Teori Pembangunan
Friday, July 19, 2019
Edit
TEORI DAN INDIKATOR PEMBANGUNAN
Konsepsi pembangunan bahwasanya tidak perlu dihubungkan dengan aspek-aspek spasial. Pembangunan yang sering dirumuskan melalui kebijakan ekonomi dalam banyak hal menunjukan keberhasilan. Hal ini antara lain sanggup dilukiskan di negara-negara Singapura, Hongkong, Australia, dan negara-negara maju lain. Kebijakan ekonomi di negara-negara tersebut umumnya dirumuskan secara konsepsional dengan melibatkan pertimbangan dari aspek sosial lingkungan serta didukung prosedur politik yang bertanggung jawab sehingga setiap kebijakan ekonomi sanggup diuraikan kembali secara transparan, adil dan memenuhi kaidah-kaidah perencanaan. Dalam aspek sosial, bukan saja aspirasi masyarakat ikut dipertimbangkan tetapi juga keberadaan lembaga-lembaga sosial (social capital) juga ikut dipelihara bahkan fungsinya ditingkatkan. Sementara dalam aspek lingkungan, aspek fungsi kelestarian natural capital juga sangat diperhatikan demi kepentingan umat manusia. Dari semua itu, yang terpenting pengambilan keputusan juga berjalan sangat higienis dari bermacam-macam sikap lobi yang bernuansa kekurangan (moral hazard)yang dipenuhi kepentingan tertentu (vested interest) dari laba semata (rent seeking). Demikianlah, hasil-hasil pembangunan sanggup dinikmati oleh seluruh masyarakat secara adil melintasi (menembus) batas ruang (inter-region) dan waktu(inter-generation). Implikasinya kajian aspek spasial menjadi kurang relevan dalam keadaan empirik yang telah dilukiskan di atas (Nugroho dan Rochmin Dahuri, 2004).
Namun demikian, konsepsi pembangunan yang dikemukakan di atas sejalan dengan kajian terhadapnya maupun implementasi diberbagai negara dan wilayah lain, dikemukakan banyak sekali kelemahan. Kelemahan tersebut muncul seiring ditemukannya fenomena yang khas, antara lain kesenjangan, kemiskinan, pengelolaan public goodyang tidak tepat, lemahnya prosedur kelembagaan dan sistem politik yang kurang berkeadilan. kelemahan-kelemahan itulah yang menjadi penyebab kendala terhadap gerakan maupun pedoman penduduk, barang dan jasa, prestasi, dan laba (benefit)dan kerugian (cost) di dalamnya. Seluruh sumberdaya ekonomi dan non-ekonomi menjadi terdistorsi alirannya sehingga divergence menjadi makin parah. Akibatnya, hasil pembangunan menjadi gampang diketemukan antar wilayah, sektor, kelompok masyarakat, maupun pelaku ekonomi. implisit, juga terjadi dichotomy antar waktu dicerminkan oleh ketidakpercayaan terhadap sumberdaya ketika ini alasannya ialah penuh dengan banyak sekali resiko (high inter temporal opportunity cost). Keadaan ini bukan saja jauh dari nilai-nilai moral tapi juga cerminan dari kehancuran (in sustainability). Ikut main di dalam permasalahan di atas ialah prosedur pasar yang beroperasi tanpa batas. Perilaku ini tidak bisa dihambat alasannya ialah beroperasi sangat massif, terus-menerus, dan sanggup diterima oleh budi ekonomi disamping didukung oleh kebanyakan kebijakan ekonomi secara sistematis.
Kecendrungan globalisasi dan regionalisasi membawa sekaligus tantangan dan peluang gres bagi proses pembangunan di Indonesia. Dalam periode menyerupai ini, kondisi persaingan antar pelaku ekonomi (badan perjuangan dan/atau negara) akan semakin tajam. Dalam kondisi persaingan yang sangat tajam ini, tiap pelaku ekonomi (tanpa kecuali) dituntut menerapkan dan mengimplementasikan secara efisien dan efektif seni administrasi bersaing yang sempurna (Kuncoro, 2004). Dalam konteksi inilah diharapkan ”strategi berperang” modern untuk memenangkan persaingan dalam lingkungan hiperkompetitif diharapkan tiga hal (D’Aveni, 1995), pertama, visi terhadap perubahan dan gangguan. Kedua, kapabilitas, dengan mempertahankan dan menyebarkan kapasitas yang fleksibel dan cepat merespon setiap perubahan. Ketiga, taktik yang menghipnotis arah dan gerakan pesaing.
SUMBER;