Metodologi Pemahaman Islam

METODOLOGI PEMAHAMAN ISLAM 
A. STUDI ISLAM 
Dikalangan para jago masih terdapat perbedaan disekitar permasalahan apakah studi islam (agama) sanggup dimasukkan ke dalam bidang ilmu pengetahuan, mengingat sifat dan karakteristik antara ilme pengetahuan dan agama berbeda.

Pada dataran normativitas studi Islam agaknya masih banyak terbebani oleh misi kagamaan yang bersifat memihak, romantis, dan apologis, sehingga kadar muatan analisis, kritis, medodologis, historis, empiris, terutama dalam menelaah teks-teks atau naskah-naskah keagamaan produk sejarah terdahulu kurang begitu ditonjolkan, kecuali dalam lingkungan para peneliti tertentu yang masih sangat terbatas.

dengan demikian secara sederhana sanggup dekemukakan jawabannya bahwa dilihat dari segi normatif sebagaimana yang terdapat di dalam Quran dan hadis, maka Islam lebih merupakan agama yang tidak sanggup diberlakukan kepadanya pradigma ilmu pengetahuan, yaitu pradigma analisistis, kritis, metodologis, historis, dan empiris. Sebagai agama, Islam lebih bersifat memihak romantis, apologis, dan subjektif. sedangkan jika dilihat dari segi historisnya yakni islam dalam arti yang dipraktikkan oleh insan serta tumbuh dan berkembang dalam sejarah kehidupan manusia, maka Islam sanggup dikatakan sebagai sebuah disiplin ilmu, yakni ilmu keislaman atai Islam Studies 

Perbedaan dalam melihat Islam yag demikian itu sanggup menimbulkan perbedaan dalam menjelaskan Islam itu sendiri. Ketika islam dilihat dari sudur normatif, Islam merupakan agama yang di dalamnya berisi pedoman Tuhan dengan urusan keyakinan dan muamalah sedangkan dikala Islam dilihat dari sudut historis atau sebagaimana yang tampak dalam Islam tampil sebagai sebuah disiplin ilmu (Islamic Studies).

B. METODE MEMAHAMI ISLAM 
Pada bab ini penulis akan mencoba menelusuri metode memahami Islam sepanjang yang sanggup dijumpai dari aneka macam literatur keislaman. Dalam buku herjudul Tentang Sosiologi Islam, karya Ali Syari'ati, dijumpai uraian singkat mengenai metode memahami yang pada pada dasarnya Islam harus dilihat dari aneka macam dimensi. Dalam hubungan ini, ia menyampaikan jika kita meninjau Islam dari satu sudut pandangan saja, maka yang akan terlihat ha-nya satu dimensi saja dari gejalanya yang bersegi banyak. Mungkin kita berhasil melihatnya secara tepat, namun tidak cukup bila kita ingin memahaminya secara keseluruhan. 

Buktinya ialah Quran sendiri. Kitab ini mempunyai banyak dimensi; sebagiannya telah dipelajari oleh sarjana-sarjana besar sepanjang sejarah. Satu dimensi, misalnya, mengandung aspek-aspek linguistik dan sastra Alquran. Para sarjana sastra telah mempelajarinya secara terperinci. Dimensi lain terdiri atas tema-tema filosofis dan keimanan Quran yang menjadi materi pemikiran hagi para filosof serta para teolog hari ini. Dimensi alquran lainnya lagi yang belum dikenal ialah dimensi manusiawinya, yang mengandung problem historis, sosiofogis, dan psikologis. Dimensi ini belum banyak dikenal, alasannya yakni sosiologi, psikologi ilmu-ilmu insan memang jauh lebih muda dibandingkan ilmu-ilmu alam. Apalagi ilmu sejarah yang merupakan ilmu termuda di dunia. Namun yang dimaksudkan dengan ilmu sejarah di sini tidaklah identik dengan data historis ataupun buku-buku sejarah yang tergolong dalam buku-buku tertua yang pernah ada.

Untuk memahami islam secara benar ini, Nasruddin Razak mengajukan empat cara. : 
  • Pertama, Islam harus dipelajari dari sumbernya yang asli, yaitu Quran dan Al-Sunnah Rasulullah. Kekeliruan memahami Islam, alasannya yakni orang hanya megenalnya dari sebagian ulama dan pemeluknya yang telah jauh dari bimbingan Quran dan Al-Sunnah, atau melalui pengenalan dari sumber – sumber kitab fiqih dan tasawuf yang semangatnya sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Mempelajari Islam dengan cara demikian akan men­jadikan orang tersebut sebagai pemeluk Islam yang sinkretisme, hidup penuh bid’ah dan khurafat, yakni telah tercampur dengan hal-hal yang tidak Islami, dari pedoman Islam yang murni.
  • Kedua, Islam harus dipelajari secara integral, tidak dengan cara parsial, artinya dipelajari secara menyeluruh sebagai satu kesatuan yang bundar tidak secara. sebagian saja. Memahami Islam secara parsial akan membahayakan, menimbulkan skeptis, bimbang dan penuh keraguan. 
  • Ketiga, Islam perlu dipelajar dari kepustakaan yang ditulis oleh para ulama besar.
  • Keempat, Islam hendaknya dipelajari dari ketentuan normatif teologis yang ada dalam Alquran, gres kemudia dihubungkan dengan kenyataan historis, empiris, dan sosiologis yang ada di masyarakat. Dengan cara demikian sanggup diketahui tingkat kesesuaian atau kesenjangan antara Islam yang berada pada dataran normatif teologis yang ada dalam Quran dengan Islam yang ada pada dataran historis, sosiologis, dan empiris
Memahami Islam dengan cara keempat sebagaimana disebutkan di atas, akhir-akhir ini sangat diharapkan dalam upaya menjunjukkan tugas sosial dan kemanusiaan dari pedoman Islam itu sendiri.

Dari uraian tersebut kita melihat bahwa metode yang sanggup digunakan. untuk memahami Islam secara garis besar ada dua macam. Pertama, metode komparasi, yaitu suatu cara memahami agama dengan membandingkan seluruh aspek yang ada dalam agama Islam tersebut dengan agama lainnya, dengar. cara demikian akan dihasilkan pemahaman Islam yang objektif dan utuh Kedua, metode sintesis, vaitu suatu cara memahami Islam yang memadukan antara metode ilmiah dengan segala cirinya yang rasional, objektif, kritis, dan seterusnya dengan metode teologis normatif. Metode ilmiah digunakar. untuk memahami Islam yang tampak dalam kenyataan historis, empiris, dar sosiologis, sedangkan metode teologis normatif dipakai untuk memaham: Islam yang terkandung dalam kitab suci. 

Melalui metode teologis normatif ini seseorang memulainya dari meyakini Islam sebagai agama yang mutlak benar. Hal ini didasarkan pada alasan, alasannya yakni agama berasal dari Tuhan dari apa yang berasal dari Tuhan mutlak benar, maka agamapun mutlak benar Setelah itu dilanjutkan dengan melihat agama sebagaimana norma pedoman yang berkaitan dengan aneka macam aspek kehidupan insan yang secara keseluruhan diyakini amat ideal. Melalui metode teologis normatif yang tergolong renta usianya ini sanggup dihasilkan keyakinan dan kecintaan yang kuat, kokoh, dan militan pada Islam, sedangkan dengan metode ilmiah yang dinilai sebagai tergolong Muda usianya ini sanggup dihasilkan kemampuan menerapkan Islam yang diyakini dan dicintainya itu dalam kenyataan hidup serta memberi balasan terhadap aneka macam permasalahan yang dihadapi manusia.

SUMBER;

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel