Teori Karya Sastra Bentuk Prosa

KARYA SASTRA BENTUK PROSA
I. Roman, Novel, dan Cerpen
Karya sastra yang berbentuk prosa antara lain roman, novel, dan dongeng pendek. Ada yang beropini bahwa ketiga bentuk tersebut dibedakan berdasarkan panjang pendeknya dongeng (Saad, 1967), namun sesungguhnya tidaklah sesederhana itu lantaran persyaratan yang terang ihwal hal ini belum ada. Contohnya cerpen-cerpen yang terkumpul dalam buku “Orang-Orang Bloomington” karya Budi Darma, satu cerpen saja sanggup mencapai puluhan hamanan, sehingga memicu munculnya pertanyaan, “Benarkah karya sepanjang ini termasuk cerpen?”

Agaknya memang bukan jumlah kata atau halaman yang menjadi patokan, tetapi banyak/sedikitnya episode yang dijalin oleh pengarang untuk membangun alur cerita. Pada bentuk roman, tertuang episode kehidupan tokoh utama semenjak kecil hingga meninggal dunia. Kriteria lain yang menandai bentuk roman yaitu isi dongeng yang cenderung melankolik, penyelesaian dongeng yang seringkali nampak dipaksakan, cara penceritaan yang romantis, dan penggunaan gaya bahasa yang berlebih-lebihan. Dalam khazanah sastra Indonesia antara lain kita mengenal roman “Azab dan Sengsara” karya Merari Siregar dan “Siti Nurbaya” karya Marah Rusli.

Bentuk novel kadang kala dianggap sama saja dengan bentuk roman, walaupun bekerjsama berbeda. Episode yang diceritakan dalam novel tidak sepanjang yang terdapat pada roman. Novel hanya menceritakan episode yang dianggap penting saja dari kehidupan tokoh utama, contohnya masa dewasa hingga berumah tangga, masa kanak-kanak hingga menikah, masa berumah tangga, dan lain-lain. Isi, cara penceritaan, dan bahasa dalam novel juga lebih beragam. Ada novel-novel yang romantis (misalnya karya N.H. Dini, Marga T., Mira W., ataupun Pramoedya Ananta Toer), tetapi banyak pula yang bersifat lebih dinamis dan tidak bertendensi mengharu-biru perasaan pembaca (misalnya karya Ayu Utami, Putu Wijaya, serial “Lupus”, dan lain-lain).

Ditinjau dari banyaknya gagasan yang ingin disampaikan, cerpen merupakan bentuk yang paling ringkas lantaran hanya terdiri dari satu gagasan utama saja. Kalaupun menceritakan beberapa tahap kehidupan yang dialami sang tokoh, maka hal itu biasanya dikemukakan secara singkat sebagai latar belakang terjadinya konflik cerita.

II. Unsur Intrinsik
Unsur intrinsik yaitu unsur yang membangun karya sastra dari dalam, mirip tema dan amanat, alur, karakterisasi, setting, serta point of view. Aspek-aspek tersebut keberadaannya menempel pada karya sastra, menjadi kepingan yang sangat penting dan mutlak ada.
1. Tema 
Tujuan pengarang dalam membuat karya sastra, bukan semata-mata ingin memberikan ‘jalan cerita’, melainkan ada konsep anutan tertentu yang hendak dikemukakannya. Pokok pikiran, ide, atau gagasan yang mendasari karangan itulah yang disebut tema.

Dalam karya sastra, tema senantiasa berkaitan dengan nilai-nilai kehidupan dan pola tingkah laku. Tema yang banyak dijumpai pada karya sastra yang bersifat didaktis yaitu kontradiksi antara nilai baik - buruk, contohnya dalam bentuk kebohongan melawan kejujuran, kezaliman melawan keadilan, korupsi melawan kerja keras dan sebagainya.

1.1 Perwujudan Tema
Tema dongeng kadang kala dinyatakan secara eksplisit oleh pengarangnya, baik melalui dialog, pemaparan, maupun judul karya, sehingga pembaca gampang memahami. Dari membaca judulnya saja, contohnya Salah Asuhan, Sengsara Membawa Nikmat, Dua Dunia dan lain-lain, dengan gampang pembaca sanggup menebak temanya. Meskipun demikian, harus disadari bahwa tidak semua judul memperlihatkan tema cerita. Ada pula judul-judul yang bersifat simbolik, contohnya Layar Terkembang, Belenggu dan lain-lain. Dengan demikian, untuk menggali tema dongeng tidak selalu gampang lantaran banyak pula yang bersifat implisit (tersirat), sehingga seseorang perlu membaca lebih dahulu seluruh dongeng dengan tekun dan cermat.

ARTI, PENGERTIAN, SEJARAH DAN TEORI SASTRA
https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=4590033009607805970#editor/target=post;postID=5928615348049670284;onPublishedMenu=allposts;onClosedMenu=allposts;postNum=98;src=link

Penyampaian tema kadang kala didukung oleh pelukisan latar, alur, dan penokohan. Tema bahkan sanggup menjadi faktor yang mengikat peristiwa-peristiwa dalam alur. Pada umumnya tema demikian dominan, sehingga menjadi kekuatan yang mempersatukan banyak sekali unsur yang gotong royong membangun karya sastra dan menjadi motif tindakan tokoh. Sebagai pola dalam cerpen Nama karya Putu Wijaya, tema kepemimpinan yang dipaparkan merasuki hampir pada setiap unsur karya tersebut. Karakter tokoh-tokohnya terbangun lantaran adanya persepsi yang berbeda-beda ihwal kepemimpinan, konflik dongeng dan alurnya berpusat pada perkara tersebut, bahkan obrolan antartokoh pun mengungkapkan ihwal kepemimpinan yang merupakan tema cerpen ini.

1.2 Tema ‘Ringan’ – Tema ‘Berat’
Banyak orang beropini bahwa mutu karya sastra sanggup diukur dari ‘berat’ ‘ringan’-nya tema yang diemban. Ini kurang tepat, mengingat banyak dongeng dengan tema yang sama, tetapi ternyata mempunyai bobot kesastraan yang berbeda. Misalnya saja perkara cinta, keluarga, maupun usaha hidup, oleh pengarang tertentu sanggup digarap dan menghasilkan karya sastra yang bermutu, sedangkan di tangan pengarang lain alhasil belum tentu demikian. 

Dapat disimpulkan bahwa baik buruknya suatu karya tidak ditentukan oleh tema (karena gagasan yang sama sanggup menjadi tema berpuluh-puluh dongeng yang baik, yang sedang, maupun yang buruk), namun ditentukan oleh mendalam tidaknya tema tersebut digarap. Karya yang bermutu tidak hanya mengungkapkan jalinan peristiwa, melainkan mengetengahkan juga falsafah-falsafah kemanusiaan yang mendorong pembaca untuk berkontemplasi (Oemarjati, 1962 : 54 – 55). Dengan demikian, sambil menikmati karya sastra pembaca sekaligus menerima ‘makanan’ untuk perkembangan budinya, sehingga ia menjadi lebih bakir dalam menyikapi kehidupan, baik terhadap sesama maupun dalam hubungannya dengan Tuhan.

Konflik kejiwaan yang menjadi tema novel Pulang karya Toha Mohtar misalnya, digarap dengan sangat mendalam. Tema tersebut terwujud melalui abjad Tamin, bekas Heiho yang sekembalinya dari Birma malah bergabung dengan tentara Sekutu lantaran ketidaktahuannya. Ketika pulang, ia disambut dengan kegembiraan yang mengharukan, namun perasaan bersalah sebagai pengkhianat - walaupun tak seorang pun warga desa mengetahui hal itu - mendorongnya untuk ‘membuang’ diri meninggalkan desanya dengan membawa konflik yang mencabik-cabik batin.

1.3 Pengarang dan Pilihan Tema
Pada dasarnya pilihan tema tidak terbatas. Ada pengarang yang menggarap tema berbeda-beda setiap kali membuat suatu karya, ada pula yang selalu hadir dengan tema-tema tertentu. 

Kecuali pilihan pribadi, beberapa faktor mempengaruhi pilihan tema, contohnya selera pembaca pada suatu masa, insiden politik maupun sosial yang terjadi, konvensi zaman, bahkan harapan penerbit atau penguasa ikut menentukan. Itulah sebabnya pada tahun dua puluhan, ketika masyarakat sedang gencar berjuang melawan budbahasa kawin paksa, maka karya sastra yang muncul kebanyakan ihwal tema tersebut. Pada masa yang berbeda, ketika politik bergolak, atau krisis ekonomi terjadi, atau ketika pemerintah ulet melancarkan kampanye pelestarian lingkungan, maka pilihan tema biasanya sejalan dengan peristiwa-peristiwa tersebut. 

Walaupun banyak pengarang yang mengangkat tema sesuai insiden atau kebutuhan zaman mirip telah dijelaskan di atas, namun dari masa ke masa tema-tema umum ihwal moral, keadilan, cinta, dan kemanusiaan juga selalu eksis dan digemari.

1.4 Menafsirkan Tema
Menemukan tema karya sastra tidak selalu mudah. Hal ini disebabkan seringkali terjadi kesenjangan antara makna muatan (tema yang nampak dalam suatu karya) dengan makna niatan (maksud pengarang). Penyebabnya mungkin pengarang ndeso menjabarkan tema yang dikehendakinya, sehingga yang tertangkap oleh pembaca berbeda dengan maksud pengarang. Bisa juga lantaran hakekat karya sastra itu sendiri yang multi-interpretable, sehingga tiap-tiap pembaca mempunyai pendapat yang berbeda. Perbedaan demikian masuk akal terjadi, yang penting tafsiran tersebut sanggup dipertanggungjawabkan dengan bukti-bukti berpengaruh yang diambil dari unsur-unsur karya yang bersangkutan. Jadi, penafsiran tema hanya boleh didasarkan pada aspek-aspek yang dikemukakan dalam dongeng dan tidak dipaksakan dari luar.

Meskipun di atas telah diuraikan bahwa perbedaan penafsiran dianggap wajar, harus dihindari penyimpangan yang terlalu jauh. Dalam menafsirkan tema, sedapat mungkin ‘tertangkap’ tema sentral/mayornya, sedangkan tema sampingan/ minor boleh dikemukakan sebagai aspek yang melengkapi.

Misalnya tema sentral Pada Sebuah Kapal karya N.H. Dini yaitu perkara emansipasi perempuan yang dimanifestasikan melalui tokoh Sri. Untuk memberikan tema tersebut pengarang mengungkapkannya melalui persoalan-persoalan dalam pernikahan, percintaan antartokoh, kegagalan berumah tangga dan sebagainya. Hal-hal itu yaitu tema sampingan/minor yang berfungsi menyebarkan alur menuju tema sentralnya ihwal emansipasi wanita.

Contoh lain Tenggelamnya Kapal van der Wijck karya Hamka yang tema sentralnya ihwal harkat dan martabat manusia. Tema tersebut dikemukakan oleh pengarangnya melalui permasalahan budbahasa dan cinta. Jadi, walaupun dalam novel ini terdapat pemaparan ihwal budbahasa dan cinta, keduanya hanya merupakan tema sampingan yang berfungsi sebagai sarana untuk mencapai tema sentral yang sesungguhnya. 

