Pengertian Merk Image Berdasarkan Ahli
Saturday, July 27, 2019
Edit
Pengertian Brand Image
Citra merek mengacu pada denah memori akan sebuah merek, yang berisikan interpretasi konsumen atas atribut, kelebihan, penggunaan, situasi, para pengguna, dan karakteristik pemasar dan/atau karakteristik pembuat dari produk/merek tersebut. Citra merek ialah apa yang konsumen pikirkan dan rasakan ketika mendengar atau melihat nama suatu merek. Atau dengan kata lain, gambaran merek merupakan bentuk atau gambaran tertentu dari suatu jejak makna yang tertinggal di benak khalayak konsumen (Wijaya,2011a), yang kemudian menuntun khalayak konsumen tersebut untuk bersikap terhadap merek, apakah akan mencoba kemudian menyertainya atau sekadar coba-coba kemudian pergi, atau sama sekali tidak ingin mencoba alasannya ialah gambaran yang jelek atau tidak relevan dengan kebutuhan khalayak konsumen. Brand image berdasarkan Supranto dan Limakrisna (2007:132) ialah apa yang customer pikir atau rasakan ketika mereka mendengar atau melihat nama suatu merek atau pada pada dasarnya apa yang customer telah pelajari perihal merek. Brand image disebut juga memori merek yang skemati, berisi interpretasi pasar sasaran perihal atribut atau karakteristik produk, manfaat produk, situasi penggunaan, dan karakteristik pemasar.
Menurut Tony Sitinjak (2005:172) dalam tulisannya yang berjudul “Pengaruh Citra Merek dan Sikap Merek Terhadap Ekuitas Merek” dalam jurnal administrasi merek mengutarakan bahwa gambaran merek merupakan bentuk holistik untuk semua asosiasi merek yang berkaitan dengan merek. Brand image merupakan aspek yang sangat penting dari merek, gambaran sanggup didasarkan kepada kenyataan atau fiksi tergantung bagaimana nasabah mempersepsikan. Dan untuk mengukur gambaran merek sanggup dikaitkan dengan dimensi kualitas pelayanan.
Menurut Tjiptono (2011:112), merk image atau merk description yakni deskripi perihal asosiasi dan keyakinan konsumen terhadap merek tertentu. Sejumlah teknik kuantitatif dan kualitatif telah dikembangkan untuk membantuk mengungkap presepsi dan asosiasi konsumen terhadap sebuah merek tertentu, diantaranya multidimensional scaling, projection techniques, dan sebagainya.
Fungsi dan Peran Brand Image
Boush dan Jones (dalam Kahle & Kim, 2006: 6-8) mengemukakan bahwa gambaran merek (brand image) mempunyai beberapa fungsi, di antaranya:
1. Pintu masuk pasar (Market Entry)
Berkaitan dengan fungsi market entry, gambaran merek berperan penting dalam hal pioneering advantage, merk extension, dan merk alliance. Produk pionir dalam sebuah kategori yang mempunyai gambaran merek kuat akan mendapatkan laba alasannya ialah biasanya produk follower kalah pamor dengan produk pionir, contohnya Aqua. Bagi follower tentunya akan membutuhkan biaya tinggi untuk menggeser produk pionir yang mempunyai gambaran merek kuat tersebut. Di sinilah laba produk pionir (first-mover/pioneering adavantages) yang memilki gambaran merek kuat dibandingkan produk pionir yang mempunyai gambaran lemah atau produk komoditi tanpa merek.
2. Sumber nilai tambah produk (Source of Added Product Value)
Fungsi berikutnya dari gambaran merek ialah sebagai sumber nilai tambah produk (source of added product value). Para pemasar mengakui bahwa gambaran merek tidak hanya merangkum pengalaman konsumen dengan produk dari merek tersebut, tapi benar-benar sanggup mengubah pengalaman itu. Sebagai contoh, konsumen terbukti merasa bahwa masakan atau minuman dari merek favorit mereka mempunyai rasa yang lebih baik dari kompetitor jika diuji secara unblinded dibandingkan jika diuji secara blinded taste tests (Allison & Uhl, 1964). Dengan demikian gambaran merek mempunyai tugas yang jauh lebih kuat dalam menambah nilai produk dengan mengubah pengalaman produk (Aaker & Stayman, 1992; Puto & Wells, 1984).
3. Penyimpan nilai perusahaan (Corporate Store of Value)
Nama merek merupakan penyimpan nilai dari hasil investasi biaya iklan dan peningkatan kualitas produk yang terakumulasikan. Perusahaan sanggup memakai penyimpan nilai ini untuk mengkonversi ide pemasaran strategis menjadi laba kompetitif jangka panjang. Misalnya, merek Hallmark diuntungkan dari keputusan yang dibentuk selama 1950 untuk mensponsori beberapa acara televisi berkualitas tinggi secara khusus setiap tahun.
4. Kekuatan dalam penyaluran produk (Channel Power)
Sementara itu, nama merek dengan gambaran yang kuat berfungsi baik sebagai indikator maupun kekuatan dalam kanal distribusi (channel power). Ini berarti merek tidak hanya berperan penting secara horizontal dalam menghadapi pesaing mereka, tetapi juga secara vertikal dalam memperoleh kanal distribusi dan mempunyai kontrol ,dan daya tawar terhadap persyaratan yang dibentuk distributor (Aaker, 1991; Porter, 1974). Sebagai contoh, taktik merek ekstensi Coca Cola bisa dibilang menuntaskan tiga fungsi sekaligus. Perpanjangan izin masuk pasar dengan biaya lebih rendah, menghambat persaingan dengan menguasai shelf space, dan juga sanggup memberikan daya tawar dalam hal perundingan perdagangan, alasannya ialah Coca Cola dianggap mempunyai kekuatan dalam meningkatkan penjualan.
Manfaat Brand Image
Manfaat merek bagi produsen berdasarkan Keller dalam Tjiptono (2005:20-21), dikatakan bahwa merek berperan sebagai :
- Sarana identifikasi untuk memudahkan proses penanganan atau pelacakan produk bagi perusahaan, terutama dalam pengorganisasian persediaan dan pencatatan akuntansi
- Bentuk proteksi aturan terhadap fitur yang unik. Merek bisa mendapatkan proteksi property intelektual. Nama merek bisa diproteksi melalui merek dagang terdaftar (registered trademarks), proses pemanufakturan bisa dilindungi melalui hak paten, dan kemasan bisa diproteksi melalu hak cipta (copyrights) dan desain. Hak-hak property intelektual ini memberikan jaminan bahwa perusahaan sanggup berinvestasi dengan kondusif dalam merek yang dikembangkannya dan meraup manfaat dari aset bernilai tersebut.
- Signal tingkat kualitas bagi para pelanggan yang puas, sehingga mereka bisa dengan gampang menentukan dan membelinya lagi dilain waktu. Loyalitas merek ibarat ini menghasilkan predictability dan security undangan bagi perusahaan dan membuat kendala masuk yang menyulitkan bagi perusahaan lain untuk masuk pasar.
- Sarana membuat asosiasi dan makna unik yang membedakan produk dari para pesaing.
- Sumber keunggulan kompetitif, terutama melalui proteksi hukum, loyalitas pelanggan, dan gambaran unik yang terbentuk di dalam benak konsumen.
- Sumber financial returns, terutama menyangkut pendapatan masa datang.
Faktor Pembentuk Brand Image
Menurut Arnoul, et al. (2005:120-122) faktor yang membentuk gambaran merek adalah:
1. Faktor lingkungan
Faktor ini sanggup memengaruhi di antaranya ialah atribut-atribut teknis yang ada pada suatu produk di mana faktor ini sanggup dikontrol oleh produsen. Di samping itu, sosial budaya juga termasuk dalam faktor ini.
2. Faktor personal
Faktor personal ialah kesiapan mental konsumen untuk melaksanakan proses persepsi, pengalaman konsumen sendiri, mood, kebutuhan serta motivasi konsumen. Citra merupakan produk tamat dari sikap awal dan pengetahuan yang terbentuk lewat proses pengulangan yang dinamis alasannya ialah pengalaman.
Dimensi Brand Image
Menurut Bambang Sukma Wijaya (2011) menyimpulkan bahwa dimensi-dimensi utama yang mensugesti dan membentuk gambaran sebuah merek tertuang dalam gambar.
1. Brand Identity
Dimensi pertama ialah merk identity atau identitas merek. Brand identity merupakan identitas fisik yang berkaitan dengan merek atau produk tersebut sehingga konsumen gampang mengenali dan membedakannya dengan merek atau produk lain, ibarat logo, warna, kemasan, lokasi, identitas perusahaan yang memayunginya, slogan, dan lain-lain.
2. Brand Personality
Dimensi kedua ialah merk personality atau personalitas merek. Brand personality ialah huruf khas sebuah merek yang membentuk kepribadian tertentu sebagaimana layaknya manusia, sehingga khalayak konsumen dengan gampang membedakannya dengan merek lain dalam kategori yang sama, contohnya huruf tegas, kaku, berwibawa, ningrat, atau murah senyum, hangat, penyayang, berjiwa sosial, atau dinamis, kreatif, independen, dan sebagainya.
3. Brand Association
Dimensi ketiga ialah merk association atau asosiasi merek. Brand association ialah hal-hal spesifik yang pantas atau selalu dikaitkan dengan suatu merek, bisa muncul dari penawaran unik suatu produk, acara yang berulang dan konsisten contohnya dalam hal sponsorship atau kegiatan social responsibility, isu-isu yang sangat kuat berkaitan dengan merek tersebut, ataupun person, simbol-simbol dan makna tertentu yang sangat kuat menempel pada suatu merek, contohnya “ingat beras ingat cosmos”, art + technology = apple, bola = Djarum, koboi = Marlboro, kulit putih = Ponds, Surya Paloh = MetroTV, Korupsi = Partai Demokrat, Konflik = PSSI, Gramedia = Buku, Lifebuoy = Kebersihan, anak muda rebel = A Mild, dan sebagainya.
4. Brand Attitude & Behavior
Dimensi keempat ialah merk attitude atau sikap dan sikap merek. Brand attitude and behavior ialah sikap atau sikap komunikasi dan interaksi merek dengan konsumen dalam memberikan benefit-benefit dan nilai yang dimilikinya. Kerap sebuah merek memakai cara-cara yang kurang pantas dan melanggar adab dalam berkomunikasi, pelayanan yang jelek sehingga mensugesti pandangan publik terhadap sikap dan sikap merek tersebut, atau sebaliknya, sikap dan sikap simpatik, jujur, konsisten antara kesepakatan dan realitas, pelayanan yang baik dan kepedulian terhadap lingkungan dan masyarakat luas membentuk persepsi yang baik pula terhadap sikap dan sikap merek tersebut. Kaprikornus merk attitude and behavior meliputi sikap dan sikap komunikasi, acara dan atribut yang menempel pada merek dikala berafiliasi dengan khalayak konsumen, termasuk sikap karyawan dan pemilik merek.
5. Brand Benefit & Competence
Dimensi kelima ialah merk benefit and competence atau manfaat dan keunggulan merek. Brand benefit and competence merupakan nilai-nilai dan keunggulan khas yang ditawarkan oleh suatu merek kepada konsumen yang membuat konsumen sanggup mencicipi manfaat alasannya ialah kebutuhan, keinginan, mimpi dan obsesinya terwujudkan oleh apa yang ditawarkan tersebut. Nilai dan benefit di sini sanggup bersifat functional, emotional, symbolic maupun social, contohnya merek produk deterjen dengan benefit membersihkan pakaian (functional benefit/values), menimbulkan pemakai pakaian yang dibersihkan jadi percaya diri (emotional benefit/values), menjadi simbol gaya hidup masyarakat modern yang higienis (symbolic benefit/values), dan memberi pandangan gres bagi lingkungan untuk peduli pada kebersihan diri, lingkungan dan hati nurani (social benefit/values). Manfaat, keunggulan dan kompetensi khas suatu merek akan memengaruhi merk image produk, individu atau lembaga/perusahaan tersebut.
Customer Loyaly
1 Pengertian Customer Loyalty
Loyalitas atau kesetiaan didefinisikan sebagai komitmen yang dipegang kuat untuk membeli atau berlangganan lagi produk atau jasa tertentu di masa depan meskipun ada imbas situasi dan perjuangan pemasaran yang berpotensi menimbulkan perubahan sikap (Kotler dan Keller, 2007:175).
Griffin (2005:5) beropini bahwa seorang konsumen dikatakan setia atau loyal apabila konsumen tersebut memperlihatkan sikap pembelian secara teratur atau terdapat suatu kondisi dimana mewajibkan konsumen membeli paling sedikit dua kali dalam selang waktu tertentu. Upaya memberi kepuasan konsumen dilakukan untuk mensugesti sikap konsumen, sedangkan konsep loyalitas konsumen lebih berkaitan dengan sikap daripada sikap dari konsumen.
Menurut Kotler (2005:178) menyampaikan “ The long term success of the a particular merk is not based on the number of consumer who purchase it only once, but on the number who become repeat purchase “. Dalam hal ini sanggup disimpulkan bahwa konsumen yang loyal tidak diukur dari berapa banyak beliau membeli, tapi dari seberapa sering beliau melaksanakan pembelian ulang, termasuk di sini merekomendasikan orang lain untuk membeli.
Berdasarkan kutipan dari Sheth & Mittal (2004) dalam Tjiptono (2007:387), loyalitas konsumen ialah komitmen konsumen terhadap suatu merek, toko atau pemasok berdasarkan sifat yang sangat positif dan tercermin dalam pembelian ulang yang konsisten. Dua kondisi penting yang berafiliasi dengan loyalitas ialah retensi konsumen (customer retention) dan total pangsa konsumen (total share of customer).
Menurut Gremler dan Brown (1997) dalam Hasan (2009:83) bahwa loyalitas konsumen ialah konsumen yang tidak hanya membeli ulang barang dan jasa, tetapi juga mempunyai komitmen dan sikap yang positif terhadap perusahaan jasa, contohnya dengan merekomendasikan orang lain untuk membeli. Definisi ini menempatkan loyalitas sebagai sebuah komitmen sikap menghasilkan empat kemungkinan loyalitas yaitu loyal, loyalitas palsu atau pura-pura, loyal yang tersembunyi, dan tidak loyal.
2 Tahap Perkembangan Customer Loyalty
Menurut Hasan (2008:86), loyalitas berkembang melalui empat tahap, yaitu :
- Kognitif,
- Afektif,
- Konatif, da
- Tindakan.
Tinjauan ini memperkirakan bahwa konsumen menjadi loyal lebih dulu pada aspek kognitifnya, berturut kemudian pada aspek afektif, konatif dan kesannya pada tindakan.
1. Tahap pertama : Loyalitas Kognitif
Konsumen yang mempunyai loyalitas tahap pertama ini memakai basis informasi yang memaksa menunjuk pada satu merek atas merek lainnya, loyalitasnya hanya didasarkan pada aspek kognisi saja. Contoh, sebuah swalayan secara konsisten selalu memberikan harga yang lebih rendah dari pesaing yang ada. Informasi ini cukup memaksa konsumen selalu berbelanja di swalayan tersebut.
2. Tahap kedua : Loyalitas Afektif
Loyalitas tahap kedua didasarkan pada aspek afektif konsumen. Sikap merupakan fungsi dari kognisi pengharapan pada periode awal pembelian (masa prakonsumsi) dan merupakan fungsi dari sikap sebelumnya ditambah kepuasan di periode berikutnya (masa pascakonsumsi).
3. Tahap ketiga : Loyalitas Konatif
Dimensi konatif (niat melakukan) dipengaruhi oleh perubahan-perubahan afektif terhadap merek. Konasi membuktikan suatu niat untuk melaksanakan sesuatu kearah tujuan tertentu. Loyalitas konatif merupakan suatu kondisi loyal yang meliputi komitmen mendalam untuk melaksanakan pembelian. Jenis komitmen ini sudah melampaui afektif, kepingan dari motivasi untuk mendapatkan merek yang disukai. Afektif hanya membuktikan kecenderungan motivasi, sedangkan komitmen membuktikan melaksanakan suatu keinginan untuk menjalankan tindakan. Keinginan untuk membeli kembali atau menjadi loyal itu hanya merupakan tindakan yang terantisipasi tetapi belum terlaksana.
4. Tahap keempat : Loyalitas Tindakan
Meskipun pembelian ulang ialah suatu tindakan yang sangat penting bagi pemasar, penginterprestasian loyalitas hanya pada pembelian ulang saja tidak cukup, alasannya ialah konsumen yang membeli ulang belum tentu memmpunyai sikap positif terhadap barang atau jasa yang dibeli. Pembelian ulang dilakukan bukan alasannya ialah puas, melainkan mungkin alasannya ialah terpaksa atau faktor lainnya. Oleh alasannya ialah itu untuk mengenali sikap loyal dilihat dari dimensi ini, yaitu dari komitmen pembelian ulang yang ditujukan pada suatu produk dalam kurun waktu tertentu secara teratur.
3 Keuntungan Customer Loyalty
Griffin (2005:223) mengemukakan keuntungan-keuntungan yang akan diperoleh perusahaan apabila mempunyai konsumen yang loyal antara lain:
- Mengurangi biaya pemasaran (karena biaya untuk menarik konsumen gres lebih mahal)
- Mengurangi biaya transaksi (seperti biaya perundingan kontrak, pemrosesan pesanan dan lain-lain)
- Mengurangi biaya turn over konsumen (karena pergantian konsumen lebih sedikit)
- Meningkatkan penjualan silang yang akan memperbesar pangsa pasar perusahaan
- Word of mouth yang lebih positif, dengan perkiraan bahwa konsumen yang loyal juga berarti mereka yang merasa puas
- Mengurangi biaya kegagalan (seperti biaya penggantian, dll)
4 Pengukuran Customer Loyalty
Menurut Ahmad Mardalis (2005: 34) loyalitas sanggup diukur berdasarkan:
1. Urutan pilihan (choice sequence)
Metode urutan pilihan atau disebut juga pola pembelian ulang ini banyak digunakan dalam penelitian dengan memakai panel-panel acara harian konsumen lainnya, dan lebih terkini lagi, data scanner supermarket.
2. Proporsi pembelian (proportion of purchase)
Berbeda dengan runtutan pilihan, cara ini menguji proporsi pembelian total dalam sebuah kelompok produk tertentu. Data yang dianalisis berasal dari panel konsumen.
3. Preferensi (preference)
Cara ini mengukur loyalitas dengan memakai komitmen psikologis atau pernyataan preferensi. Dalam hal ini, loyalitas dianggap sebagai “sikap yang positif” terhadap suatu produk tertentu, sering digambarkan dalam istilah niat untuk membeli.
4. Komitmen (commitment)
Komitmen lebih terfokus pada komponen emosional atau perasaan. Komitmen terjadi dari keterkaitan pembelian yang merupakan akhir dari keterlibatan ego dengan kategori merek. Keterlibatan ego tersebut terjadi ketika sebuah produk sangat berkaitan dengan nilai-nilai penting, keperluan, dan konsep diri konsumen.
5 Dimensi Customer Loyalty
Berbeda dari kepuasan, loyalitas sanggup didefinisikan berdasarkan sikap membeli. Menurut Griffin (2005:31) konsumen yang loyal merupakan orang yang:
- Melakukan pembelian ulang secara teratur
- Membeli antarlini produk dan jasa
- Mereferensikan kepada orang lain
- Menunjukkan kekebalan terhadap tarikan dari pesaing.
Indikator dari loyalitas konsumen berdasarkan Kotler & Keller ( 2006:57 ) adalah
- Repeat Purchase (kesetiaan dalam pembelian produk)
- Retention (ketahanan terhadap imbas negatif mengenai perusahaan)
- Referrals (mereferensikan secara total eksistensi perusahaan)
6 Meningkatkan Customer Loyalty
Menurut Grifin (2005:22), dalam buku “Customer Loyalty”, ada empat cara biar konsumen tidak meninggalkan perisahaan, yaitu:
1. Mempermudah konsumen untuk memberi umpan balik kepada perusahaan.
Salah satu kegiatan yang paling menguntungkan bagi perusahaan ialah mencari keluhan konsumen, memudahkan konsumen untuk memberikan umpan balik dengan cara bertanya kepada konsumen secara teratur mengenai pembelian terakhir mereka seperti: apakah pembelian itu memenuhi kebutuhan mereka, apakah itu yang mereka harapkan serta bagaimana cara meningkatkannya.
2. Bila konsumen membutuhkan bantuan, berikanlah dengan segera.
Setelah perusahaan memperoleh umpan balik dari konsumen, perusahaan harus bertindak dengan cepat. Bila konsumen menghubungi untuk memberikan keluhan, perusahaan harus memberi respon dengan segera, sebaiknya dengan menegaskan maksud perusahaan untuk menuntaskan persoalan secepat mungkin.
3. Mengurangi kejengkelan atas reparasi, pembayaran kembali dan pemberian jaminan reparasi, pembayaran kembali, dan pemberian jaminan sering menjadi sumber kekecewaan para konsumen.
4. Mempelajari cara menghibur konsumen yang marah.
Dengan sistem umpan balik dan keluhan konsumen yang meningkat mutunya, terjadi interaksi dengan konsumen. Bila perusahaan berhadapan dengan konsumen yang marah, perlakukan konsumen tersebut dengan penuh perhatian.
7 Tahap Pertumbuhan Loyalitas
Menurut Grifin (2002:35) menyatakan bahwa tingkat loyalitas terdiri dari:
1. Suspect
Meliputi orang yang mungkin akan membeli barang atau jasa perusahaan.
2. Prosect
Orang-orang yang mempunyai kebutuhan akan produk atau jasa tertentu, dan mempunyai keyakinan untuk membelinya.
3. Disqulified Prospect
Prospek yang telah mengetahui eksistensi barang atau jasa tertentu, tetapi tidak mempunyai kemampuan untuk membeli barang atau jasa tersebut.
4. First Time Customers
Konsumen yang membeli untuk pertama kalinya, mereka masih menjadi konsumen baru.
5. Repeat Customers
Konsumen yang telah melaksanakan pembelian suatu produk sebanyak dua kali atau lebih.
6. Clients
Pembeli semua barang atau jasa yang mereka butuhkan dan tawarkan perusahaan, mereka membeli secara teratur.
7. Advocates
Layaknya clients, advocates membeli seluruh barang atau jasa yang ditawarkan yang ia butuhkan, serta melaksanakan pembelian secara teratur sebagai pemanis mereka mendorong teman-teman mereka yang lain biar membeli barang atau jasa tersebut.
8 Jenis-jenis Loyalitas
Menurut Griffin (2005:22), menyatakan bahwa jenis loyalitas sanggup dibagi menjadi:
1. Tanpa loyalitas
Beberapa konsumen tidak menyebarkan loyalitas terhadap produk atau jasa tertentu. Tanpa loyalitas ditandai dengan keterikatannya yang rendah dikombinasikan dengan tingkat pembelian yang rendah pula. Secara umum, perusahaan harus menghindari membidik para pembeli jenis ini alasannya ialah mereka tidak akan menjadi konsumen yang loyal.
2. Loyalitas yang lemah
Ditandai dengan keterikatan yang rendah digabung dengan pembelian berulang yang tinggi menghasilkan loyalitas yang lemah. Konsumen ini membeli alasannya ialah kebiasaan. Dengan kata lain, faktor nonsikap dan faktor situasi merupakan alasan utama membeli. Loyalitas jenis ini paling umum terjadi pada produk yang sering dibeli.
3. Loyalitas tersembunyi
Tingkat keterikatan yang relatif tinggi digabung dengan tingkat pembelian berulang yang rendah memperlihatkan loyalitas tersembunyi. Bila konsumen mempunyai loyalitas tersembunyi, imbas situasi dan bukan imbas sikap yang menentukan pembelian berulang.
4. Loyalitas premium
Loyalitas premium, jenis loyalitas yang paling sanggup ditingkatkan, terjadi bila ada keterikatan yang tinggi dan tingkat pembelian ulang yang juga tinggi. Ini merupakan jenis loyalitas yang lebih disukai untuk semua konsumen di setiap perusahaan.
Hubungan Antar Variabel
Hubungan yang ada antara variabel yang diteliti sanggup dijabarkan sebagai berikut
1 Hubungan Service Quality Dengan Brand Image
Hubungan antara service quality dan merk image tidak kuat terhadap perusahaan. Menurut Malik, et al. (2011) hanya empathy, responsiveness, dan reliability yang mempunyai imbas terhadap pembangunan merk image, sedangkan assurance dan tangibles tidak memberikan kontribusi apa-apa yang signifikan dalam memelihara merk image. Kaprikornus dalam membangun konsepsi merk image dan memperkuat kesadaran merek. Yang harus dilakukan ialah memperhatikan faktor yang sanggup mendapatkan amanah dan membangun korelasi konsumen, meningkatkan prestasi karyawan, membuat keunggulan inti, meningkatkan faktor respon, dan meningkatkan efisiensi kerja untuk faktor tenggang rasa dan menambahkan nilai tambah dan memperluas merk awareness. Dan berdasarkan Momeni, et al. (2013) pada jurnalnya “Factors Influencing Brand Image in Banking Industry of Iran” menyatakan bahwa service quality yang diterapkannya di industri perbankan tidak mempunyai korelasi dengan merk image dan mengharapkan adanya penelitian lebih lanjut untuk mengetahui korelasi antara service quality dan merk image di industri yang lain alasannya ialah dalam penerapan service quality di industri perbankan tidak mempunyai pengaruh.
2 Hubungan Brand Image Dengan Customer Loyalty
Menurut Juthamard Sirapracha dan Gerard Tocquer (2012) penelitian ini memperluas penelitian jasa sekarang dengan mengeksplorasi korelasi antara pengalaman konsumen, gambaran merek, dan loyalitas konsumen. Dengan kata lain, penelitian ini memperlihatkan bahwa persepsi konsumen dari interaksi mereka dengan perusahaan jasa dipengaruhi oleh pengalaman layanan disampaikan. Penelitian ini mempunyai beberapa implikasi manajerial juga. Para pemasar dari penyedia layanan sanggup memakai hasil penelitian untuk meningkatkan ekuitas merek mereka melalui pengiriman pengalaman konsumen yang menarik dalam banyak aspek.
Dengan berfokus pada pengalaman konsumen, merek layanan mempunyai pandangan holistik apa yang mereka berikan untuk konsumen. Oleh alasannya ialah itu, semua fungsi manajerial dan departemen harus selaras untuk memberikan pengalaman konsumen yang menarik secara keseluruhan melalui interaksi dengan konsumen. Dan dampak dari kedua pengalaman konsumen dan komunikasi pemasaran pada korelasi pengetahuan merek dan merek. Perbandingan ini akan membantu memperlihatkan bahwa merek layanan membutuhkan benar-benar pendekatan yang berbeda
3 Hubungan Service Quality Dengan Customer Loyalty
Menurut Kheng, et al (2010) Meskipun layanan konsumen telah dievaluasi lama, tetapi masih satu studi yang bank harus terus melaksanakan dalam rangka memenuhi. Teknologi gres harus dimasukkan sebagai faktor untuk mengukur service quality dalam penelitian selanjutnya. Penelitian dan kuesioner terkait juga harus diakomodasi dengan persyaratan konsumen baru. Sebuah pemahaman yang lebih terang untuk urutan korelasi antara service quality dan customer loyalty, sanggup membantu untuk memastikan sasaran yang lebih baik dari konsumen yang memakai sumber daya pemasaran yang terbatas.
Sedangkan berdasarkan Al-Rousan, et al. (2010) Dalam penelitian ini, skala untuk mengukur service quality diusulkan melalui faktor analisis eksploratori dimana mempunyai pengetahuan perihal faktor tersebut niscaya akan membantu manajer memenuhi tantangan untuk meningkatkan service quality. Penelitian ini juga mengidentifikasi lima dimensi kualitas pelayanan pariwisata, yaitu tangibility, reliability, responsiveness, assurance, dan empathy, yang semuanya memperlihatkan bahwa faktor yang paling penting dalam memprediksi jasa ialah tangibility, diikuti oleh empathy, reliability, dan responsiveness. Sedangkan pemantauan customer loyalty menjadi fokus penting untuk semua manajer. Kegagalan untuk mengenali kekuatan kepuasan konsumen, khususnya emosi mereka, bisa menghancurkan kekuatan retensi dan loyalitas konsumen. Oleh alasannya ialah itu, tantangan terbesar tidak hanya terletak untuk menarik konsumen namun secara khusus berfokus dengan mengidentifikasi kepuasan konsumen secara individual.
SUMBER;