Pencegahan Tindak Pidana Korupsi

PENCEGAHAN TINDAK PIDANA KORUPSI PADA JASA KONSULTASI[1]
I. PENDAHULUAN
Penyelenggara Negara mempunyai kiprah penting dalam konstelasi ketatanegaraan. Hal ini tersirat dalam Amanat Pembukaan UUD 1945 yang menyatakan antara lain bahwa tujuan dibentuknya ”Pemerintah Negara Indonesia dan yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa…”.

Dalam implementasinya, penyelenggaraan Negara tidak boleh menyimpang dari kaidah-kaidah yang digariskan. Namun demikian, dalam perkembangannya, pembangunan di banyak sekali bidang berimplikasi terhadap sikap penyelenggara negara yang memunculkan rasa ketidakpercayaan masyarakat.

Stigma yang menganggap penyelenggara negara belum melaksanakan fungsi pelayanan publik berkembang sejalan dengan ”social issue” mewabahnya praktek-prakter korupsi sebagai dampak adanya pemusatan kekuasaan, wewenang dan tanggung jawab pada jabatan tertentu. Disamping itu masyarakat sendiri tidak sepenuhnya dilibatkan dalam Kegiatan Penyelenggaraan Negara sehingga eksistensi kontrol sosial tidak berfungsi secara efektif terhadap penyelenggara negara, terutama dalam hal akuntabilitas pengelolaan keuangan negara, sehingga rentan sekali untuk menjadikan penyimpangan dan korupsi.

Korupsi tidak hanya dilakukan oleh penyelenggara negara, antar penyelenggara negara, tetapi juga melibatkan pihak lain mirip keluarga, kroni dan para pengusaha, sehingga merusak sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, yang sanggup membahayakan eksistensi atass fungsi penyelenggaraan negara.

Langkah awal dan fundamental untuk menghadapi dan memberantas segala bentuk korupsi yaitu dengan memperkuat landasan aturan yang salah satunya yaitu Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang dirubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 ihwal Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diharapkan sanggup mendukung pembentukan pemerintahan yang higienis dan bebas korupsi, kongkalikong dan nepotisme, dan diharapkan pula kesamaan visi, misi dan persepsi aparatur penegak aturan dalam penanggulangannya. Kesamaan visi, misi dan persepsi tersebut harus sejalan dengan tuntutan hati nurani rakyat yang menghendaki terwujudnya penyelengara negara yang bisa menjalankan kiprah dan fungsinya secara efektif, efisien, bebas dari korupsi.

Upaya pemberantasan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pemerintah hingga ketika ini masih terus bergulir, walaupun banyak sekali taktik telah dilakukan, tetapi perbuatan korupsi masih tetap saja merebak di banyak sekali sektor kehidupan. Beberapa kalangan beropini bahwa terpuruknya perekonomian Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini, salah satu penyebabnya yaitu korupsi yang telah merasuk ke seluruh lini kehidupan yang diibaratkan mirip jamur di animo penghujan, tidak saja di birokrasi atau pemerintahan tetapi juga sudah merambah ke korporasi termasuk BUMN.

II. PENGERTIAN KORUPSI DAN PRINSIP-PRINSIP PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA YANG BAIK
A. Pengertian Korupsi.
Korupsi dalam bahasa Latin disebut Corruptio – corruptus, dalam Bahasa Indonesia disebut corruptie, dalam Bahasa Inggris disebut corruption, dan dalam Bahasa Sansekerta yang tertuang dalam Naskah Kuno Negara Kertagama arti harfiah corrupt memperlihatkan kepada perbuatan yang rusak, busuk, bejad, tidak jujur yang disangkut pautkan dengan keuangan.[3]

Korupsi di dalam Black’s Law Dictionary yaitu “suatu perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menawarkan suatu laba yang tidak sesuai dengan kewajiban resmi dan hak-hak dari pihak-pihak lain, secara salah memakai jabatannya atau karakternya untuk mendapatkan suatu laba untuk dirinya sendiri atau untuk orang lain, bersamaan dengan kewajibannya dan hak-hak dari pihak lain”.[4]

Dalam pengertian lain, korupsi sanggup pula dilihat sebagai sikap tidak mematuhi prinsip, artinya dalam pengambilan keputusan di bidang ekonomi, baik dilakukan oleh perorangan di sektor swasta maupun pejabat publik, menyimpang dari aturan yang berlaku.[5] Hakekat korupsi berdasarkan hasil penelitian World Bank yaitu ”An Abuse Of Public Power For Private Gains”[6], penyalahgunaan kewenangan / kekuasaan untuk kepentingan pribadi.

Pengertian korupsi secara yuridis, baik arti maupun jenisnya telah dirumuskan, di dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 ihwal Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan undang-undang sebelumnya, yaitu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971. Dalam pengertian yuridis, pengertian korupsi tidak hanya terbatas kepada perbuatan yang memenuhi rumusan delik sanggup merugikan keuangan negara atau perekonomian negaara, tetapi mencakup juga perbuatan-perbuatan yang memenuhi rumusan delik, yang merugikan masyarakat atau orang perseorangan.

Oleh lantaran itu, rumusannya sanggup dikelompokkan sebagai berikut;
  1. Kelompok delik yang sanggup merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara, (sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 ihwal Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi).
  2. Kelompok delik penyuapan, baik aktif (yang menyuap) maupun pasif (yang disuap) serta gratifikasi. (sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat(1) dan ayat (2), Pasal 6 ayat(1) dan ayat (2), Pasal 11, Pasal 12 abjad a, b, c, dan d, serta Pasal 12B ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 ihwal Pemberantasan Tindak Piddana Korupsi).
  3. Kelompok delik penggelapan. (sebagaimana diatur dalam Pasal 8, Pasal 10 abjad a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 ihwal Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi).
  4. Kelompok delik pemerasan dalam jabatan (knevelarij, extortion). (sebagaimana diatur dalam Pasal 12 abjad e dan abjad f Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 ihwal Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi).
  5. Kelompok delik pemalsuan. (sebagaimana diatur dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 ihwal Pemberantasan Tidak Pidana Korupsi).
  6. Kelompok delik yang berkaitan dengan pemborongan, leveransir dan rekanan. (sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 12 abjad g dan abjad i Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 ihwal Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi).
Dari 6 (enam) kelompok delik di atas, hanya 1 (satu) kelompok saja yang memuat unsur merugikan negara diatur di dalam 2 pasal yaitu pasal 2 dan 3, sedangkan 5 kelompok lainnya yang terdiri dari 28 pasal terkait dengan sikap menyimpang dari penyelenggara negara atau pegawai negeri dan pihak swasta.

B. Pemberantassan Korupsi Melalui Program Pembangunan.
Sebenarnya persoalan korupsi bukanlah suatu hal yang gres di Indonesia. Berbagai kebijakan telah ditetapkan dalam rangka mewujudkan pemerintahan yang bersih, bebas dari KKN. Secara faktual Majelis Permusyawaratan Rakyat mengamanatkan dalam TAP MPR-RI Nomor XI/MPR/1989 ihwal Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas KKN, yang kemudian ditindak lanjuti dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 ihwal Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Tujuan yang ingin dicapai dalam upaya tersebut yaitu Penyelenggaraan Negara yang dilakukan oleh lembaga-lembaga Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif harus sesuai dengan tuntutan hati nurani rakyat, yakni adanya penyelenggaraan negara yang bisa menjalankan fungsi dan kiprah secara sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab untuk mewujudkan penyelenggaraan negara yang higienis dan bebas dari praktek KKN di segala bidang biar sanggup berdaya guna dan berhasil guna.

Upaya pemberantasan korupsi untuk menuju terciptanya pemerintahan yang higienis nuansanya nampak lebih kental, Untuk mencapai target pembangunan penyelenggaraan negara menuju terciptanya tata pemerintahan yang higienis dan berwibawa teersebut, maka Presiden telah mengeluarkan Peraturan Nomor 7 Tahun 2005 ihwal Rencana Pembangunan Jangka Menengah dan Kebijakan Penyelenggaraan Negara 2004-2009, yang diarahkan untuk :
1. Menuntaskan penanggulangan penyalahgunaan kewenangan dalam benuk praktik-praktik korupsi, kongkalikong dan nepotisme dengan cara :
  • Penerapan prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik (good coorporate goverance) pada semua tingkat dan lini pemerintahan dan pada semua kegiatan;
  • Pemberian hukuman yang seberat-beratnya bagi pelaku korupsi, kongkalikong dan nepotisme sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
  • Peningkatan efektivitas pengawasan aparatur negara melalui koordinasi dan sinergi pengawasan internal, eksternal dan pengawasan masyarakat;
  • Peningkatan budaya kerja aparatur yang bermoral, profesional, produktif dan bertanggung jawab;
  • Peningkatan pemberdayaan penyelenggara negara, dunia perjuangan dan masyarakat dalam pemberantasan KKN.
2. Meningkatkan kualitas penyelenggara manajemen negara melalui:
  • Penataan kembali fungsi-fungsi kelembagaan pemerintahan biar sanggup berfungsi secara lebih memadai, efektif, dengan struktur lebih proposional, rmaping, luwes dan responsif;
  • Peningkatan efektivitas dan efisiensi ketatalaksanaan dan mekanisme pada semua tingkat dan lini pemerintahan;
  • Penataan dan peningkatan kapasitas sumber daya insan aparatur biar lebih profesional sesuai dengan kiprah dan fungsinya untuk menawarkan pelayanan yang terbaik bagi masyarakat;
  • Peningkatan kesejahteraan pegawai dan pemberlakuan sistem karier berdasarkan prestasi.
3. Meningkatkan keberdayaan masyarakat dalam penyelenggaraan pembangunan dengan :
  • Peningkatan kualitas pelayanan publik terutama pelayanan dasar, pelayanan umum dan pelayanan unggulan;
  • Peningkatan kapasitas maeyarakat untuk sanggup mencukupi kebutuhan dirinya, berpartisipasii dalam proses pembangunan dan mengawasi jalannya pemerintahan;
  • Peningkatan transparansi, partisipasi dan mutu pelayanan melalui peningkatan susukan dan sebaran informasi.
Sedangkan target khusus yang ingin dicapai yaitu :
  1. Berkurangnya secara nyata praktek korupsi di birokrasi dan dimulai dari tataran (jajaran) pejabat yang paling atas;
  2. Terciptanya sistem kelembagaan dan ketatalaksanaan pemerintahan yang bersih, efisien, transparan, profesional dan akuntabel;
  3. Terhapusnya aturan, peraturan dan praktek yang bersifat diskrikinatif terhadap warga negara, kelompok atau golongan masyarakat;
  4. Meningkatnya partisipasi masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik;
  5. Terjaminnya konsistensi seluruh peraturan sentra dan tempat fan tidak bertentangan peraturan dan perundangan diatasnya.
III. SEKTOR-SEKTOR PENGGUNAAN DANA APBN YANG RAWAN KORUPSI DAN PERAN KEJAKSAAN DALAM MEMBERANTAS TINDAK PIDANA KORUPSI
Negara mempunyai kewenangan di dalam menyelenggarakan fungsi pemerintahan, kewenangan tersebut akan menjadikan adanya hak-hak pemerintah diantaranya yaitu pengelolaan keuangan. Misalnya hak untuk memungut pajak, hak pengelolaan harta negara dan pungutan lainnya. Selain itu negara juga mempunyai kewajiban yang sanggup dinilai dengan uang, yakni pengeluaran yang menjadi kewajiban negara dalam rangka penyelenggaraan layanan umum pemerintahan negara dan membayar tagihan kepada pihak ketiga.

Secara prinsip yang dimaksudkan dengan penerimaan negara yaitu uang yang diterima oleh negara melalui kas negara terkait dengan penyelenggaraan hak dan kewajiban negara maupun lantaran hal lain. Penerimaan negara sanggup dibedakan menjadi 2 jenis yaitu penerimaan dari sektor perpajakan dan penerimaan dari sektor bukan pajak. Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) merupakan seluruh penerimaan Pemerintah Pusat terkait dengan kewajiban pemerintah untuk menyediakan layanan tertentu kepada masyarakat dan penerimaan yang tidak terkait dengan penyelenggaraan fungsi pemerintah (tupoksi kementerian/lembaga).

Pemerintah sebagai penyedia jasa layanan bagi masyarakat, baik bersifat layanan dasar (public goods) maupun layanan semi dasar (semi public goods) yang menjadi kebutuhan masyarakat. Layanan kategori dasar didanai melalui sistem perpajakan, sedangkan layanan semi dasar didanai melalui pungutan yang hakekatnya merupakan partisipasi masyarakat dalam membiayai layanan tertentu dimaksud (cost sharing principle).

Mekanisme lebih lanjut dari pelayanan di atas ditetapkan melalui alokasi benlanja setiap tahun yang sebelumnya harus dimintakan persetujuan lebih dulu dari legislatif (DPR), apabila telah menerima persetujuan maka statusnya menjadi produk legislatif yang lazim disebut undang-undang ihwal Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), sedangkan di tempat dikukuhkan dalam suatu Peraturan Daerah ihwal Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD).

Jika kita mengamati lebih jauh dari setiap masalah yang mencuat ke permukaan melalui media massa, dimana pada akhir-akhir ini masalah tindak pidana korupsi yang terjadi di Indonesia seringkali terkait dengan pengadaan barang dan jada yang dananya berasal dari APBN, APBD atau Badan Hukum Milik Negara. Para pelakunya merupakan orang-orang yang mempunyai kekuasaan atau yang mempunyai kewenangan. Atas kenyataan ini, pada umumnya korupsi lantaran adanya penggunaan kekuasaan dan wewenang publik yang menyimpang untuk kepentingan pribadi atau golongan tertentu.

Perbuatan korupsi yang terjadi di Badan Hukum Milik Negara, baik sebelum atau pada ketika sesudah pelaksanaannya seringkali tidak terdeteksi dan sulit pengungkapannya, sehingga diharapkan suatu keahlian dan kejelian pegawapemerintah penegak aturan dalam membongkar kasus-kasus korupsi yang terjadi pada Badan Hukum Milik Negara.

Pada umumnya sektor-sektor rawan yang sering menjadikan penyimpangan dan merugikan keuangan negara yang dilakukan di lingkungan Badan Hukum Milik Negara, antara lain terkait dengan :

  • Pengadaaan jasa.
  • Penyaluran dana Bantuan Operasional.
  • Perbaikan sarana dan prasarana.
  • Harga/nilai kontrak terlalu tinggi (mark up dalam pengadaan barang dan jasa).
  • Penetapan pemenag lelang tidak sesuai ketentuan yang berindikasi suap atau ditetapkan oleh pengurus atau pengawas pada belahan pengadaan barang dan jasa Badan Hukum Milik Negara.
  • Pembayaran fiktif.
  • Pemalsuan surat/dokumen sebagai sarana penyimpangan penggunaan anggaran Badan Hukum Milik Negara.
  • Manipulasi penggunaan barang/dana.
  • Manipulasi biaya pembebasan tanah.
  • Realisasi pekerjaan tidak sesuai kontrak yang merugikan Badan Hukum Milik Negara.
  • Penggelapan uang
  • Manipulasi honor pegawai.
  • Pungutan tidak sah.
  • Penyalahgunaan biaya perjalanan dinas.
  • Penyalahgunaan wewenang.
Pengadaan barang dan jasa di lingkungan Badan Hukum Milik Negara ada baiknya memperhatikan 15 langkah prosedural yang ditetapkan oleh Keppres No. 80 Tahun 2003 jo. Perpres No. 85 Tahun 2006 ihwal Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah serta memperhatikan juga Anggaran Dasar dan Anggran Rumah Tangga suatu Perusahaan negara / Badan Hukum Milik Negara / Daerah, yaitu :

  • Perencanaan Pengadaan;
  • Pembentukan Panitia Lelang;
  • Prakualifikasi Perusahaan;
  • Penyusunan Dokumen Lelang;
  • Pengumuman Lelang;
  • Pengambilan Dokumen Lelang;
  • Penentuan Harga Perkirakan Sendiri;
  • Penjelasan Lelang;
  • Penyerahan Penawaran Harga dan Pembukaan Penawaran;
  • Evaluasi Penawaran;
  • Pengumuman Calon Pemenang;
  • Sanggahan Peserta Lelang;
  • Penunjukan Pemenang Lelang;
  • Penandatanganan Kontrak Perjanjian;
  • Penyerahan Barang/Jasa kepada User.
Salah satu contoh di dalam pengadaan barang dan jasa yang dananya berasal dari APBN, APBD ialah kemahalan harga pengadaan buku, blanko ijazah/SKHUN dan pengembangan SIM. Berdasarkan Keppres No. 80 Tahun 2003 jo. Perpres No. 85 Tahun 2006 Lampiran I Bab I abjad E angka 1 dalam memilih penyusunan harga perhitungan sendiri (HPS) harus dilakukan dengan cermat, memakai data dasar dan mempertimbangkan :

  1. Analisis harga satuan pekerjaan yang bersangkutan;
  2. Perkiraan perhitungan biaya oleh konsultan/engineer’s estimate (EE);
  3. Harga pasar setempat pada waktu penyusunan HPS;
  4. Harga kontrak/surat perintah kerja (SPK) untuk barang/pekerjaan sejenis setempat yang pernah dilaksanakan;
  5. Informasi harga satuan yang dipublikasikan secara resmi oleh Badan Pusat Statistik (BPS), badan/instansi lainnya dan media cetak yang datanya sanggup dipertanggungjawabkan;
  6. Daftar harga standar/tarif biaya yang dikeluarkan oleh pabrikan/agen tunggal atau forum independen;
  7. Daftar harga standar/tarif biaya yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang;
  8. Informasi lain yang sanggup dipertanggungjawabkan.
Terkait dengan pengadaan barang dan jasa tersebut, dalam praktek salah satu unsur penting yang harus sanggup dibuktikan biar sanggup dikualifikasi sebagai tindak pidana korupsi yaitu adanya ”unsur sanggup merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”. Unsur kerugian negara sering menjadi polemik lantaran mempunyai pengertian yang sanggup dilihat dari beberapa perspektif hukum, yaitu berdasarkan perspektif aturan manajemen negarra, aturan perdata dan aturan pidana, yang lebih lanjut akan diuraikan sebagai berikut :

  1. Pengertian kerugian negara berdasarkan perspektif aturan manajemen negara, sanggup dilihat dari ketentuan Pasal 1 angka 22 Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 ihwal Perbendaharaan Negara, yaitu kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan niscaya jumlahnya sebagai akhir perbuatan melawan aturan baik sengaja maupun lalai. Rumusan pengertian kerugian negara dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 ihwal Perbendaharaan Negara ini sama dengan rumusan pengertian kerugian negara sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 15 Undang-Undang No. 15 Tahun 2006 ihwal Badan Pemeriksa Keuangan.
  2. Pengertian kerugian negara berdasarkan perspektif aturan perdata terkait dengan pengertian keuangan negara yang dikelola oleh perusahaan negara/perusahaan tempat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 ihwal Perseroan Terbatas dan Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 ihwal Badan Usaha Milik Negara. Makara kerugian negara disini yaitu berkurangnya Kekayaan Negara/Kekayaan Daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga atau saham, piutang, barang, serta hak-hak lain yang sanggup dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan tempat yang disebabkan oleh perbuatan yang melanggar norma atau aturan yang telah ditetapkan berdasarkan ketentuan yang berlaku dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 ihwal Perseoan Terbatas dan Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 ihwal Badan Usaha Milik Negara.
  3. Pengertian kerugian negara berdasarkan perspektif aturan pidana yaitu sustu perbuatan yang menyimpang terhadap penggunaan dan pengelolaan keuangan negara sehingga sanggup dikualifikasikan sebagai perbuatan merugikan negara atau sanggup merugikan negara sebagai tindak pidana korupsi, dengan pemenuhan unsur-unsur : pertama, perbuatan tersebut merupakan perbuatan melawan hukum, baik dalam pengertian formil maupun materil atau penyalahgunaan wewenang, kesempatan atau sarana yang ada padanya, dan kedua, para pihak ada yang diperkaya dan diuntungkan, baik si pelaku sendiri, orang lain atau korporasi (Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001).
Jika mengacu pada pengertian kerugian negara berdasarkan perspektif aturan manajemen negara maka pengertiannya disini yaitu pengertian kerugian negara yang memaknai pengertian keuanan negara, sehingga berbeda dengan kerugian negara yang terdapat dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 ihwal Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang merupakan pengertian yang spesifik dan merupakan lex specialias derogat legi generalis sistematis, yaitu meskipun sama-sama bersifat khusus, tetapi yang mendominasi yaitu lingkup kepentingannya dalam hal ini yaitu pidana. Tegasnya penerapannya harus melihat kepada lingkup permasalahannya, jika menyangkut persoalan pidana maka yang diberlakukan yaitu aturan pidana, sehingga mengesampingkan aturan perdata dan aturan manajemen negara. Sebagai contoh dalam praktek selama ini dalam hal penerapan pengertian Pegawai Negeri, walaupun diatur di dalam Undang-Undang Kepegawaian Nomor 8 Tahun 1974 jo. UU No. 43 Tahun 1999, tetapi yang dipakai dalam tindak pidana korupsi yaitu pengertian pegawai negeri di dalam Undang-Undang No.31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang jo. No.20 Tahun 2001 ihwal Pemberantasan Tinak Pidana Korupsi, bahkan pengertian sesama aturan pidana termuat dalam kitab undang-undang hukum pidana juga diabaikan.

Mengenai unsur ”merugikan keuangan negara” pegawapemerintah penegak aturan berhubungan dengan instansi terkait yaittu BPK atau BPKP untuk menghitung kerugian negara. Kewenangan BPK atau BPKP dalam melaksanakan audit yaitu dalam zona accounting, sehingga tidak perlu jauh hingga mencari adanya perbuatan melawan aturan atau tidak, lantaran itu merupakan kewenangan Penyidik dan Penuntut Umum. Pengertian merugikan negara di lingkungan Departemen sanggup diartikan, bahwa anggaran yang telah ditetapkan tidak dipergunakan sesuai dengan peruntukannya atau terjadi penyimpangan.

Selain menyangkut pengertian keuangan negara, dalam praktek sering menjadi polemik yaitu pengertian untusr melawan hukum, tetapi denan adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 003/PUU-IV/2006 tanggal 25 Juli 2006 yang meniadakan berlakunya klarifikasi Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999, sehingga perbuatan melawan aturan dalam arti materiil yaitu perbuatan yang dianggap tercela, tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial masyarakat, dinyatakan tidak mempunyai kekuatan aturan yang mengikat, lantaran pengertian melawan aturan secara materiil dipandang bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka seharusnya polemik ihwal pengertian melawan aturan tersebut berakhir.

Pengertian ”melawan hukum” sering dirancukan dengan pengertian ”menyalahgunakan wewenang” padahal dua hal itu terang berbeda, meskipun hakekatnya penyalahgunaan wewenang tersebut yaitu juga melawan hukum. Melawan aturan yaitu perbuatan yang bertentangan dengan perraturan perundang-undangan yang bisa dilakukan oleh setiap orang. Sedangkan menyalahgunakan wewenang yaitu juga perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, hanya bisa dilakukan oleh seseorang yang mempunyai kewenangan dan kapasitas tertentu yang terkait dengan jabatannya terkait dengan prosedural. Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada terkait dengan posisinya selaku penyelenggara negara atau pegawai negeri di institusi itu secara salah, sanggup disebut sebagai ”misbruik van gesag atau van bevoeg”, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya lantaran jabatan atau kedudukan dan kewenangan tersebut dipakai tidak sesuai dengan kiprah jabatannya.

Unsur ”memperkaya diri atau orang lain atau suatu korporasi” (vide Pasal 2 ayat (1) UU no. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001) dan unsur ”dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi ” (vide Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 jo.UU No. 20 Tahun 2001), merupakan unsur yang besifat alternatif sehingga tiak perlu pelaku tindak pidana korupsi harus menikmati sendiri uang hasil tindak pidana korupsi, cukup si pelaku memperkaya orang lain atau menguntungkan orang lain. Secara teoritis, unsur ”memperkaya diri” diartikan bertambah kekayaannya atau pelaku berpola hidup glamor tanpa hak di dalam menikmati hasil korupsinya dalam kehidupan sehari-harinya, tetapi dalam praktek setiap tindakan dari subyek aturan yang menjadikan keugian negara, nbaik itu lantaran tanda tangan, pemindahan buku, mengambil, menyerahkan, menyimpan diluar mekanisme yang berlaku, maka perbuatan tersebut sanggup dipandang sebagai perbuatan memperkaya diri. Sedangkan unsur ”menguntungkan diri atau orang lain atau suatu korporasi”, artinya pelaku memperoleh akomodasi atau kemudahan sebagai akhir dari perbuatan menyalahgunakan wewenang atau prosedur.

Kemudian dalam pembuktian unsur ”dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”, sering terjadi perbedaan persepsi yaitu menyangkut penafsiran kata ”dapat ” yang oleh sebagian kalangan dipandang sebagai potensi, lantaran mengacu kepada ”cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat” (penjelasan pasal 2 ayat(1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 ihwal Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi), jika mengusut syaratnya penempatan kata sanggup tersebut, bersama-sama oleh pembuat undang-undang dimaksudkan hanya untuk menempatkan kedua delik tersebut, dari delik formil materiil menjadi delik formil dengan meninjau filosofi dari delik pencurian (Pasal 362 KUHP) dan penggelapan (Pasal 372 KUHP). Dalam pengertian perbuatan tersebut telah selesai (voltoid) kalau barang atau uang tersebut telah berpindah dari tempatnya atau tujuannya semula yang dilakukan secara melawan hukum. Terhadap delik-delik tertentu dari undang-undang korupsi memang sejalan dengan pemahaman tersebut, mirip penyuapan, pemerasan atau penggelapan dalam jabatan, tetapi terhadap delik yang mengandung unsur merugikan negara kata ”dapat” tidak sekedar potensi yang abstrak, tetapi harus konkrit dan itu lambat atau cepat harus riil terjadi. Oleh lantaran itu, jika kata sanggup merugikan keuangan negara tersebut berupa potensi, maka sifatnya hanya perkiraan dan hal itu bertentangan dengan azas legalitas yang salah satunya mensyaratkan adanya kepastian hukum.

Selanjutnya terkait dengan pengertian penyuapan, penyuapan terdiri dari 2 jenis. Pertama yaitu penyuap aktif, yaitu pihak yang menawarkan atau menjanjikan sesuatu, baik berupa uang atau barang. Penyuapan ini terkait erat dengan sikap batin subjek aturan berupa niat (oogmerk) yang bertujuan untuk menggerakkan seorang pejabat penyelenggara negara atau pegawai negeri biar ia dalam jabatannya berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya. Dari pemberian hadiah atau komitmen tersebut, berarti subjek aturan mengetahui tujuan yang terselubung yang diinginkannya, yang didorong oleh kepentingan pribadi, biar penyelenggara negara atau pegawai negeri yang akan diberi hadiah atau komitmen berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatan yang bertentangan dengan kewajibannya. Meskipun pejabat yang bersangkutan menolak pemberian atau komitmen terserbut, perbuatan subjek aturan sudah memenuhi rumusan delik dan sanggup dijerat oleh delik penyuiapan aktif, mengingat perbuatannya sudah selesai (voltoid).

Kemudian kedua yaitu penyuapan pasif, pihak yang mendapatkan pemberian atau komitmen baik berupa uang maupun barang. Apabila pegawai negeri tersebut mendapatkan pemberian atau komitmen dalam pasl ini, berarti pegawai negeri/penyelenggara negara dimaksud akan menanggung beban moril untuk memenuhi permintaan pihak yang memberi atau yang menjanjikan tersebut.[7]

Selain penyuapan aktif dan pasif tersebut yang lazim juga terjadi terkait dengan praktek korupsi yaitu penggelapan dan pemerasan. Larangan yang terkait dengan tindak pidana korupsi jenis ini yaitu perbuatan menggelapkan uang atau surat berharga yang menjadi tanggungjawab jabatannya atau membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil atau digelapkan orang lain.

Sedangkan yang dimaksudkan dengan pemerasan terkait dengan tindak pidana korupsi yaitu pemerasan dalam jabatan (knevelarij) dan salah satu unsurnya yaitu memaksa seseorang menawarkan sesuatu, membayar, atau mendapatkan pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri (Pasal 12 abjad e dan f Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001). Bentuk pemaksaan disini lebih ditujukan secara psikis sebagai akhir yang ditimbulkan dari kewenangan yang menempel pada diri pejabat yang bersangkutan. Kehendak untuk memaksakan kepentingan pribadinya harus dirasakan oleh orang yang menjadi obyeknya.[8] Contohnya terkait dengan Badan Hukum Milik Negara, contohnya dalam hal pengadaan jasa, banyak sekali dalih dipergunakan, meskipun mekanisme sudah terpenuhi, tetapi masih saja ada kendala, sehingga ada pameo kalau bisa dipersulit, kenapa harus dipermudah, dan pameo ini nampaknya lazim diberlakukan oleh kalangan pegawai negeri atau penyelenggara negara di dalam menawarkan pelayanan kepada masyarakat.

Pegawai negeri atau penyelenggara negara turut serta dalam pengadaan yang diurusnya yaitu korupsi, ini sesuai dengan Pasal 12 abjad i Undang-Undang 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 ”Pegawai negeri atau penyelenggara negara baik eksklusif maupun tidak eksklusif dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan, atau persewaan, yang pada ketika dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya”.

Disamping itu, perlu juga menerima perhatian yaitu persoalan gratifikasi. Gratifikasi ini dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 secara tegas dilarang. Pengertiannya dalam arti luas mencakup pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, akomodasi penginapan, perjalanan sosialisasi, pengobatan Cuma-Cuma atau akomodasi lainnya. Hal tersebut perlu dipahami secara benar lantaran akan berkaitan dengan persoalan pengumpulan alat bukti dan pembuktiannya di depan persidangan. Pengertian alat bukti petunjuk tidak saja sanggup diperoleh dari keterangan saksi, keterangan terdakwa dan surat-surat sebagaimana dirumuskan dalam KUHP, tetapi juga sanggup diperoleh melalui alat bukti lain berdasarkan pasal 26 a Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu, atau melalui dokumen berupa rekaman data atau informasi yang sanggup dilihat, dibaca, dan atau didengar yang sanggup dikeluarkan dengan atau tanpa tunjangan suatu sarana, baik yang tertuang diatas kertas atau benda lain maupun yang terekam secara elektronik berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka atau perforasi yang mempunyai makna. Rumusan yang demikian ini, tidak saja memperluas cakupan pengertian tindak pidana korupsi, tetapi juga memudahkan di dalam pembuktiannya.

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 ihwal Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menerapkan sistem pidana minimal dalam upaya untuk sanggup menjadikan imbas jera dan daya tangkal sejalan dengan tujuan undang-undang ini, utnuk mengantisipasi kebutuhan aturan masyarakat dalam mencegah dan memberantas secara efektif segala bentuk tindak pidana korupsi.

Dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, disebutkan pengembalian kerugian keuangan negara tidak menghapuskan pidana, maksudnya meskipun hasil korupsi telah dikembalikan kepada negara, tidak menghapus sifat melawan hukum, perbuatan dan pelaku akan tetap diajukan ke pengadilan dan dijatuhi pidana, hanya mungkin hukumannya diperingan.

Ketentuan ini bersama-sama tidak sejalan dengan adagium ultimum remedium, mengingat hakekat pengadaan barang dan jasa yaitu domein perikatan, maka jika terjadi Wanprestasi atau pihak terkait tidak sanggup memenuhi prestasi kerja yang telah diperjanjikan, langkah yang harus ditempuh yaitu membuka ruang restorasi. Pihak yang bersangkutan diminta lebih dulu memenuhi ketentuan yang telah disepakati dalam perjanjian pemborongan, jika yang bersangkutan tetap ingkar, maka barulah diterapkan instrumen pidana (retroactive justice).

Terhadap maraknya korupsi di banyak sekali lini kehidupan, maka berdasarkan Jereny Popo upaya yang sanggup dilakukan yaitu dengan meningkatkan integritas nasional.[9] Memperkenalkan sistem integritas nasional di semua lapisan masyarakat sangat penting bagi proses reformsi dan hendaknya dilakukan secara berkesinambungan. Pendekatan ini penting artinya biar tujuan pembangunan sanggup dicapai. Lebih lanjut Jeremy Pope beropini bahwa dalam mengejar tujuan itu, hendaknya memperhatikan antara lain :

  • Pelayanan publik yang efisien dan efektif, serta menyumbang pada pembangunan berkelanjutan;
  • Pemerintahan yang berjalan berdasarkan hukum, yang melindungi warga masyarakat dari kekuasaan adikara (termasuk dari pelanggaran hak asasi manusia); dan
  • Strategi pembangunan yang menghsilkan manfaat bagi negara secara keseluruhan, termasuk rakyatnya yang paling miskin dan tidak berdaya, bukan hanya bagi para elit.
Dilingkungan Departemen, khususnya Badan Hukum Milik Negara hendaknya memperhatikan ketentuan-ketentuan yang diatur di dalam Keppres No. 80 Tahun 2003 jo. Perpres No. 85 Tahun 2006 ihwal Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah serta memperhatikan juga Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga suatu Perusahaan Negara / Badan Hukum Milik Negara / Daerah khususnya mengenai pendanaan Perusahaan, sumber pendanaan, pengelolaan dana pendiddikan, pengalokasian dana pendidikan dan wajib juga melaksanakan prinsip-prinsip keadilan, efisiensi, transparansi dan akuntabilitas punlik guna terwujudnya Good Coorporate Governance.

Asas-asas umum tersebut merupakan ground idea dan haarus menjadi kerangka contoh atau frame of reference yang membatasi di dalam setiap pengelolaan keuangan Negara, biar sanggup lebih terarah dan dipertanggungjawabkan dari banyak sekali aspek aturan (situationsgebundenheit)[10], mengingat kesemua asas-asas umum tersebut telah diimplementasikan ke dalam klausula pasal yang mengatur ihwal pengelolaan keuangan negara.

Khusus untuk lingkungan Badan Hukum Milik Negara, asas-asas umum tersebut tidak hanya sekedar menjadi kerangka contoh dan pembatas di dalam pengelolaan keuangan negara, tetapi lebih jauh lagi yaitu dalam upaya untuk mewujudkan good governance dan clean goverment.[11]

IV. PENUTUP 
Sebagai epilog dalam makalah yang penulis susun, untuk pencegahan terjeratnya pelaku dalam Jasa Konsultansi ke dalam kasus Tindak Pidana Korupsi perlu diperhatikan hal-hal yang telah diuraikan di pembahasan terdahulu yaitu pengadaan barang dan jasa di lingkungan Badan Hukum Milik Negara ada baiknya memperhatikan 15 langkah prosedural yang ditetapkan oleh Keppres No. 80 Tahun 2003 jo. Perpres No. 85 Tahun 2006 ihwal Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah serta memperhatikan juga Anggaran Dasar dan Anggran Rumah Tangga suatu Perusahaan negara / Badan Hukum Milik Negara / Daerah, dan Terkait dengan pengadaan barang dan jasa tersebut, dalam praktek salah satu unsur penting yang harus sanggup dibuktikan biar sanggup dikualifikasi sebagai tindak pidana korupsi yaitu adanya ”unsur sanggup merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”. Unsur kerugian negara sering menjadi polemik lantaran mempunyai pengertian yang sanggup dilihat dari beberapa perspektif hukum, yaitu berdasarkan perspektif aturan manajemen negarra, aturan perdata dan aturan pidana.

DAFTAR PUSTAKA;

  • Ann Elliot, Kimberly, Corruption and The Global Economy, terjemahan Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, Edisi Pertama, 1999.
  • Black, Henry Campbell, Black’s Law Dictionary, Edisi VI, West Publishing, St.Paul Minesota 1990.
  • Effendy, Marwan, Penerapan Perluasan Ajaran Melawan Hukum dalamUndang-Undang Tindak Pidana Korupsi (KajianPutusan no. 135/Pid/B2004/PN.Cn. dan Putusan Sela No. 343 /Pid.B/2004/PN.Bgr), Majalah Dictum, Jakarta,2005.
  • ______________, Tipologi Kejahatan Perbankan dari Perspektif Hukum Pidana, Sumber Ilmu Jaya, cet.!, Tahun 2005
  • ______________,Penyimpangan Kebijakan Anggaran Oleh Pejabat Negera, BUMN dan BUMD dari Aspek Pidana, Makalah disampaikan dalam workshop ihwal Korupsi dan Penyimpangan Kebijakan Keuangan Bagi Pejabat Pemerintah Daerah/DPRD dan BUMD, yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Investasi dan Keuangan berhubungan dengan Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan, tanggal l2 dan 19 Agustus 2006, di Hotel Oasis Amir Lt.3,Jl. Senen Raya Kav.135-137 Jakarta Pusat
  • ______________, Materi disampaikan dalam Koordinasi Kebijakan dan Program Pendidikan Melalui Rembuk Nasional Pendidikan (RNP), dengan tema : ”Good Governance Dalam Pengelolaan Keuangan Negara”, yang diselenggarakan di Pusdiklat Pegawai Depdiknas, Sawangan, Senin 23 Februari 2009
  • Lamintang, P.A.F, at al, Hukum Pidana Indonesia, Sinar Bau, Bandung cet. Ke-III, 1990.
  • Lembaga Administrasi Negara, SANKRI ( Sistem Administrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia), prinsip-prinsip Penyenggarraan Negara, Jakarta, 2003.
  • Pope, Jeremy, Strategi Memberantas Korupsi, Elemen Sistem Integritas 
  • Nasional, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2003. Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni Bandung, Cetakan Keempat, 1996.
  • Tanzi, Vito, Corruption, Governmental activities, and Markets, IMF Working Paper, Agustus 1994.
  • World Bank, World Development Report – The State in Changing World, Washington, DC, World Bank, 1997.
  • Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 ihwal Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
  • Undang-Undang No.31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No.20 Tahun 2001 ihwal Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
  • Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 ihwal Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
  • Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 ihwal Keuangan Negara.
  • Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 ihwal Perbendaraan Negara.
  • TAP MPR-RI Nomor XI/MPR/1998 ihwal Penyelenggaraan NegaraYang Bersih dan Bebas KKN.
  • Keppres No. 80 Tahun 2003 jo. Perpres No. 85 Tahun 2006 ihwal Pedomanpelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah.
  • Peraturan Pressiden Nomor 7 Tahun 2005 ihwal Rencana Penbangunan 
Jangka Menengah dan Kebijakan Penyelenggaraan Negara 2004-2009.
[1] Materi disampaikan dalam Seminar Nasional Fakultas Hukum Universitas Indonesia bekerja sama dengan Ikatan Nasional Konsultan Indonesia (INKINDO) ihwal “Permasalahan Hukum Pada Pelaksanaan Kontrak Jasa Konsultasi dan Pencegahan Korupsi di Lingkungan Instansi Pemerintah”, yang diselenggarakan di Balai Sidang Djokosoetono Gedung F Lantai 2 FH-UI Depok, Selasa 22 Juni 2010.
[2] Jaksa Satuan Tugas Khusus, pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung RI Jakarta.
[3] Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni Bandung, Cetakan Keempat, 1996, hlm. 115.
[4] Black, Henry Campbell, Black’s Law Dictionary, Edisi VI, West Publishing, St. Paul Minesota, 1990.
[5] Vito Tanzi, Corruption, Governmental Activities, and Markets, IMF Working Paper, Agustus 1994.
[6] World Bank, World Development Report – The State in Changing World, Washington, DC, World Bank, 1997.
[7] Marwan Effendy, Tipologi Kejahatan Perbankan dari Perspektif Hukum Pidana, Sumbeer Ilmu Jaya, cet.I, Tahun 2005, hlm. 126.
[8] P.A.F. Lamintang, at al, Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, cet. Ke-III, 1990, hlm. 231-234.
[9] Pope, Jereny, Strategi Memberantas Korupsi, Elemen Sistem Integritas Nasional, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2003, hlm. 61.

[10] Marwan Effendy, Penerapan Perluasan Ajaran Melawan Hukum dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (KajianPutusan No.135/Pid/B/2004/PN.Cn. dan Putusan Sela No.343/Pid.B/2004/PN.Bgr), Dictum,Jakarta,2005,hal.17. lihat juga Kurt Lewin dalam Bachsan Mustafa, Sistem Hukum Administrasi Negara Indonesia,PT.Citra Aditya Bakti,Bandung,2001,hal.29 dan Karl Mannheim dalam Bachsan Mustafa, loc cit.

[11] Marwan Effendy, Penyimpangan Kebijakan Anggaran Oleh Pejabat Negera, BUMN dan BUMD dari Aspek Pidana, Makalah disampaikan dalam workshop ihwal Korupsi dan Penyimpangan Kebijakan Keuangan Bagi Pejabat Pemerintah Daerah/DPRD dan BUMD, yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Investasi dan Keuangan berhubungan dengan Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan, tanggal l2 dan 19 Agustus 2006, di Hotel Oasis Amir Lt.3,Jl. Senen Raya Kav.135-137 Jakarta Pusat. Pernah juga disampaikan dalam Workshop : ”SANKSI HUKUM PEJABAT PEMDA,DPRD DAN BUMN/BUMD” atas Hasil Audit Investigasi Terhadap Kebocoran Negara/Daerah Dalam Tipikor, yang diselenggarakan oleh Pusat Pelatihan Keuangan dan Pemerintahan dengan Sekolah Tinggi Akutansi Negara, tanggal 4 Agustus 2006,di Hotel Ibis, Kemayoran, Jakarta Pusat,hal.7-8.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel