkan, meminta, memohon, dan mengingatkan. 3. Komisif, yang melibatkan penutur dengan tindakan atau jawaban selanjutnya, contohnya berjanji, bersumpah, dan mengancam. 4. Ekspresif, yang memperlihatkan perilaku penutur pada keadaan tertentu, contohnya berterima kasih, mengucapkan selamat, memuji, menyalahkan, memaafkan, dan meminta maaf. 5. Deklaratif, yang memperlihatkan perubahan sesudah diujarkan, contohnya membaptiskan, menceraikan, menikahkan, dan menyatakan.
F. Referensi dan Inferensi
Referensi yaitu korelasi di antara unsur luar bahasa yang ditunjuk oleh unsur bahasa dengan lambang yang digunakan untuk mewakili atau menggambarkannya. Referensi di dalam kajian pragmatik merupakan cara merujuk sesuatu melalui bentuk bahasa yang digunakan oleh penutur atau penulis untuk memberikan sesuatu kepada kawan tutur atau pembaca. Berkaitan dengan referensi yaitu inferensi. Inferensi yaitu pengetahuan tambahan yang digunakan oleh kawan tutur atau pembaca untuk memahami apa yang tidak diungkapkan secara eksplisit di dalam ujaran. Untuk memahami referensi dan inferensi, mari kita perhatikan kalimat-kalimat berikut ini. (1) Seseorang suka mendengarkan musik dangdut. (2) Orang itu suka mendengarkan musik dangdut. (3) Orang suka mendengarkan musik dangdut. Sebagai penutur bahasa Indonesia, kita mengetahui bahwa seseorang yaitu ‘orang yang tidak dikenal’ dan orang itu yaitu orang yang ada didekat kita bicara. Kalimat (1) diatas mempunyai referensi tak takrif, artinya referensi yang tidak tentu. Kalimat (2) mempunyai takrif, apa yang dirujuknya terang dan bertolak pada rujukan tertentu, sedangkan kalimat (3) mempunyai referensi generic, tidak merujuk kepada sesuatu yang khusus, dan lebih menekankan pada sesuatu yang umum.
G. Deiksis
Deiksis yaitu cara merujuk pada suatu hal yang berkaitanerat dengan konteks penutur. Dengan demikian, ada rujukan yang ‘berasal dari penutur’, ‘dekat dengan penutur’ dan ‘jauh dari penutur’. Ada tiga jenis deiksis, yaitu deiksis ruang, deiksis persona, dan deiksis waktu. Ketiga jenis deiksis ini bergantung pada interpretasi penutur dan kawan tutur, atau penulis dan pembaca, yang berada di dalam konteks yang sama.
a. Deiksis Ruang
Deiksis ruang berkaitan dengan lokasi relative penutur dan kawan tutur yang terlibat di dalam interaksi. Di dalam bahasa Indonesia, misalnya, kita mengenal di sini, di situ, dan di sana. Titik tolak penutur diungkapkan dengan ini dan itu. Marilah kita lihat contoh berikut. A dan B sedang terlibat di dalam percakapan. A mengambil sepotong camilan manis dan mengatakan, “Kue ini enak.” Apa yang ditunjuk oleh A, camilan manis ini, tentu akan disebut B sebagai camilan manis itu. Hal ini terjadi lantaran titik tolak A dan B berbeda. Kita juga mengenal kata-kata menyerupai di sini, di situ dan ini merujuk kepada sesuatu yang kelihatan atau jaraknya terjangkau oleh penutur. Selain itu, ada kata-kata menyerupai di sana dan itu yang merujuk pada sesuatu yang jauh atau tidak kelihatan, atau jaraknya tidak terjangkau oleh penutur. Dalam hal tertentu, tindakan kita sering kali bertalian dengan ruang. Jika kita hendak memperlihatkan bagaimana cara mengerjakan sesuatu, contohnya kita menggunakan kata begini. Jika kita hendak merujuk kepada suatu tindakan., kita menggunakan kata begitu.
b. Deiksis Persona
Deiksis persona sanggup dilihat pada bentuk-bentuk pronominal. Bentuk-bentuk pronominal itu sendiri dibedakan atas pronominal orang pertama, pronominal orang kedua, dan pronominal orang ketiga. Di dalam bahasa Indonesia, bentuk ini masih dibedakan atas bentuk tunggal dan bentuk jamak sebagai berikut. Tunggal Jamak Orang pertama Orang kedua Orang ketiga aku, saya engkau, kau, kamu, anda ia, dia, dia kami, kita kamu, kalian mereka Kadang-kadang penutur bahasa menyebut dirinya dengan namanya sendiri. Di antara penutur bahasa Indonesia, sapaan kepada orang kedua tidak hanya kau atau saya, melaikan juga Bapak, Ibu, atau Saudara.
c. Deiksis Waktu
Deiksis waktu berkaitan dengan waktu relative penutur atau penulis dan kawan tutur atau pembaca. Pengungkapan waktu di dalam setiap bahasa berbeda-beda. Ada yang mengungkapkannya secara leksikal, yaitu dengan kata tertentu. Bahasa Indonesia mengungkapkan waktu dengan kini untuk waktu kini, tadi dan dulu untuk waktu lampau, nanti untuk waktu yang akan datang. Hari ini, kemarin dan besok juga merupakan hal yang relatif, dilihat dari kapan suatu ujaran diucapkan.
KESIMPULAN
Semantik dan pragmatik merupakan salah satu cabang ilmu yang dipelajari dalam studi linguistik. Dalam semantik kita mengenal yang disebut pembagian terstruktur mengenai makna, kekerabatan makna, erubahan makna, analisis makna, dan makna pemakaian bahasa. Sedangkan dalam pragmatik kita mengenal yang disebut interaksi dan sopan santun, implikatur percakapan, pertuturan, referensi dan inferensi serta deiksis. Dengan demikian sanggup kita simpulkan bahwa pragmatik berafiliasi dengan pemahaman kita terhadap hal-hal di luar bahasa. Akan tetapi, hal-hal yang dibicarakan di dalam pragmatik sangat erat pula kaitannya dengan hal-hal di dalam bahasa. Adapun semantik yaitu subdisiplin linguistik yang membicarakan makna yaitu makna kata dan makna kalimat.
Pragmatik: Referensi dan Inferensi
PEMBAHASAN
A. Pengertian Referensi dan Inferensi
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia atau KBBI (2000:939) disebutkan bahwa Referensi yaitu sumber acuan, rujukan, atau petunjuk. Mungkin paling sempurna jika kita menganggap referensi (pengacuan) sebagai sebuah tindakan saat penutur atau penulis menggunakan bentuk-bentuk yang memungkinkan pendengar atau permbaca mengidentifikasikan sesuatu.
Bentuk-bentuk linguistik tersebut merupakan ekspresi-ekspresi pengacu yang sanggup berupa kata benda, frasa kata tertentu, dan kata ganti. Dalam konteks-konteks visual yang dialami bersama, kata-kata ganti yang berfungsi sebagai ekspresi deiktik dan frasa-frasa kata benda yang lebih terperinci bisa digunakan bagi suksesnya referensi.
Referensi terang berkaitan dengan tujuan penutur dan keyakinan-keyakinan penutur, tetapi semoga referensi sanggup berhasil kita juga harus mengetahui kiprah inferensi. Inferensi yaitu simpulan atau yang sanggup disimpulkan (KBBI, 2000:432).
Tugas pendengar yaitu menarik inferensi secara benar entitas mana yang ingin diidentifikasi penutur dengan menggunakan ekspresi pengacuan tertentu. Bahkan kita sanggup menggunakan ekspresi-ekspresi yang tidak jelas, contohnya sesuatu, anu, itu, eh, dan yang lainnya dengan mengandalkan kemampuan pendengar untuk menarik inferensi referen ihwal apa yang kita miliki dalam pikiran.
B. Penggunaan Referensial dan Atribut
Tidak semua ekspresi pengacu mempunyai referen-referen fisik yang sanggup diidentifikasi. Frasa-frasa kata benda tidak tentu sanggup digunakan untuk mengidentifikasi entitas yang ada secara fisik menyerupai dalam contoh berikut.
1) Ada seseorang yang sedang menunggumu.
Tetapi sanggup juga digunakan untuk mendeskripsikan entitas-entitas yang diasumsikan ada, tetapi tidak diketahui siapa jelasnya sebagaimana contoh berikut.
2) Dia ingin menikah dengan perempuan yang kaya.
Penutur sering mengajak kita untuk berasumsi, melaui penggunaan atributif, bahwa kita sanggup mengidentifikasi apa yang sedang dibicarakan, bahkan saat entitas atau individu yang dideskripsikan tidak ada.
C. Nama dan Referen
Versi referensi yang disajikan disini yaitu kerja sama antara niat untk mengidentifikasi dan akreditasi terhadap niat. Proses ini tidak hanya bekerja pada satu penutur dan satu pendengar. Proses ini bekerja dalam kaitannya dengan konvensi antara semua anggota suatu komunitas yang menggunakan bahasa dan mempunyai budaya yang sama. Asumsi ini mungkin menciptakan kita beranggapan bahwa nama orang menyerupai Andrea Hirata atau Dewi Lestari hanya sanggup digunakan untuk mengidentifikasi satu orang tertentu, dan sebuah ekspresi yang mengandung kata benda umum menyerupai “si kutu buku” hanya sanggup digunakan untuk mengidentifikasi suatu benda tertentu. Pandangan ini salah alasannya yaitu pandangan referensi yang benar-benar pragmatik memungkinkan kita untuk melihat bagaimana seseorang sanggup diidentifikasikan melalui ekspresi “anak ayam”, dan suatu benda sanggup diidentifikasi melalui nama “Andrea Hirata”.
Contoh: Percakapan antara siswa A dan siswa B.
A: “Mana Andrea Hirata yang kemarin kau pinjam?”
B: “Maaf, tampaknya tertinggal di rumah.”
Dari konteks kalimat yang diciptakan, referen yang dimaksudkan dan inferen yang disimpulkan bukan mengacu kepada seseorang, tetapi sebuah buku. Sama halnya dengan contoh berikut.
Contoh: Percakapan antara Siswa C dan Siswa D.
C: “Dimana si anak ayam?”
D: “Itu, dia disana.”
Bila dilihat juga pada konteksnya, referen yang diidentifikasi dan inferen yang disimpulkan bukan merupakan suatu kata benda, tetapi merujuk kepada seseorang lantaran ada kata “dia” disana.
D. Peran Ko-teks
Kemampuan untuk memahami referen atau pola ini telah dibantu oleh materi linguistik, atau ko-teks yang menyertai pengacu. Ketika kita melihat kata Malaysia di koran, kata ini merupakan ekspresi pengacu dan mengalahkan Indonesia dalam simpulan piala AFF 2011 yaitu potongan ko-teksnya. Dengan terang ko-teks membatasi rentangan interpretasi atau gagasan tersendiri yang mungkin yang sanggup kita berikan pada kata menyerupai Malaysia . Ko-teks merupakan potongan dari potongan linguistik dari lingkungan daerah digunakannya ekspresi pengacu.
E. Referensi Anaforik
Dalam sebagian besar pembicaraan, kita harus memperhatikan siapa dan apa yang sedang dibicarakan yang lebih dari satu kalimat dalam satu waktu. Setelah sebelumnya memperkenalkan entitas penutur, para penutur akan menggunakan banyak sekali macam ekspresi untuk menjaga referensi.
Referensi anaforik atau anafora (ekspresi kedua) merupakan proses untuk terus mengidentifikasi dengan sempurna entitas yang sama sebagaimana ditunjukkan oleh antesedennya (ekspresi awal). Dalam banyak hal, perkiraan tersebut tidak banyak mensugesti interpretasi, tetapi saat perubahan atau imbas tertentu diuraikan, referensi anaforik harus diinterpretasikan secara berbeda.
Contoh:
Ani yaitu gadis yang cantik. Dia selalu berpenampilan rapi. (Antesedennya yaitu Ani, dan anaforanya yaitu dia.)
Kunci untuk memahami referensi yaitu proses pragmatik yang digunakan para penutur untuk menentukan ekspresi-ekspresi linguistik dengan maksud mengidentifikasikan entitas-entitas tertentu dengan perkiraan bahwa pendengar akan berkolaborasi dan menginterpretasikan ekspresi-ekspresi sebagaimana yang dimaksudkan penutur.
Dimensi sosial referensi mungkin juga terikat dengan imbas kolaborasi. Segera sesudah mengetahui referen yang dimaksudkan, bahkan saat sebuah ekspresi pengacu minimal (misalnya kata ganti) digunakan bersama, merupakan sesuatu yang umum dan merupakan kedekatan sosial. Keberhasilan referensi berarti bahwa maksud penutur telah diketahui, melalui inferensi, yang memperlihatkan semacam pengetahuan yang dimiliki bersama dan merupakan kedekatan sosial.
KESIMPULAN
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia atau KBBI (2000:939) disebutkan bahwa Referensi yaitu sumber acuan, rujukan, atau petunjuk. Mungkin paling sempurna jika kita menganggap referensi (pengacuan) sebagai sebuah tindakan saat penutur atau penulis menggunakan bentuk-bentuk yang memungkinkan pendengar atau permbaca mengidentifikasikan sesuatu.
Inferensi yaitu simpulan atau yang sanggup disimpulkan (KBBI, 2000:432). Referensi terang berkaitan dengan tujuan penutur dan keyakinan-keyakinan penutur, tetapi semoga referensi sanggup berhasil kita juga harus mengetahui kiprah inferensi.