Teori Lengkap Filsafat Dan Ilmu Pengetahuan
Tuesday, June 18, 2019
Edit
F I L S A F A T I L M U
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB 1. MANUSIA, BERFIKIR, DAN PENGETAHUAN
A. Makna menjadi Manusia
B. Makna Berfikir
C. Makna Pengetahuan
D. Berfikir dan Pengetahuan
BAB 2. F I L S A F A T
A. Pengertian Filsafat
B. Ciri-ciri Filsafat
C. Objek Filsafat
D. Sistimatika Filsafat
E. Cabang-cabang Filsafat
F. Pendekatan dalam mempelajari Filsafat
G. Sudut pandang terhadap Filsafat
H. Sejarah singkat Filsafat
BAB 3. ILMU PENGETAHUAN
A. Pengertian Ilmu (Ilmu Pengetahuan)
B. Ciri-ciri Ilmu
C. Fungsi dan Tujuan Ilmu
D. Struktur Ilmu
1. fakta dan Konsep
2. generalisasi dan Teori
3. proposasi dan Asumsi
4. definisi/Batasan
5. paradigma
E. Objek Ilmu
F. Pembagian/pengelompokan Ilmu
G. Penjelasan Ilmu (scientific explanation)
H. Sikap Ilmiah
BAB 4. F I L S A F A T I L M U
A. Orientasi Filsafat Ilmu
B. Perkembangan Filsafat Ilmu
C. Ciri-ciri Ilmu modern
D. Paradigma Ilmu modern berdasarkan beberapa Aliran
E. Hubungan Filsafat dengan Ilmu
F. Pengertian Filsafat Ilmu
G. Bidang kajian dan masalah-masalah Filsafat Ilmu
H. Kebenaran Ilmu
I. Keterbatasan Ilmu
J. Manfaat mempelajari Filsafat Ilmu
DAFTAR PUSTAKA
B A B 1
MANUSIA, BERFIKIR DAN PENGETAHUAN
Tanpa saudara kandungnya Pengetahuan, Akal (Instrumen berfikir Manusia) bagaikan si miskin yang tak berumah, sedangkan Pengetahuan tanpa kebijaksanaan ibarat rumah yang tak terjaga. Bahkan, Cinta, Keadilan, dan Kebaikan akan terbatas kegunaannya jika kebijaksanaan tak hadir (Kahlil Gibran)
Pengetahuan merupakan suatu kekayaan dan kesempurnaan. ..Seseorang yang tahu lebih banyak ialah lebih baik kalau dibanding dengan yang tidak tahu apa-apa (Louis Leahy)
Mengetahui merupakan kegiatan yang menjadikan subjek berkomunikasi Secara dinamik dengan keberadaan dan kodrat dari “ada” benda-benda (Sartre)
A. MAKNA MENJADI MANUSIA
Kemampuan insan untuk menggunakan kebijaksanaan dalam memahami lingkungannya merupakan potensi dasar yang memungkinkan insan Berfikir, dengan Berfikir insan menjadi bisa melaksanakan perubahan dalam dirinya, dan memang sebagian besar perubahan dalam diri insan merupakan akhir dari acara Berfikir, oleh lantaran itu sangat masuk akal apabila Berfikir merupakan konsep kunci dalam setiap diskursus mengenai kedudukan insan di muka bumi, ini berarti bahwa tanpa Berfikir, kemanusiaan insan pun tidak punya makna bahkan mungkin tak akan pernah ada.
Berfikir juga memberi kemungkinan insan untuk memperoleh pengetahuan, dalam tahapan selanjutnya pengetahuan itu sanggup menjadi fondasi penting bagi kegiatan berfikir yang lebih mendalam. Ketika Adam diciptakan dan kemudian ALLAH mengajarkan nama-nama, pada dasarnya mengindikasikan bahwa Adam (Manusia) merupakan Makhluk yang bisa Berfikir dan berpengetahuan, dan dengan pengetahuan itu Adam sanggup melanjutkan kehidupannya di Dunia. Dalam konteks yang lebih luas, perintah Iqra (bacalah) yang tertuang dalam Al Qur’an sanggup dipahami dalam kaitan dengan dorongan Tuhan pada Manusia untuk berpengetahuan disamping kata Yatafakkarun (berfikirlah/gunakan akal) yang banyak tersebar dalam Al Qur’an. Semua ini dimaksudkan semoga insan sanggup berubah dari tidak tahu menjadi tahu, dengan tahu dia berbuat, dengan berbuat dia bederma bagi kehidupan. semua ini pendasarannya ialah penggunaan kebijaksanaan melalui kegiatan berfikir. Dengan berfikir insan bisa mengolah pengetahuan, dengan pengolahan tersebut, pemikiran insan menjadi makin mendalam dan makin bermakna, dengan pengetahuan insan mengajarkan, dengan berpikir insan mengembangkan, dan dengan mengamalkan serta mengaplikasikannya insan bisa melaksanakan perubahan dan peningkatan ke arah kehidupan yang lebih baik, semua itu telah membawa kemajuan yang besar dalam aneka macam bidang kehidupan insan (sudut pandang positif/normatif).
Dengan demikian kemampuan untuk berubah dan perubahan yang terjadi pada insan merupakan makna pokok yang terkandung dalam kegiatan Berfikir dan berpengetahuan. Disebabkan kemampuan Berfikirlah, maka insan sanggup berkembang lebih jauh dibanding makhluk lainnya, sehingga sanggup terbebas dari kemandegan fungsi kekhalifahan di muka bumi, bahkan dengan Berfikir insan bisa mengeksplorasi, menentukan dan menetapkan keputusan-keputusan penting untuk kehidupannya.
Pernyataan di atas pada dasarnya menggambarkan keagungan insan berkaitan dengan karakteristik eksistensial insan sebagai upaya memaknai kehidupannya dan sebagai serpihan dari Alam ini. Dalam konteks perbandingan dengan bagian-bagian alam lainnya, para akhli telah banyak mengkaji perbedaan antara insan dengan makhluk-makhluk lainnya terutama dengan makhluk yang agak dekat dengan insan yaitu hewan. Secara umum komparasi insan dengan binatang sanggup dilihat dari sudut pandang Naturalis/biologis dan sudut pandang sosiopsikologis. Secara biologis pada dasarnya insan tidak banyak berbeda dengan hewan, bahkan Ernst Haeckel (1834 – 1919) mengemukakan bahwa insan dalam segala hal sungguh-sungguh ialah binatang beruas tulang belakang, yakni binatang menyusui, demimikian juga Lamettrie (1709 – 1751) menyatakan bahwa tidaklah terdapat perbedaan antara binatang dan insan dan karenanya bahwa insan itu ialah suatu mesin.
Kalau insan itu sama dengan hewan, tapi kenapa insan bisa bermasyarakat dan berperadaban yang tidak bisa dilakukan oleh binatang ?, pertanyaan ini telah melahirkan aneka macam pemaknaan perihal manusia, ibarat insan ialah makhluk yang bermasyarakat (Sosiologis), insan ialah makhluk yang berbudaya (Antropologis), insan ialah binatang yang ketawa, sadar diri, dan merasa aib (Psikologis), semua itu kalau dicermati tidak lain lantaran insan ialah binatang yang berfikir/bernalar (the animal that reason) atau Homo Sapien.
Dengan memahami uraian di atas, nampak bahwa ada sudut pandang yang cenderung merendahkan manusia, dan ada yang mengagungkannya, semua sudut pandang tersebut memang dibutuhkan untuk menjaga keseimbangan memaknai manusia. Blaise Pascal (1623 – 1662) menyatakan bahwa ialah berbahaya bila kita menunjukan insan sebagai makhluk yang mempunyai sifat-sifat binatang dengan tidak menunjukan kebesaran insan sebagai manusia. Sebaliknya ialah ancaman untuk menunjukan insan sebagai makhluk yang besar dengan tidak menunjukan kerendahan, dan lebih berbahaya lagi bila kita tidak menunjukan sudut kebesaran dan kelemahannya sama sekali (Rasjidi. 1970 : 8). Guna memahami lebih jauh siapa itu manusia, berikut ini akan dikemukakan beberapa definisi yang dikemukakan oleh para akhli :
· Plato (427 – 348). Dalam pandangan Plato insan dilihat secara dualistik yaitu unsur jasad dan unsur jiwa, jasad akan musnah sedangkan jiwa tidak, jiwa mempunyai tiga fungsi (kekuatan) yaitu logystikon (berfikir/rasional, thymoeides (Keberanian), dan epithymetikon (Keinginan)
· Aristoteles (384 – 322 SM). Manusia itu ialah binatang yang cendekia sehat, yang mengeluarkan pendapatnya, yang berbicara berdasarkan kebijaksanaan fikirannya. Manusia itu ialah binatang yang berpolitik (Zoon Politicon/Political Animal), binatang yang membangun masyarakat di atas famili-famili menjadi pengelompokan impersonal dari pada kampung dan negara.
· Ibnu Sina (980 -1037 M). insan ialah makhluk yang mempunyai kesanggupan : 1) makan, 2) tumbuh, 3) ber-kembang biak, 4) pengamatan hal-hal yang istimewa, 5) pergerakan di bawah kekuasaan, 6) tertangkap berair (pengetahuan tentang) hal-hal yang umum, dan 7) kehendak bebas. Menurut dia, tumbuhan hanya mempunyai kesanggupan 1, 2, dan 3, serta binatang mempunyai kesanggupan 1, 2, 3, 4, dan 5.
- Ibnu Khaldun (1332 – 1406). Manusia ialah binatang dengan kesanggupan berpikir, kesanggupan ini merupakan sumber dari kesempurnaan dan puncak dari segala kemulyaan dan ketinggian di atas makhluk-makhluk lain.
- Ibnu Miskawaih. Menyatakan bahwa insan ialah makhluk yang mempunyai kekuatan-kekuatan yaitu : 1) Al Quwwatul Aqliyah (kekuatan berfikir/akal), 2) Al Quwwatul Godhbiyyah (Marah, 3) Al Quwwatu Syahwiyah (sahwat).
- Harold H. Titus menyatakan : Man is an animal organism, it is true but he is able to study himself as organism and to compare and interpret living forms and to inquire about the meaning of human existence. Selanjutnya Dia menyebutkan beberapa faktor yang berkaitan (menjadi karakteristik – pen) dengan insan sebagai pribadi yaitu :
- Self conscioueness
- Reflective thinking, abstract thought, or the power of generalization
- Ethical discrimination and the power of choice
- Aesthetic appreciation
- Worship and faith in a higher power
- Creativity of a new order
- William E. Hocking menyatakan : Man can be defined as the animal who thinks in term of totalities.
- C.E.M. Joad. Menyatakan : every thing and every creature in the world except man acts as it must, or act as it pleased, man alone act on occasion as he ought
- R.F. Beerling. Menyatakan bahwa insan itu tukang bertanya.
Dari uraian dan aneka macam definisi tersebut di atas dapatlah ditarik beberapa kesimpulan perihal siapa itu insan yaitu :
- Secara fisikal, insan sejenis binatang juga
- Manusia punya kemampuan untuk bertanya
- Manusia punya kemampuan untuk berpengetahuan
- Manusia punya kemauan bebas
- Manusia bisa berprilaku sesuai norma (bermoral)
- Manusia ialah makhluk yang bermasyarakat dan berbudaya
- Manusia punya kemampuan berfikir reflektif dalam totalitas dengan sadar diri
- Manusia ialah makhluk yang punya kemampuan untuk percaya pada Tuhan apabila dibagankan dengan mengacu pada pendapat di atas akan nampak sebagai berikut :
- MANUSIA
- HEWANI/BASARI
- INSANI/MANUSIAWI
- JASAD/FISIK/BIOLOGIS
- JIWA/AKAL/RUHANI
- MAKAN
- BERFIKIR
- MINUM
- BERPENGETAHUAN
- TUMBUH
- BERMASYARAKAT
- BERKEMBANGBIAK
- BERBUDAYA/BERETIKA/BERTUHAN
Dengan demikian nampaknya terdapat perbedaan sekaligus persamaan antara insan dengan makhluk lain khususnya hewan, secara fisikal/biologis perbedaan insan dengan binatang lebih bersifat gradual dan tidak prinsipil, sedangkan dalam aspek kemampuan berfikir, bermasyarakat dan berbudaya, serta bertuhan perbedaannya sangat asasi/prinsipil, ini berarti jika insan dalam kehidupannya hanya bekutat dalam urusan-urusan fisik biologis ibarat makan, minum, beristirahat, maka kedudukannya tidaklah jauh berbeda dengan hewan, satu-satunya yang bisa mengangkat insan lebih tinggi ialah penggunaan kebijaksanaan untuk berfikir dan berpengetahuan serta mengaplikasikan pengetahuannya bagi kepentingan kehidupan sehingga berkembanglah masyarakat beradab dan berbudaya, disamping itu kemampuan tersebut telah mendorong insan untuk berfikir perihal sesuatu yang melebihi pengalamannya ibarat keyakinan pada Tuhan yang merupakan inti dari seluruh aliran Agama. Oleh lantaran itu carilah ilmu dan berfikirlah terus semoga posisi kita sebagai insan menjadi semakin jauh dari posisi binatang dalam konstelasi kehidupan di alam ini. Meskipun demikian penggambaran di atas harus dipandang sebagai suatu pendekatan saja dalam memberi makna manusia, lantaran insan itu sendiri merupakan makhluk yang sangat multi dimensi, sehingga gambaran yang seutuhnya akan terus menjadi perhatian dan kajian yang menarik, untuk itu tidak berlebihan apabila Louis Leahy beropini bahwa insan itu sebagai makhluk paradoksal dan sebuah misteri, hal ini menunjukan betapa kompleks nya memaknai insan dengan seluruh dimensinya.
B. MAKNA BERFIKIR
Semua karakteristik insan yang menggambargakan ketinggian dan keagungan pada dasarnya merupakan akhir dari anugrah kebijaksanaan yang dimilikinya, serta pemanfaatannya untuk kegiatan berfikir, bahkan Tuhan pun memperlihatkan kiprah kekhalifahan (yang terbingkai dalam perintah dan larangan) di muka bumi pada insan tidak terlepas dari kapasitas kebijaksanaan untuk berfikir, berpengetahuan, serta membuat keputusan untuk melaksanakan dan atau tidak melaksanakan yang tanggungjawabnya inheren pada manusia, sehingga perlu dimintai pertanggungjawaban.
Sutan Takdir Alisjahbana. Menyatakan bahwa pikiran memberi insan pengetahuan yang sanggup dipakainya sebagai pedoman dalam perbuatannya, sedangkan kemauanlah yang menjadi pendorong perbuatan mereka. Oleh lantaran itu berfikir merupakan atribut penting yang menjadikan insan sebagai manusia, berfikir ialah fondasi dan kemauan ialah pendorongnya.
Kalau berfikir (penggunaan kekuatan akal) merupakan salah satu ciri penting yang membedakan insan dengan hewan, kini apa yang dimaksud berfikir, apakah setiap penggunaan kebijaksanaan sanggup dikategorikan berfikir, ataukah penggunaan kebijaksanaan dengan cara tertentu saja yang disebut berfikir. Para akhli telah mencoba mendefinisikan makna berfikir dengan rumusannya sendiri-sendiri, namun yang terang tanpa kebijaksanaan nampaknya kegiatan berfikir tidak mungkin sanggup dilakukan, demikian juga pemilikan kebijaksanaan secara fisikal tidak serta merta mengindikasikan kegiata berfikir.
Menurut J.M. Bochenski berfikir ialah perkembangan ilham dan konsep, definisi ini nampak sangat sederhana namun substansinya cukup mendalam, berfikir bukanlah kegiatan fisik namun merupakan kegiatan mental, bila seseorang secara mental sedang mengikatkan diri dengan sesuatu dan sesuatu itu terus berjalan dalam ingatannya, maka orang tersebut bisa dikatakan sedang berfikir. Jika demikian berarti bahwa berfikir merupakan upaya untuk mencapai pengetahuan. Upaya mengikatkan diri dengan sesuatu merupakan upaya untuk menjadikan sesuatu itu ada dalam diri (gambaran mental) seseorang, dan jika itu terjadi tahulah dia, ini berarti bahwa dengan berfikir insan akan bisa memperoleh pengetahuan, dan dengan pengetahuan itu insan menjadi lebih bisa untuk melanjutkan kiprah kekhalifahannya di muka bumi serta bisa memposisikan diri lebih tinggi dibanding makhluk lainnya.
Sementara itu Partap Sing Mehra memperlihatkan definisi berfikir (pemikiran) yaitu mencari sesuatu yang belum diketahui berdasarkan sesuatu yang sudah diketahui. Definisi ini mengindikasikan bahwa suatu kegiatan berfikir gres mungkin terjadi jika akal/pikiran seseorang telah mengetahui sesuatu, kemudian sesuatu itu dipergunakan untuk mengetahui sesuatu yang lain, sesuatu yang diketahui itu bisa merupakan data, konsep atau sebuah idea, dan hal ini kemudian berkembang atau dikembangkan sehingga diperoleh suatu yang kemudian diketahui atau bisa juga disebut kesimpulan. Dengan demikian kedua definisi yang dikemukakan akhli tersebut pada dasarnya bersifat saling melengkapi. Berfikir merupakan upaya untuk memperoleh pengetahuan dan dengan pengetahuan tersebut proses berfikir sanggup terus berlanjut guna memperoleh pengetahuan yang baru, dan proses itu tidak berhenti selama upaya pencarian pengetahuan terus dilakukan.
Menurut Jujus S Suriasumantri Berfikir merupakan suatu proses yang membuahkan pengetahuan. Proses ini merupakan serangkaian gerak pemikiran dalam mengikuti jalan pemikiran tertentu yang alhasil hingga pada sebuah kesimpulan yang berupa pengetahuan. Dengan demikian berfikir mempunyai gradasi yang berbeda dari berfikir sederhana hingga berfikir yang sulit, dari berfikir hanya untuk mengikatkan subjek dan objek hingga dengan berfikir yang menuntut kesimpulan berdasarkan ikatan tersebut. Sementara itu Partap Sing Mehra menyatakan bahwa proses berfikir meliputi hal-hal sebagai berikut yaitu :
- Conception (pembentukan gagasan)
- Judgement (menentukan sesuatu)
- Reasoning (Pertimbangan pemikiran/penalaran)
bila seseorang menyampaikan bahwa dia sedang berfikir perihal sesuatu, ini mungkin berarti bahwa dia sedang membentuk gagasan umum perihal sesuatu, atau sedang menentukan sesuatu, atau sedang mempertimbangkan (mencari argumentasi) berkaitan dengan sesuatu tersebut.
Cakupan proses berfikir sebagaimana disebutkan di atas menggambarkan bentuk substansi pencapaian kesimpulan, dalam setiap cakupan terbentang suatu proses (urutan) berfikir tertentu sesuai dengan substansinya. Menurut John Dewey proses berfikir mempuyai urutan-urutan (proses) sebagai berikut :
- Timbul rasa sulit, baik dalam bentuk penyesuaian terhadap alat, sulit mengenai sifat, ataupun dalam menerangkan hal-hal yang muncul secara tiba-tiba.
- Kemudian rasa sulit tersebut diberi definisi dalam bentuk permasalahan.
- Timbul suatu kemungkinan pemecahan yang berupa reka-reka, hipotesa, inferensi atau teori.
- Ide-ide pemecahan diuraikan secara rasional melalui pembentukan implikasi dengan jalan mengumpulkan bukti-bukti (data).
- Menguatkan pembuktian perihal ide-ide di atas dan menyimpulkannya baik melalui keterangan-keterangan ataupun percobaan-percobaan.
Sementara itu Kelly mengemukakan bahwa proses berfikir mengikuti langkah-langkah sebagai berikut :
- Timbul rasa sulit
- Rasa sulit tersebut didefinisikan
- Mencari suatu pemecahan sementara
- Menambah keterangan terhadap pemecahan tadi yang menuju kepada kepercayaan bahwa pemecahan tersebut ialah benar.
- Melakukan pemecahan lebih lanjut dengan verifikasi eksperimental
- Mengadakan penelitian terhadap penemuan-penemuan eksperimental menuju pemecahan secara mental untuk diterima atau ditolak sehingga kembali menimbulkan rasa sulit.
- Memberikan suatu pandangan ke depan atau gambaran mental perihal situasi yang akan tiba untuk sanggup menggunakan pemecahan tersebut secara tepat.
Urutan langkah (proses) berfikir ibarat tersebut di atas lebih menggambarkan suatu cara berfikir ilmiah, yang pada dasarnya merupakan gradasi tertentu disamping berfikir biasa yang sederhana serta berfikir radikal filosofis, namun urutan tersebut sanggup membantu bagaimana seseorang berfikir dengan cara yang benar, baik untuk hal-hal yang sederhana dan konkrit maupun hal-hal yang rumit dan abstrak, dan semua ini dipengaruhi oleh pengetahuan yang dimiliki oleh orang yang berfikir tersebut.
C. MAKNA PENGETAHUAN
Berfikir mensyaratkan adanya pengetahuan (Knowledge) atau sesuatu yang diketahui semoga pencapaian pengetahuan gres lainnya sanggup berproses dengan benar, kini apa yang dimaksud dengan pengetahuan ?, berdasarkan Langeveld pengetahuan ialah kesatuan subjek yang mengetahui dan objek yang diketahui, di tempat lain dia mengemukakan bahwa pengetahuan merupakan kesatuan subjek yang mengetahui dengan objek yang diketahui, suatu kesatuan dalam mana objek itu dipandang oleh subjek sebagai dikenalinya. Dengan demikian pengetahuan selalu berkaitan dengan objek yang diketahui, sedangkan Feibleman menyebutnya korelasi subjek dan objek (Knowledge : relation between object and subject). Subjek ialah individu yang punya kemampuan mengetahui (berakal) dan objek ialah benda-benda atau hal-hal yang ingin diketahui. Individu (manusia) merupakan suatu realitas dan benda-benda merupakan realitas yang lain, korelasi keduanya merupakan proses untuk mengetahui dan bila bersatu jadilah pengetahuan bagi manusia. Di sini terlihat bahwa subjek mesti berpartisipasi aktif dalam proses penyatuan sedang objek pun harus berpartisipasi dalam keadaannya, subjek merupakan suatu realitas demikian juga objek, ke dua realitas ini berproses dalam suatu interaksi partisipatif, tanpa semua ini tidak mungkin pengetahuan terjadi, hal ini sejalan dengan pendapat Max Scheler yang menyatakan bahwa pengetahuan sebagai partisipasi oleh suatu realita dalam suatu realita yang lain, tetapi tanpa modifikasi-modifikasi dalam kualitas yang lain itu. Sebaliknya subjek yang mengetahui itu dipengaruhi oleh objek yang diketahuinya.
Pengetahuan pada hakikatnya merupakan segenap apa yang diketahui perihal objek tertentu, termasuk ke dalamnya ilmu (Jujun S Suriasumantri,), Pengetahuan perihal objek selalu melibatkan dua unsur yakni unsur representasi tetap dan tak terlukiskan serta unsur penapsiran konsep yang menunjukan respon pemikiran. Unsur konsep disebut unsur formal sedang unsur tetap ialah unsur material atau isi (Maurice Mandelbaum). Interaksi antara objek dengan subjek yang menafsirkan, menjadikan pemahaman subjek (manusia) atas objek menjadi jelas, terarah dan sistimatis sehingga sanggup membantu memecahkan aneka macam masalah yang dihadapi. Pengetahuan tumbuh sejalan dengan bertambahnya pengalaman, untuk itu dibutuhkan informasi yang bermakna guna menggali pemikiran untuk menghadapi realitas dunia dimana seorang itu hidup (Harold H Titus).
D. BERFIKIR DAN PENGETAHUAN
Berfikir dan pengetahuan merupakan dua hal yang menjadi ciri keutamaan manusia, tanpa pengetahuan insan akan sulit berfikir dan tanpa berfikir pengetahuan lebih lanjut tidak mungkin sanggup dicapai, oleh lantaran itu nampaknya berfikir dan pengetahuan mempunyai korelasi yang sifatnya siklikal, bila digambarkan nampak sebagai berikut :
Gerak sirkuler antara berfikir dan pengetahuan akan terus membesar mengingat pengetahuan pada dasarnya bersifat akumulatit, semakin banyak pengetahuan yang dimiliki seseorang semakin rumit acara berfikir, demikian juga semakin rumit acara berfikir semakin kaya akumulasi pengetahuan. Semakin akumulatif pengetahuan insan semakin rumit, namun semakin memungkinkan untuk melihat pola umum serta mensistimatisirnya dalam suatu kerangka tertentu, sehingga lahirlah pengetahuan ilmiah (ilmu), disamping itu terdapat pula orang-orang yang tidak hanya puas dengan mengetahui, mereka ini mencoba memikirkan hakekat dan kebenaran yang diketahuinya secara radikal dan mendalam, maka lahirlah pengetahuan filsafat, oleh lantaran itu berfikir dan pengetahuan dilihat dari ciri prosesnya sanggup dibagi ke dalam :
- Berfikir biasa dan sederhana menghasilkan pengetahuan biasa (pengetahuan eksistensial)
- Berfikir sistematis faktual perihal objek tertentu menghasilkan pengetahuan ilmiah (ilmu)
- Berfikir radikal perihal hakekat sesuatu menghasilkan pengetahuan filosofis (filsafat)
Semua jenis berfikir dan pengetahuan tersebut di atas mempunyai poisisi dan keuntungannya masing-masing, perbedaan hanyalah bersifat gradual, lantaran semuanya tetap merupakan sifat yang inheren dengan manusia. Sifat inheren berfikir dan berpengetahuan pada insan telah menjadi pendorong bagi upaya-upaya untuk lebih memahami kaidah-kaidah berfikir benar (logika), dan semua ini makin memerlukan keakhlian, sehingga makin rumit tingkatan berfikir dan pengetahuan makin sedikit yang mempunyai kemampuan tersebut, namun serendah apapun gradasi berpikir dan berpengetahuan yang dimiliki seseorang tetap saja mereka bisa menggunakan akalnya untuk berfikir untuk memperoleh pengetahuan, terutama dalam menghadapi masalah-masalah kehidupan, sehingga insan sanggup mempertahankan hidupnya (pengetahuan macam ini disebut pengetahuan eksistensial). Gradasi berfikir dan berpengetahuan sebagai dikemukakan terdahulu dapan dibagankan sebagai berikut :
- Berfikir/
- Pengetahuan
- Filosofis
Berpengetahuan merupakan syarat mutlak bagi insan untuk mempertahankan hidupnya, dan untuk itu dalam diri insan telah terdapat kebijaksanaan yang sanggup dipergunakan berfikir untuk lebih mendalami dan memperluas pengetahuan. Paling tidak terdapat dua alasan mengapa insan memerlukan pengetahuan/ilmu yaitu :
- manusia tidak bisa hidup dalam alam yang belum terolah, sementara binatang siap hidup di alam orisinil dengan aneka macam kemampuan bawaannya
- manusia merupakan makhluk yang selalu bertanya baik implisit maupun eksplisit dan kemampuan berfikir serta pengetahuan merupakan sarana untuk menjawabnya.
Dengan demikian berfikir dan pengetahuan bagi insan merupakan instrumen penting untuk mengatasi aneka macam persoalah yang dihadapi dalam hidupnya di dunia, tanpa itu mungkin yang akan terlihat hanya kemusnahan insan (meski kenyataan menunjukan bahwa dengan berfikir dan pengetahuan insan lebih bisa membuat kerusakan dan memusnahkan diri sendiri lebih cepat)
PERTANYAAN UNTUK BAHAN DISKUSI
- jelaskan makna Manusia?
- Jelaskan perbedaan manuaia dengan hewan?
- apa yang dimaksud dengan berfikir?
- apa yang dimaksud dengan pengetahuan?
- elaskan korelasi antara berfikir dan pengetahuan?
- mengapa insan perlu berfikir dan berpengetahuan?
- sebutkan danjelaskan jenis-jenis berfikir dan pengetahuan?
- mengapa insan merupakan satu-satunya makhluk di dunia yang bisa beragama?
B A B 2
F I L S A F A T
Aku dihentikan menyampaikan bahwa mereka bijaksana, sebabkebijaksanaan ialah sesuatu yang luhur, dan hanya dimiliki oleh Tuhan sendiri. Sebutan yang bersahaja, yaitu yang selayaknya diberikan kepada mereka ialah pencinta kebijaksanaan atau akhli Filsafat (Socrates dalam Phaedrus karya Plato)
A. PENGERTIAN FILSAFAT
Secara etimologis filsafat berasal dari bahasa Yunani dari kata “philo” berarti cinta dan” sophia” yang berarti kebenaran, sementara itu berdasarkan I.R. Pudjawijatna (1963 : 1) “Filo artinya cinta dalam arti yang seluas-luasnya, yaitu ingin dan lantaran ingin kemudian berusaha mencapai yang diinginkannya itu . Sofia artinya kebijaksanaan , bijaksana artinya pandai, mengerti dengan mendalam, jadi berdasarkan namanya saja Filsafat boleh dimaknakan ingin mengerti dengan mendalam atau cinta dengan kebijaksanaan.
Kecintaan pada kebijaksanaan haruslah dipandang sebagai suatu bentuk proses, artinya segala upaya pemikiran untuk selalu mencari hal-hal yang bijaksana, bijaksana di dalamnya mengandung dua makna yaitu baik dan benar, baik ialah sesuatu yang berdimensi etika, sedangkan benar ialah sesuatu yang berdimensi rasional, jadi sesuatu yang bijaksana ialah sesuatu yang etis dan logis. Dengan demikian berfilsafat berarti selalu berusaha untuk berfikir guna mencapai kebaikan dan kebenaran, berfikir dalam filsafat bukan sembarang berfikir namun berpikir secara radikal hingga ke akar-akarnya, oleh lantaran itu meskipun berfilsafat mengandung kegiatan berfikir, tapi tidak setiap kegiatan berfikir berarti filsafat atau berfilsafat. Sutan Takdir Alisjahbana (1981) menyatakan bahwa pekerjaan berfilsafat itu ialah berfikir, dan hanya insan yang telah tiba di tingkat berfikir, yang berfilsafat. Guna lebih memahami mengenai makna filsafat berikut ini akan dikemukakan definisi filsafat yang dikemukakan oleh para akhli :
- Plato salah seorang murid Socrates yang hidup antara 427 – 347 Sebelum Masehi mengartikan filsafat sebagai pengetahuan perihal segala yang ada, serta pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran yang asli.
- Aristoteles (382 – 322 S.M) murid Plato, mendefinisikan filsafat sebagai ilmu pengetahuan yang meliputi kebenaran yang terkandung di dalamnya ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik dan estetika. Dia juga beropini bahwa filsafat itu menyidik lantaran dan asas segala benda.
- Cicero (106 – 43 S.M). filsafat ialah pengetahuan perihal sesuatu yang maha agung dan usaha-usaha mencapai hal tersebut.
- Al Farabi (870 – 950 M). seorang Filsuf Muslim mendefinidikan Filsafat sebagai ilmu pengetahuan perihal alam maujud, bagaimana hakikatnya yang sebenarnya.
- Immanuel Kant (1724 – 1804). Mendefinisikan Filsafat sebagai ilmu pokok dan pangkal segala pengetahuan yang meliputi di dalamnya empat masalah yaitu :
- Metafisika (apa yang sanggup kita ketahui).
- Etika (apa yang boleh kita kerjakan).
- Agama ( hingga dimanakah pengharapan kita)
- Antropologi (apakah yang dinamakan manusia).
H.C Webb dalam bukunya History of Philosophy menyatakan bahwa filsafat mengandung pengertian penyelidikan. Tidak hanya penyelidikan hal-hal yang khusus dan tertentu saja, bahkan lebih-lebih mengenai sifat – hakekat baik dari dunia kita, maupun dari cara hidup yang seharusnya kita selenggarakan di dunia ini.
7. Harold H. Titus dalam bukunya Living Issues in Philosophy mengemukakan beberapa pengertian filsafat yaitu :
- Philosophy is an attitude toward life and universe (Filsafat ialah perilaku terhadap kehidupan dan alam semesta).
- Philosophy is a method of reflective thinking and reasoned inquiry (Filsafat ialah suatu metode berfikir reflektif dan pengkajian secara rasional)
- Philosophy is a group of problems (Filsafat ialah sekelompok masalah)
- Philosophy is a group of systems of thought (Filsafat ialah serangkaian sistem berfikir)
Dari beberapa pengertian di atas nampak bahwa ada akhli yang menekankan pada subtansi dari apa yang difikirkan dalam berfilsafat ibarat pendapat Plato dan pendapat Al Farabi, Aristoteles lebih menekankan pada cakupan apa yang difikirkan dalam filsafat demikian juga Kant setelah menyebutkan sifat filsafatnya itu sendiri sebagai ilmu pokok, sementara itu Cicero disamping menekankan pada substansi juga pada upaya-upaya pencapaiannya. Demikian juga H.C. Webb melihat filsafat sebagai upaya penyelidikan perihal substansi yang baik sebagai suatu keharusan dalam hidup di dunia. Definisi yang nampaknya lebih menyeluruh ialah yang dikemukakan oleh Titus, yang menekankan pada dimensi-dimensi filsafat dari mulai sikap, metode berfikir, substansi masalah, serta sistem berfikir.
Meskipun demikian, bila diperhatikan secara seksama, nampak pengertian-pengertian tersebut lebih bersifat saling melengkapi, sehingga sanggup dikatakan bahwa berfilsafat berarti penyeledikan perihal Apanya, Bagaimananya, dan untuk apanya, dalam konteks ciri-ciri berfikir filsafat, yang bila dikaitkan dengan terminologi filsafat tercakup dalam ontologi (apanya), epistemologi (bagaimananya), dan axiologi (untuk apanya)
B. CIRI-CIRI FILSAFAT
Bila dilihat dari aktivitasnya filsafat merupakan suatu cara berfikir yang mempunyai karakteristik tertentu. Menurut Sutan Takdir Alisjahbana syarat-syarat berfikir yang disebut berfilsafat yaitu : a) Berfikir dengan teliti, dan b) Berfikir berdasarkan aturan yang pasti. Dua ciri tersebut mengambarkan berfikir yang insaf, dan berfikir yang demikianlah yang disebut berfilsafat. Sementara itu Sidi Gazalba (1976) menyatakan bahwa ciri ber-Filsafat atau berfikir Filsafat ialah : radikal, sistematik, dan universal. Radikal bermakna berfikir hingga ke akar-akarnya (Radix artinya akar), tidak tanggung-tanggung hingga dengan aneka macam konsekwensinya dengan tidak terbelenggu oleh aneka macam pemikiran yang sudah diterima umum, Sistematik artinya berfikir secara teratur dan logis dengan urutan-urutan yang rasional dan sanggup dipertanggungjawabkan, Universal artinya berfikir secara menyeluruh tidak pada bagian-bagian khusus yang sifatnya terbatas.
Sementara itu Sudarto (1996) menyatakan bahwa ciri-ciri berfikir Filsafat ialah :
- Metodis : menggunakan metode, cara, yang lazim digunakan oleh filsuf (akhli filsafat) dalam proses berfikir
- Sistematis : berfikir dalam suatu keterkaitan antar unsur-unsur dalam suatu keseluruhan sehingga tersusun suatu pola pemikiran Filsufis.
- Koheren : diantara unsur-unsur yang dipikirkan tidak terjadi sesuatu yang bertentangan dan tersusun secara logis
- Rasional : mendasarkan pada kaidah berfikir yang benar dan logis (sesuai dengan kaidah logika)
- Komprehensif : berfikir perihal sesuatu dari aneka macam sudut (multidimensi).
- Radikal : berfikir secara mendalam hingga ke akar-akarnya atau hingga pada tingkatan esensi yang sedalam-dalamnya
- Universal : muatan kebenarannya bersifat universal, mengarah pada realitas kehidupan insan secara keseluruhan
Dengan demikian berfilsafat atau berfikir filsafat bukanlah sembarang berfikir tapi berfikir dengan mengacu pada kaidah-kaidah tertentu secara disiplin dan mendalam. Pada dasarnya insan ialah homo sapien, hal ini tidak serta merta semua insan menjadi Filsuf, lantaran berfikir filsafat memerlukan latihan dan pembiasaan yang terus menerus dalam kegiatan berfikir sehingga setiap masalah/substansi menerima pencermatan yang mendalam untuk mencapai kebenaran balasan dengan cara yang benar sebagai manifestasi kecintaan pada kebenaran.
C. OBJEK FILSAFAT
Pada dasarnya filsafat atau berfilsafat bukanlah sesuatu yang asing dan terlepas dari kehidupan sehari-hari, lantaran segala sesuatu yang ada dan yang mungkin serta sanggup difikirkan bisa menjadi objek filsafat apabila selalu dipertanyakan, difikirkan secara radikal guna mencapai kebenaran. Louis Kattsoff menyebutkan bahwa lapangan kerja filsafat itu bukan main luasnya yaitu meliputi segala pengetahuan insan serta segala sesuatu yang ingin diketahui manusia, Langeveld (1955) menyatakan bahwa filsafat itu berpangkal pada pemikiran keseluruhan serwa sekalian secara radikal dan berdasarkan sistem, sementara itu Mulder (1966) menjelaskan bahwa tiap-tiap insan yang mulai berfikir perihal diri sendiri dan perihal tempat-tempatnya dalam dunia akan menghadapi beberapa masalah yang begitu penting, sehingga persoalan-persoalan itu boleh diberi nama persoalan-persoalan pokok yaitu : 1) Adakah Allah dan siapakan Allah itu ?, 2) apa dan siapakah insan ?, dan 3) Apakah hakekat dari segala realitas, apakah maknanya, dan apakah intisarinya ?. Lebih jauh E.C. Ewing dalam bukunya Fundamental Questions of Philosophy (1962) menyatakan bahwa pertanyaan-pertanyaan pokok filsafat (secara tersirat menunjukan objek filsafat) ialah : Truth (kebenaran), Matter (materi), Mind (pikiran), The Relation of matter and mind (hubungan antara materi dan pikiran), Space and Time (ruang dan waktu), Cause (sebab-sebab), Freedom (kebebasan), Monism versus Pluralism (serba tunggal lawan serba jamak), dan God (Tuhan)
Pendapat-pendapat tersebut di atas menggambarkan betapa luas dan mencakupnya objek filsafat baik dilihat dari substansi masalah maupun sudut pandang nya terhadap masalah, sehingga sanggup disimpulkan bahwa objek filsafat ialah segala sesuatu yang maujud dalam sudut pandang dan kajian yang mendalam (radikal). Secara lebih sistematis para akhli membagi objek filsafat ke dalam objek material dan obyek formal. Obyek material ialah objek yang secara wujudnya sanggup dijadikan materi telaahan dalam berfikir, sedangkan obyek formal ialah objek yang menyangkut sudut pandang dalam melihat obyek material tertentu.
Menurut Endang Saefudin Anshori (1981) objek material filsafat ialah sarwa yang ada (segala sesuatu yang berwujud), yang pada garis besarnya sanggup dibagi atas tiga masalah pokok yaitu : 1). Hakekat Tuhan; 2). Hakekat Alam; dan 3). Hakekat manusia, sedangkan objek formal filsafat ialah usaha mencari keterangan secara radikal terhadap objek material filsafat. Dengan demikian objek material filsafat mengacu pada substansi yang ada dan mungkin ada yang sanggup difikirkan oleh manusia, sedangkan objek formal filsafat menggambarkan perihal cara dan sifat berfikir terhadap objek material tersebut, dengan kata lain objek formal filsafat mengacu pada sudut pandang yang digunakan dalam memikirkan objek material filsafat.
D. SISTIMATIKA FILSAFAT
adapun Bidang-bidang kajian/sistimatika filsafat antara lain ialah :
- Ontologi. Bidang filsafat yang meneliti hakikat wujud/ada (on = being/ada; logos = pemikiran/ ilmu/teori).
- Epistemologi. Filsafat yang menyidik perihal sumber, syarat serta proses terjadinya pengetahuan (episteme = pengetahuan/knowledge; logos = ilmu/teori/pemikiran)
- Axiologi. Bidang filsafat yang menelaah perihal hakikat nilai-nilai (axios = value; logos = teori/ilmu/pemikiran)
Sementara itu berdasarkan Gahral Adian, Pendekatan filsafat melalui sistimatika sanggup dilakukan dengan mengacu pada tiga pernyataan yang dikemukakan oleh Immanuel Kant yaitu :
- Apa yang sanggup saya ketahui ?
- Apa yang sanggup saya harapkan ?
- Apa yang sanggup saya lakukan ?
ketiga pertanyaan tersebut menghasilkan tiga wilayah besar filsafat yaitu wilayah pengetahuan, wilayah ada, dan wilayah nilai. Ketiga wilayah besar tersebut kemudian dibagi lagi kedalam wilayah-wilayah serpihan yang lebih spesifik. Wilayah nilai meliputi nilai etika (kebaikan) dan nilai estetika (keindahan), wilayah Ada dikelompokan ke dalam Ontologi dan Metafisika, dan wilayah pengetahuan dibagi ke dalam empat wilayah yaitu filsafat Ilmu, Epistemologi, Metodologi, dan Logika. lebih lanjut ketiga wilayah tersebut diskemakan sbb :
- ONTOLOGI METAFISIKA
- FILSAFAT ILMU ETIKA
- EPISTEMOLOGI
- METODOLOGI
- LOGIKA ESTETIKA
E. CABANG-CABANG FILSAFAT
Dengan memahami Bidang-bidang kajian/sistimatika filsafat, nampak bahwa betapa luas cakupan filsafat mengingat segala sesuatu yang ada sanggup dijadikan substansi bagi pemikiran filsafat, namun demikian dalam perkembangannya para akhli mencoba mengelompokan cabang-cabang Filsafat kedalam beberapa pengelompokan sehingga nampak lebih fokus dan sistematis. Pencabangan ini pada dasarnya merupakan perkembangan selanjutnya dari pembidangan/sistematika filsafat, seiring makin berkembangnya pemikiran insan dalam melihat substansi objek material filsafat dengan titik tekan penelaahan yang bervariasi. Berikut ini akan dikemukakan pendapat beberapa pakar perihal cabang-cabang filsafat.
- Plato (427 – 347 S.M). membedakan lapangan atau bidang-bidang Filsafat kedalam : 1) Dialektika (yang mengandung masalah idea-idea atau pengertian-pengertian umum), 2) Fisika (yang mengandung masalah dunia materi), 3) Etika (yang mengandung masalah baik dan buruk).
- Aristoteles (382 – 322 S.M).berpendapat bahwa Filsafat sanggup dibagi ke dalam empat cabang yaitu :
- Logika. Merupakan ilmu pendahuluan bagi Filsafat
- Filsafat Teoritis. Yang meliputi tiga bidang: 1) Fisika, 2) Matematika, 3) Metafisika.
- Filsafat Praktis. Mencakup tiga bidang yaitu 1) Etika, 2) Ekonomi, 3) Politik.
- Poetika (kesenian)
3. Al Kindi. Membagi Filsafat ke dalam tiga bidang yaitu :
- Ilmu Thabiiyat (Fisika)--merupakan tingkatan terendah
- Ilmu Riyadhi (matematika)—merupakan tingkatan menengah
- Ilmu Rububiyat (Ketuhanan)—merupakan tingkatan tertinggi
4. Al Farabi. Membagi Filsafat ke dalam dua serpihan yaitu :
- Filsafat Teori. Meliputi matematika, Fisika, dan Metafisika.
- Filsafat Praktis. Meliputi etika dan politik
5. H. De Vos. Menggolongkan Filsafat ke dalam :
- Metafisika (pemikiran di luar kebendaan)
- Logika (cara berfikir benar)
- Ajaran perihal Ilmu Pengetahua
- Filsafat Alam
- Filsafat Kebudayaan
- Filsafat sejarah
- Etika (masalah baik dan buruk)
- Estetika (masalah keindahan, seni)
- Antropologi (masalah yang berkaitan dengan manusia)
Hasbullah Bakry (1978). Menyatakan bahwa di zaman modern ini pembagian/cabang filsafat terdiri
- Filsafat Teoritis yang terdiri dari: logika, Metafisika, filsafat alam, filsafat manusia.
- Filsafat praktis. Terdiri dari : etika, filsafat Agama, filsafat kebudayaan
7. Prof.H.Ismaun (2000). Membagi cabang-cabang Filsafat sebagai berikut :
- Epistemologi (filsafat pengetahuan)
- Etika (filsafat moral.
- Estetika (filsafat seni)
- Metafisika
- Politik (filsafat pemerintahan/negara)
- Filsafat Agama
- Filsafat pendidikan
- Filsafat ilmu
- Filsafat hukum
- Filsafat sejarah
- Filsafat matematika
8. Richard A. Hopkin. Membahas Filsafat ke dalam tujuh cabang penelaahan yaitu :
- Etics (etika)
- Political Philosophy (filsafat politik)
- Metaphisics (metafisika)
- Philosophy of Religion (filsafat Agama)
- Theory of Knowledge (teori pengetahuan)
- Logics (logika)
9. Alburey Castell. Membagi filsafat ke dalam :
- Ketuhanan (theological problem)
- Metafisika (methaphysical problem)
- Epistemologi (epistemological problem)
- Etika (ethical problem)
- Politik (political problem)
- Sejarah (historical problem)
10. Endang Saifuddin Anshori. Membagi cabang-cabang filsafat sebagai berikut :
- Metafisika. Filsafat perihal hakekat yang ada dibalik fisika, perihal hakekat yang bersifat transenden, di luar atau di atas jangkauan pengalaman manusia.
- Logika. Filsafat perihal pikiran yang benar dan yang salah.
- Etika. Filsafat perihal tingkah laku yang baik dan yang buruk.
- Estetika. Filsafat perihal kreasi yang indah dan yang jelek
- Epistemologi. Filsafat perihal ilmu pengetahuan
- Filsafat-filsafat khusus lainnya seperti: filsafat hukum, filsafat sejarah, filsafat alam, filsafat agama, filsafat manusia, filsafat pendidikan dan lain sebagainya
Pencabangan filsafat sebagaimana tersebut di atas amat penting dipahami guna melihat perkembangan keluasan dari substansi yang dikaji dan ditelaah dalam filsafat, dan secara teoritis hal itu masih mungkin berkembang sejalan dengan kemendalaman pengkajian terhadap objek materi filsafat.
F. PENDEKATAN DALAM MEMPELAJARI FILSAFAT
Upaya memahami apa yang dimaksud dengan filsafat sanggup dilakukan melalui aneka macam pendekatan, secara umum, pendekatan yang diambil sanggup dikategorikan berdasarkan sudut pandang terhadap filsafat, yakni filsafat sebagai produk dan filsafat sebagai proses. Sebagai produk artinya melihat filsafat sebagai kumpulan pemikiran dan pendapat yang dikemukakan oleh filsuf, sedangkan sebagai proses, filsafat sebagai suatu bentuk/cara berfikir yang sesuai dengan kaidah-kaidah berfikir filsafat.
Menurut Donny Gahral Adian (2002), terdapat empat pendekatan dalam melihat/memahami filsafat yaitu:
- Pendekatan Definisi.
- Pendekatan Sistimatika.
- Pendekatan Tokoh
- Pendekatan Sejarah
Pendekatan Definisi. Dalam pendekatan ini filsafat dicoba difahami melalui aneka macam definisi yang dikemukakan oleh para akhli, dan dalam korelasi ini penelusuran asal kata menjadi penting, mengingat kata filsafat itu sendiri pada dasarnya merupakan kristalisasi/representasi dari konsep-konsep yang terdapat dalam definisi itu sendiri, sehingga pemahaman atas kata filsafat itu sendiri akan sangat membantu dalam memahami definisi filsafat.
Pendekatan Sistimatika. Objek material Filsafat ialah serwa yang ada dengan aneka macam variasi substansi dan tingkatan. Objek material ini bisa ditelaah dari aneka macam sudut sesuai dengan fokus keterangan yang diinginkan. Variasi fokus telaahan yang mengacu pada objek formal melahirkan aneka macam bidang kajian dalam filsafat yang menggambarkan sistimatika,
Pendekatan Tokoh. Pada umumnya para filsuf jarang membahas secara tuntas seluruh wilayah filsafat, seorang filsuf biasanya mempunyai fokus utama dalam pemikiran filsafatnya. Dalam pendekatan ini seseorang mencoba mendalami filsafat melalui penelaahan pada pemikiran-pemikiran yang dikemukakan oleh para Filsuf, yang terkadang mempunyai kekhasan tersendiri, sehingga membentuk suatu aliran filsafat tertentu, oleh lantaran itu pendekatan tokoh juga sanggup dikelompokan sebagai pendekatan Aliran, meskipun tidak semua Filsuf mempunyai aliran tersendiri.
Pendekatan Sejarah. Pendekatan ini berusaha memahami filsafat dengan melihat aspek sejarah dan perkembangan pemikiran filsafat dari waktu ke waktu dengan melihat kecenderungan-kecenderungan umum sesuai dengan semangat zamannya, kemudian dilakukan periodisasi untuk melihat perkembangan pemikiran filsafat secara kronologis.
Dari pendekatan-pendekatan tersebut di atas, nampak sekali bahwa untuk memahami filsafat seseorang sanggup memasukinya melalui empat pintu, namun demikian bagi pemula, pintu-pintu tersebut harus dilalui secara terurut, mengingat pintu pendekatan Tokoh dan pendekatan Historis perlu didasari dengan pemahaman awal perihal filsafat yang sanggup diperoleh melalui pintu pendekatan definisi dan pendekatan sistematika.
G. SUDUT PANDANG TERHADAP FILSAFAT
Terdapat tiga sudut pandang dalam melihat Filsafat, sudut pandang ini menggambarkan variasi pemahaman dalam menggunakan kata Filsafat, sehingga dalam penggunaannya mempunyai konotasi yang berbeda. Adapun sudut pandang tersebut ialah :
- Filsafat sebagai metode berfikir (Philosophy as a method of thought
- Filsafat sebagai pandangan hidup (Philosophy as a way of life)
- Filsafat sebagai Ilmu (Philosophy as a science)
Filsafat sebagai metode berfikir berarti filsafat dipandang sebagai suatu cara insan dalam memikirkan perihal segala sesuatu secara radikal dan menyeluruh, Filsafat sebagai pandangan hidup mengacu pada suatu keyakinan yang menjadi dasar dalam kehidupan baik intelektual, emosional, maupun praktikal, sedangkan filsafat sebagai Ilmu artinya melihat filsafat sebagai suatu disiplin ilmu yang mempunyai karakteristik yang khas sesuai dengan sifat suatu ilmu.
H. SEJARAH SINGKAT FILSAFAT
Sejarah filsafat sanggup diperiodisasi ke dalam empat periode (Sudarto. 1996) yaitu :
- 1. Tahap/masa Yunani kuno (Abad ke-6 S.M hingga selesai era ke-3 S.M)
- 2. Tahap/masa Abad Pertengahan (akhir era ke-3 S.M hingga awal era ke-15 Masehi)
- 3. Tahap/masa Modern (akhir era ke-15 M hingga era ke-19 Masehi)
- 4. Tahap/masa remaja ini/filsafat kontemporer (abad ke-20 Masehi)
sementara itu K. Bertens dalam bukunya Ringkasan Sejarah Filsafat (1976) menyusun topik-topik pembahasannya sebagi berikut :
- Masa Purba Yunani
- Masa Patristik dan Abad pertengahan
- Masa Modern
Pembagian periodisasi yang nampaknya lebih rinci, dikemukakan oleh Susane K. Langer (Donny Gahral Adian, 2002) yang membagi sejarah filsafat ke dalam enam tahapan yaitu :
- Yunani Kuno (+ 600 SM)
- Filsuf-filsuf Manusia Yunani
- Abad Pertengahan (300 SM –1300M)
- Filsafat Modern (17-19 M)
- Positivisme (Abad 20 M)
- Alam Simbolis
kemudian Gahral Adian menambahkan kepada enam tahapan tersebut dengan satu tahapan lagi yaitu Post Modernisme. Meskipun terdapat perbedaan dalam periodisasi sejarah filsafat, namun semua itu nampaknya lebih menunjukan perincian dengan menggunakan sifat pemikiran serta pengaruhnya dalam kehidupan masyarakat.
Masa Yunani Kuno. Pada tahap awal kelahirannya filsafat menampakkan diri sebagi suatu bentuk mitologi, serta dongeng-dongeng yang dipercayai oleh Bangsa Yunani, gres setelah Thales (624-548 S.M) mengemukakan pertanyaan gila pada waktu itu, filsafat menjelma suatu bentuk pemikiran rasional (logos). Pertanyaan Thales yang menggambarkan rasa keingintahuan bukanlah pertanyaan biasa ibarat apa rasa kopi ?, atau pada tahun keberapa tumbuhan kopi berbuah ?, pertanyaan Thales yang merupakan pertanyaan filsafat, lantaran mempunyai bobot yang dalam sesuatu yang ultimate (bermakna dalam) yang mempertanyakan perihal Apa bahwasanya materi alam semesta ini (What is the nature of the world stuff ?), atas pertanyaan ini indra tidak bisa menjawabnya, sains juga terdiam, namun Filsuf berusaha menjawabnya. Thales menjawab Air (Water is the basic principle of the universe), dalam pandangan Thales air merupakan prinsip dasar alam semesta, lantaran air sanggup menjelma aneka macam wujud
Kemudian silih berganti Filsuf memperlihatkan balasan terhadap materi dasar (Arche) dari semesta raya ini dengan argumentasinya masing-masing. Anaximandros (610-540 S.M) menyampaikan Arche is to Apeiron, Apeiron ialah sesuatu yang paling awal dan abadi, Pythagoras (580-500 S.M) menyatakan bahwa hakekat alam semesta ialah bilangan, Demokritos (460-370 S.M) beropini hakekat alam semesta ialah Atom, Anaximenes (585-528 S.M) menyatakan udara, dan Herakleitos (544-484 S.M) menjawab asal hakekat alam semesta ialah api, dia beropini bahwa di dunia ini tak ada yang tetap, semuanya mengalir . Variasi balasan yang dikemukakan para filsuf menandai dinamika pemikiran yang mencoba mendobrak dominasi mitologi, mereka mulai secara intens memikirkan perihal Alam/Dunia, sehingga sering dijuluki sebagai Philosopher atau akhli perihal Filsafat Alam (Natural Philosopher), yang dalam perkembangan selanjutnya melahirkan Ilmu-ilmu kealaman.
Pada perkembangan selanjutnya, disamping pemikiran perihal Alam, para akhli fikir Yunani pun banyak yang berupaya memikirkan perihal hidup kita (manusia) di Dunia. Dari titik tolak ini lahir lah Filsafat moral (atau filsafat sosial) yang pada tahapan berikutnya mendorong lahirnya Ilmu-ilmu sosial. Diantara filsuf populer yang banyak mencurahkan perhatiannya pada kehidupan insan ialah Socrates (470-399 S.M), dia sangat menentang aliran kaum Sofis
Yang cenderung mempermainkan kebenaran, Socrates berusaha meyakinkan bahwa kebenaran dan kebaikan sebagai nilai-nilai yang
Kaum Sofis ialah golongan yang tidak lagi memikirkan alam, malainkan melatih kemahiran insan dalam berpidato, berargumentasi untuk mempertahankan kebenaran, akan tetapi bagi mereka kebenaran itu sifatnya relatif tergantung kemampuan berargumentasi. Salah seorang tokohnya ialah Protagoras yang beropini bahwa Man is the measure of all things objektif yang harus diterima dan dijunjung tinggi oleh semua orang. Dia mengajukan pertanyaan pada siapa saja yang ditemui dijalan untuk membukakan batin warga Athena kepada kebenaran (yang benar) dan kebaikan (yang baik). Dari prilakunya ini pemerintah Athena menganggap Socrates sebagai penghasut, dan alhasil dia dieksekusi mati dengan jalan meminum racun.
Sesudah Socrates mennggal, filsafat Yunani terus berkembang dengan Tokohnya Plato (427-347 S.M), salah seorang murid Socrates. Diantara pemikiran Plato yang penting ialah berkaitan dengan pembagian relaitas ke dalam dua serpihan yaitu realitas/dunia yang hanya terbuka bagi rasio, dan dunia yang terbuka bagi pancaindra, dunia pertama terdiri dari idea-idea, dan dunia ke dua ialah dunia jasmani (pancaindra), dunia ilham sifatnya tepat dan tetap, sedangkan dunia jasmani selalu berubah. Dengan pendapatnya tersebut, berdasarkan Kees Berten (1976), Plato berhasil mendamaikan pendapatnya Herakleitos dengan pendapatnya Permenides, berdasarkan Herakleitos segala sesuatu selalu berubah, ini benar kata Plato, tapi hanya bagi dunia Jasmani (Pancaindra), sementara berdasarkan Permenides segala sesuatu sama sekali tepat dan tidak sanggup berubah, ini juga benar kata Plato, tapi hanya berlaku pada dunia idea saja.
Dalam sejarah Filsafat Yunani, terdapat seorang filsuf yang sangat legendaris yaitu Aristoteles (384-322 S.M), seorang yang pernah mencar ilmu di Akademia Plato di Athena. Setelah Plato meninggal Aristoteles menjadi guru pribadinya Alexander Agung selama dua tahun, setelah itu dia kembali lagi ke Athena dan mendirikan Lykeion, dia sangat mengagumi pemikiran-pemikiran Plato meskipun dalam filsafat, Aristoteles mengambil jalan yang berbeda (Aristoteles pernah mengatakan-ada juga yang beropini bahwa ini bukan ucapan Aristoteles- Amicus Plato, magis amica veritas – Plato memang sahabatku, tapi kebenaran lebih dekat bagiku – ungkapan ini terkadang diterjemahkan bebas menjadi “Saya menyayangi Plato, tapi saya lebih menyayangi kebenaran”)
Aristoteles mengkritik tajam pendapat Plato perihal idea-idea, berdasarkan Dia yang umum dan tetap bukanlah dalam dunia idea akan tetapi dalam benda-benda jasmani itu sendiri, untuk itu Aristoteles mengemukakan teori Hilemorfisme (Hyle = Materi, Morphe = bentuk), berdasarkan teori ini, setiap benda jasmani mempunyai dua hal yaitu bentuk dan materi, sebagai contoh, sebuah patung niscaya mempunyai dua hal yaitu materi atau materi baku patung contohnya kayu atau batu, dan bentuk contohnya bentuk kuda atau bentuk manusia, keduanya tidak mungkin lepas satu sama lain, contoh tersebut hanyalah untuk memudahkan pemahaman, lantaran dalam pandangan Aristoteles materi dan bentuk itu merupakan prinsip-prinsip metafisika untuk memperkukuh dimingkinkannya Ilmu pengetahuan atas dasar bentuk dalam setiap benda konkrit. Teori hilemorfisme juga menjadi dasar bagi pandangannya perihal manusia, insan terdiri dari materi dan bentuk, bentuk ialah jiwa, dan lantaran bentuk tidak pernah lepas dari materi, maka konsekwensinya ialah bahwa apabila insan mati, jiwanya (bentuk) juga akan hancur.
Disamping pendapat tersebut Aristoteles juga dikenal sebagai Bapak Logika yaitu suatu cara berpikir yang teratur berdasarkan urutan yang tepat atau berdasarkan korelasi lantaran akibat. Dia ialah yang pertama kali membentangkan cara berpikir teratur dalam suatu sistem, yang intisarinya ialah Sylogisme (masalah ini akan diuraikan khusus dalam topik Logika) yaitu menarik kesimpulan dari kenyataan umum atas hal yang khusus (Mohammad Hatta, 1964).
Abad Pertengahan. Semenjak meninggalnya Aristoteles, filsafat terus berkembang dan menerima kedudukan yang tetap penting dalam kehidupan pemikiran insan meskipun dengan corak dan titik tekan yang berbeda. Periode semenjak meninggalnya Aristoteles (atau setelah meninggalnya Alexander Agung (323 S.M) hingga menjelang lahirnya Agama Katolik oleh Droysen (Ahmad Tafsir. 1992) disebut periode Hellenistik (Hellenisme ialah istilah yang menunjukan kebudayaan gabungan antara budaya Yunani dan Asia Kecil, Siria, Mesopotamia, dan Mesir Kuno). Dalam masa ini Filsafat ditandai antara lain dengan perhatian pada hal yang lebih aplikatif, serta kurang memperhatikan Metafisika, dengan semangat yang Eklektik (mensintesiskan pendapat yang berlawanan) dan bercorak Mistik.
Menurut A. Epping. at al (1983), ciri insan (pemikiran filsafat) era pertengahan ialah :
- Ciri berfilsafatnya dipimpin oleh Gereja
- Berfilsafat di dalam lingkungan aliran Aristoteles
- berfilsafat dengan sumbangan Augustinus
pada masa ini filsafat cenderung kehilangan otonominya, pemikiran filsafat era pertengahan bercirikan Teosentris (kebenaran berpusat pada wahyu Tuhan), hal ini tidak mengherankan mengingat pada masa ini efek Agama Katolik sangat besar dalam kehidupan manusia, termasuk dalam bidang pemikiran.
Filsafat era pertengahan sering juga disebut filsafat scholastik, yakni filsafat yang mempunyai corak semata-mata bersifat keagamaan, dan mengabdi pada teologi. Pada masa ini memang terdapat upaya-upaya para filsuf untuk memadukan antara pemikiran Rasional (terutama pemikiran-pemikiran Aristoteles) dengan Wahyu Tuhan sehingga sanggup dipandang sebagai upaya sintesa antara kepercayaan dan akal. Keadaan ini pun terjadi dikalangan umat Islam yang mencoba melihat aliran Islam dengan sudut pandang Filsafat (rasional), hal ini dimungkinkan mengingat begitu kuatnya efek pemikiran-pemikiran jago filsafat Yunani/hellenisme dalam dunia pemikiran dikala itu, sehingga keyakinan Agama perlu dicarikan landasan filosofisnya semoga menjadi suatu keyakinan yang rasional.
Pemikiran-pemikiran yang mencoba melihat Agama dari perspektif filosofis terjadi baik di dunia Islam maupun Kristen, sehingga para jago mengelompokan filsafat skolastik ke dalam filsafat skolastik Islam dan filsafat skolastik Kristen.
Di dunia Islam (Umat Islam) lahir filsuf-filsuf populer ibarat Al Kindi (801-865 M), Al Farabi (870-950 M), Ibnu Sina (980-1037 M), Al Ghazali (1058-1111 M), dan Ibnu Rusyd (1126-1198), sementara itu di dunia Katolik lahir Filsuf-filsuf antara lain ibarat Peter Abelardus (1079-1180), Albertus Magnus (1203-1280 M), dan Thomas Aquinas (1225-1274). Mereka ini disamping sebagai Filsuf juga orang-orang yang mendalami aliran agamanya masing-masing, sehingga corak pemikirannya mengacu pada upaya mempertahankan keyakinan agama dengan jalan filosofis, meskipun dalam banyak hal terkadang aliran Agama dijadikan Hakim untuk memfonis benar tidaknya suatu hasil pemikiran Filsafat (Pemikiran Rasional).
Masa Modern. Pada masa ini pemikiran filosofis ibarat dilahirkan kembali dimana sebelumnya dominasi gereja sangat lebih banyak didominasi yang berakibat pada upaya mensinkronkan antara aliran gereja dengan pemikiran filsafat. Kebangkitan kembali rasio mewarnai zaman modern dengan salah seorang pelopornya ialah Descartes, dia berjasa dalam merehabilitasi, mengotonomisasi kembali rasio yang sebelumnya hanya menjadi budak keimanan.
Diantara pemikiran Desacartes (1596-1650) yang penting ialah diktum kesangsian, dengan menyampaikan Cogito ergo sum, yang biasa diartikan saya berfikir, maka saya ada. Dengan ungkapan ini posisi rasio/fikiran sebagai sumber pengetahuan menjadi semakin kuat, ajarannya punya efek yang cukup besar bagi perkembangan ilmu pengetahuan, segala sesuatu bisa disangsikan tapi subjek yang berfikir menguatkan kepada kepastian.
Dalam perkembangnnya argumen Descartes (rasionalisme) menerima tantangan keras dari para filosof penganut Empirisme ibarat David Hume (1711-1776), John Locke (1632-1704). Mereka beropini bahwa pengetahuan hanya didapatkan dari pengalaman lewat pengamatan empiris. Pertentangan tersebut terus berlanjut hingga muncul Immanuel Kant (1724-1804) yang berhasil membuat sintesis antara rasionalisme dengan empirisme, Kant juga dianggap sebagai tokoh sentral dalam zaman modern dengan pernyataannya yang populer sapere aude(berani berfikir sendiri), pernyataan ini terang makin mendorong upaya-upaya berfikir insan tanpa perlu takut terhadap kekangan dari Gereja.
Pandangan empirisme semakin kuat pengaruhnya dalam cabang ilmu pengetahuan setelah munculnya pandangan August Comte (1798-1857) perihal Positivisme. Salah satu buah pikirannya yang sangat penting dan kuat ialah perihal tiga tahapan/tingkatan cara berpikir insan dalam berhadapan dengan alam semesta yaitu : tingkatan Teologi, tingkatan Metafisik, dan tingkatan Positif
Tingkatan Teologi (Etat Theologique). Pada tingkatan ini insan belum bisa memahami hal-hal yang berkaitan dengan lantaran akibat. Segala insiden dialam semesta merupakan akhir dari suatu perbuatan Tuhan dan insan hanya bersifat pasrah, dan yang sanggup dilakukan ialah memohon pada Tuhan semoga dijauhkan dari aneka macam bencana. Tahapan ini terdiri dari tiga tahapan lagi yang berevolusi yakni dari tahap animisme, tahap politeisme, hingga dengan tahap monoteisme.
Tingkatan Metafisik (Etat Metaphisique). Pada dasarnya tingkatan ini merupakan suatu variasi dari cara berfikir teologis, dimana Tuhan atau Dewa-dewa diganti dengan kekuatan-kekuatan abnormal contohnya dengan istilah kekuatan alam. Dalam tahapan ini insan mulai menemukan keberanian dan merasa bahwa kekuatan yang menimbulkan tragedi sanggup dicegah dengan memperlihatkan aneka macam sajian-sajian sebagai penolak bala/bencana.
Tingkatan Positif (Etat Positive). Pada tahapan ini insan sudah menemukan pengetahuan yang cukup untuk menguasai alam. Jika pada tahapan pertama insan selalu dihinggapi rasa khawatir berhadapan dengan alam semesta, pada tahap kedua insan mencoba menghipnotis kekuatan yang mengatur alam semesta, maka pada tahapan positif insan lebih percaya diri, dengan ditemukannya hukum-hukum alam, dengan bekal itu insan bisa menundukan/mengatur (pernyataan ini mengindikasikan adanya pemisahan antara subyek yang mengetahui dengan obyek yang diketahui) alam serta memanfaatkannya untuk kepentingan manusia, tahapan ini merupakan tahapan dimana insan dalam hidupnya lebih mengandalkan pada ilmu pengetahuan.
Dengan memperhatikan tahapan-tahapan ibarat dikemukakan di atas nampak bahwa istilah positivisme mengacu pada tahapan ketiga (tahapan positif/pengetahuan positif) dari pemikiran Comte. Tahapan positif merupakan tahapan tertinggi, ini berarti dua tahapan sebelumnya merupakan tahapan yang rendah dan primitif, oleh lantaran itu filsafat Positivisme merupakan filsafat yang anti metafisik, hanya fakta-fakta saja yang sanggup diterima. Segala sesuatu yang bukan fakta atau tanda-tanda (fenomin) tidak mempunyai arti, oleh lantaran itu yang penting dan punya arti hanya satu yaitu mengetahui (fakta/gejala) semoga siap bertindak (savoir pour prevoir).
Manusia harus menyidik dan mengkaji aneka macam tanda-tanda yang terjadi beserta hubungan-hubungannya diantara gejala-gejala tersebut semoga sanggup meramalkan apa yang akan terjadi, Comte menyebut hubungan-hubungan tersebut dengan konsep-konsep dan hukum-hukum yang bersifat positif dalam arti berkhasiat untuk diketahui lantaran benar-benar nyata bukan bersifat spekulasi ibarat dalam metafisika.
Pengaruh positivisme yang sangat besar dalam zaman modern hingga kini ini, telah mengundang para pemikir untuk mempertanyakannya, kelahiran post modernisme yang narasi awalnya dikemukakan oleh Daniel Bell dalam bukunya The cultural contradiction of capitalism, yang salah satu pokok fikirannya ialah bahwa etika kapitalisme yang menekankan kerja keras, individualitas, dan prestasi telah menjelma hedonis konsumeristis.
Postmodernisme pada dasarnya merupakan pandangan yang tidak/kurang mempercayai narasi-narasi universal serta kesamaan dalam segala hal, faham ini lebih memperlihatkan tempat pada narasi-narasi kecil dan lokal yang berarti lebih menekankan pada keberagaman dalam memaknai kehidupan.
PERTANYAAN UNTUK BAHAN DISKUSI
- jelaskan pengertian filsafat?
- jelaskan pendekatan-pendekatan dalam mempelajari filsafat?
- jelaskan metode berfikir filsafat?
- apa yang dimaksud dengan berfikir radikal?
- jelaskan objek filsafat?
- jelaskan apa yang dimaksud dengan positivisme?
- jelaskan bagaimana pendapat Immanuel Kant perihal rasio dan pengalaman?
- apakah filsafat dibutuhkan bagi kehidupan manusia, coba jelaskan?
BAB 3
ILMU PENGETAHUAN
There can be no living science unless there is a widespread instinctive conviction in the exixtence of an order of things, and in particular, of an order of nature (Alfred North Whitehead)
Barang siapa menginginkan dunia, hendaklah berilmu, barang siapa menginginkan akhirat, hendaklah berilmu, dan barang siapa menginginkan keduanya, hendaklah berilmu (Al Hadist)
A. PENGERTIAN ILMU (ILMU PENGETAHUAN)
Ilmu merupakan kata yang berasal dari bahasa Arab, masdar dari ‘alima – ya’lamu yang berarti tahu atau mengetahui, sementara itu secara istilah ilmu diartikan sebagai Idroku syai bi haqiqotih(mengetahui sesuatu secara hakiki). Dalam bahasa Inggeris Ilmu biasanya dipadankan dengan kata science, sedang pengetahuan dengan knowledge. Dalam bahasa Indonesia kata science(berasal dari bahasa lati dari kata Scio, Scire yang berarti tahu) umumnya diartikan Ilmu tapi sering juga diartikan dengan Ilmu Pengetahuan, meskipun secara konseptual mengacu pada makna yang sama. Untuk lebih memahami pengertian Ilmu (science) di bawah ini akan dikemukakan beberapa pengertian :
- Ilmu ialah pengetahuan perihal sesuatu bidang yang disusun secara bersistem berdasarkan metode-metode tertentu yang sanggup digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu dibidang (pengetahuan) itu (Kamus Besar Bahasa Indonesia)
- Science is knowledge arranged in a system, especially obtained by observation and testing of fact (An English reader’s dictionary)
- Science is a systematized knowledge obtained by study, observation, experiment” (Webster’s super New School and Office Dictionary)
- Science is the complete and consistent description of facts and experience in the simplest possible term”(Karl Pearson)
- Science is a sistematized knowledge derives from observation, study, and experimentation carried on in order to determinethe nature or principles of what being studied” (Ashley Montagu)
- Science is the system of man’s knowledge on nature, society and thought. It reflect the world in concepts, categories and laws, the correctness and truth of which are verified by practical experience(V. Avanasyev)
sementara itu The Liang Gie menyatakan dilihat dari ruang lingkupnya pengertian ilmu ialah sebagai berikut :
- Ilmu merupakan sebuah istilah umum untuk menyebutkan segenap pengetahuan ilmiah yang dipandang sebagai suatu kebulatan. Kaprikornus ilmu mengacu pada ilmu seumumnya.
- Ilmu menunjuk pada masing-masing bidang pengetahuan ilmiah yang mempelajari pokok soal tertentu, ilmu berarti cabang ilmu khusus sedangkan jika dilihat dari segi maknanya The Liang Gie mengemukakan tiga sudut pandang berkaitan dengan pemaknaan ilmu/ilmu pengetahuan yaitu :
- Ilmu sebagai pengetahuan, artinya ilmu ialah sesuatu kumpulan yang sistematis, atau sebagai kelompok pengetahuan teratur mengenai pokok soal atau subject matter. Dengan kata lain bahwa pengetahuan menunjuk pada sesuatu yang merupakan isi substantif yang terkandung dalam ilmu.
- Ilmu sebagai aktivitas, artinya suatu acara mempelajari sesuatu secara aktif, menggali, mencari, mengejar atau menyidik hingga pengetahuan itu diperoleh. Kaprikornus ilmu sebagai acara ilmiah sanggup berwujud penelaahan (Study), penyelidikan (inquiry), usaha menemukan (attempt to find), atau pencarian (Search).
- Ilmu sebagi metode, artinya ilmu pada dasarnya ialah suatu metode untuk menangani masalah-masalah, atau suatu kegiatan penelaahan atau proses penelitian yang mana ilmu itu mengandung prosedur, yakni serangkaian cara dan langkah tertentu yang mewujudkan pola tetap. Rangkaian cara dan langkah ini dalam dunia keilmuan dikenal sebagai metode
Harsoyo mendefinisikan ilmu dengan melihat pada sudut proses historis dan pendekatannya yaitu :
- Ilmu merupakan akumulasi pengetahuan yang disistematiskan atau kesatuan pengetahuan yang terorganisasikan
- Ilmu sanggup pula dilihat sebagai suatu pendekatan atau suatu metode pendekatan terhadap seluruh dunia empiris, yaitu dunia yang terikat oleh faktor ruang dan waktu, dunia yang pada prinsipnya sanggup diamati oleh pancaindra manusia.
dari pengertian di atas nampak bahwa Ilmu memang mengandung arti pengetahuan, tapi bukan sembarang pengetahuan melainkan pengetahuan dengan ciri-ciri khusus yaitu yang tersusun secara sistematis, dan untuk mencapai hal itu dibutuhkan upaya mencari klarifikasi atau keterangan, dalam korelasi ini Moh Hatta menyatakan bahwa Pengetahuan yang didapat dengan jalan keterangan disebut Ilmu, dengan kata lain ilmu ialah pengetahuan yang diperoleh melalui upaya mencari keterangan atau penjelasan.
Lebih jauh dengan memperhatikan pengertian-pengertian Ilmu sebabagaimana diungkapkan di atas, dapatlah ditarik beberapa kesimpulan berkaitan dengan pengertian ilmu yaitu :
- Ilmu ialah sejenis pengetahuan
- Tersusun atau disusun secara sistematis
- Sistimatisasi dilakukan dengan menggunakan metode tertentu
- Pemerolehannya dilakukan dengan cara studi, observasi, eksperimen.
Dengan demikian sesuatu yang bersifat pengetahuan biasa sanggup menjadi suatu pengetahuan ilmiah bila telah disusun secara sistematis serta mempunyai metode berfikir yang jelas, lantaran pada dasarnya ilmu yang berkembang remaja ini merupakan akumulasi dari pengalaman/pengetahuan insan yang terus difikirkan, disistimatisasikan, serta diorganisir sehingga terbentuk menjadi suatu disiplin yang mempunyai kekhasan dalam objeknya
B. CIRI-CIRI ILMU (ILMU PENGETAHUAN)
Secara umum dari pengertian ilmu sanggup diketahui apa bahwasanya yang menjadi ciri dari ilmu, meskipun untuk tiap definisi memperlihatkan titik berat yang berlainan. Menurut The Liang Gie secara lebih khusus menyebutkan ciri-ciri ilmu sebagai berikut :
- Empiris (berdasarkan pengamatan dan percobaan)
- Sistematis (tersusun secara logis serta mempunyai korelasi saling bergantung dan teratur)
- Objektif (terbebas dari persangkaan dan kesukaan pribadi)
- Analitis (menguraikan masalah menjadi bagian-bagian yang terinci)
- Verifikatif (dapat diperiksa kebenarannya)
Sementara itu Beerling menyebutkan ciri ilmu (pengetahuan ilmiah) ialah :
- Mempunyai dasar pembenaran
- Bersifat sistematik
- Bersifat intersubjektif
Ilmu perlu dasar empiris, apabila seseorang memperlihatkan keterangan ilmiah maka keterangan itu harus memmungkintan untuk dikaji dan diamati, jika tidak maka hal itu bukanlah suatu ilmu atau pengetahuan ilmiah, melainkan suatu asumsi atau pengetahuan biasa yang lebih didasarkan pada keyakinan tanpa peduli apakah faktanya demikian atau tidak. Upaya-upaya untuk melihat fakta-fakta memang merupakan ciri empiris dari ilmu, namun demikian bagaimana fakta-fakta itu dibaca atau dipelajari terang memerlukan cara yang logis dan sistematis, dalam arti urutan cara berfikir dan mengkajinya tertata dengan logis sehingga setiap orang sanggup menggunakannya dalam melihat realitas faktual yang ada.
Disamping itu ilmu juga harus objektif dalam arti perasaan suka-tidak suka, senang-tidak bahagia harus dihindari, kesimpulan atau klarifikasi ilmiah harus mengacu hanya pada fakta yang ada, sehingga setiap orang sanggup melihatnya secara sama pula tanpa melibatkan perasaan pribadi yang ada pada dikala itu. Analitis merupakan ciri ilmu lainnya, artinya bahwa klarifikasi ilmiah perlu terus mengurai masalah secara rinci sepanjang hal itu masih berkaitan dengan dunia empiris, sedangkan verifikatif berarti bahwa ilmu atau klarifikasi ilmiah harus memberi kemungkinan untuk dilakukan pengujian di lapangan sehingga kebenarannya bisa benar-benar memberi keyakinan.
Dari uraian di atas, nampak bahwa ilmu bisa dilihat dari dua sudut peninjauan, yaitu ilmu sebagai produk/hasil, dan ilmu sebagai suatu proses. Sebagai produk ilmu merupakan kumpulan pengetahuan yang tersistematisir dan terorganisasikan secara logis, ibarat jika kita mempelajari ilmu ekonomi, sosiologi, biologi. Sedangkan ilmu sebagai proses ialah ilmu dilihat dari upaya perolehannya melalui cara-cara tertentu, dalam korelasi ini ilmu sebagai proses sering disebut metodologi dalam arti bagaimana cara-cara yang mesti dilakukan untuk memperoleh suatu kesimpulan atau teori tertentu untuk mendapatkan, memperkuat/menolak suatu teori dalam ilmu tertentu, dengan demikian jika melihat ilmu sebagai proses, maka dibutuhkan upaya penelitian untuk melihat fakta-fakta, konsep yang sanggup membentuk suatu teori tertentu.
C. FUNGSI DAN TUJUAN ILMU (ILMU PENGETAHUAN
Lahirnya dan berkembangnya Ilmu Pengetahuan telah banyak membawa perubahan dalam kehidupan manusia, terlebih lagi dengan makin intensnya penerapan Ilmu dalam bentuk Teknologi yang telah menjadikan insan lebih bisa memahami aneka macam tanda-tanda serta mengatur Kehidupan secara lebih efektif dan efisien. Hal itu berarti bahwa ilmu mempunyai dampak yang besar bagi kehidupan manusia, dan ini tidak terlepas dari fungsi dan tujuan ilmu itu sendiri
Kerlinger dalam melihat fungsi ilmu, terlebih dahulu mengelompokan dua sudut pandang perihal ilmu yaitu pandangan statis dan pandangan dinamis. Dalam pandangan statis, ilmu merupakan acara yang memberi sumbangan bagi sistimatisasi informasi bagi dunia, kiprah ilmuwan ialah menemukan fakta gres dan menambahkannya pada kumpulan informasi yang sudah ada, oleh lantaran itu ilmu dianggap sebagai sekumpulan fakta, serta merupakan suatu cara menjelaskan gejala-gejala yang diobservasi, berarti bahwa dalam pandangan ini penekanannya terletak pada keadaan pengetahuan/ilmu yang ada kini serta upaya penambahannya baik hukum, prinsip ataupun teori-teori. Dalam pandangan ini, fungsi ilmu lebih bersifat mudah yakni sebagai disiplin atau acara untuk memperbaiki sesuatu, membuat kemajuan, mempelajari fakta serta memajukan pengetahuan untuk memperbaiki sesuatu (bidang-bidang kehidupan).
Pandangan ke dua perihal ilmu ialah pandangan dinamis atau pandangan heuristik (arti heuristik ialah menemukan), dalam pandangan ini ilmu dilihat lebih dari sekedar aktivitas, penekanannya terutama pada teori dan skema konseptual yang saling berkaitan yang sangat penting bagi penelitian. Dalam pandangan ini fungsi ilmu ialah untuk membentuk hukum-hukum umum yang melingkupi prilaku dari kejadian-kejadian empiris atau objek empiris yang menjadi perhatiannya sehingga memperlihatkan kemampuan menghubungkan aneka macam insiden yang terpisah-pisah serta sanggup secara tepat memprediksi kejadian-kejadian masa datang, ibarat dikemukakan oleh Braithwaite dalam bukunya Scientific Explanation bahwa the function of science… is to establish general laws covering the behaviour of the empirical events or objects with which the science in question is concerned, and thereby to enable us to connect together our knowledge of the separately known events, and to make reliable predictions of events as yet unknown.
Dengan memperhatikan klarifikasi di atas nampaknya ilmu mempunyai fungsi yang amat penting bagi kehidupan manusia, Ilmu sanggup membantu untuk memahami, menjelaskan, mengatur dan memprediksi aneka macam insiden baik yang bersifat kealaman maupun sosial yang terjadi dalam kehidupan manusia. Setiap masalah yang dihadapi insan selalu diupayakan untuk dipecahkan semoga sanggup dipahami, dan setelah itu insan menjadi bisa untuk mengaturnya serta sanggup memprediksi (sampai batas tertentu) kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi berdasarkan pemahaman yang dimilikinya, dan dengan kemampuan prediksi tersebut maka asumsi masa depan sanggup didesain dengan baik meskipun hal itu bersifat probabilistik, mengingat dalam kenyataannya sering terjadi hal-hal yang bersifat unpredictable.
Dengan dasar fungsi tersebut, maka dapatlah difahami perihal tujuan dari ilmu, apa bahwasanya yang ingin dicapai oleh ilmu. Sheldon G. Levy menyatakan bahwa science has three primary goals. The first is to be able to understand what is observed in the world. The second is to be able to predict the events and relationships of the real world. The third is to control aspects of the real world, sementara itu Kerlinger menyatakan bahwa the basic aim of science is theory.dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa tujuan dari ilmu ialah untuk memahami, memprediksi, dan mengatur aneka macam aspek insiden di dunia, disamping untuk menemukan atau memformulasikan teori, dan teori itu sendiri pada dasarnya merupakan suatu klarifikasi perihal sesuatu sehingga sanggup diperoleh kefahaman, dan dengan kepahaman maka prediksi insiden sanggup dilakukan dengan probabilitas yang cukup tinggi, asalkan teori tersebut telah teruji kebenarannya
D. STRUKTUR ILMU
Struktur ilmu menggambarkan bagaimana ilmu itu tersistimatisir dalam suatu lingkungan (boundaries), di mana keterkaitan antara unsur-unsur nampak secara jelas. Menurut Savage & Amstrong, struktur ilmu merupakan A scheme that has been devided to illustrate relationship among facts, concepts, and generalization. Dengan demikian struktur ilmu merupakan gambaran korelasi antara fakta, konsep serta generalisasi, keterkaitan tersebut membentuk suatu bangun struktur ilmu, sementara itu berdasarkan H.E. Kusmana struktur ilmu ialah seperangkat pertanyaan kunci dan metoda penelitian yang akan membantu memperoleh jawabannya, serta aneka macam fakta, konsep, generalisasi dan teori yang mempunyai karakteristik yang khas yang akan mengantar kita untuk memahami ide-ide pokok dari suatu disiplin ilmu yang bersangkutan.
Dengan demikian nampak dari dua pendapat di atas bahwa terdapat dua hal pokok dalam suatu struktur ilmu yaitu :
- A body of Knowledge (kerangka ilmu) yang terdiri dari fakta, konsep, generalisasi, dan teori yang menjadi ciri khas bagi ilmu yang bersangkutan sesuai dengan boundary yang dimilikinya
- A mode of inquiry. Atau cara pengkajian/penelitian yang mengandung pertanyaan dan metode penelitian guna memperoleh balasan atas permasalahan yang berkaitan dengan ilmu tersebut.
Kerangka ilmu terdiri dari unsur-unsur yang berhubungan, dari mulai yang konkrit yaitu fakta hingga level yang abnormal yaitu teori, makin ke fakta makin spesifik, sementara makin mengarah ke teori makin abnormal lantaran lebih bersifat umum. Bila digambarkan akan nampak sebagai berikut :
Increasing specificity
Increasing transfer
value
TEORI GENERALISASI
KONSEP-KONSEP
FAKTA-FAKTA
Dari gambar tersebut nampak bahwa serpihan yang paling dasar ialah fakta-fakta, fakta-fakta tersebut akan menjadi materi atau digunakan untuk menyebarkan konsep-konsep, bila konsep-konsep menunjukan ciri keumuman maka terbentuklah generalisasi, untuk kemudian sanggup diformulasikan menjadi teori. Fakta-fakta sangat dibatasi oleh nilai transfer waktu, tempat dan kejadian. Konsep dan generalisasi mempunyai nilai transfer yang lebih luas dan dalam, sementara itu teori mempunyai jangkauan yang lebih universal, lantaran cenderung dianggap berlaku umum tanpa terikat oleh waktu dan tempat, sehingga bisa berlaku universal artinya bisa berlaku dimana saja (hal ini bahwasanya banyak dikritisi para akhli). Namun demikian keberlakuannya memang perlu juga memperhatikan jenis ilmunya.
1. Fakta dan Konsep.
Fakta merupakan Building Blocks untuk menyebarkan konsep, generalisasi (Schuncke : facts are building blocks from which concept and generalization are constructed) dan teori. Menurut Bertrand Russel fakta ialah segala sesuatu yang berada di dunia, ini berarti tanda-tanda apapun baik tanda-tanda alam maupun tanda-tanda human merupakan fakta yang bisa menjadi materi baku bagi pembentukan konsep-konsep, namun demikian lantaran luasnya, maka tiap-tiap ilmu akan menyeleksi fakta-fakta tersebut sesuai dengan orientasi ilmunya.
Fakta mempunyai peranan yang penting bagi teori, dan mempunyai interaksi yang tetap dengan teori, berdasarkan Moh. Nazir peranan fakta terhadap teori ialah :
- Fakta menolong memprakarsai teori
- Fakta memberi jalan dalam mengubah atau memformulasikan teori baru
- Fakta sanggup membuat penolakan terhadap teori
- Fakta memperterang dan memberi definisi kembali terhadap teori.
Konsep ialah label atau penamaan yang sanggup membantu seseorang membuat arti informasi dalam pengertian yang lebih luas serta memungkinkan dilakukan penyederhanaan atas fakta-fakta sehingga proses berfikir dan pemecahan masalah lebih mudah. Menurut Bruner konsep merupakan abstraksi atas kesamaan atau keterhubungan dari sekelompok benda atau sifat.
Menurut pendapat Bruner, Goodnow dan Austin sebagaimana dikutip oleh Hamid Hasan (1996) menyatakan bahwa dalam ilmu-ilmu sosial dikenal tiga jenis konsep yaitu :
- Konsep konjungtif. Yaitu konsep yang paling rendah yang menggambarkan benda atau sifat yang menjadi anggota konsep dengan tingkat persamaan yang tinggi dengan jumlah atribut yang banyak. Contoh konep Buku Pengantar Manajemen Perkantoran yaitu buku yang ditulis untuk mahasiswa yang gres mencar ilmu administrasi perkantoran oleh pengarang A, warna sampul biru, tebalnya 200 halaman.
- Konsep disjungtif. Adalah konsep yang mempunyai anggota dengan atribut yang mempunyai nilai beragam, konsep jenis ini punya kedudukan lebih tinggi. Sontoh konsep alat kantor. Atribut untuk konsep ini cukup bermacam-macam dengan masing-masing punya bentuk dan fungsi khusus ibarat kertas untuk digunakan menulis, mesin tik untuk mengetik, perforator, hekter yang mempunyai fungsi berbeda-beda.
- Konsep relasional. Yaitu konsep yang menunjukan kebersamaan antara anggotanya dalam suatu atribut berdasarkan kriteria yang abnormal dan selalu dalam korelasi dengan kriteria tertentu. Konsep ini terbentuk lantaran adanya relasi/hubungan yang diciptakan dalam pengertian yang dikandungnya. Contoh konsep Jarak. Konsep ini dikembangkan berdasarkan kedudukan dua titik, yang apabila dihitung secara objektif akan diperoleh angka yang menggambarkan posisi kedua titik tersebut, sehingga sanggup diketahui jauh dekatnya (contoh, pelengkap dari Penulis)
Sementara itu berdasarkan Sofian Effendi, jika dilihat hubungannya dengan realitas/fakta, akan ditemui dua jenis konsep yaitu pertama konsep-konsep yang terang hubungannya dengan realitas (Misalnya : Meja, Lemari, Kursi) dan kedua konsep-konsep yang lebih abnormal dan lebih kabur hubungannya dengan realitas (misalnya : Emosi, Kecerdasan, Komitmen). Sementara itu Prof. Dr. H. Bambang Suwarno, MA. Guru Besar UPI Bandung telah usang merumuskan penjabaran-penjabaran Konsep untuk kepentingan suatu penelitian kedalam tiga tingkatan yaitu konsep Teori, konsep empiris dan konsep Analitis, Konsep teori mempunyai tingkat abstarksi yang tinggi dan merupakan pengertian esensil dari suatu fenomena, konsep empiris merupakan gambaran konsep yang sudah sanggup diobservasi, sementara konsep analitis merupakan konsep yang menunjukan apa dan bagaimana konsep empiris tersebut sanggup diketahui untuk keperluan analisa.
1. Pendidikan
- Asal Sekolah
- Waktu menuntaskan SLA
- Ijazah terakhir yang dimiliki
Jawaban responden perihal asal sekolah, waktu menuntaskan sekolah dan ijazah terakhir yang dimiliki
2. Generalisasi dan Teori (Theory)
Generalisasi. Adalah kesimpulan umum yang ditarik berdasarkan hal-hal khusus (induksi), generalisasi menggambarkan suatu keterhubungan beberapa konsep dan merupakan hasil yang sudah teruji secara empiris (empirical generalization), Generalisasi empiris ialah pernyataan suatu korelasi berdasarkan induksi dan terbentuk berdasarkan observasi perihal adanya korelasi tersebut. kebenaran suatu generalisasi ditentukan oleh akurasi konsep dan rujukan pada fakta-fakta. Generalisasi yang diakui kebenarannya pada satu dikala memungkinkan untuk dimodifikasi bila diperoleh fakta gres atau bukti-bukti baru, bahkan mungkin juga ditinggalkan jika lebih banyak bukti yang mengingkarinya .
Generalisasi berbeda dengan teori lantaran teori mempunyai tingkat keberlakuan lebih universal dan lebih kompleks, sehingga teori sudah sanggup digunakan untuk menjelaskan dan bahkan memprediksi kejadian-kejadian, pernyataan tersebut menunjukan bahwa apabila suatu generalisasi telah bertahan dari uji verifikasi maka generalisasi tersebut sanggup berkembang menjadi teori, sebagaimana dikemukakan oleh Goetz & LeCompte bahwa teori ialah komposisi yang dihasilkan dari pengembangan sejumlah proposisi atau generalisasi yang dianggap mempunyai keterhubungan secara sistematis. Kerlinger dalam Bukunya Foundation of Behavioural Research mendefinisikan teori sebagai a set of interrelated constructs (concepts), definition, and proposition that present a systematic view of phenomena by specifying relation variables, with the purpose of explaining and predicting the phenomena. Sementara itu Kenneth D. Bailey dalam bukunya Methods of Social Research menyatakan bahwa teori merupakan suatu upaya untuk menjelaskan gejala-gejala tertentu serta harus sanggup diuji, suatu pernyataan yang tidak sanggup menjelaskan dan memprediksi sesuatu bukanlah teori, lebih jauh Bailey menyebutkan bahwa komponen-komponen dasar dari teori ialah Konsep (Concept) dan variabel (Variable).
Teori terdiri dari sekumpulan konsep yang umumnya diikuti oleh korelasi antar konsep sehingga tergambar hubungannya secara logis dalam suatu kerangka berpikir tertentu. Konsep pada dasarnya merupakan suatu gambaran mental atau persepsi yang menggambarkan atau menunjukan suatu fenomena baik secara tunggal ataupun dalam suatu kontinum, konsep juga sering diartikan sebagai abstraksi dari suatu fakta yang menjadi perhatian Ilmu, baik berupa keadaan, kejadian, individu ataupun kelompok. Umumnya konsep tidak mungkin/sangat sulit untuk diobservasi secara langsung, oleh lantaran itu untuk keperluan penelitian perlu adanya penjabaran-penjabaran ke tingkatan yang lebih kongkrit semoga observasi dan pengukuran sanggup dilakukan. Dalam suatu teori, konsep-konsep sering dinyatakan dalam suatu korelasi atau korelasi antara dua konsep atau lebih yang tersusun secara logis, pernyataan yang menggambarkan korelasi antar konsep disebut proposisi, dengan demikian konsep merupakan himpunan yang membentuk proposisi, sedangkan proposisi merupakan himpunan yang membentuk teori.
Adapun teori berdasarkan Redja Mudyahardjo sanggup dibagi berdasarkan tingkatannya ke dalam teori induk, teori formal, dan teori substantif dengan klarifikasi sebagai berikut :
- Teori induk dan model/paradigma teoritis. Yaitu sistem pernyataan yang saling bekerjasama erat dan konsep-konsep abnormal yang menggambarkan, memprediksi atau menerangkan secara komprehensif hal-hal yang luas perihal gejala-gejala yang tidak sanggup diukur tingkat kemungkinannnya (misalnya teori-teori manajemen). Teori sanggup dikembangkan/dijabarkan ke dalam model-model teoritis yang menggambarkan seperangkan asumsi, konsep atau pernyataan yang saling berkaitan erat yang membentuk sebuah pandangan perihal kehidupan (suatu masalah). Model teoritis biasanya sanggup dinyatakan secara visual dalam bentuk bagan.
- Teori formal dan tingkat menengah. Yaitu pernyataan-pernyataan yang saling berhubungan, yang dirancang untuk menerangkan suatu kelompok tingkah laku secara singkat (misalnya teori administrasi berdasarkan F.W. Taylor)
- Teori substantif. Yaitu pernyataan-pernyataan atau konsep-konsep yang saling berhubungan, yang berkaitan dengan aspek-aspek khusus perihal suatu kegiatan (misalnya fungsi perencanaan)
Sementara itu Goetz dan LeCompte membagi teori ke dalam empat jenis yaitu :
- Grand Theory (teori besar). Yaitu sistem yang secara ketat mengkaitkan proposisi-proposisi dan konsep-konsep yang abnormal sehingga sanggup digunakan menguraikan, menjelaskan dan memprediksi secara komprehensif sejumlah fenomena besar secara non-probabilitas.
- Theoritical model (model teoritis, yaitu keterhubungan yang longgar (tidak ketat) antara sejumlah asumsi, konsep, dan proposisi yang membentuk pandangan ilmuwan perihal dunia.
- Formal and middle-range theory (teori formal dan tingkat menengah). Yaitu proposisi yang berhubungan, yang dikembangkan untuk menjelaskan beberapa kelompok tingkah laku insan yang abstrak.
- Substantive theory (teori substantif). Adalah teori yang paling rendah tingkatan abstraksi dan sangat terbatas dalam keumuman generalisasinya (Hamid Hasan. 1996)
Teori pada dasarnya merupakan alat bagi ilmu (tool of science), dan berperan dalah hal-hal berikut (Moh. Nazir. 1985) :
- Teori mendefinisikan orientasi utama ilmu dengan cara memperlihatkan definisi terhadap jenis-jenis data yang akan dibentuk abstraksinya
- Teori memperlihatkan planning konseptual, dengan planning manafenomena-fenomena yang relevan disistematiskan, diklasifikasikan dan dihubung-hubungkan
- Teori memberi ringkasan terhadap fakta dalam bentuk generalisasi empiris dan sistem generalisasi
- Teori memperlihatkan prediksi terhadap fakta
- Teori memperjelas celah-celah dalam pengetahuan kita
3. Proposisi dan asumsi
Proposisi. Konstruksi sebuah teori terbentuk dari proposisi, dan proposisi merupakan suatu pernyataan mengenai satu atau lebih konsep/variabel, proposisi yang menyatakan variabel tunggal disebut proposisi univariate, bila menghubungkan dua variabel disebut proposisi multivariat sedang bila proposisi itu menghubungkan lebih dari dua variabel disebut proposisi multivariat. Adapun jenis-jenis proposisi (sub tipe proposisi) ialah :
- Hipotesis. Yaitu proposisi yang dinyatakan untuk dilakukan pengujian, berdasarkan kamus Webster’s (1968) Hypothesis ialah a tentative assumption made in order to draw out and testits logical or empirical consequences, sementara itu Bailey mendefinisikan hipotesis sebagai a tentative explanation for which the evidence necessary for testing, dengan demikian hipotesis sanggup dipahami sebagai anggapa atau klarifikasi sementara yang masih memerlukan pengujian di lapangan, jadi jika kita beropini bahwa terdapat korelasi antara konsep/variabel X dengan variabel Y, maka pertama dinyatakan sebagai hipotesis untuk kemudian menguji hipotesis tersebut di lapangan (dalam penelitian), apakah fakta lapangan mendapatkan atau menolaknya. Adapun dasar hipotesis sanggup diperoleh dari aneka macam sumber contohnya dari pengamatan sehari-hari, dari hasil penelitian yang sudah ada, dari analisis data lapangan, atau dari teori.
- Generalisasi empiris. Pernyataan korelasi yang di dasarkan pada hasil penelitian lapangan (induksi). Generalisasi merupakan keumuman sifat atau pola yang disimpulkan dari penelitian atas fakta-fakta yang terdapat di lapangan.
- Aksioma. Proposisi yang kebenarannya mengacu pada proposisi-proposisi lainnya, aksioma terkadang disebut teori deduktif, dengan konotasi matematis dan proposisi jenis ini biasanya mempunyai tingkat abstraksi yang tinggi, sandaran aksioma ialah rasional logis berdasarkan aturan berfikir yang benar
- Postulat. Proposisi yang punya makna hampir sama dengan aksioma namun kebenaran pernyataannya telah teruji secara empiris.
- Teorema. Proposisi yang didasarkan pada serangkaian aksioma atau postul
Deduksi dari aksioma atau postulat Bisa
Diadaptasi dari Kenneth D. Bailey (1982)
Asumsi biasanya dipadankan dengan istilah anggapan dasar, berdasarkan Komaruddin (1988 : 22), bahwa : “Asumsi ialah sesuatu yang dianggap tidak kuat atau dianggap konstan. Asumsi sanggup bekerjasama dengan syarat-syarat, kondisi-kondisi dan tujuan. Asumsi memperlihatkan hakekat, bentuk dan arah argumentasi. Dan asumsi bermaksud membatasi masalah.” dalam setiap judgment dan atau kesimpulan dalam bidang ilmu di dalamnya tersirat suatu anggapan dasar tertentu yang menopang kekuatan kesimpulan/judgmen tertentu.
Dalam ilmu ekonomi dikenal istilah Ceteris Paribus artinya keadaan lain dianggap tetap, ini merupakan asumsi yang sanggup memperkuat suatu kesimpulan atau teori, contohnya aturan seruan menyatakan bahwa bila seruan naik maka harga akan naik, aturan ini terang tidak akan berlaku bila contohnya penawaran naik, untuk itu faktor penawaran naik dianggap tidak ada atau tidak kuat terhadap harga (ceteris paribus), ini berarti bahwa asumsi bisa dipandang sebagai syarat berlakunya suatu kesimpulan (atau kondisi tertentu) Dengan demikian asumsi merupakan hal yang sangat penting untuk dipahami, mengingat tidak stiap pernyataan/kesimpulan ilmiah menyatakan dengan jelas/eksplisit asumsinya, meskipun sebaiknya dalam penulisan karya ilmiah ibarat skripsi dinyatakan secara eksplisit.
4. Ddefinisi/batasan
Ilmu harus benar-benar bercirikan keilmiahan, dia perlu terus melaksanakan pengkajian, mengumpulkan konsep-konsep dan hukum-hukum/prinsip-prinsip umum, tidak memihak dalam menyebarkan ruang lingkup pengetahuan. Di dalamnya dikembangkan korelasi antar konsep/variabel, meneliti fakta-fakta untuk kemudian dikembangkan generalisasi dan teori-teori serta perlu dilakukan upaya verifikasi untuk menguji validitas teori/ilmu dengan menggunakan metode-metode tertentu sesuai dengan arah kajiannya, dan untuk menghindari aneka macam pendapat yang bisa mengaburkan atas suatu acara ilmiah, maka konsep-konsep/variabel-variabel perlu diberikan pembatasan atau definisi sebagai koridor untuk mencapai pemahaman yang tepat.
Isi dari suatu konsep gres terang apabila konsep tersebut didefinisikan, disamping menghindari salah pemahaman mengingat suatu konsep terkadang mempunyai banyak makna dan pengertian. Definisi ialah pernyataan perihal makna atau arti yang terkandung dalam sebuah istilah atau konsep. Dalam setiap karya ilmiah menentukan definisi menjadi hal yang sangat penting. Apabila ditinjau dari sudut bentuk pernyataannya berdasarkan Redja Mudyahardjo(2001) definisi sanggup dibedakan dalam dua macam yaitu :
- Definisi konotatif. Yaitu definisi yang menyatakan secara jelas/eksplisit perihal isi yang terkandung dalam istilah/konsep yang didefinisikan. Definisi konotatif sanggup dibedakan ke dalam dua kelompok yaitu definisi leksikan/definisi berdasarkan kamus, dan definisi stiputatif yaitu definisi yang menyebutkan syarat-syarat yang menjadi makna konsep tersebut, atau ketentuan dari suatu pihak mengenai arti apa yang hendaknya diberikan. Dalam definisi stipulatif terdapat beberapa jenis definisi yaitu 1) definisi nominan atau definisi verbal yaitu definisi yang memperkenalkan istilah-istilah gres dalam menyatakan konsep yang didefinisikan; 2) definisi deskriptif yaitu definisi yang menggambarkan lebih lanjut dan rinci dari definisi leksikal; 3) definisi operasional/definisi kerja yaitu definisi yang menggambarkan proses kerja atau kegiatan yang spesifik dan rinci yang dibutuhkan untuk mencapopai tujuan yang menjadi makna konsep yang didefinisikan; definisi teoritis yaitu definisi yang menyatakan secara tersurat karakteristik yang tepat perihal sustu istilah atau konsep.
- definisi denotatif. Yaitu definisi yang menyatakan secara tersurat luas pengertian dari istilah/konsep yang didefinisikan, luas pengertian ialah hal-hal yang merupakan serpihan kelas dari konsep yang didefinisikan. Cara untuk mendefinisikan konsep secara denotatif ialah dengan jalan menyebutkan keseluruhan serpihan atau salahsatu serpihan yang termasuk dalam kelas dari konsep yang didefinisikan.
Sementara itu berdasarkan Hasbulah Bakry, terdapat lima macam definisi yaitu :
- Obstensive definition, yaitu definisi yang menerangkan sesuatu secara deminstratif, contohnya Kursi adalh ini (atau itu) sambil menunjuk pada kursinya, oleh lantaran demikian maka definisi macam ini sering juga disebut demonstrative definition.
- biverbal definition. Yaitu definisi yang menjelaskan sesuatu dengan memperlihatkan sinonim nya, contohnya sapi ialah lembu.
- extensive definition, yaitu definisi yang menerangkan sesuatu dengan memperlihatkan contoh-contohnya, contohnya ikan ialah binatang yang hidup dalam air ibarat mujair, nila, gurame, dan sebagainya.
- analytic definition. Yaitu definisi yang menerangkan sesuatu dengan menguraikan bagian-bagiannya, contohnya negara ialah suatu wilayah yang punya pemerintahan, rakyat dan batas-batas daerahnya.
- descriptive definition, yaitu definisi yang menerangkan sesuatu dengan melukiskan sifat-sifatnya yang mencolok, misaalnya Gajah ialah binatang yang tubuhnya besar ibarat gerbong, kakinya besar ibarat pohon nyiur.
5. Paradigma
Menurut Webster’s Dictionary, paradigma adalah, pola, contoh atau model, sebagai istilah dalam bidang ilmu (sosial) paradigma ialah perspektif atau kerangka contoh untuk memandang dunia, yang terdiri dari serangkaian konsep dan asumsi. Sebenarnya konsep paradigma bukan hal yang baru, namun semakin menerima pemfokusan semenjak terbitnya buku karya Thomas Kuhn (1962) yang berjudul The structure of scientific revolution, dimana Kuhn sendiri mendefinisikan paradigma antara lain sebagai keseluruhan konstelasi daripada kepercayaan, nilai, teknologi dan sebagainya yang dimiliki bersama oleh anggota-anggota dari suatu kelompok tertentu. Definisi Kuhn ini banyak dikritik lantaran dianggap tidak jelas, namun pada edisi kedua dari bukunya Kuhn memperlihatkan definisi yang lebih spesifik yang mempersamakan paradigma dengan contoh (exemplars). Karya Kuhn dalam perkembangannya telah membangkitkan diskusi di kalangan para jago mengenai paradigma dalam hubungannya dengan perkembangan ilmu pengetahuan.
George Ritter menyatakan bahwa paradigma merupakan gambaran dasar bidang kajian di dalam suatu ilmu (fundamental image of the subject matter withina science), lebih lanjut dia menyampaikan bahwaterdapat empat komponen pokok yang membentuk suatu paradigma yaitu : Contoh suatu penelitian dalam bidang kajian, Suatu gambaran perihal bidang kajian, Teori, serta Metode dan alat penelitian. Sementara itu Bailey mendefinisikan paradigma sebagai jendela mental seseorang untuk melihat dunia.
Dengan dasar pengertian di atas, maka suatu masalah yang sama akan menghasilkan analisis dan kesimpulan yeng berbeda bila paradigma yang digunakan berbeda, sebagai contoh masalah Kemiskina (ledakan penduduk), berdasarkan Malthus hal itu terjadi lantaran penduduk bertambah berdasarkan deret ukur sedangkan materi masakan bertambah berdasarkan deret hitung, dan untuk mengatasinya perlu dilakukan population control; sementara berdasarkan Marx, hal itu terjadi lantaran kapitalisme yang mengeksplotasi manusia, dan untuk mengatasinya ialah dengan pembentukan masyarakat sosialis. Terjadinya perbedaan tersebut tidak lain lantaran perbedaan paradigma antara Malthus dengan Marx
E. OBJEK ILMU
Setiap ilmu mempunyai objeknya sendiri-sendiri, objek ilmu itu sendiri akan menentukan perihal kelompok dan cara bagaimana ilmu itu bekerja dalam memainkan kiprahnya melihat realitas. Secara umum objek ilmu ialah alam dan manusia, namun lantaran alam itu sendiri terdiri dari aneka macam komponen, dan manusiapun mempunyai keluasan dan kedalam yang berbeda-beda, maka mengklasifikasikan objek amat diperlukan. Terdapat dua macam objek dari ilmu yaitu objek material dan objek formal.
Objek material ialah seluruh bidang atau materi yang dijadikan telaahan ilmu, sedangkan objek formal ialah objek yang berkaitan dengan bagaimana objek material itu ditelaah oleh suatu ilmu, perbedaan objek setiap ilmu itulah yang membedakan ilmu satu dengan lainnya terutama objek formalnya. Misalnya ilmu ekonomi dan sosiologi mempunyai objek material yang sama yaitu manusia, namun objek formalnya terang berbeda, ekonomi melihat insan dalam kaitannya dengan upaya memenuhi kebutuhan hidupnya, sedangkan sosiologi dalam kaitannya dengan korelasi antar manusia.
F. PEMBAGIAN/PENGELOMPOKAN ILMU
Semakin usang pengetahuan insan semakin berkembang, demikian juga pemikiran insan semakin tersebar dalam aneka macam bidang kehidupan, hal ini telah mendorong para akhli untuk mengklasifikasikan ilmu ke dalam beberapa kelompok dengan sudut pandangnya sendiri-sendiri, namun seara umum pembagian ilmu lebih mengacu pada obyek formal dari ilmu itu sendiri, sedangkan jenis-jenis di dalam suatu kelompok mengacu pada obyek formalnya. Pada tahap awal perkembangannya ilmu terdiri dari dua serpihan yaitu :
1. trivium yang terdiri dari :
- gramatika, tata bahasa semoga orang berbicara benar
- dialektika, semoga orang berfikir logis
- retorika, semoga orang berbicara indah
2. quadrivium yang terdiri dari :
- aritmetika, ilmu hitung
- geometrika, ilmu ukur
- musika, ilmu musik
- astronomis, ilmu perbintangan
pembagian tersebut di atas pada dasarnya sesuai dengan bidang-bidang ilmu yang menjadi telaahan utama pada masanya, sehingga ketika pengetahuan insan berkembangan dan lahir ilmu-ilmu gres maka pembagian ilmupun turut berubah, sementara itu Mohammad Hatta membagi ilmu pengetahuan ke dalam :
- ilmu alam (terbagi dalam teoritika dan praktika)
- ilmu sosial (juga terbagi dalam teoritika dan praktika)
- ilmu kultur (kebudayaan) sementara itu Stuart Chase membagi ilmu pengetahuan sebagai berikut :
1. ilmu-ilmu pengetahuan alam (natural sciences)
- biologi
- antropologi fisik
- ilmu kedokteran
- ilmu farmasi
- ilmu pertanian
- ilmu pasti
- ilmu alam
- geologi
- dan lain sebagainya
2. Ilmu-ilmu kemasyarakatan
- Ilmu hukum
- Ilmu ekonomi
- Ilmu jiwa sosial
- Ilmu bumi sosial
- Sosiologi
- Antropologi budaya an sosial
- Ilmu sejarah
- Ilmu politik
- Ilmu pendidikan
- Publisistik dan jurnalistik
- Dan lain sebagainya
3. Humaniora
- Ilmu agama
- Ilmu filsafat
- Ilmu bahasa
- Ilmu seni
- Ilmu jiwa
- Dan lain sebagainya
dalam pembagian ilmu sebagaimana dikemukakan di atas, Endang Saifudin Anshori menyatakan bahwa hal itu hendaknya jangan dianggap tegas demikian/mutlak, lantaran mungkin saja ada ilmu yag masuk satu kelompok namun tetap bersentuhan dengan ilmu dalam kelompok lainnya.
A.M. Ampere beropini bahwa pembagian ilmu pengetahuan sebaiknya didasarkan pada objeknya atau target persoalannya, dia membagi ilmu ke dalam dua kelompok yaitu :
- ilmu yang cosmologis, yaitu ilmu yang objek materilnya bersifat jasadi, contohnya fisika, kimia dan ilmu hayat.
- ilmu yang noologis, yaitu ilmu yang objek materilnya bersifat rohaniah ibarat ilmu jiwa.
August Comte membagi ilmu atas dasar kompleksitas objek materilnya yang terdiri dari :
- ilmu pasti
- ilmu binatang
- ilmu alam
- ilmu kimiailmu
- hayat
- sosiologi
Herbert Spencer, membagi ilmu atas dasar bentuk pemikirannya/objek formal, atau tujuan yang hendak dicapai, dia membagi ilmu ke dalam dua kelompok yaitu :
- ilmu murni (pure science). Ilmu murni adalam ilmu yang maksud pengkajiannya hanya semata-mata memperoleh prinsi-prinsip umum atau teori gres tanpa memperhatikan dampak mudah dari ilmu itu sendiri, dengan kata lain ilmu untuk ilmu itu sendiri.
- ilmu terapan (applied science), ilmu yang dimaksudkan untuk diterapkan dalam kehidupan paraktis di masyarakat.
Pembagian ilmu sebagaimana dikemukakan di atas mesti dipandang sebagai kerangka dasar pemahaman, hal ini tidak lain lantaran pengetahuan insan terus berkembang sehingga memungkinkan tumbuhnya ilmu-ilmu baru, sehingga pengelompokan ilmu pun akan terus bertambah seiring dengan perkembangan tersebut, yang terang bila dilihat dari objek materilnya ilmu sanggup dikelompokan ke dalam dua kelompok saja, yaitu ilmu yang mengkaji/menelaah alam dan ilmu yang menelaah manusia, dementara variasi penamaannya tergantung pada objek formal dari ilmu itu sendiri.
G. PENJELASAN ILMIAH (SCIENTIFIC EXPLANATION)
Sesuai dengan fungsinya untuk memperlihatkan klarifikasi perihal aneka macam gejala, baik itu tanda-tanda alam maupun tanda-tanda sosial, maka ilmu mempunyai peranan penting dalam memperlihatkan pemahaman perihal aneka macam tanda-tanda tersebut. Semua orang punya kecenderungan untuk mencoba menjelaskan sesuatu gejala, namun tidak semua klarifikasi tersebut merupakan klarifikasi ilmiah (scientific explanation), mengingat klarifikasi ilmiah (penjelasan yang mengacu pada ilmu)
Penjelasan ilmiah ialah adalah pernyataan-pernyataan mengenai masing-masing karakteristik sesuatu serta hubungan-hubungan yang terdapat diantara karakteristik tersebut, yang diperoleh melalui cara sistematis, logis, sanggup dipertanggung jawabkan, serta terbuka/dapat diuji kebenarannya. Dengan demikian klarifikasi ilmiah merupakan klarifikasi yang merujuk pada suatu kerangka ilmu, baik itu teori maupun fakta yang sudah mengalami proses induksi. Terdapat beberapa jenis klarifikasi ilmiah yaitu :
- genetic explanation. Yaitu klarifikasi perihal sesuatu tanda-tanda dengan cara melacak sesuatu tersebut dari awalnya atau asalnya.
- intentional explanation. Yaitu klarifikasi perihal sesuatu tanda-tanda dengan melihat hal-hal yang mendasarinya atau yang menjadi tujuannya.
- dispositional explanation. Yaitu klarifikasi perihal suatu tanda-tanda dengan melihat karakteristik atau sifat dari tanda-tanda tersebut.
- reasoning explanation (explanation through reason). Yaitu penjalasan yang dihubungkan dengan alasan mengapa sesuatu itu terjadi atau sesuatu itu dilakukan.
- functional explanation. Yaitu klarifikasi dengan melihat suatu tanda-tanda dalam konteks keseluruhan dari suatu sistem atau tanda-tanda yang lebih luas
- explanation through empirical generalization. Yaitu klarifikasi yang dibentuk dengan cara menyimpulkan korelasi antara sejumlah gejala.
- explanation through formal theory. Yaitu klarifikasi yang menekankan pada adanya aturan , aturan atau prinsip yang umumnya terbentuk memalui deduksi.
Dalam memperlihatkan suatu klarifikasi seseorang bisa saja menggunakan aneka macam jenis klarifikasi untuk makin memperkuat argumentasinya, dan hal ini tergantung pada tanda-tanda atau masalah yang ingin dijelaskannya.
H. SIKAP ILMIAH
Sikap ilmiah merupakan perilaku yang harus dimiliki oleh ilmuwan, atau para pencari ilmu. Menurut Harsoyo, perilaku ilmiah meliputi hal-hal sebagai berikut :
- sikap objektif (objektivitas)
- sikap serba relatif
- sikap skeptis
- kesabaran intetelektual
- kesederhanaan
- sikap tak memihak pada etik sementara ituTini Gantini dalam bukunya Metodologi Riset menyebutkan delapan ciri dari perilaku ilmiah yaitu :
- mempunyai dorongan ingin tahu, yang mendorong kegelisahan untuk meneliti fakta-fakta baru
- tidak berat sebelah dan berpandangan luas terhadap kebenaran
- ada kesesuaian antara apa yang diobservasi dengan laporannya
- keras hati dan rajin dalam mencari kebenaran
- mempunyai sifat ragu, sehingga terus mendorong upaya pencarian kebenaran/tidak pesimis
- rendah hati dan toleran terhadap hal yang diketahui dan yang tidak diketahui
- kurang mempunyai ketakutan
- pikiran terbuka terhadap kebenaran-kebenaran baru.
Dari pendapat di atas sanggup ditarik beberapa pokok yang menjadi ciri perilaku ilmiah yaitu : objektif, terbuka, rajin, sabar, tidak sombong, dan tidak memutlakan suatu kebenaran ilmiah. Ini berarti bahwa ilmuwan dan para pencari ilmu perlu terus memupuk perilaku tersebut dalam berhadapan dengan ilmu, lantaran selalu terjadi kemungkinan bahwa apa yang sudah dianggap benar hari ini ibarat suatu teori, mungkin saja pada suatu waktu akan digantikan oleh teori lain yang mempunyai atau menunjukan kebenaran baru.
PERTANYAAN UNTUK BAHAN DISKUSI
- jelaskan secara rinci apa yang demaksud dengan ilmu?
- jelaskan pengertian ilmu dilihat dari ruang lingkupnya ?
- jelaskan apa yang dimaksud dengan Ilmu sebagai akumulasi pengetahuan yang tersistematisir dan terorganisir?
- jelaskan dan berikan contoh-contohnya berkaitan dengan ciri-ciri ilmu?
- Jelaskan apa yang dimaksud dengan fungsi ilmu untuk memprediksi?
- jelaskan perbedaan antara fakta, konsep, generalisasi dan teori?
- jelaskan korelasi antara fakta dengan teori, dan buat gambarnya ?
- jelaskan kenapa suatu konsep atau variabel perlu didefinisikan?
- jelaskan apa yang dimaksud dengan asumsi dan apa perlunya dalam suatu acara ilmiah
- Jelaskan apa yang dimaksud dengan objek material dan objek formal ilmu
- jelaskan apa yang dimaksud dengan klarifikasi ilmiah serta sebutkan macam-macamnya beserta contoh-contohnya
- jelaskan masing-masing ciri perilaku ilmiah?, serta jelaskan perilaku apa yang paling penting untuk dimiliki oleh seseorang yang sedang menuntut ilmu?
B A B 4
F I L S A F A T I L M U
Metode-metode dan penemuan-penemuan sains modern telah mendominasi dunia, dan filsafat hanya dianggap sebagai pelayan sains. Kesuksesan dan kemajuan ilmiah telah diterima sebagai kebenaran, … konsepsi dunia ilmiah mendikte apa yang boleh diterima secara filosofis, lantaran filsafat diturunkan menjadi kiprah sekunder, kiprah justifikasi sains tidak lagi dianggap esensial. Sain menentukan apa yang dimaksud dengan kebenaran, dan tidak ada ruang untuk mempertanyakan apakah sain satu-satunya kebanaran atau hanya sebuah jalan menuju kebenaran.(R. Trigg, dalam Rationality and Science)
G. ORIENTASI FILSAFAT ILMU
Setelah mengenal pengertian dan makna apa itu filsafat dan apa iti ilmu, maka pemahaman mengenai filsafat ilmu tidak akan terlalu mengalami kesulitan. Hal ini tidak berarti bahwa dalam memaknai filsafat ilmu tinggal menggabungkan kedua pengertian tersebut, lantaran sebagai suatu istilah, filsafat ilmu telah mengalami perkembangan pengertian serta para akhli pun telah memperlihatkan pengertian yang bervariasi, namun demikian pemahaman perihal makna filsafat dan makna ilmu akan sangat membantu dalam memahami pengertian dan makna filsafat ilmu (Philosophy of science).
Pada dasarnya filsafat ilmu merupakan kajian filosofis terhadap hal-hal yang berkaitan dengan ilmu, dengan kata lain filsafat ilmu merupakan upaya pengkajian dan pendalaman mengenai ilmu (Ilmu Pengetahuan/Sains), baik itu ciri substansinya, pemerolehannya, ataupun manfaat ilmu bagi kehidupan manusia. Pengkajian tersebut tidak terlepas dari contoh pokok filsafat yang tercakup dalam bidang ontologi, epistemologi, dan axiologi dengan aneka macam pengembangan dan pendalaman yang dilakukan oleh para akhli.
Secara historis filsafat dipandang sebagai the mother of sciences atau induk segala ilmu, hal ini sejalan dengan akreditasi Descartes yang menyatakan bahwa prinsip-prinsip dasar ilmu diambil dari filsafat. Filsafat alam mendorong lahirnya ilmu-ilmu kealaman, filsafat sosial melahirkan ilmu-ilmu sosial, namun dalam perkembangannya dominasi ilmu sangat menonjol, bahkan ada yang menyatakan telah terjadi upaya perceraian antara filsafat dengan ilmu, meski hal itu bahwasanya hanya upaya menyembunyikan asal usulnya atau perpaduannya ibarat terlihat dari ungkapkan Husein Nasr (1996) bahwa :
meskipun sains modern mendeklarasikan independensinya dari aliran filsafat tertentu, namun ia sendiri tetap berdasarkan sebuah pemahaman filosofis partikular baik perihal karakteristik alam maupun pengetahuan kita tentangnya, dan unsur terpenting di dalamnya ialah Cartesianisme yang tetap bertahan sebagai serpihan inheren dari pandangan dunia ilmiah modern dominasi ilmu terutama aplikasinya dalam bentuk teknologi telah menjadikan pemikiran-pemikiran filosofis cenderung terpinggirkan, hal ini berdampak pada cara berfikir yang sangat pragmatis-empiris dan partial, serta cenderung menganggap pemikiran radikal filosofis sebagai sesuatu yang asing dan terasa tidak praktis, padahal ilmu yang berkembang remaja ini di dalamnya terdapat pemahaman filosofis yang mendasarinya sebagaimana kata Nasr .
Perkembangan ilmu memang telah banyak pengaruhnya bagi kehidupan manusia, aneka macam fasilitas hidup telah banyak dirasakan, semua ini telah menumbuhkan keyakinan bahwa ilmu merupakan suatu sarana yang penting bagi kehidupan, bahkan lebih jauh ilmu dianggap sebagai dasar bagi suatu ukuran kebenaran. Akan tetapi kenyataan menunjukan bahwa tidak semua masalah sanggup didekati dengan pendekatan ilmiah, sekuat apapun upaya itu dilakukan, ibarat kata Leenhouwers yang menyatakan:
Walaupun ilmu pengetahuan mencari pengertian menerobos realitas sendiri, pengertian itu hanya dicari di tataran empiris dan eksperimental. Ilmu pengetahuan membatasi kegiatannya hanya pada fenomena-fenomena, yang entah eksklusif atau tidak langsung, dialami dari pancaindra. Dengan kata lain ilmu pengetahuan tidak menerobos kepada inti objeknya yang sama sekali tersembunyi dari observasi. Maka ia tidak memberi balasan prihal kausalitas yang paling dalam.
pernyataan di atas mengindikasikan bahwa ialah sulit bahkan tidak mungkin ilmu bisa menembus batas-batas yang menjadi daerahnya yang sangat bertumpu pada fakta empiris, memang tidak bisa dianggap sebagai kegagalan bila demikian selama klaim kebenaran yang disandangnya diberlakukan dalam daerahnya sendiri, namun jika hal itu menutup pintu refleksi radikal terhadap ilmu maka hal ini mungkin bisa menjadi ancaman bagi upaya memahami kehidupan secara utuh dan kekayaan dimensi di dalamnya.
Meskipun dalam tahap awal perkembangan pemikiran insan khususnya jaman Yunani kuno cikal bakal ilmu terpadu dalam filsafat, namun pada tahap selanjutnya ternyata telah melahirkan aneka macam disiplin ilmu yang masing-masing mempunyai asumsi filosofisnya (khususnya perihal manusia) masing-masing. Ilmu ekonomi memandang insan sebagai homo economicus yakni makhluk yang mementingkan diri sendiri dan hedonis, sementara sosiologi memandang insan sebagai homo socius yakni makhluk yang selalu ingin berkomunikasi dan bekerjasama dengan yang lain, hal ini menunjukan suatu pandangan insan yang fragmentaris dan kontradiktif, memang diakui bahwa dengan asumsi model ini ilmu-ilmu terus berkembang dan makin terspesialisasi, dan dengan makin terspesialisasi maka analisisnya makin tajam, namun seiring dengan itu hasil-hasil penelitian ilmiah selalu berusaha untuk bisa membuat generalisasi, hal ini nampak ibarat contradictio in terminis (pertentangandalam istilah)
Dengan demikian keberadaan ilmu mestinya tidak dipandang sebagai sesuatu yang sudah final, dia perlu dikritisi, dikaji, bukan untuk melemahkannya tapi untuk memposisikan secara tepat dalam batas wilayahnya, hal inipun sanggup membantu terhindar dari memutlakan ilmu dan menganggap ilmu dan kebenaran ilmiah sebagai satu-satunya kebenaran, disamping perlu terus diupayakan untuk melihat ilmu secara integral bergandengan dengan dimensi dan bidang lain yang hidup dan berkembang dalam memperadab manusia. Dalam korelasi ini filsafat ilmu akan membukakan wawasan perihal bagaimana bahwasanya substansi ilmu itu, hal ini lantaran filsafat ilmu merupakan pengkajian lanjutan, yang berdasarkan Beerleng, sebagai Refleksi sekunder atas illmu dan ini merupakan syarat mutlak untuk menentang ancaman yang menjurus kepada keadaan cerai berai serta pertumbuhan yang tidak seimbang dari ilmu-ilmu yang ada, melalui pemahaman perihal asas-asas, latar belakang serta korelasi yang dimiliki/dilaksanakan oleh suatu kegiatan ilmiah.
H. PERKEMBANGAN FILSAFAT ILMU
Secara umum sanggup dikatakan bahwa semenjak perang dunia ke 2, yang telah menghancurkan kehidupan manusia, para Ilmuwan makin menyadari bahwa perkembangan ilmu dan pencapaiannya telah menjadikan banyak penderitaan insan , ini tidak terlepas dari pengembangan ilmu dan teknologi yang tidak dilandasi oleh nilai-nilai moral serta janji etis dan agamis pada nasib insan , padahal Albert Einstein pada tahun 1938 dalam pesannya pada Mahasiswa California Institute of Technology menyampaikan “ Perhatian kepada insan itu sendiri dan nasibnya harus selalu merupakan perhatian pada masalah besar yang tak kunjung terpecahkan dari pengaturan kerja dan pemerataan benda, semoga buah ciptaan dari pemikiran kita akan merupakan berkah dan bukan kutukan terhadap kemanusiaan (Jujun S Suriasumantri, 1999 : 249 ).
Akan tetapi penjatuhan bom di Hirosima dan Nagasaki tahun 1945 menunjukan bahwa perkembangan iptek telah menjadikan kesengsaraan insan , meski disadari tidak semua hasil pencapaian iptek demikian, namun hal itu telah mencoreng ilmu dan menyimpang dari pesan Albert Einstein, sehingga hal itu telah menimbulkan keprihatinan filosof perihal arah kemajuan peradaban insan sebagai akhir perkembangan ilmu (Iptek) .
Untuk itu nampaknya para filosof dan ilmuan perlu merenungi apa yang dikemukakan Harold H Titus dalam bukunya Living Issues in Pilosophy (1959), dia mengutif beberapa pendapat cendikiawan ibarat Northrop yang menyampaikan “ it would seem that the more civilized we become , the more incapable of maintaining civilization we are”, demikian juga pernyataan Lewis Mumford yang berbicara perihal “the invisible breakdown in our civiliozation : erosion of value, the dissipation of human purpose, the denial of any dictinction between good and bad, right or wrong, the reversion to sub human conduct” (Harold H Titus, 1959 : 3)
Ungkapan tersebut di atas hanya untuk menunjukan bahwa memasuki dasawarsa 1960-an kecenderungan mempertanyakan manfaat ilmu menjadi hal yang penting, sehingga pada periode ini (1960-1970) dimensi aksiologis menjadi perhatian para filosof, hal ini tak lain untuk meniupkan ruh etis dan agamis pada ilmu, semoga pemanfaatannya sanggup menjadi berkah bagi insan dan kemanusiaan , sehingga telaah pada fakta empiris berkembang ke pencarian makna dibaliknya atau ibarat yang dikemukakan oleh Prof. Dr. H. Ismaun, M.Pd (2000 : 131) dari telaah positivistik ke telaah meta-science yang dimulai semenjak tahun 1965.
Memasuki tahun 1970-an , pencarian makna ilmu mulai berkembang khususnya di kalangan pemikir muslim , bahkan pada dasawarsa ini lahir gerakan islamisasi ilmu, hal ini tidak terlepas dari perilaku apologetik umat islam terhadap kemajuan barat, sampai-sampai ada ilham untuk melaksanakan sekularisasi, ibarat yang dilontarkan oleh Nurcholis Majid pada tahun 1974 yang kemudian banyak menerima reaksi keras dari pemikir-pemikir Islam ibarat dari Prof. H.M Rasyidi dan Endang Saifudin Anshori.
Mulai awal tahun 1980-an, makin banyak karya cendekiawan muslim yang berbicara perihal integrasi ilmu dan agama atau islamisasi ilmu, ibarat terlihat dari aneka macam karya mereka yang meliputi variasi ilmu ibarat karya Ilyas Ba Yunus perihal Sosiologi Islam, serta karya-karya dibidang ekonomi, ibarat karya Syed Haider Naqvi Etika dan Ilmu Ekonomi, karya Umar Chapra Al Qur’an, menuju sistem moneter yang adil, dan karya-karya lainnya , yang pada pada dasarnya semua itu merupakan upaya penulisnya untuk menjadikan ilmu-ilmu tersebut mempunyai landasan nilai islam.
Memasuki tahun 1990-an , khususnya di Indosesia perbincangan filsafat diramaikan dengan wacana post modernisme, sebagai suatu kritik terhadap modernisme yang berbasis positivisme yang sering mengklaim universalitas ilmu, juga diskursus post modernisme memasuki kajian-kajian agama.
Post modernisme yang sering dihubungkan dengan Michael Foccault dan Derrida dengan beberapa konsep/paradigma yang kontradiktif dengan modernisme ibarat dekonstruksi, desentralisasi, nihilisme dsb, yang pada dasarnya ingin menempatkan narasi-narasi kecil ketimbang narasi-narasi besar, namun post modernisme menerima kritik keras dari Ernest Gellner dalam bukunya Post modernism, Reason and Religion yang terbit pada tahun1992. Dia menyatakan bahwa post modernisme akan menjurus pada relativisme dan untuk itu dia mengajukan konsep fundamentalisme rasionalis, lantaran rasionalitas merupakan standar yang berlaku lintas budaya.
Disamping itu gerakan meniupkan nilai-nilai agama pada ilmu makin berkembang, bahkan untuk Indonesia disambut hangat oleh ulama dan masyarakat terlihat dari berdirinya BMI, yang pada dasarnya hal ini tidak terlepas dari gerakan islamisasi ilmu, khususnya dalam bidang ilmu ekonomi.
Dan pada periode ini pula teknologi informasi sangat luar biasa , berakibat pada makin pluralnya perbincangan/diskursus filsafat, sehingga sulit menentukan diskursus mana yang paling menonjol, hal ini mungkin sesuai dengan apa yang digambarkan oleh Alvin Tofler sebagai The third Wave, dimana informasi makin cepat memasuki aneka macam belahan dunia yang pada gilirannya akan menjadikan kejutan-kejutan budaya tak terkecuali bidang pemikiran filsafat.
Meskipun nampaknya prkembangan Filsafat ilmu erat kaitan dengan dimensi axiologi atau nilai-nilai pemanfaatan ilmu, namun dalam perkembangannya keadaan tersebut telah juga mendorong para akhli untuk lebih mencermati apa bahwasanya ilmu itu atau apa hakekat ilmu, mengingat dimensi ontologis bahwasanya punya kaitan dengan dimensi-dimensi lainnya ibarat ontologi dan epistemologi, sehingga dua dimensi yang terakhir pun menerima penilaian ulang dan pengkajian yang serius.
Diantara tonggak penting dalam bidang kajian ilmu (filsafat ilmu) ialah terbitnya Buku The Structure of Scientific Revolution yang ditulis oleh Thomas S Kuhn, yang untuk pertama kalinya terbit tahun 1962, buku ini merupakan sebuah karya yang monumental mengenai perkembangan sejarah dan filsafat sains, dimana didalamnya paradigma menjadi konsep sentral, disamping konsep sains/ilmu normal. Dalam pandangan Kuhn ilmu pengetahuan tidak hanya pengumpulan fakta untuk membuktikan suatu teori, lantaran selalu ada anomali yang sanggup mematahkan teori yang telah dominan.
Pencapaian-pencapaian insan dalam bidang pemikiran ilmiah telah menghasilkan teori-teori, kemudian teori-teori terspesifikasikan berdasarkan karakteristik tertentu ke daLam suatu Ilmu. Ilmu (teori) tersebut kemudian dikembangkan , diuji sehingga menjadi mapan dan menjadi dasar bagi riset-riset selanjutnya , maka Ilmu (sains) tersebut menjadi sains normal yaitu riset yang dengan teguh berdasar atas suatu pencapaian ilmiah yang lalu, pencapaian yang oleh masyarakat ilmiah tertentu pada suatu ketika dinyatakan sebagai pemberi fundasi bagi praktek (riset) selanjutnya ( Thomas S Kuhn, 2000 :10 ) .
Pencapaian pemikiran ilmiah tersebut dan terbentuknya sains yang normal kemudian menjadi paradigma, yang berarti “apa yang dimiliki bersama oleh anggota suatu masyarakat sains dan sebaliknya masyarakat sains terdiri atas orang yang mempunyai suatu paradigma tertentu ( Thomas S Kuhn, 2000 : 171 ). Paradigma dari sains yang normal kemudian mendorong riset normal yang cenderung sedikit sekali ditujukan untuk menghasilkan inovasi gres yang konseptual atau yang hebat (. Thomas S Kuhn, 2000 : 134 ). Ini berakibat bahwa sains yang normal, kegunaannya sangat bermanfaat dan bersifat kumulatif. Teori yang memperoleh akreditasi sosial akan menjadi paradigma, dan kondisi ini merupakan periode ilmu normal. Kemajuan ilmu berawal dari usaha kompetisi aneka macam teori untuk menerima akreditasi intersubjektif dari suatu masyarakat ilmu. Dalam periode sain normal ilmu hanyalah merupakan pembenaran-pembenaran sesuai dengan asumsi-asumsi paaradigma yang dianut masyarakat tersebut, ini tidak lain dikarenakan paradigma yang berlaku telah menjadi patokan bagi ilmu untuk melaksanakan penelitian, memecahkan masalah, atau bahkan menyeleksi masalah-masalah yang layak dibicarakan dan dikaji
Akan tetapi didalam perkembangan selanjutnya ilmuwan banyak menemukan hal-hal gres yang sering mengejutkan, semua ini diawali dengan kesadaran akan anomali atas prediksi-prediksi paradigma sains normal, kemudian pandangan yang anomali ini dikembangkan hingga alhasil ditemukan paradigma gres yang mana perubahan ini sering sangat revolusioner. Paradigma gres tersebut kemudian melahirkan sain normal yang gres hingga ditemukan lagi paradigma gres berikutnya. Bila digambarkan nampak sebagai berikut :
- Pencapaian Manusia dalam pemikiran ilmiah
- Sains Normal
- Paradigma
- Anomali
- Perubahan paradigma/ revolusi sains
- Sains Normal yang baru
Paradigma Baru
Pencapaian sain normal dan paradigma gres bukanlah selesai , tapi menjadi awal bagi proses perubahan paradigma dan revolusi sains berikutnya, bila terdapat anomali atas prediksi sains normal yang gres tersebut. Pendapat Kuhn tersebut pada dasarnya mengindikasikan bahwa secara substansial kebenaran ilmu bukanlah sesuatu yang tak tergoyahkan, suatu paradigma yang berlaku pada suatu saat, pada dikala yang lain bisa tergantikan dengan paradigma gres yang telah menerima akreditasi dari masyarakat ilmiah, itu berarti suatu teori sifatnya sangat tentatif sekali.
I. CIRI-CIRI ILMU MODERN
Dalam serpihan terdahulu telah dikemukakan ciri-ciri dari suatu ilmu, ciri-ciri tersebut pada prinsipnya merupakan suatu yang normatif dalam suatu disiplin keilmuan. Namun dalam perkembangannya ilmu khususnya teknologi sebagai aplikasi dari ilmu telah banyak mengalami perubahan yang sangata cepat, perubahan ini berdampak pada pandangan masyarakat perihal hakekat ilmu, perolehan ilmu, serta keuntungannya bagi masyarakat, sehingga ilmu cenderung dianggap sebagai satu-satunya kebenaran dalam mendasari aneka macam kebijakan kemasyarakatan, serta telah menjadi dasar penting yang menghipnotis penentuan prilaku manusia. Keadaan ini berakibat pada karakterisasi ciri ilmu modern, adapun ciri-ciri tersebut ialah :
- Bertumpu pada paradigma positivisme. Ciri ini terlihat dari pengembangan ilmu dan teknologi yang kurang memperhatikan aspek nilai baik etis maupun agamis, lantaran memang salah satu aksioma positivisme ialah value free yang mendorong tumbuhnya prinsip science for scienceMendorong pada tumbuhnya perilaku hedonisme dan konsumerisme. Berbagai pengembangan ilmu dan teknologi selalu mengacu pada upaya untuk meningkatkan kenikmatan hidup , meskipun hal itu sanggup mendorong gersangnya ruhani insan akhir makin memasyarakatnya budaya konsumerisme yang terus dipupuk oleh media teknologi modern ibarat iklan besar-besaran yang sanggup membuat kebutuhan semu yang oleh Herbert Marcuse didefinisikan sebagai kebutuhan yang ditanamkan ke dalam masing-masing individu demi kepentingan sosial tertentu dalam represinya (M. Sastrapatedja, 1982 : 125)
- Perkembangannya sangat cepat . Pencapaian sain ddan teknologi modern menunjukan percepatan yang menakjubkan , berubah tidak dalam waktu tahunan lagi bahkan mungkin dalam hitungan hari, ini terang sangat berbeda denngan perkembangan iptek sebelumnya yang kalau berdasarkan Alfin Tofler dari gelombang pertama (revolusi pertanian) memerlukan waktu ribuan tahun untuk mencapai gelombang ke dua (revolusi industri, dimana sebagaimana diketahui gelombang tersebut terjadi akhir pencapaian sains dan teknologi
- Bersifat eksploitatif terhadap lingkungan. Berbagai kerusakan lingkungan hidupdewasa ini tidak terlepas dari pencapaian iptek yang kurang memperhatikan dampak lingkungan.
J. PARADIGMA ILMU MODERN MENURUT BEBERAPA ALIRAN
Secara historis paradigma sains telah mengalami tahapan-tahapan perubahan sebagaimana dikemukakan oleh S Nasution dalam bukunya “Metode penelitian naturalistik kualitatif (1996 : 3). Tahap pertama disebut masa pra-positivisme, yang diawali dari jaman Aristiteles hingga David Hume, dimana aplikasinya dalam penelitian ialah mengamati secara pasif, tidak ada upaya memanipulasi lingkungan dan melaksanakan eksperimen terhadap lingkungan . Tahapan ini kemudian berganti dengan tahapan positivisme, dimana paradigma ini menjadi dasar bagi metode ilmiah dengan bentuk penelitian kuantitatif , yang mencoba mencari prinsip-prinsip atau hukum-hukum umum perihal dunia kenyataan . Paradigma berikutnya yang muncul ialah paradigma post positivisme sebagai reaksi atas pendirian positivisme, dimana dalam pandangan ini, kebenaran bukan sesuatu yang tunggal (it is an increasing complexity) sebagaimana diyakini positivisme.
Namun demikian paradigma yang paling menonjol di jaman modern ini nampaknya ialah positivisme, meskipun ada beberapa sempalan dalam positivisme itu (Ahmad Sanusi, Majalah Matahari : 12). Untuk lebih mengetahuiberbagai paradigma sains modern, penulis sajikan tabel berikut yang dikutip oleh Ahmad Sanusi dalam Majalah Matahari halaman 12 sebagai berikut :
POSITIVISTIK
- Akal sehat dan melaksanakan observasi
- Empirikal Statis-tik dan menentukan metoda fakta
- Konsistensi dan Kepastian yang empirikal, rasional/logis
- Obyek yang spesifik dan terukur
- Realitas yang memisah/ khusus
FORMALISTIK/ STRUKTURALISTIK
- Nalar reflektif dan Menemukan Makna
- Empirikal statistikal dan Menyusun fakta metode
- Konsistensi empirikal
- Obyek yang spesifik dan terukur
- Realitas yang melanjut
PENAFSIRAN (INTERPRETATIF)
- Intuisi dan Menemukan Metoda
- Teoritikal Filosofis Subyektivitas
- Transendental, dan menjelaskan teori makna
- Kohesi teoritik
- Identitas obyek yang masuk kebijaksanaan dan kemampuan mentransformasikan
- Realitas yang melanjut
TEORITIS
- Intuisi dan Menemukan Nilai
- Teoritikal Filosofis Menemukan Makna
- Teori
- Kohesi Teoritik
- Identitas obyek yang masuk kebijaksanaan dan karakteristik yang unggul
- Realitas yang menyatu
KRITIS
- Intuisi dan Menemukan Teori
- Personal Sosial dan Melakukan Observasi
- Nilai
- Konsensus atas dasar pengalaman
- Identitas obyek yang masuk kebijaksanaan dan karakteristik yang unggul
- Realitas yang menyatu
PENGAMAT PARTISIPAN
- Akal sehat dan menemukan fakta
- Personal Sosial dan Menemukan Fakta
- Observasi
- Konsensus atas dasar pengalaman
- Identitas obyek yang masuk kebijaksanaan dan fungsi yang khas
- Realitas yang memisah
Paradigma-paradigma yang tercantum dalam tabel tersebut masih sanggup dikelompokan pada kategori yang sama atau mendekati. Dilihat dari esensi ontologisnya paradigma positivistik sama dengan pengamat partisipan yakni bahwa realitas itu terpisah, paradigma teoritis sama dengan paradigma kritis, sedang paradigma formalistik strukturalis sama dengan paradigma interpretatif. Dilihat dari sumber, positivistik sama dengan pengamat partisipan dan mendekati paradigma interpretatif serta formalistik strukturalis, sedangkan paradigma teoritis sama dengan paradigma kritis.
Dari segi bentuk pengetahuan, positivistik sama dengan formalistik, interpretatif sama dengan teoritis, sedangkan paradigma kritis sama dengan paradigma pengamat partisipan , demikian juga dilihat dari segi model verifikasi banyak kesamaannya, hanya dari kiprah dan titik berat keenam paradigma itu berbeda.
Namun demikian paradigma yang paling menonjol kini ini ialah paradigma positivistik, dimana kenyataan menunjukan paradigma ini banyak memperlihatkan sumbangan bagi perkembangan teknologi remaja ini , akan tetapi tidak berarti paradigma lainnya tidak berperan , peranannya tetap ada terutama dalam hal-hal yang tak sanggup dijelaskan oleh paradigma positivistik , hal ini terlihat dengan berkembangnya paradigma naturalistik yang telah mendorong berkembangnya penelitian kualitatif . oleh lantaran itu nampaknya paradigma-paradigma tersebut tidak bersifat saling menghilangkan tapi lebih bersipat saling melengkapi , hal ini didasari keyakinan betapa kompleksnya realitas dunia dan kehidupan di dalamnya.
K. HUBUNGAN FILSAFAT DENGAN ILMU
Meskipun secara historis antara ilmu dan filsafat pernah merupakan suatu kesatuan, namun dalam perkembangannya mengalami divergensi, dimana dominasi ilmu lebih kuat menghipnotis pemikiran manusia, kondisi ini mendorong pada upaya untuk memposisikan ke duanya secara tepat sesuai dengan batas daerahnya masing-masing, bukan untuk mengisolasinya melainkan untuk lebih jernih melihat korelasi keduanya dalam konteks lebih memahami khazanah intelektuan manusia
Harold H. Titus mengakui kesulitan untuk menyatakan secara tegas dan ringkas mengenai korelasi antara ilmu dan filsafat, lantaran terdapat persamaan sekaligus perbedaan antara ilmu dan filsafat, disamping dikalangan ilmuwan sendiri terdapat perbedaan pandangan dalam hal sifat dan keterbatasan ilmu, dimikian juga dikalangan filsuf terdapat perbedaan pandangan dalam memperlihatkan makna dan kiprah filsafat.
Adapaun persamaan (lebih tepatnya persesuaian) antara ilmu dan filsafat ialah bahwa keduanya menggunakan berfikir reflektif dalam upaya menghadapi/memahami fakta-fakta dunia dan kehidupan, terhadap hal-hal tersebut baik filsafat maupun ilmu bersikap kritis, berfikiran terbuka serta sangat konsern pada kebenaran, disamping perhatiannya pada pengetahuan yang terorganisisr dan sistematis.
Sementara itu perbedaan filsafat dengan ilmu lebih berkaitan dengan titik tekan, dimana ilmu mengkaji bidang yang terbatas, ilmu lebih bersifat analitis dan deskriptif dalam pendekatannya, ilmu menggunakan observasi, eksperimen dan penjabaran data pengalaman indra serta berupaya untuk menemukan hukum-hukum atas gejala-gejala tersebut, sedangkan filsafat berupaya mengkaji pengalaman secara menyeluruh sehingga lebih bersifat inklusif dan meliputi hal-hal umum dalam aneka macam bidang pengalaman manusia, filsafat lebih bersifat sintetis dan sinoptis dan kalaupun analitis maka analisanya memasuki dimensi kehidupan secara menyeluruh dan utuh, filsafat lebih tertarik pada pertanyaan kenapa dan bagaimana dalam mempertanyakan masalah korelasi antara fakta khusus dengan skema masalah yang lebih luas, filsafat juga mengkaji korelasi antara temuan-temuan ilmu dengan klaim agama, moral serta seni.
Dengan memperhatikan ungkapan di atas nampak bahwa filsafat mempunyai batasan yang lebih luas dan menyeluruh ketimbang ilmu, ini berarti bahwa apa yang sudah tidak bisa dijawab oleh ilmu, maka filsafat berupaya mencari jawabannya, bahkan ilmu itu sendiri bisa dipertanyakan atau dijadikan objek kajian filsafat (Filsafat Ilmu), namun demikian filsafat dan ilmu mempunyai kesamaan dalam menghadapi objek kajiannya yakni berfikir reflektif dan sistematis, meski dengan titik tekan pendekatan yang berbeda.
Dengan demikian, Ilmu mengkaji hal-hal yang bersifat empiris dan sanggup dibuktikan, filsafat mencoba mencari balasan terhadap masalah-masalah yang tidak bisa dijawab oleh Ilmu dan jawabannya bersifat spekulatif, sedangkan Agama merupakan balasan terhadap masalah-masalah yang tidak bisa dijawab oleh filsafat dan jawabannya bersifat mutlak/dogmatis. Menurut Sidi Gazlba (1976), Pengetahuan ilmu lapangannya segala sesuatu yang sanggup diteliti (riset dan/atau eksperimen) ; batasnya hingga kepada yang tidak atau belum sanggup dilakukan penelitian. Pengetahuan filsafat : segala sesuatu yang sanggup dipikirkan oleh budi (rasio) insan yang alami (bersifat alam) dan nisbi; batasnya ialah batas alam namun demikian ia juga mencoba memikirkan sesuatu yang diluar alam, yang disebut oleh agama “Tuhan”. Sementara itu Oemar Amin Hoesin (1964) menyampaikan bahwa ilmu memperlihatkan kepada kita pengetahuan, dan filsafat memperlihatkan hikmat. Dari sini nampak terang bahwa ilmu dan filsafat mempunyai wilayah kajiannya sendiri-sendiri
Meskipun filsafat ilmu mempunyai substansinya yang khas, namun dia merupakan bidang pengetahuan adonan yang perkembangannya tergantung pada korelasi timbal balik dan saling efek antara filsafat dan ilmu, oleh lantaran itu pemahaman bidang filsafat dan pemahaman ilmu menjadi sangat penting, terutama hubungannya yang bersifat timbal balik, meski dalam perkembangannya filsafat ilmu itu telah menjadi disiplin yang tersendiri dan otonom dilihat dari objek kajian dan telaahannya
L. PENGERTIAN FILSAFAT ILMU
Dilihat dari segi katanya filsafat ilmu sanggup dimaknai sebagai filsafat yang berkaitan dengan atau perihal ilmu. Filsafat ilmu merupakan serpihan dari filsafat pengetahuan secara umum, ini dikarenakan ilmu itu sendiri merupakan suatu bentuk pengetahuan dengan karakteristik khusus, namun demikian untuk memahami secara lebih khusus apa yang dimaksud dengan filsafat ilmu, maka dibutuhkan pembatasan yang sanggup menggambarkan dan memberi makna khusus perihal istilah tersebut.
Para akhli telah banyak mengemukakan definisi/pengertian filsafat ilmu dengan sudut pandangnya masing-masing, dan setiap sudut pandang tersebut amat penting guna pemahaman yang komprehensif perihal makna filsafat ilmu, berikut ini akan dikemukakan beberapa definisi filsafat ilmu :
- The philosophy of science is a part of philosophy which attempts to do for science what philosophy in general does for the whole of human experience (Peter Caws)
- The philosophy of science attemt, first, to elucidate the elements involved in the process of scientific inquiry-observational procedures, patterns of argument, methods of representation and calculation, metaphysical presupposition, and so on, and then to evaluate the grounds of their validity from the points of view of formal logic, practical methodology anf metaphysics (Steven R. Toulmin).
- Philosophy of science questions and evaluates the methods of scientific thinking and tries to determine the value and significance of scientific enterprise as a whole (L. White Beck)
- Philosophy of science.. that philosophic discipline which is the systematic study of the nature of science, especially of its methods, its concepts and presupposition, and its place in the general scheme of intelectual discipline (A.C. Benyamin)
- Philosophy of science.. the study of the inner logic of scientific theories, and the relations between experiment and theory, i.e of scientific method (Michael V. Berry)
Pengertian-pengertian di atas menggambarkan variasi pandangan beberapa akhli perihal makna filsafat ilmu. Peter Caw memperlihatkan makna filsafat ilmu sebagai serpihan dari filsafat yang kegiatannya menelaah ilmu dalam kontek keseluruhan pengalaman manusia, Steven R. Toulmin memaknai filsafat ilmu sebagai suatu disiplin yang diarahkan untuk menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan mekanisme penelitian ilmiah, penentuan argumen, dan anggapan-anggapan metafisik guna menilai dasar-dasar validitas ilmu dari sudut pandang logika formal, dan metodologi mudah serta metafisika. Sementara itu White Beck lebih melihat filsafat ilmu sebagai kajian dan penilaian terhadap metode ilmiah untuk sanggup difahami makna ilmu itu sendiri secara keseluruhan, masalah kajian atas metode ilmiah juka dikemukakan oleh Michael V. Berry setelah mengungkapkan dua kajian lainnya yaitu logika teori ilmiah serta korelasi antara teori dan eksperimen, demikian juga halnya Benyamin yang memasukan masalah metodologi dalam kajian filsafat ilmu disamping posisi ilmu itu sendiri dalam konstelasi umum disiplin intelektual (keilmuan).
Menurut The Liang Gie, filsafat ilmu ialah segenap pemikiran reflektif terhadap persoalan-persoalan mengenai segala hal yang menyangkut landasan ilmu maupun korelasi ilmu dengan segala segi kehidupan manusia. Pengertian ini sangat umum dan cakupannya luas, hal yang penting untuk difahami ialah bahwa filsafat ilmu itu merupakan telaah kefilsafatan terhadap hal-hal yang berkaitan/menyangkut ilmu, dan bukan kajian di dalam struktur ilmu itu sendiri. Terdapat beberapa istilah dalam pustaka yang dipadankan dengan Filsafat ilmu ibarat : Theory of science, meta science, methodology, dan science of science, semua istilah tersebut nampaknya menunjukan perbedaan dalam titik tekan pembahasan, namun semua itu pada dasarnya tercakup dalam kajian filsafat ilmu .
Sementara itu Gahral Adian mendefinisikan filsafat ilmu sebagai cabang filsafat yang mencoba mengkaji ilmu pengetahuan (ilmu) dari segi ciri-ciri dan cara pemerolehannya. Filsafat ilmu selalu mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mendasar/radikal terhadap ilmu ibarat perihal apa ciri-ciri spesifik yang menimbulkan sesuatu disebut ilmu, serta apa bedanya ilmu dengan pengetahuan biasa, dan bagaimana cara pemerolehan ilmu, pertanyaan - pertanyaan tersebut dimaksudkan untuk membongkar serta mengkaji asumsi-asumsi ilmu yang biasanya diterima begitu saja (taken for granted), Dengan demikian filsafat ilmu merupakan balasan filsafat atas pertanyaan ilmu atau filsafat ilmu merupakan upaya klarifikasi dan penelaahan secara mendalam hal-hal yang berkaitan dengan ilmu, apabila digambarkan korelasi tersebut nampak sebagai berikut :
ILMU FILSAFAT
Bertanya
Secara historis filsafat merupakan induk ilmu, dalam perkembangannya ilmu makin terspesifikasi dan mandiri, namun mengingat banyaknya masalah kehidupan yang tidak bisa dijawab oleh ilmu, maka filsafat menjadi tumpuan untuk menjawabnya, filsafat memberi klarifikasi atau balasan substansial dan radikal atas masalah tersebut, sementara ilmu terus mengembangakan dirinya dalam batas-batas wilayahnya, dengan tetap dikritisi secara radikal, proses atau interaksi tersebut pada dasarnya merupakan bidang kajian Filsafat Ilmu, oleh lantaran itu filsafat ilmu sanggup dipandang sebagai upaya menjembatani jurang pemisah antara filsafat dengan ilmu, sehingga ilmu tidak menganggap rendah pada filsafat, dan filsafat tidak memandang ilmu sebagai suatu pemahaman atas alam secara dangkal.
M. BIDANG KAJIAN DAN MASALAH-MASALAH DALAM FILSAFAT ILMU
Bidang kajian filsafat ilmu ruang lingkupnya terus mengalami perkembangan, hal ini tidak terlepas dengan interaksi antara filsafat dan ilmu yang makin intens. Bidang kajian yang menjadi telaahan filsafat ilmu pun berkembang dan diantara para akhli terlihat perbedaan dalam menentukan lingkup kajian filsafat ilmu, meskipun bidang kajian iduknya cenderung sama, sedang perbedaan lebih terlihat dalam perincian topik telaahan. Berikut ini beberapa pendapat akhli perihal lingkup kajian filsafat ilmu :
1. Edward Madden menyatakan bahwa lingkup/bidang kajian filsafat ilmu adalah:
- Probabilitas
- Induksi
- Hipotesis
2. Ernest Nagel
- Logical pattern exhibited by explanation in the sciences
- Construction of scientific concepts
- Validation of scientific conclusions
3. Scheffer
- The role of science in society
- The world pictured by science
- The foundations of science
Dari beberapa pendapat di atas nampak bahwa semua itu lebih bersifat menambah terhadap lingkup kajian filsafat ilmu, sementara itu Jujun S. Suriasumantri menyatakan bahwa filsafat ilmu merupakan serpihan dari epistemology yang secara spesifik mengkaji hakekat ilmu. Dalam bentuk pertanyaan, pada dasar filsafat ilmu merupakan telahaan berkaitan dengan objek apa yang ditelaah oleh ilmu (ontologi), bagaimana proses pemerolehan ilmu (epistemologi), dan bagaimana manfaat ilmu (axiologi), oleh lantaran itu lingkup induk telaahan filsafat ilmu ialah :
- ontologi
- epistemologi
- axiologi
ontologi berkaitan perihal apa obyek yang ditelaah ilmu, dalam kajian ini meliputi masalah realitas dan penampakan (reality and appearance), serta bagaimana korelasi ke dua hal tersebut dengan subjek/manusia. Epistemologi berkaitan dengan bagaimana proses diperolehnya ilmu, bagaimana prosedurnya untuk memperoleh pengetahuan ilmiah yang benar. Axiologi berkaitan dengan apa manfaat ilmu, bagaimana korelasi etika dengan ilmu, serta bagaimana mengaplikasikan ilmu dalam kehidupan.
Ruang lingkup telaahan filsafat ilmu sebagaimana diungkapkan di atas di dalamnya bahwasanya menunjukan masalah-masalah yang dikaji dalam filsafat ilmu, masalah-masalah dalam filsafat ilmu pada dasarnya menunjukan topik-topik kajian yang pastinya sanggup masuk ke dalam salahsatu lingkup filsafat ilmu. Adapun masalah-masalah yang berada dalam lingkup filsafat ilmu ialah (Ismaun) :
- masalah-masalah metafisis perihal ilmu
- masalah-masalah epistemologis perihal ilmu
- masalah-masalah metodologis perihal ilmu
- masalah-masalah logis perihal ilmu
- masalah-masalah etis perihal ilmu
- masalah-masalah perihal estetika
metafisika merupakan telaahan atau teori perihal yang ada, istilah metafisika ini terkadang dipadankan dengan ontologi jika demikian, lantaran bahwasanya metafisika juga meliputi telaahan lainnya ibarat telaahan perihal bukti-bukti adanya Tuhan. Epistemologi merupakan teori pengetahuan dalam arti umum baik itu kajian mengenai pengetahuan biasa, pengetahuan ilmiah, maupun pengetahuan filosofis, metodologi ilmu ialah telaahan atas metode yang dipergunakan oleh suatu ilmu, baik dilihat dari struktur logikanya, maupun dalam hal validitas metodenya. Masalah logis berkaitan dengan telaahan mengenai kaidah-kaidah berfikir benar, terutama berkenaan dengan metode deduksi. Problem etis berkaitan dengan aspek-aspek moral dari suatu ilmu, apakah ilmu itu hanya untuk ilmu, ataukah ilmu juga perlu memperhatikan kemanfaatannya dan kaidah-kaidah moral masyarakat. Sementara itu masalah estetis berkaitan dengan dimensi keindahan atau nilai-nilai keindahan dari suatu ilmu, terutama bila berkaitan dengan aspek aplikasinya dalam kehidupan masyarakat.
N. KEBENARAN ILMU
Ilmu pada dasarnya merupakan upaya insan untuk menjelaskan aneka macam fenomena empiris yang terjadi di alam ini, tujuan dari upaya tersebut ialah untuk memperoleh suatu pemahaman yang benar atas fenomena tersebut. Terdapat kecenderungan yang kuat semenjak berjayanya kembali kebijaksanaan pemikiran insan ialah keyakinan bahwa ilmu merupakan satu-satunya sumber kebanaran, segala sesuatu klarifikasi yang tidak sanggup atau tidak mungkin diuji, diteliti, atau diobservasi ialah sesuatu yang tidak benar, dan lantaran itu tidak patut dipercayai.
Akan tetapi kenyataan menunjukan bahwa tidak semua masalah sanggup dijawab dengan ilmu, banyak sekali hal-hal yang merupakan konsern manusia, sulit, atau bahkan tidak mungkin dijelaskan oleh ilmu ibarat masalah Tuhan, Hidup setelah mati, dan hal-hal lain yang bersifat non – empiris. Oleh lantaran itu bila insan hanya mempercayai kebenaran ilmiah sebagai satu-satunya kebenaran, maka dia telah mempersempit kehidupan dengan hanya mengikatkan diri dengan dunia empiris, untuk itu dibutuhkan pemahaman perihal apa itu kebenaran baik dilihat dari jalurnya (gradasi berfikir) maupun macamnya.
Bila dilihat dari gradasi berfikir kebenaran sanggup dikelompokan kedalam empat gradasi berfikir yaitu :
- kebenaran biasa. Yaitu kebenaran yang dasarnya ialah common sense atau kebijaksanaan sehat. Kebenaran ini biasanya mengacu pada pengalaman individual tidak tertata dan sporadis sehingga cenderung sangat subjektif sesuai dengan variasi pengalaman yang dialaminya. Namun demikian seseorang bisa menganggapnya sebagai kebenaran apabila telah dirasakan manfaat praktisnya bagi kehidupan individu/orang tersebut.
- Kebenaran Ilmu. Yaitu kebenaran yang sifatnya positif lantaran mengacu pada fakta-fakta empiris, serta memungkinkan semua orang untuk mengujinya dengan metode tertentu dengan hasil yang sama atau paling tidak relatif sama.
- Kebenaran Filsafat. Kebenaran model ini sifatnya spekulatif, mengingat sulit/tidak mungkin dibuktikan secara empiris, namun bila metode berfikirnya difahami maka seseorang akan mengakui kebenarannya. Satu hal yang sulit ialah bagaimana setiap orang sanggup mempercayainya, lantaran cara berfikir dilingkungan filsafatpun sangat bervariasi.
- kebenaran Agama. Yaitu kebenaran yang didasarkan kepada informasi yang datangnya dari Tuhan melalui utusannya, kebenaran ini sifatnya dogmatis, artinya ketika tidak ada kefahaman atas sesuatu hal yang berkaitan dengan agama, maka orang tersebut tetap harus mempercayainya sebagai suatu kebenaran.
Dari uraian di atas nampak bahwa maslah kebenaran tidaklah sederhana, tingkatan-tingkatan/gradasi berfikir akan menentukan kebenaran apa yang dimiliki atau diyakininya, demikian juga sifat kebenarannya juga berbeda. Hal ini menunjukan bahwa bila seseorang berbicara mengenai sesuatu hal, dan apakah hal itu benar atau tidak, maka pertama-tama perlu dianalisis perihal tataran berfikirnya, sehingga tidak serta merta menyalahkan atas sesuatu pernyataan, kecuali apabila pembicaraannya memang sudah mengacu pada tataran berfikir tertentu.
Dalam konteks Ilmu, kebenaran pun mendapatkan perhatian yang srius, pembicaraan masalah ini berkaitan dengan validitas pengetahuan/ilmu, apakah pengetahuan yang diliki seseorang itu benar/valid atau tidak, untuk itu para akhli mengemukakan aneka macam teori kebenaran (Theory of Truth), yang sanggup dikategorikan ke dalam beberapa jenis teori kebenaran yaitu :
- Teori korespondensi (The Correspondence theory of truth). Menurut teori ini kebenaran, atau sesuatu itu dikatakan benar apabila terdapat kesesuaian antara suatu pernyataan dengan faktanya (a proposition - or meaning - is true if there is a fact to which it correspond, if it expresses what is the case). Menurut White Patrick “truth is that which conforms to fact, which agrees with reality, which corresponds to the actual situation. Truth, then can be defined as fidelity to objective reality”. Sementara itu berdasarkan Rogers, keadaan benar (kebenaran) terletak dalam kesesuaian antara esensi atau arti yang kita berikan dengan esensi yang terdapat di dalam objeknya. Contoh : kalau seseorang menyatakan bahwa Kualalumpur ialah ibukota Malayasia, maka pernyataan itu benar kalu dalam kenyataannya memang ibukota Malayasia itu Kualalumpur.
- Teori Konsistensi (The coherence theory of truth). Menurut teori ini kebenaran ialah keajegan antara suatu pernyataan dengan pernyataan lainnya yang sudah diakui kebenarannya, jadi suatu proposisi itu benar jika sesuai/ajeg atau koheren dengan proposisi lainnya yang benar. Kebenaran jenis ini biasanya mengacu pada hukum-hukum berfikir yang benar. Misalnya Semua insan niscaya mati, Uhar ialah Manusia, maka Uhar niscaya mati, kesimpulan uhar niscaya mati sangat tergantung pada kebenaran pernyataan pertama (semua insan niscaya mati).
- Teori Pragmatis (The Pragmatic theory of truth). Menurut teori ini kebenaran ialah sesuatu yang sanggup berlaku, atau sanggup memperlihatkan kepuasan, dengan kata lain sesuatu pernyataan atau proposisi dikatakan benar apabila sanggup memberi manfaat mudah bagi kehidupan, sesuatu itu benar bila berguna.
Teori-teori kebenaran tersebut pada dasarnya menunjukan titik berat kriteria yang berbeda, teori korespondensi menggunakan kriteria fakta, oleh lantaran itu teori ini bisa disebut teori kebenaran empiris, teori koherensi menggunakan dasar fikiran sebagai kriteria, sehingga bisa disebut sebagai kebenaran rasional, sedangkan teori pragmatis menggunakan kegunaan sebagai kriteria, sehingga bisa disebut teori kebenaran praktis.
O. KETERBATASAN ILMU
Hubungan antara filsafat dengan ilmu yang sanggup terintegrasi dalam filsafat ilmu, dimana filsafat mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan ilmu, menunjukan adanya keterbatasan ilmu dalam menjelaskan aneka macam fenomena kehidupan. Disamping itu dilingkungan wilayah ilmu itu sendiri sering terjadi sesuatu yang dianggap benar pada satu dikala ternyata disaat lain terbukti salah, sehingga timbul pertanyaan apakan kebenaran ilmu itu sesuatu yang mutlak ?, dan apakah seluruh masalah insan sanggup dijelaskan oleh ilmu ?. pertanyaan-pertanyaan tersebut bahwasanya menggambarkan betapa terbatasnya ilmu dalam mengungkap misteri kehidupan serta betapa tentatifnya kebenaran ilmu.
Untuk menjawab pertanyaan di atas, ada baiknya diungkapkan pendapat para akhli berkaitan dengan keterbatasan ilmu, para akhli tersebut antara lain ialah :
- Jean Paul Sartre menyatakan bahwa ilmu bukanlah sesuatu yang sudah selesai terfikirkan, sesuatu hal yang tidak pernah mutlak, lantaran selalu akan disisihkan oleh hasil-hasil penelitian dan percobaan gres yang dilakukan dengan metode-metode gres atau lantaran adanya perlengkapan-perlengkapan yang lebih sempurna, dan inovasi gres tiu akan disisihkan pula oleh akhli-akhli lainnya.
- D.C Mulder menyatakan bahwa tiap-tiap akhli ilmu menghadapi soal-soal yang tak sanggup dipecahkan dengan melulu menggunakan ilmu itu sendiri, ada soal-soal pokok atau soal-soal dasar yang melampaui kompetensi ilmu, contohnya apakah aturan lantaran akhir itu ?, dimanakah batas-batas lapangan yang saya selidiki ini?, dimanakah tempatnya dalam kenyataan seluruhnya ini?, hingga dimana keberlakuan metode yang digunakan?. Jelaslah bahwa untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut ilmu memerlukan instansi lain yang melebihi ilmu yakni filsafat.
- Harsoyo menyatakan bahwa ilmu yang dimiliki umat insan remaja ini belumlah seberapa dibandingkan dengan diam-diam alam semesta yang melindungi manusia. Ilmuwan-ilmuwan besar biasanya diganggu oleh perasaan agung semacam kegelisahan batin untuk ingin tahu lebih banyak, bahwa yang diketahui itu masih meragu-ragukan, serba tidak niscaya yang menimbulkan lebih gelisah lagi, dan biasanya mereka ialah orang-orang rendah hati yang makin berisi makin menunduk. Selain itu Harsoyo juga mengemukakan bahwa kebenaran ilmiah itu tidaklah adikara dan final sifatnya. Kebenaran-kebenaran ilmiah selalu terbuka untuk peninjauan kembali berdasarkan atas adanya fakta-fakta gres yang sebelumnya tidak diketahui.
- J. Boeke menyatakan bahwa bagaimanapun telitinya kita menyidik peristiwa-peristiwa yang dipertunjukan oleh zat hidup itu, bagaimanapunjuga kita mencoba memperoleh pandangan yang jitu perihal keadaan sifatzat hidup itu yang gotong royong tersusun, namun asas hidup yang bahwasanya ialah rahasiah infinit bagi kita, oleh lantaran itu kita harus mengalah dengan perasaan saleh dan terharu.
Dengan memperhatikan klarifikasi di atas, nampak bahwa ilmu itu tidak sanggup dipandang sebagai dasar mutlak bagi pemahaman insan perihal alam, demikian juga kebenaran ilmu harus dipandang secara tentatif, artinya selalu siap berubah bila ditemukan teori-teori gres yang menyangkalnya. Dengan demikian dpatlah ditarik kesimpulan berkaitan dengan keterbatasan ilmu yaitu :
- ilmu hanya mengetahui fenomena bukan realitas, atau mengkaji realitas sebagai suatu fenomena (science can only know the phenomenal, or know the real through and as phenomenal - R. Tennant)
- Ilmu hanya menjelaskan sebagian kecil dari fenomena alam/kehidupan insan dan lingkungannya
- kebenaran ilmu bersifat sementara dan tidak mutlak
keterbatasan tersebut sering kurang disadari oleh orang yang mempelajari suatu cabang ilmu tertentu, hal ini disebabkan ilmuwan cenderung bekerja hanya dalam batas daerahnya sendiri dengan suatu disiplin yang sangat ketat, dan keterbatasan ilmu itu sendiri bukan merupakan konsern utama ilmuwan yang berada dalam wilayah ilmu tertentu.
P. MANFAAT MEMPELAJARI FILSAFAT ILMU
Filsafat ilmu berusaha mengkaji hal tersebut guna menjelaskan hakekat ilmu yang mempunyai banyak keterbatasan, sehingga sanggup diperoleh pemahaman yang padu mengenai aneka macam fenomena alam yang telah menjadi objek ilmu itu sendiri, dan yang cenderung terfragmentasi. Untuk itu filsafat ilmu bermanfaat untuk :
- Melatih berfikir radikal perihal hakekat ilmu
- Melatih berfikir reflektif di dalam lingkup ilmu
- Menghindarkan diri dari memutlakan kebenaran ilmiah, dan menganggap bahwa ilmu sebagai satu-satunya cara memperoleh kebenaran
- Menghidarkan diri dari egoisme ilmiah, yakni tidak menghargai sudut pandang lain di luar bidang ilmunya.
PERTANYAAN UNTUK BAHAN DISKUSI
- mengapa ilmu memerlukan telaahan kritis dan radikal dari filsafat?
- Jelaskan korelasi filsafat dengan ilmu ?
- jelaskan makna filsafat ilmu?a yang dimaksud dengan pernyataan bahwa filsafat ilmu merupakan refleksi sekunder
- 5. jelaskan dampak dari perkembangan ilmu yang tidak memperhatikan dimensi etika?
- jelaskan bagaimana ilmuwan Muslim menyikapi aneka macam perkembangan ilmu yang terjadi belakangan ini?
- Jelaskan bagaimana pandangan Thomas Kuhn mengenai revolusi ilmiah?
- Jelaskan ciri utama dan paradigma dari ilmu modern?
- jelaskan lingkup dan bidang kajian filsafat ilmu?
- jelaskan persesuaian dan perbeaan antara filsafat dengan ilmu?
- Jelaskan korelasi antara Filsafat, Ilmu dan Filsafat ilmu?
- jelaskan pengertian Ontologi, epistemologi dan axiologi?
- Jelaskan posisi filsafat ilmu dalam epistemologi?
- Jelaskan apa yang dimaksud dengan kebenaran dan teori-teori kebenaran?jelaskan apa yang dimaksud dengan keterbatasan ilmu, dan apa saja pokok-pokok keterbatasannya
- Jelaskan dengan bahasa sendiri manfaat mempelajari filsafat ilmu, dan bagaimana aplikasinya bagi dupan saudara?
- jelaskan apa yang sedang Saudara fikirkan pada dikala membaca soal nomor tujuh belas?
D A F T A R P U S T A K A;
- Abu Ahmadi. 1982. Filsafat Islam. Semarang. Toha Putra.
- Abubakar Aceh, 1982. Sejarah Filsafat Islam, Surakarta. Ramadhani Sala
- Achmad Charris Zubair. 2002. Dimensi Etik dan Asketik Ilmu Pengetahuan Manusia. Yogyakarta. LESFI.
- Ahmad Fuad Al Ahwani, 1985. Filsafat Islam. Jakarta. Pustaka Firdaus.
- Ahmad Syadali & Mudzakir, 1997. Filsafat Umum, Bandung. Pustaka Setia
- Ahmad Tafsir.1992. Filsafat Umum. Bandung. Remaja Rosdakarya.
- Al Ghazali, 1986. Tahafut Al Falasifah, Kerancuan Para Filosuf. Jakarta. Pustaka Panjimas. (terj. Ahmadie Thaha)
- -----------, tt. Mi’yarul Ilmi, Beirut. Darul Fikri
- -----------,1978. Al Munqidzu Min Addolal, Jakarta. Tintamas. (terj. Abdulah Bin Nuh
- A. Epping O.F.M. et al. 1983. Filsafat Ensie. Bandung Jemmar.
- Ahmad Daudy. 1984. Segi-segi Pemikiran Filsafi dalam Islam, Jakarta. Bulan Bintang.
- A. Sonny Keraf, Mikhael Dua. 2001. Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta. Kanisius
- Abubakar Aceh. 1982. Sejarah Filsafat Islam, Sala. Ramadhani
- Bertrand Russel. 2002. Persoalan-persoalan seputar Filsafat. Yogyakarta. IKON, (terj. Ahmad Asnawi)
- Anton Bakker, A.C. Zubair, 1990. Metodologi Penelitian Filsafat, Yogyakarta. Kanisius.
- Ayn Rand. 2003. Pengantar Epistemologi Objektif. Yogyakarta. Bentang Budaya (terj. Cuk Ananta Wijaya)
- Beerling, et.al. 1997. Pengantar Filsafat Ilmu, Yogyakarta. Tiara Wacana.
- C.A. Van Peursen, Orientasi di Alam Filsafat, Jakarta. Gramedia
- Descartes, 2003. Diskursus Metode, terj. A.F. Ma’ruf, Yogyakarta, IRCiSoD.
- Donny Gahral Adian, 2002. Menyoal Objektivisme Ilmu Pengetahuan. Jakarta. Teraju.
- Endang Saifudin Anshori. 1979. Ilmu, Filsafat dan Agama, Surabaya: Bina Ilmu,
- Frithjof Schuon. 1994. Islam dan Filsafat Perenial. Bandung. Mizan. (terj. Rahmani Astuti)
- Fuad Hasan. 1985. Berkenalan dengan Eksistensialisme. Jakarta. Pustaka Jaya.
- ----------,1986. Apologia, Pidato Pembelaan Socrates yang diabadikan Plato (saduran). Jakarta. Bulan Bintang
- ----------. 1977. Heteronomia. Jakarta. Pustaka Jaya
- Harun Nasution, 1978. Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta. Bulan Bintang
- ----------. 1979. Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya. Jakarta. UI Press
- H.C. Webb, 1960. Sejarah Filsafat, Jogjakarta, Terban Taman 12.
- H.M. Rasjidi, 1970. Filsafat Agama, Jakarta: Bulan Bintang,
- Harold H Titus. 1959, Living issues in philosophy, New York, American Book
- Harry Hamersma. 1984. Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern. Jakarta. Gramedia.
- Husain Heriyanto. 2003. Paradigma Holistik. Bandung. Teraju
- Ismaun, 2000. Catatan Kuliah Filsafat Ilmu (Jilid 1 dan 2), Bandung. UPI
- Jujun S Suriasumantri, 1996. Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, Jakarta Pustaka Sinar Harapan,
- ----------,1996. Ilmu dalam Perspektif. Jakarta. Yayasan Obor
- JWM. Bakker, SY. 1978. Sejarah Filsafat dalam Islam, Yogyakarta. Kanisius.
- K. Berten, 1976. Ringkasan Sejarah Filsafat, Yogyakarta. Kanisius
- ----------, 1990. Sejarah Filsafat Yunani, Yogyakarta. Knisius
- Keith Wilkes, 1977. Agama dan Ilmu Pengetahuan, Jakarta. Yayasan Cipta Loka Caraka.
- Koentjaraningrat. et. al 1991. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta. Gramedia
- Lengeveld. Tt. Menuju ke Pemikiran Filsafat, terj. G.J. Claessen, Jakarta, PT Pembangunan.
- Louis Leahy. 1984. Manusia Sebuah Misteri. Sintesis Filosofis perihal Makhluk Paradoksal. Jakarta. Gramedia
- Mahdi Ghulsyani. 1995. Filsafat Sains berdasarkan Al Qur’an. Bandung. Mizan (terj. Agus Effendi)
- M. Arifin. 1995. Agama, Ilmu dan Teknologi. Jakarta. Golden Terayon Press.
- Mohamud Hamid Zaqzuq. 1987. Al Ghazali. Sang Sufi Sang Filosof. Bandung. Pustaka. (terj. Ahmad Rofi’ Utsmani)
- Maurice Mandelbaum, et al. 1958, Philosophic Problems, New York,Mc Millan Co,
- M.A.W. Brouwer. 1983. Psikologi Fenomenologis. Jakarta. Gramedia
- Mehdi Ha’iri Yazdi.1994. Ilmu Huduri, Prinsip-prinsip Epistemologi dalam Filsafat Islam. Bandung. Mizanohammad Hatta. 1964. Alam Pikiran Yunani (Jilid 1 dan 2). Jakarta. Tintamas
- T. Zen (ed). Sains, 1981 Teknologi dan Hari depan Manusia. Jakarta. Gramesia
- Muhmad Baqir Ash Shadr. Falsafatuna, Bandung. Mizan. (terj. M. Nur Mufid Bin Ali)
- Muradho Muthahhari, 2002. Filsafat Hikmah, Bandung. Mizan
- Nurcholis Madjid. 1978. Khazanah Intelektual Islam. Jakarta. Bulan Bintang
- Oemar Amin Hoesen. 1964. Filsafat Islam. Jakarta. Bulan Bintang
- Osman Bakar. 1998. Hierarki Ilmu. Membangun Rangka Pikir Islamisasi Ilmu. Bandung. Mizan (terj. Purwanto)
- Partap Sing Mehra, 2001. Pengantar Logika Tradisional. Bandung. Putra Bardin.
- Pervez Hoodbhoy. 1997. Islam dan Sains. Pertarungan menegakan Rasionalitas. Bandung. Pustaka. (trj.Luqman)
- Poedjawijatna, 1980. Pembimbing ke arah Alam Filsafat, Jakarta. PT Pembangunan.
- ----------,1975. Filsafat Sana – Sini (jilid 1 dan 2). Yogyakarta. Yayasan Kanisius
- Sastrapratedja. (ed). 1982. Manusia Multi Dimensional. Jakarta. Gramedia
- Sidi Gazalba, 1976. Sistimatika Filsafat (Jilid 1 hingga 4), Jakarta. Bulan Bintang
- ----------,1978. Ilmu, Filsafat dan Islam, perihal Manusia dan Agama. Jakarta. Bulan Bintang
- Sindhunata.1982. Dilema Usaha Manusia Rasional, Jakarta. Gramedia.
- Siti Handaroh. et.al. 1998. The Qur’an and Philosophic Reflections. Yogyakarta. Titian Ilahi Press.
- Soerjanto & K. Bertens. 1983. Sekitar Manusia. Bunga Rampai perihal Filsafat Manusia. Jakarta. Gramedia
- Sudarto, 1996. Metodologi Penelitian Filsafat, Jakarta. RajaGrafindo.
- Sutan Takdir Alisjahbana, 1981. Pembimbing ke Filsafat, Jakarta, Dian Rakyat.
- ----------- et al. 2001. Sumbangan Islam kepada Sains dan Peradaban Dunia, Jakarta. Nuansa.
- -----------, 1986. Antropologi Baru, Jakarta, Dian Rakyat.
- Whitehead. Alfred North. 1960. Science and The Modern World.New York. The New American Library of World Literature.