1.5 Tema dan Topik
Kecuali tema, kita juga mengenal istilah topik yang bersifat lebih khusus/konkret lantaran intinya merupakan klasifikasi lebih lanjut dari tema. Contohnya dari tema emansipasi wanita, sanggup diturunkan topik-topik mirip :
  • Kedudukan dan kesempatan bagi perempuan untuk menyebarkan eksistensi belum sepenuhnya terbuka lebar.
  • Perlakuan yang tidak layak dari seorang suami kepada istrinya merupakan pelecehan terhadap martabat wanita.
Contoh lain tema martabat insan yang diemban oleh novel Pagar Kawat Berduri karya Trisnoyuwono, dijabarkan dalam topik ‘keadaan sulit yang dialami seseorang, sanggup menimbulkan ia rela kehilangan martabat’

Tema peperangan dalam cerpen Telinga karya Seno Aji Gumira, dijabarkan dalam topik ‘peperangan menjadikan seseorang kehilangan rasa kemanusiaannya’

Tema karya sastra sanggup mencakup aspek kejiwaan manusia, aspek sosial, politik, adat-istiadat dan lain-lain, yang masing-masing sanggup lebih dikonkretkan menjadi topik yang bersifat lebih khusus.

2. Amanat
Amanat sering pula disebut pesan moral atau himbauan-himbauan yang terdapat dalam cerita. Pada masa lampau, pesan moral seringkali disampaikan oleh pengarang secara eksplisit, mulut dan langsung; tetapi di zaman modern ini agaknya cara mirip itu sudah jarang terjadi. Penulis-penulis kini lebih sering menyiratkan pesan secara implisit melalui sikap tokoh, terutama menjelang dongeng berakhir. Teknik demikian kecuali menghilangkan kesan ‘menggurui’, juga memberi keleluasaan pada pembaca untuk mencari dan menemukan sendiri pesan moral suatu cerita.

Yang harus diingat, amanat mempunyai kaitan yang sangat erat dengan topik, bahkan mirip mata uang yang mempunyai dua sisi. Hal yang membedakan hanyalah pada cara merumuskan. Perumusan topik berupa kalimat pernyataan, sedangkan perumusan amanat berupa kalimat perintah, saran-saran, dan himbauan-himbauan, mirip :
  • Sebagai warga negara suatu bangsa, hendaknya kita ikut serta membuat perdamaian. Sedapat mungkin hindari peperangan lantaran peperangan sanggup mengikis rasa peri kemanusiaan.
  • Jangan menjadi insan yang sombong. Ingatlah, kesombongan merupakan awal kehancuran.
  • Kita harus mempunyai sifat rela berkorban, khususnya bagi sahabat.
3. Plot/Alur
Marjorie Boulton (1984 : 75) mengibaratkan alur sebagai rangka di dalam badan insan yang berfungsi menopang badan biar sanggup berdiri. Di dalam dongeng rekaan, banyak sekali insiden disajikan dengan urutan tertentu. Rangkaian insiden itu membangun tulang punggung cerita, yaitu alur.

Ada pula yang mengumpamakan alur sebagai sangkutan, kawasan menyangkutnya bagian-bagian cerita, sehingga terbentuklah suatu berdiri yang utuh. Dalam fungsinya yang demikian sanggup dibedakan peristiwa-peristiwa utama yang membentuk alur utama, dan peristiwa-peristiwa pemanis yang membentuk alur bawahan atau pengisi jarak antara dua insiden utama.

Peristiwa yang dialami tokoh disusun sedemikian rupa menjadi sebuah cerita, tetapi tidak berarti semua insiden dalam hidup tokoh ditampilkan secara lengkap. Peristiwa-peristiwa yang dijalin tersebut sudah dipilih dengan memperhatikan kepentingannya dalam membangun alur. Peristiwa yang tidak bermakna khas (signifikan) ditinggalkan, sehingga sesungguhnya pengaluran selalu memperhatikan relasi kausalitas/sebab-akibat Forster (1955 : 86) mengatakan, “We have defined as a narrative of events arranged in their time-sequence. A plot is also a narrative of events, the emphasis falling on causality. The time-sequence is preserved, but the sense of causality overshadows it.” 

Dari klarifikasi di atas sanggup disimpulkan definisi alur yaitu :
  • Pengaturan urutan insiden pembentuk dongeng yang memperlihatkan adanya relasi kausalitas.
  • Memang, relasi kausalitas ini tidak selalu segera tampak dalam sebuah novel yang tersusun rapi lantaran kadang kala tersembunyi di balik insiden yang meloncat-loncat, atau di dalam ucapan maupun sikap tokoh-tokohnya. Walaupun begitu pembaca harus sanggup menangkap relasi kausalitas tersebut. Untuk itu pengarang yang baik hanya menampilkan lakuan dan cakapan yang bermakna bagi relasi keseluruhan alur, lantaran jika banyak digresi (lanturan) sanggup mengalihkan perhatian pembaca dari insiden utama ke insiden pelengkap. 
3.1 Unsur-Unsur Alur :
v Awal :
  • Paparan (exposition) à Pengarang memberikan informasi sekedarnya kepada pembaca, contohnya memperkenalkan tokoh cerita, keadaannya, kawasan tinggalnya, pekerjaannya, maupun kebiasaan-kebiasaannya.
  • Fungsi paparan untuk memperlihatkan informasi kepada pembaca biar sanggup mengikuti kisahan selanjutnya dengan mudah. Harus diingat bahwa situasi yang digambarkan pada kepingan awal alur, hendaknya membuka kemungkinan bagi pengembangan dongeng dan memancing rasa ingin tahu pembaca akan kelanjutan cerita.
  • Rangsangan (inciting moment) à Peristiwa yang mengawali timbulnya gawatan, contohnya dengan kemunculan seorang tokoh gres yang berlaku sebagai katalisator, atau suatu insiden yang merusak keadaan yang pada mulanya selaras (Sudjiman, 1986 : 39).
  • Gawatan (rising action) à Munculnya perkara antara tokoh utama dengan sesuatu (bisa perkara dengan tokoh lain, diri sendiri, nilai-nilai, lingkungan, dan lain-lain) sebagai kelanjutan dari kepingan rangsangan.
v Tengah :
  • Tikaian (conflict) à Perkembangan perkara menjadi pertikaian/perselisihan antara dua kekuatan yang bertentangan.
  • Rumitan (complication) à Perselisihan yang semakin meruncing.
  • Klimaks à Perselisihan/rumitan yang mencapai puncaknya.
v Akhir :
  • Leraian (falling action) à Perkembangan insiden ke arah selesaian. Di sini nampak titik terang pemecahan masalah, yaitu perselisihan yang tadinya sudah mencapai titik gawat, berangsur-angsur surut dan nampak ada jalan keluarnya. Dalam hal ini ada kalanya diturunkan deus ex machina, yaitu orang atau barang yang muncul tiba-tiba dan memperlihatkan pemecahan (Sudjiman 1986 : 19)
  • Selesaian (denouement) à Bagian simpulan atau epilog cerita. Selesaian sanggup melegakan (happy ending), sanggup menyedihkan (unhappy end/sad ending), sanggup pula menggantung tanpa pemecahan.
Unsur-unsur alur tersebut dikemas sedemikian rupa oleh pengarang, sehingga dongeng yang dikemukakan mempengaruhi perasaan pembaca. Untuk itu pengarang selalu memasukkan aspek tegangan/suspence (ketidakpastian yang kian menjadi-jadi), regangan/toppings (proses penambahan ketegangan emosional), dan susutan/droppings (proses pengurangan ketegangan emosional). Sarana yang dipakai untuk membuat tegangan antara lain :
  • Dengan teknik sorot balik/alih balik, yaitu jika urutan kronologis suatu dongeng disela dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi sebelumnya (Sudjiman, 1986 : 3). Sorot balik ini sanggup berupa lamunan si tokoh yang mengingat masa lalu, sanggup pula dalam bentuk mimpi, maupun obrolan antar tokoh.Dengan teknik padahan/foreshadowing, yaitu pengarang memasukkan butir-butir dongeng yang memberi bayangan akan terjadinya sesuatu, sehingga seakan-akan mempersiapkan insiden yang akan datang.
3.2 Cara Penyajian Alur :
v Linear à Peristiwa-peristiwa dalam dongeng yang disampaikan secara berurutan/ kronologis.
  • Ab ovo/alur maju/alur lurus : Cerita diawali dengan insiden pertama dalam urutan waktu terjadinya, yaitu pengarang memaparkan eksistensi tokoh utamanya lebih dahulu sebelum tokoh tersebut berlakuan (misalnya pada ‘Hikayat Hang Tuah’). 
  • In medias res/alur mundur/alur flash back : Sejak awal cerita, para tokoh sudah pribadi berlakuan. Keberadaan si tokoh dipaparkan secara bertahap, baik dalam insiden pertama maupun insiden lanjutan (misalnya pada ‘Belenggu’). 
Cerita rekaan yang diawali dengan in medias res biasanya menggunakan sejumlah sorot balik.
v Gabungan à Alur maju dan mundur yang dipakai secara gotong royong dalam sebuah cerita.

4. Karakterisasi/Perwatakan
Karakterisasi/perwatakan yaitu cara pengarang menggambarkan watak/sifat tokoh cerita. Ada dua macam karakterisasi, yaitu secara pribadi dan tak langsung. Disebut karakterisasi pribadi apabila pengarang secara pribadi menyebutkan tabiat tokoh-tokoh cerita, contohnya : Rini yaitu seorang gadis yang amat sombong. 

Dari pola di atas nampak bahwa penulis menyebutkan tabiat tokoh Rini secara langsung. Ini berbeda dengan karakterisasi tak pribadi yang menggambarkan tabiat tokoh melalui pendeskripsian tingkah laris dan pemikiran-pemikiran si tokoh. Contoh : Sejak pindah di sekolah itu Rini tak pernah bergaul dengan kawan-kawannya. Bagi Rini, siswa-siswi di sekolah barunya kurang ‘level’. 

Pada masa lampau, pengarang biasanya menggambarkan tabiat tokoh dongeng secara statis, tidak berubah dari awal hingga simpulan cerita. Tokoh yang jahat (Datuk Maringgih dalam “Siti Nurbaya” misalnya), tak pernah bertobat dan tak pernah menjadi baik. Sebaliknya tokoh yang baik digambarkan sangat tepat dari awal hingga dongeng selesai. Karakterisasi mirip ini disebut perwatakan tetap (the flat character). 

Dewasa ini nampaknya pengarang lebih objektif. Watak tokoh dongeng digambarkan sangat manusiawi dan sanggup berubah. Tokoh yang baik suatu ketika sanggup berkembang menjadi jahat, demikian pula sebaliknya. Karakterisasi demikian disebut perwatakan lingkaran (the around character). 

Sehubungan dengan pokok bahasan ini ada baiknya dibicarakan pula pengertian tokoh protagonis, antagonis, confidant, dan figuran.

Protagonis : Tokoh utama dongeng yang berperan sebagai pencetus cerita. Tokoh inilah yang pertama-tama menghadapi perkara dan terlibat dalam kesuliatan. Biasanya pembaca berempati pada tokoh ini.

Antagonis : Tokoh utama yang berperan sebagai penghalang tokoh protagonis. Tokoh ini merupakan lawan protagonis, sehingga karakternya sanggup jadi membuat pembaca jengkel.

Confidant : Tokoh confidant mempunyai tugas sebagai tokoh pembantu yang menjadi kepercayaan protagonis dan atau antagonis. Lewat tokoh ini pembaca sanggup mengenal tabiat dan niat-niat tokoh utama dengan lebih baik. 

Figuran : Tokoh tambahan yang kiprahnya tidak penting bagi keutuhan tema cerita. Figuran dihadirkan untuk membuat suasana biar dongeng lebih hidup. (Tokoh ini lebih sering muncul dalam drama atau film daripada dalam cerpen, novel, maupun roman).

4. Setting/Latar
Yang dimaksud latar/setting yaitu waktu, tempat, dan suasana yang terdapat dalam cerita, contohnya :
  • v zaman penjajahan, masa resesi ekonomi, suatu malam, tahun 2000, dan lain-lain (setting waktu)
  • v di rumah, di kebun, di medan perang, di Indonesia, di stasiun, dan lain-lain (setting tempat)
  • v mengharukan, sedih, mencekam, penuh kegembiraan, mengerikan, dan sebagainya (setting suasana)
5. Point of View/Sudut Pandang Cerita
Point of view menyangkut teknik penceritaan, yaitu melalui tokoh siapa pengarang mengisahkan ceritanya. Pengarang sanggup bercerita melalui tokoh ‘aku’/’saya’, sanggup pula menggunakan tokoh ‘dia’, ‘mereka’, atau seseorang dengan nama tertentu. Berdasarkan hal tersebut kita mengenal beberapa macam point of view.

6.1 Point of View Orang Pertama
Pengarang menggunakan tokoh ‘aku’ sebagai penutur cerita, sehingga seakan-akan kisah yang dituangkan yaitu pengalaman hidupnya sendiri. Tidak jarang pembaca salah duga dan menganggap tokoh ‘aku’ dalam dongeng sebagai gambararan pribadi pengarang. Tentu saja ini menyesatkan dan tidak sanggup dipertanggungjawabkan kebenarannya.

Point of view jenis ini terbagi dua, yaitu orang pertama mayor dan orang pertama minor. Sudut pandang orang pertama mayor yaitu dongeng dengan tokoh utama ‘aku’ atau ‘saya’; sedangkan sudut pandang orang pertama minor, tokoh utamanya orang ketiga (‘dia’, ‘ia’ atau nama orang). Cerita dengan sudut pandang ini menghadirkan tokoh ‘aku’ atau ‘saya’ hanya sebagai penutur kisah yang menceritakan kehidupan tokoh utama.

6.2 Point of View Orang Ketiga
Tokoh utama dongeng dengan point of view ini yaitu ‘dia’, ‘ia’, atau seseorang dengan nama tertentu. Di sini pengarang sanggup bertindak sebagai yang mahatahu (omniscient point of view), sanggup pula mendudukkan diri di luar dongeng (objective point of view). 

Pada dongeng dengan sudut pandang omniscient, pengarang bertindak sebagai pencipta segalanya. Ia sanggup mengemukakan perasaan, kesadaran, dan jalan pikiran pelaku cerita. Pengarang juga sanggup mengomentari kelakuan para tokoh cerita, bahkan sanggup bicara pribadi dengan pembacanya. Karya sastra usang umumnya menggunakan teknik point of view ini.

Contoh :
Sejak insiden itu hatinya sangat sedih, bahkan sudah mendekati rasa putus asa. Jika tidak takut mati, ia niscaya sudah bunuh diri. Sebenarnya ia berharap Amel mau mengerti dan memberinya support, tapi yang terjadi Amel malah meninggalkannya.

Pada dongeng dengan objective point of view, pengarang semata-mata menyuguhkan “pandangan mata”. Ia hanya menceritakan yang sanggup ditangkap oleh indera penglihatan dan indera pendengaran saja. Hal-hal yang tidak sanggup dilihat dan didengar, contohnya jalan pikiran tokoh, keinginannya, bunyi hatinya, ataupun perasaannya tidak diungkapkan.

Contoh :
Tak henti-hentinya ia menangis. Sesekali ia mengepalkan tangan, memukul-mukul dada sendiri, dan sesekali berikutnya ia menjerit histeris sambil menarik-narik rambutnya. Tiba-tiba ia menghampiri sekaleng obat serangga. Ia mengangkat kaleng itu sambil memejamkan mata, kemudian menempelkannya di bibir. Air mata makin deras mengalir dan dadanya terguncang-guncang oleh isak tangis. Setelah beberapa saat, tiba-tiba… diletakkannya kembali kaleng obat serangga itu.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel