Perbandingaan Cerpen Berdasarkan Ahli

ANALISIS PERBANDINGAN STRUKTURAL CERPEN “SELAMAT JALAN NEK” KARYA DANARTO DAN CERPEN “POHON” KARYA MONAJ DAS
Abstrak
Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan kemiripan dua cerpen dari penga­rang yang berbeda latar budaya, yakni Indonesia dan India. Sumber data ialah cerpen “Selamat Jalan Nek!” karya Danarto (Indonesia) dan cerpen “Pohon” karya Monaj Das (India). Analisis pem­bandingan dilakukan dengan cara: pembacaan dan pemahaman mendalam, identifi­ka­si titik ibarat pada aspek struktural, pembandingan dan penafsiran titik mirip. Hasil pemban­dingan menunjukan bahwa rangkaian insiden yang membangun alur dua cerpen tersebut mempunyai kemiripan pada awal dan simpulan cerita. Cara pengarang menampilkan tokoh-tokoh mempunyai kemiripan, khususnya pada aspek fisiologis dan sosiologis tokoh. Tema kedua cer­pen mempunyai kemiripan, yakni perten­tangan antara unsur modernitas yang diwakili kaum muda dengan tradisionalitas yang diwakili kaum tua. Oleh lantaran kedua pengarang tidak saling berinteraksi maka kemiripan yang terjadi lebih disebabkan oleh faktor analogi.
Kata kunci: sastra perbandingan, titik kemiripan, dan analogi
PENDAHULUAN
Karya sastra sebagai cerminan kehidupan masyarakat, merupakan dunia subjektivi­tas yang diciptakan oleh pengarang yang di dalamnya terdapat banyak sekali aspek kehidupan yang saling berkaitan satu dengan yang lainnya. Aspek kehidupan tersebut berupa aspek sosiolologis, psikologis, filsafat, budaya, dan agama. Keberadaan karya sastra tidak sanggup dilepaskan dari diri pengarang sebagai potongan dari anggota suatu masyarakat. Sehingga dalam penciptaannya, pengarang tidak sanggup terlepas dari lingkungan sosial budaya yang melatarinya.

Sesuatu hal yang mutlak ada pada suatu masyarakat dan sekaligus memperlihatkan adanya masyarakat tersebut yaitu kebudayaan. Kebudayaan selalu dikaitkan dengan sikap penalaran setiap manusia. Sesuai dengan keberadaan penalaran insan yang bersifat dinamis, maka bentuk kebudayaan yang terdapat pada suatu masyarakat juga akan bergeser sejalan dengan dinamika penalaran insan dan perkembangan zaman. Di samping itu, dengan semakin terbukanya interaksi antarmasyarakat yang satu dengan yang lainnya maka hal ini juga akan kuat terhadap kedinamisan kebudayaan. Sebagai akhir lebih jauh dari adanya saling interaksi antarmasyarakat, tidak menutup kemungkinan akan membentuk suatu kebudayaaan gres sebagai hasil dari ketepaduan dua atau lebih kebudyaaan.

Kehidupan dunia sastra sebagai potongan dari kebudayaan suatu masyarakat pada gilirannya juga akan mengalami perkembangan sejalan dengan perkembangan kebudayaan masyarakat. Sehingga ibarat juga yang terjadi pada kebudayaan. Perkembangan sastra juga akan mengalami saling mempengaruhi antarsastra yang hidup pada masyarakat tertentu, dengan sastra lain di luar masyarakat tersebut. Bentuk keterpengaruhan ini akan beraneka ragam, sesuai dengan tingkat interaksi yang telah dan sedang terjadi.

Pada dasarnya, perkembangan suatu masyarakat yang diwujudkan melalui kebu­dayaan sangat tergantung pada faktor-faktor yang ada pada masyarakat itu sendiri. Salah satu faktor utamanya ialah manusianya. Tingkat pemikiran insan yang secara eksklusif maupun tidak eksklusif terbentuk oleh interaksi dengan alam lingkungannya akan memilih kedinamisan perkembangan masyarakat tersebut. Sehingga tidak menutup kemungkinan terjadi perkembangan kebudayaan yang “relatif” sama antara budaya suatu masyarkat dengan budata masyarakat lainnya, walaupun tidak pernah terjadi interaksi. Hal itu sanggup terjadi lantaran faktor-faktor yang kuat terhadap perubahan kebudayaan yang ada pada masyarakat itu, juga terdapat pada masyarakat yang lainnya dan perkembangan yang dialami relatif sama. Gejala yang demikian ini juga ibarat tanda-tanda yang di atas, juga terjadi pada dunia sastra. Dalam arti bahwa, lantaran tingkat perkembangan dan keadaan faktor-faktor yang ada di masyarakatnya mempunyai kedudukan serta kondisi yang sama, maka tidak menutup kemungkinan sastra yang dihasilkan juga relatif sama. Untuk memilih kedudukan apakah memang tanda-tanda ibarat di atas sebagai akhir adanya interaksi atau kebetulan, atau kemungkinan lainnya, maka perlu diadakan pengkajian secara mendalam berdasarkan keberadaan masing-masing masyarakat tersebut. Khusus dalam perkembangan dunia sastra, sebagai upaya untuk melihat dan mungkin memilih gejala-gejala itu, maka sanggup ditempuh dengan adanya cabang ilmu sastra perbandingan.

Sastra perbandingan sebagai suatu disiplin ilmu sastra yang gres saja berkembang, masih memerlukan perjalanan yang panjang untuk mencapai kedudukan sebagai ilmu yang mantap. Perjalanan panjang itu masih harus ditempuh lantaran hingga kini masih terdapat perbedaan pendapat di antara para mahir menyikapi keberadaan sastra perbandingan. Keadaan yang demikian ini bekerjsama sekaligus memperlihatkan kedinamisan perkembangan sastra perbandingan sebagai sebuah ilmu.

Istilah sastra bandingan dalam praktiknya menyangkut bidang studi dan problem lain. Pertama kali istilah sastra bandingan digunakan untuk studi sastra lisan, terutama cerita-cerita rakyat dan migrasinya, serta bagaimana cdan kapan kisah rakyat tersebut masuk ke dalam penulisan dunia sastra yang lebih artistik. Meskipun studi sastra verbal mempunyai permasalahan tersendiri (yaitu problem penyebaran dan latar sosial), permasalahan dasarnya bekerjsama sama dengan sastra tulis. Sehingga ada yang beropini bahwa sastra verbal potongan integral dari sastra tulis dan kesinambungan sastra verbal dan sastra tulis tidak pernah terputus. Dengan demikian, maka istilah sastra bandingan bukan istilah yang dikhususkan untuk studi sastra lisan, tetapi juga menyangkut keberadaan sastra tulis.

Pengertian Dan Ciri-Ciri Cerpen Menurut Pakar
https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=4590033009607805970#editor/target=post;postID=2273064322098256672;onPublishedMenu=allposts;onClosedMenu=allposts;postNum=89;src=link

Kedua, istilah sastra bandingan meliputi studi kekerabatan antara dua kesusastraan atau lebih. Pendekatan tersebut dipelopori oleh kelompok ilmuwan Perancis yang disebut “comparatites”, dipimpin oleh Fernand Baldensperger. Pada kurun waktu ini, yang nampak dalam studi bandingan yaitu permasalahan metodologinya lebih sekedar mengumpulkan informasi tinjauan buku, terjemahan, dan efek (Rene Wellek dan Austin Warren). Perkembangan selanjutnya masih belum menampakkan adanya kemapanan baik secara teoritis maupun metodologis.

Sastra bandingan, sebagai sebuah disiplin ilmu atau kajian akademik, belum begitu usang menerima pengukuhan dari para ilmuwan. Karena perkembangan yang masih pada tahao permulaan inilah, sangat memungkinkan munculnya pengertian-pengertian dan definisi perihal sastra bandingan yang berbeda-beda dari setiap ilmuwan sastra. Munculnya pengertian-pengertian tersebut disertai dengan landasan contoh yang berbeda pula.

Menurut Henry H. Remark sastra bandingan ialah suatu studi sastra di luar perba­tasan suatu negara tertentu dan studi perihal hubungan-hubungan antara kesusastraan di satu pihak dan bidang-bidang pengetahuan dna kepercayaan di pihak lain. Dari pendapat ini memperlihatkan indikasi bahwa studi sastra bandingan mempunyai cakupan yang sangat luas yaitu, 
  1. perbandingan antara sastra dengan sastra yang lain,
  2. perbandingan antara sastra dengan bidang-bidang lainnya yang merupakan hasil ekspresi insan (Henry H Remark dalam Elly N Danardono, 1989).
Membandingkan dua karya sastra atau lebvih dari sedikitnya dua negara yang berbeda, termasuk wilayah kajian sastra bandingan (comparative literature). Syarat lain bahwa karya sastra yang akan dibandingkan setidak-tidaknya mempunyai tiga perbedaan yang menyangkut (1) bahasa, (2) wilayah, dan (3) politik. Pendapat ini dikemukakan oleh Maman S. Mahayana dalam makalahnya yang disampaikan pada Seminar Sastra Bandingan di UI, 1990. Dari pendapt tersebut, dengan melihat perbedaan antara dua karya sastra sebagai materi perbandingan akan menampakkan adanya perbedaan latar belakang sosial budaya (lokasi, tradisi, dan pengaruhnya) yang melingkari diri masing-masing pengarang, yang tercermin pula dalam karyanya. Dari pendapat kedua ilmuwan tersebut sanggup disimpulkan bahwa dalam rangka studi perbandingan sastra perlu syarat-syarat yang harus dipenuhi. Syarat tersebut yaitu
  1. cakupan bahasa, 
  2. wilayah, 
  3. politik, dan 
  4. bidang-bidang seni lain.
Robert J. Clements melihat sastra bandingan sebagai disiplin akademis yang mempunyai pendekatan yang meliputi aspek (1) tema, (2) jenis/bentuk, (3) gerakan/trend, (4) keterhubungan sastra dengan disiplin dan media seni lain, dan (5) sejarah teori sastra. Selanjutnya, Clements menyebutkan dasar-dasar telaah yang dijadikan sebagai langkah dari perbandingan sastra yaitu, (1) titik tolak genre dfan bentuk, (2) titik tolak periode, aliran, dan pengaruh, dan (3) titik tolak tema dan mitos.

Berdasarkan titik tolak kajian yang disampaikan oleh Clements, para ilmuwan membedakan tiga bentuk hasil kajian sebagai penafsiran, yaitu (1) analogi afinitas, (2) keterpengaruhan, dan (3) faktor kebetulan. Faktor analogi dimungkinkan ada lantaran beberapa faktor yang sejajar antara lain, yakni (a) seting sosial, (b) dunia tradisi kesusastraan setempat, dan (c) psikologis. Faktor keterpengaruhan diklasifikasikan sebagai (a) pinjaman langsung, (b) efek budaya asal, (c) sastra dalam pengasingan, (d) efek negatif berupa penolakan pengarang terhadap ilham tertentu yang tiba dari budaya lain, (e) keberuntungan pengarang yang mempengaruhi pengarang lain, (f) pengkianatan kreatif dari para penerjemah maupun editor (Tommy Christomy, 1990:3).

METODE PENELITIAN
Dalam penelitian ini akan diperbandingkan cerpen yang berjudul “Pohon” karya Monaj Das (India) dengan cerpen yang berjudul “Selamat Jalan, Nek” karya Danarto (Indonesia). Cerpen karya Monaj Das termuat dalam kumpulan kisah pendek India yang berjudul Sentuhlah Aku terjemahan Sori Siregar, sedangkan cerpen karya Danart termuat dalam kumpulan cerpen yang berjudul Berhala diterbitkan oleh Pustaka Firdaus (1987).

Secara umum alasan pemilihan materi kajian ini dikaitkan dengan kondisi yang dialami oleh negara Indonesia dan India. Menurut anggapan atau pendapat umum sering dikatakan bahwa bangsa Indonesia dan India merupakan negara yang termasuk dalam sebutan Dunia Ketiga, sebagai negara yang hingga dikala ini dan entah hingga kapan, disebut sebagai negara yang sedang berkembang. Karena kondisi yang relatif sama itulah, tidak menutup kemungkinan banyak sekali situasi yang ada, tantangan yang dihadapi, perubahan yang terjadi juga memperlihatkan kemiripan. Tidak tidak mungkin kondisi semcam itu juga akan kuat terhadap perkembangan dunia sastra, yang dianggap sebagai cerminan sebuah masyarakat. Berdasarkan kenyataan inilah, maka kajian ini mengambil perbandingan dari dua negara yang dalam kondisi relatif sama, sehingga diperlukan sanggup melihat lebih jauh hal-hal yang berkaitan dengan keadaan masing-masing, khususnya dalam perkembangan sastranya. Di samping alasan yang bersifat umum, pada pengkajian ini juga didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan yang bersifat khusus. Pemilihan kedua karya sastra tersebut juga berdasarkan keuniversalan sastra. Artinya, semua karya sastra mempunyai ciri-ciri umum dan juga mempunyai ciri-ciri khusus yang hanya dimiliki oleh karya sastra tersebut.

Berdasarkan tujuan yang ingin dicapai, metode yang digunakan dalam kajian ini yakni metode penelitian kualitatif induktif. Maksudnya, pengkaji berangkat dari pembacaan dan pemahaman naskah karya sastra (cerpen) secara umum, kemudian mengidentifikasi titik ibarat atau dengan kata lain pengaji mencoba mendeskripsikan dan melihat kemiripan yang terdapat di antara kedua karya tersebut. Berdasarkan dari data yang diperoleh dari identifikasi tersebut, titik ibarat yang ditemukan itu dikaji dengan cara diperbandingkan antara cerpen “Selamat Jalan, Nek..” (Indonesia) dengan cerpen “Pohon” (India). Selanjutnya pengkai memilih gejala-gejala kemiripan yang tejadi dengan cara penafsiran tersendiri berdasarkan data-data yang mendukung.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Deskripsi Cerpen yang Diperbandingkan 
Melalui cerpen “Selamat Jalan, Nek..”, Danarto mencoba mengungkap permasa­lahan yang sementara ini menjadi potongan dari dinamisasi kehidupan masyarakat, yaitu kecenderungan kontradiksi antara alam pikiran (rasionalisme) dengan dunia gaib (irasional) dan antara alam konkret dengan keberadaan alam adikodrati. Bahwa pada satu sisi kehidupan insan selamanya akan ditemukan sikap rasional dan sikap irasional. Mun­culnya sikap dan sifat yang berdasarkan logika dan rasional, menyimpang dari kecerdikan semata-mata, disebabkan oleh adanya kesadaran yang penuh dan keberterimaan yang mutlak pada diri insan terhadap dzat yang senantiasa menyelimuti dunia semesta ini. kesadaran lantaran adanya suatu kekuatan yang mahabesar yang berada di luar diri manusia.

KUBURAN ITU MENGANGA!
....... Kuburan Eyang putri yang kami jaga empat puluh hari empat puluh malam, dibongkar maling, dan kain kafan, ya .... kain kafan itu ....

“eyang bakal mati pada malam Selasa Kliwon dini hari, tujuh hari mendatang. Lalu kuburkan cepat-cepat di siang hari. Soalnya sore hari bakal hujan lebat. Sebagian Jakarta bakal menemukan ......

Hal itu semakin terang memperlihatkan bahwa pada satu sisi dari kehidupan insan sering terjadi insiden yang tidak daat dipecahkan dengan sandaran kekuatan logika dan pikiran semata-mata. Paa kondisi tertentu, insan dipertemukan dengan permasalahan naluriah, di luar kekuasaan manusia. Permasalahan ini yang memperlihatkan tanda-tanda akan adanya “sesuatu” yang melingkupi kehidupan manusia. Permasalahan itu dihadirkan oleh Danarto sebagai potret, cermin dan refleksi sikap insan dalam masyarakat di dalam mendinamisasikan budayanya.

Lebih lanjut dipertegas oleh Danarto permasalahan rasionalitas dengan irasional itu dengan menghadirkan tokoh-tokoh yang berdiri pada dua kutub yang berlawanan. Antara sikap rasionalitas generasi muda melalui penampilan peralatan canggih yang berupa kom­pu­ter dengan sikap irasionalitas yang dikaitkan dengan kepercayaan, keyakinan akan suatu membuktikan tertentu yang membelenggu pemikiran mistik. Hal itu ditandai dengan kehadiran tokoh Windfield yang mahir komputer dan membuktikan simpulan hidup yang dikaitkan dengan waktu-waktu khusus. Pada alhasil sikap rasionalitas yang diwakili komputer ternyata tidak berdaya menghadapi kekuatan di luar indrawi dengan citra kuburan Nenek yang dijagai komputer ternyata menganga dan terbuka.

Seperti pada cerpen Danarto, Monaj Das dalam cerpen yang diberi judul “Pohon”, juga ingin mengungkapkan permasalahan yang berkaitan dengan kontradiksi antara pemikiran modern dengan pemikiran tradisional. Pada pemikiran tradisional cenderung melihat tanda-tanda yang terjadi di alam ini, dikaitkan dengan membuktikan adanya kekuatan besar di luar diri manusia. Pada pemikiran modern lebih cenderung mempertimbangkan setiap tanda-tanda berdasarkan hasil pemikiran kecerdikan dan logika semata.

“Gumpalan awan yang mencekam bergerak melayang berada di atas pegunungan yang berjarak beberapa mil itu dan bulat cahaya gaib mengitari bulan telah mengsisyaratkan orang-orang setempat .....

Dedaunan tak henti-hentinya gemeretak .... cabang-cabang pohon dengan dedaunan yang rimbun, merupakan simbol pinjaman kepada mereka semenjak dulu yang tidak hanya memperlihatkan .....

Orang-orang yang masih percaya pada pertanda-pertanda yang disajikan alam, selalu menghubungkan membuktikan itu dengan sesuatu yang akan menimpa dirinya. Berbeda dengan orang yang sudah berpikiran modern, bahwa sesuatu hal harus sanggup dipecahkan dengan logika dan kekuatan kecerdikan pikiran.

Sebagaimana yang dilakukan Danarto, dalam cerpen Monaj Das juga menghadirkan kontradiksi antara tokoh yang mewakili sikap rasional dengan tokoh yang mewakili sikap irasional. Tokoh cowok dan mahasiswa merupakan tokh yang sudah mempunyai tradisi pemikiran modern dengan berdasarkan logika. Para penduduk yang kebanyakan kaum tua, merupakan simbol dari alam pemikiran tradisional, yang melihat tanda-tanda alam yang terjadi tidak hanya berdasarkan kekuatan logika. Peristiwa yang terjadi selalu dikaitkan dengan sesuatu fenomena metafisik.

Identifikasi Titik Mirip
Sesuai dengan tujuan kajian, maka acara perbandingan antara dua cerpen tersebut dengan memakai analisis perbandingan struktural. Dalam hal ini kajian perbandingan dibatasi pada tiga masalah, yaitu 
  • alur, 
  • penokohan, dan 
  • tema. Kedua karya tersebut diidentifikasi titik miripnya kemudian ditentukan dasarnya mengapa terjadi kemiripan antara karya diperbandingkan.
Plot atau alur merupakan bangkit karangan prosa maupun drama yang penting. Peristiwa yang muncul pada plot ialah insiden yang disebabkan oleh lakuan tokoh-tokohnya. Plot merupakan pola keterhubungan antarperistiwa didasarkan pada imbas kausalitas.

Cerpen “Selamat Jalan, Nek” (SJN) dan “Pohon” (Phn) alurnya disusun secara konvensional, insiden disusun sedemikian rupa sehingga mencapai titik puncak pada simpulan cerita. Urutan insiden dibuat secara espisodik, yaitu disusun berurutan dari satu insiden ke insiden lainnya. Dalam kajian perbandingan ini, bandingan alur kedua karya sastra tersebut tidak dilihat dari segi pengalurannya, tetapi justru dari peristiwa-peristiwa yang membangun alur/plot.

Cerpen SJN diawali dengan penggambaran keadaan yang dikaitkan dengan membuktikan alam. Keadaan alam yang dirasakan sebagai suatu membuktikan akan terjadinya perubahan insiden lain di balik membuktikan tersebut. Karena kesadaran penuh terhadap adanya suatu kekuatan di luar diri manusia, maka membuktikan itulah yang disadari sebagai titik awal insiden alam berikutnya dan akan terjadi berdasarkan kepercayaan dan keyakinan masyarakat. Penggambaran pada awal kisah ini, mungkin dimaksudkan oleh pengaran untuk membawa pembaca pada permasalahan intin yang akan ditampilkan dalam kisah tersebut. Pembaca diajak untuk menangkap tanda-tanda alam dengan kosekuensi dua sikap yakni rasional dan irasional.

KUBURAN itu menganga!
Dalam keadaan masik terkantuk-kantuk, saya dan empat saudara saya dan seorang bule California, melongok menatap kuburan yang menganga .....

Penyajian insiden ini merupakan titik awal untuk memulai alur kisah dalam cerpen SJN. Peristiwa dan insiden alam sebagai titik awal dalam membangun kisah yang kemudian dirangkaikan denga peristiwa-peristiwa selanjutnya.

Seperti halnya pada cerpen SJN, dalam cerpen Phn penyajian insiden sebagai titik awal susunan alur juga diawali dengan menghadirkan suatu insiden alam. Suatu tanda-tanda alam, yang digambarkan dalam kisah ini bisa mengajak pembaca pada suatu kondisi pemikiran yang secara dikotomis mempertemukan antara sikap rasional dan sikap dan sikap irasional. Dalam arti bahwa pada suatu kondisi tertentu, dalam menangkap tanda-tanda alam yang sedang terjadi insan dihadapkan pada dua pilihan penentuan sikap. Pada sisi tertentu didasarkan pada kekuatan logika semata dan pada sisi lain harus memakai kesadaran akan keterbatasan dan pengukuhan terhadap adanya kekuatan di luar diri manusia. Hal itu yang memaksa insan untuk tidak hanya berpikir mikrokosmos tapi juga berpikir makrokosmos.

“Gumpalan awan yang mencekam bergerak melayang berada di atas pegunungan yang berjarak beberapa mil itu dan bulat cahaya gaib mengitari bulan telah mengsisyaratkan orang-orang setempat .....

Peristiwa alam ibarat citra pada awal kisah ini oleh Monaj Das dijadikan sebagai titik awal penyusunan peristiwa-peristiwa berikutnya untuk membangun struktur alur. Mempercayai bahwa setiap tanda-tanda alam yang terjadi tidak selalu sanggup diatasi dengan perjuangan dan pemikiran di bawah alam rasional, tetapi perlu juda adanya sikap yang gaib sebagai bentuk sikap irasional.

Dengan melihat insiden yang dihadirkan pada awal kisah dari SJN dan Phn, sanggup ditemukan titik ibarat yaitu sama-sama menghadirkan insiden alam untuk membangun alur cerita. Baik Danarto maupun Monaj Das menyadari suatu fenomena alam dengan penyikapan pada dua sisi. Kemiripan yang terjadi pada dua karya tersebut, mungkin disebabkan oleh kesamaan harapan untuk merefleksikan keadaan masyarakat masing-masing yang relatif “sama”.

Selanjutnya, insiden yang dijadikan sebagai pembangun alur pada titik puncak kisah SJN, menghadirkan insiden kontradiksi antara sikap rasional dan sikap gaib (irasonal). Danarto menggambarkan kontradiksi antara kaum muda sebagai simbol rasio dan kaum renta sebagai simbol kekolotan.

“lama-lama, dipikir-pikir, penggunaan komputer Anda kurang tepat”, tiba-tiba seorang Oom menegur saya. Kita sedang menghadapi orang yang akan meninggal dunia, dan mengandalkan sebuah mesin....

Saya dan Winfield sungguh dalam suasana serius”, jawab saya
“okey, tapi komputermu itu malah mengganggu. Kalian tidak memikirkan Eyang, tapi malah justru sibuk dengan perkakas itu ......

Pertentangan antara kaum muda dan tokoh renta ini semakin memperlihatkan citra kepada kita bahwa bekerjsama sesuatu hal yang menjadi fenomena alam, tidak selamanya sanggup disikapi dengan kekuatan logika dan logika semata. Pada kondisi tertentu, kekuatan itu akan dihadapkan pada permasalahan metafisis, sehingga pemecahannya tidak dengan pikr tetapi dengan dzikir sebagai wujud hubunan transendental.

Dalam kisah Phn, Monaj Das pada titik puncak kisah juga menghadirkan insiden kontradiksi antara kaum muda dan kaum tua. Kaum muda sebagai simbol modernitas menyikapi tanda-tanda alam yang terjadi dengan berdasarkan logika. Di pihak lain, kaum renta menyikapi tanda-tanda tersebut dengan mengubungkan pada membuktikan alam yang akan terjadi sesudah munculnya insiden tersebut. Dasar sikap dan sikap kaum renta ialah kesadaran metafisis dalam kerangka kehidupan semesta.

“Kalau pohon itu rubuh, akan membawa seluruh bongkahan besar itu merosot ke dalam sungai, lantaran akar-akarnya yang tak terhitung telah menjadikan tanah-tanah ini ibarat balok,” ujar seorang anak muda..... Di dusun inilah, hanya mereka bertigalah yang berguru di perguruan tinggi

“Apa? Pohon itu rubuh! Berani benar kamu menyampaikan itu....? Seberapa jauh pengetahuanmu perihal pohon ini?

Mereka telah menciptakan tulang di lidahnya,” komentar Ravinda. “Kalian berguru di perguruan tinggi bukan! Nah mari selamatkan pohon ini dengan bahasa Inggrismu, aljabarmu, dan semua abracadabra, “ perihal mereka ..... (hal 93)

Pertentangan terjadi antara pemikiran modern yang diwakili oleh kaum muda (mahasiswa) dengan pemikiran tradisional yang diwakili kaum tua. Bukti bahwa kita memang harus tetap menengok kembali pemikiran dan sikap yang adikodrati (metafisis) digambarkan oleh Monaj Das dalam cerpen Phn melalui tokoh mahasiswa sebagai simbol modernitas, yang ternyata harus gagal untuk menghadapi sikap masyarakat yang masih tradisional dan cenderung irasional.

Bila diperhatikan peristiwa-peristiwa yang dijadikan materi untuk membangun alur kisah dalam kisah tersebut, mempunyai kemiripan-kemiripan. Pada awal kisah menghadirkan insiden alam, dalam titik puncak menghadirkan insiden kontradiksi sikap antara kaum renta dan kaum muda, dan pada simpulan kisah insiden ketidakberdayaan rasionalitas.

Elemen selanjutnya yang diidentifikasi ialah tokoh-tokoh dalam kedua cerpen tersebut. Tokoh ialah individu yang mengalami insiden atau berlakuan dalam banyak sekali insiden dalam cerita. Tokoh-tokoh mempunyai sifat tertentu dengan tugas yang dilekatkan padanya oleh pengarang. Cara menampilkan tokoh-tokoh dalam karya sastra disebut penokohan.

Dalam kedua karya yang dibandingkan tersebut, pengarang sama-sama menghadirkan tokoh-tokoh yang berdiri di antara dua kutub. Tokoh kaum muda dihadapkan dengan tokoh kaum tua. Kaum muda sebagai simbol pemikiran rasional dan modern sedangkan kaum renta sebagai simbol pemikiran emosional dan tradisional.

Cerpen SJN menghadirkan kuam muda yaitu tokoh “Aku” dan Wienfield dengan keyakinannya pada peralatan canggih berupa komputer. Kaum renta yaitu tokoh “Oom-Oom” dengan pemikiran dan anggapan yang tidak hanya berdasarkan logika semata, ketika menghadapi tanda-tanda alam berupa simpulan hidup Nenek.

“Komputer ini tekah mendudukkan Eyang sebagai kelinci percobaan,” cetus seorang Om
“penyelidikan yang bukan main! Gebrak Om Dirjen. “Jauh amat langkah seorang sarjana yang mengatasnamakan ilmunya, rupanya! Anda ingat. Kita semua di sini berhadapan dengan suatu adat istiadat, suatu naluri, suatu moral, suatu tata krama ..... (hal 55)

Bahwa permasalahan yang dihadapi kedua tokoh tersebut disikapi dari dua sisi. Sikap rasionalitas melalui sikap logika dan sikap emosional yang direfleksikan dengan berhadapan pada suatu tatanan moral, tatanan adat istiadat, serta norma-norma lainnya yang tidak sanggup ditangkap hanya dengan memakai kekuatan logika semata.

Cerpen Pohon juga menghadirkan tokoh-tokoh yang berada pada dua kondisi yang dikotomis. Kaum muda sebagai simbol modernitas diwakili oleh sekelompok mahasiswa dengan segala bekal ilmu pengetahuannya, sedangkan kaum renta diwakili oleh sebagian penduduk desa dengan ketaatannya pada tatanan norma-norma kepercayaan yang telah mengakar dalam setiap gerak kehidupannya selama ini.

““Kalau pohon itu rubuh, akan membawa seluruh bongkahan besar itu merosot ke dalam sungai, lantaran akar-akarnya yang tak terhitung telah menjadikan tanah-tanah ini ibarat balok,” ujar seorang anak muda kepada temannya .... (hal 93)

“... Baik silakan kerjakan itu demi kasihan kalian kepada kami, demi kasihan kalian kepada empat belas generasi dari nenek moyang kami! Mau bukan! “Yang kumaksud bagaimana menyelamatkan pohon ini supaya tidak jadi rubuh?

“... Berjanjilah dengan diucapkan dalam hati saja – biarkan hanya roh pohon itu yang mendengarkan – bahwa kalau pohon itu selamat kalian akan memotong rambut .... (hal 95)

Sikap rasional kaum muda dalam melihat tanda-tanda perihal robohnya pohon itu berdasarkan pemikiran ilmu pengetahuan dan logika. Dari dasar ini muncul suatu asumsi bahwa memang sudah waktunya ‘pohon’ itu rubuh lantaran tanahnya terkena erosi. Sikap emosional kaum renta melihat tanda-tanda ini dikaitkan dengan membuktikan zaman yang sudah diyakini akan mendatangkan tanda-tanda dan akhir gres yang segera dialami sebagai akhir insiden tersebut.

Dari identifikasi tokoh-tokoh yang dihadirkan dalam kedua cerpen tersebut, ditemukan titik kemiripan. Pada cerpen SJN dihadirkan tokoh saya dan Wienfield dengan peralatan canggihnya berupa komputer, sedangkan dalam cerpen Phn dihadirkan tokoh mahasiswa sebagai simbol moderniitas dan rasionalitas. Selanjutnya, dalam SJN untuk mewakili tokoh yang berpikiran tradisional dihadirkan tokoh Om dengan pemikiran dan balasan yang didasarkan pada tatanan norma adat, agama, serta tatanan naluri. Dalam Phn, tokoh renta (kaum tua) yaitu sebagian warga desa, dengan pemikiran yang didasarkan pada keyakinan dan pedoman yang selama ini telah dijadika pedoman dalam hidup bermasyarakat.

Perbandingan Tema berdasarkan Titik Mirip
Setelah diidentifikasi aspek-aspek yang mendukung kesimpulan tema dari kedua cerpen tersebut, selanjutnya akan diperbandingkan hadiln identifikasi untuk memperlihatkan adanya kemiripan.

Pada cerpen SJN karya Danarto diawali dengan insiden yang menggambarkan insiden yang menjadi kepercayaan orang Jawa, perihal pencurian kain kafan. Ini merukan pemikiran irasional orang Jawa perihal adanya hari baik dan hari jelek dalam kehidupan. Dalam cerpen Phn karya Monaj Das juga diawali dengan sebuah citra insiden irasional, mengenai sikap dan kepercayaan masyarakat India terhadap tanda-tanda alam. Kepercayaan masyarakat terhadap suatu insiden yang dianggap akan membawa akhir bagi perjalanan kehidupan selanjutnya. Bulan yang dilingkari cahaya ghaib mengisyaratkan bahwa sebentar lagi akan terjadi insiden yang mengerikan.

Dari insiden yang digambarkan pada awal cerpen tersebut merupakan salah satu bukti adanya kemiripan kedua cerpen dari latar sosial yang berjauhan, yakni Indonesia dan India. Baik Danarto maupun Monaj Das mengawali kisah secara eksklusif pada pokok problem perihal adanya kontradiksi antara modern dan tradisional, rasional dan irasional. Perkembangan zaman yang membawa perkembangan daya pikir insan sehingga menghasilkan produk-produk ilmu pengetahuan yang canggig digunakan untuk menjawab segala permasalahan kehidupan.

Dalam hal ini, Danarot mencoba mempertentangkan antara keyakinan yang ada pada orang Jawa perihal hari baik yang dipercaya dan diyakini mendatangkan efek khusus, dengan kecanggihan ilmu pengetahuan ibarat komputer. Perkembangan ilmu pengetahuan, yang diperlukan sanggup menjawab segala permasalahan kehidupan insan ternyata pada satu sisi tertentu tak bisa menghadapi fenomena yang berkaitan dengan keberadaan insan secara naluri. Akibat adanya pemujaan yang berlebih-lebihan terjadap kecerdikan pikiran, insan cenderung mengabaikan apa yang menjadi keyakinan, kesadaran akan keterbatasan, dan selalu mengatasnamakan ilmu untuk mempertimbangkan tuntutan hidup. Segala sikap yang mengarah pada pemuasan keduniawian, yang mengarah pada pemujaan kecerdikan dan rasio belaka. Secara ringkas cerpen karya Danarto ini menggambarkan kecenderungan sikap kita (yang disebut sebagai orang modern), yang percaya penuh pada kebenaran ilmu pengetahuan (rasio). Sebaliknya, tidak lagi memperhatikan permasalahan yang justru paling hakiki dari perjalaan hidup manusia, yakni adanya kesadaran mengenai arah sesudah simpulan perjalanan hidup di dunia. Dalam mencoba menampilkan kontradiksi kedua masalah, dalam cerpen ini Danarto menghadirkan dua simbol secara dikotomis. Kepercayaan adanya hari baik yang mengarah kepada kesadaran insani, sebagai wakil dari sudut pemikiran irasional, sedangkan kehadiran komputer sebagai wakil dari pemujaan teknologi dan ilmu pengetahuan.

Dalam menghadirkan permasalahan yang berkaitan dengan penyikapan terhadap perkembangan pemikiran manusia, Monaj Das menampilkan keyakinan yang ada pada masyarakat tradisional India, dengan perkembangan pemikiran yang dialami oleh generasi muda. Keyakinan masyarakat kepada pohon yang merupakan wujud dzat yang satu, sebagaimana kepercayaan orang India yang menganggap bahwa segala sesuatu yang ada di semesta ini sebagai lambang dari Sang Hyang Baka. Oleh lantaran itu, ketika ‘pohon’ yang menjadi daerah melakukan bentuk-bentuk peribadatan ituakan rubuhm secara sungguh-sungguh mereka berusaha untuk mempertahankannya. Sikap yang demikian inilah yang menyebabkan kontradiksi dengan sikap kaum muda. Kaum muda beranggapan bahwa sebab-sebab kerubuhan pohon itu sanggup diatasi secara nalar. Kaum muda tidak memperhatikan lebih jauh akhir rubuhnya pohon itu, tetapi melihat sebatas pemikiran berdasarkan kecerdikan bahwa jika pohon itu rubuh akan berakibat tanah longsor lantaran erosi. Kaum muda sebagai orang yang telah mengalami zaman gres dengan mengenyam pendidikan dan ilmu pengetahuan mencoba menghadapi tanda-tanda yang terjadi berdasarkan ilmu pengetahuan yang dimiliki. Secara ringkas cerpen Monaj Das juga ingin menggambarkan sikap dan sifat serta sikap orang modern yang enggan melihat kembali apa yang terjadi pada masa lalu.

Secara keseluruhan, kedua cerpen ini dikembangkan oleh dua tokoh yang masing-masing mewakili dua kutub, yakni kaum muda dan tua. Dalam SJN kita berhadapan dengan konflik oleh tokah saya dan Om. Di belakang tokoh saya ada tokoh Wienfield sebagai mahir komputer, sedangkan tokoh Om di belakangnya terdapat kesadaran akan keterbatasan manusia. Sementara itu dalam Phn kita berhadapan dengan konflik tokoh Nirakas Das dengan tokoh mahasiswa. Di balik tokoh Nirakas terdapatr pandangan orang renta yang tetap memegang teguh sikap dan kesadaran akan kekerabatan antara manusia, alam, dan Tuhan, sedangkan di balik mahasiswa terdapat tokh dewan perwakilan rakyat yang memperlihatkan citra penguasa gres dalam perkembangan kemasyarakatan.

Perbandinga selanjutnya diarahkan pada sikap pengarang terjadap konflik yang terjadi. Ternyata sikap pengarang dalam kedua cerpen tersebut memperlihatkan kemiripan. Danarto bersikap bahwa kira memang perlu tetap memperhatikan tanda-tanda kehidupan tidak sebatas pada pemujaan alam rasionalitas semata. Hal ini ditunjukkan oleh Danarto melalui penggambaran ketika komputer sebagai lambang kecanggihan ilmu pengetahuan tidak sanggup berbuat apa-apa menghadapi tanda-tanda asing perihal insiden kematian. Dalam cerpennya, Monaj Das juga memperlihatkan sikap yang sama melalui penggambaran insiden yang dialami oleh mahasiswa yang tidak sanggup berbuat banyak dikala menghadapi tuntutan masyarakat untuk mencegah rubuhnya pohon daerah pemujaan.

Berdasarkan uraian di atas, sanggup disimpulkan bahwa kedua cerpen tersebut memperlihatkan adanya kemiripan-kemiripan. Kemiripan tersebut antara lain adalah, (1) rangkaian insiden yang membangun alur, (2) konflik antartokoh, (3) tema cerita, dan (4) kecenderungan sikap pengarang dalam mengatasi konflik.

Penafsiran Perbandingan
Sebagai tahap simpulan acara perbandingan ialah penafsiran hasil perbandingan. Yang dimaksud dengan penafsiran ialah penyikapan peneliti terhadap adanya kemiripan-kemiripan di antara kedua objek kajian. Tuasg dari tahap ini yaitu menjawab pertanyaan, mengapa terjadi kemiripan di antara kedua cerpen tersebut. Penafsiran terhadap hasil bandingan itu harus berdasarkan data-data yang memperlihatkan sebab-sebab mengapa terjadi kemiripan. Oleh lantaran itu, sebelum menafsirkan hasil perbandingan dalam pembahasan ini, perlu diuraikan data dan pertimbangan untuk memilih kedudukan dari kedua karya tersebut.
  1. bahwa antara Danarto sebagai pengarang cerpen SJN dengan Monaj Das sebagai pengarang Phn tidak terjado kontak secara langsung, sehingga kecil kemungkinan bila keduanya saling mempengaruhi dalam penciptaan karyanya
  2. bahwa kondisi sosial kemasyarakatan yang menyangkut ekonomi, politik, budaya serta banyak sekali problem pemerintahan memperlihatkan perkembangan dalam taraf yang relatif sama, yakni sebagai kelompok negara yang sedang berkembang.
Dari uraian di atas, pada kajian perbandingan cerpen karya Danarto dan Monaj Das kali ini, kemiripan-kemiripan yang terjadi lantaran adanya faktor analogi. Hal itu dengan klarifikasi lantaran kondisi sosial kemasyarakatan yang memperlihatkan adanya kesamaan taraf perkembangan. Di samping itu adanya kesejajaran dalam beberapa aspek kehidupan, ibarat kesejajaran seting sosial, dunia tradisi kesastraan, dan perkembangan psikologis antara Indonesia dan India. Seting sosial yang sama memungkinkan menghasilkan karya yang mempunyai kemiripan. Secara psikologis, perkembangan pola pikir dan sikap yang relatif sama juga memungkinkan menghasilkan bentuk dan substansi ekspresi yang relatif sama. Hal itulah yang menyebabkan adanya kemungkinan munculnya karya-karya yang mempunyai kemiripan pada aspek-aspek tertentu.

SIMPULAN
Berdasarkan pembahasan di atas sanggup disimpulkan beberapa hal sebagai berikut ini. Pertama, rangkaian insiden yang membangun alur dari masing-masing karya mempunyai kemiripan. Kedua, cara pengarang menghadirkan tokoh-tokoh dalam kedua karya tersebut mempunyai kemiripan, khususnya pada aspek fisiologis dan sosiologis tokoh. Ketiga, tema yang membangun kisah kedua cerpen mempunyai kemiripan, yakni perten­tangan antara unsur modernitas yang diwakili kaum muda dengan tradisionalitas yang diwakili kaum tua. Keempat, berdasarkan fakta dan data yang ada sanggup disimpulkan bahwa kemiripan yang terjadi lebih disebabkan oleh faktor analogi.

DAFTAR PUSTAKA
  • Christomy, Tomy SS. 1990. Kumpulan Makalah Seminar Sastra Perbandingan Fakalutas Sastra UI”. Jakarta:FSUI
  • Danarto. 1987. Kumpulan Cerpen Berhala. Jakarta: Pustaka Firdaus
  • Mahayana, Maman S. 1990. “Kumpulan Makalah Seminar Sastra Perbandingan Fakalutas Sastra UI”. Jakarta:FSUI
  • Mulder, Niels. 1985. Pribadi dan Masyarakat di Jawa. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan
  • Prasad, Madhusudan (Ed.) 1990. Sentuhlah Aku, Kumpulan Cerita Pendek India Kontemporer. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
  • Wellek, Rene dan Austin Warren. 1990. Teori Kesusastraan. Terjemahan Melani Budianta. Jakarta: Penerbit Gramedia.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel