Teori Dan Pengertian Pidana, Korupsi, Gratifikasi, Birokrasi

TINJAUAN YURIDIS ATAS GRATIFIKASI YANG DIPERKARAKAN DI PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI SAMARINDA DALAM PERSEPEKTIF HUKUM PIDANA INDONESIA 

ABSTRAKSI
Gratifikasi bukanlah jenis delik melainkan sebagai unsur delik, adapun deliknya sendiri yaitu peserta Gratifikasi yang bertentangan dengan kewajibannya dan tugasnya, Pengertian GRATIFIKASI terdapat pada Penjelasan Pasal 12B Ayat (1) UU No.31 Tahun 1999 sebagaimana dirubah dengan UU No.20 Tahun 2001, bahwa : "Yang dimaksud dengan "gratifikasi" dalam ayat ini yaitu pemberian dalam arti luas, yakni mencakup pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, akomodasi penginapan, wisata, pengobatan cuma-cuma, dan akomodasi lainnya. gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan memakai sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik."

Apabila dicermati rumusan diatas maka klarifikasi pasal 12B (ayat 1 ) tersebut kalimat yang termasuk gratifikasi yaitu sebatas kalimat : pemberian dalam arti luas, sedangkan kalimat sehabis itu merupakan bentuk-bentuk gratifikasi. Dan dipertegas dalam pasal 12 aksara B ayat (1) sebagaimana halnya Yaitu setiap gratifikasi kepada Pegawai Negeri dianggap Suap, apabila bekerjasama dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. Dalam rumusan pada pasal 12B sanggup dipahami bahwa tidak semua gratifikasi itu bertentangan dengan aturan melainkan hanya gratifikasi yang memenuhi unsur dari Pasal 12B saja.. dan kemudian dilihat dari aturan PIDANA INDONESIA,Khususnya KUHPpidana dalam Bab XXVIII ( Pasal 418, 419, dan 420 ) yang mengatur wacana kajahatan jabatan. 

Kata kunci: Gratifikasi, Korupsi, Kolusi dan Nepotisme

ABSTRACTION
Gratifikasi is not type glare at but as element glare at, as for glaring at of own is receiver of Gratifikasi which oppose against its obligation and its duty, Congeniality of GRATIFIKASI there are Clarification of Section 12B Sentence ( 1) UU No.31 Year 1999 as altered with UU No.20 Year 2001, that : " such with " gratifikasi" in this sentence is gift in wide of meaning, namely cover gift of money, goods, rebate (discount), commission, interest free loan, journey ticket, lodging facility, vication, medication free, and other facility. The gratifikasi both for accepted in country and also beyond the sea and which is conducted by using electronic medium or without electronic medium."

If is careful of formula above hence clarification of section 12B ( article 1 ) of sentence which including gratifikasi is limited to sentence : giving in wide of meaning, while sentence afterwards represent forms of gratifikasi. And assured in section 12 letter of B sentence ( 1) as also to That is each;every gratifikasi to Public Servant assumed to bribe, if relating to its occupation and adversative with obligation or its duty. In formula at section 12B can comprehend that do not all that gratifikasi illegal but only gratifikasi fulfilling element of just pasai 12B is and is later then seen from ITS criminal law of him of KUHPPIDANA in Chapter of XXVIII ( Section 418, 419, and 420 ) arranging about occupation crime.

Keyword: Gratifikasi, Corruption, Collutio and Nepotism.

I. PENDAHULUAN 
Terbentuknya peraturan wacana gratifikasi ini merupakan bentuk kesadaran dari beling mata aturan Indonesia bahwa gratifikasi sanggup mempunyai dampak yang negatif untuk kelangsungan dalam segala bidang pelayanan masyarakat selanjutnya dilihat didalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-undang No. 20 Tahun 2001 yang mengatur wacana Tindak Pidana Korupsimendefiniskan gratifikasi yaitu pemberian dalam arti luas, yang mencakup pemberian uang, barang, diskon, komisi penjaminan tanpa bunga, tiket perjalanan, akomodasi penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan akomodasi lainnya. kajian aturan yaitu kedalam perspektif Hukum Pidana Indonesia yang mengacu kepada khususnya ( KUHPidana ) pada Bab XXVIII Pasal 418, 219, 420 yang mengatur wacana kejahatan jabatan, Pasal 418 yang berbunyi : seorang pejabat yang mendapatkan hadiah atau kesepakatan padahal diketauhi atau sepatutnya diduganya, bahwa hadiah atau juanji itu diberikan lantaran kekuasaan atau wewenang yang bekerjasama dengan jabatannya, atau yang berdasarkan pikiran orang yang memberi hadiah atau kesepakatan itu ada kekerabatan dengan jabatannya diancam dengan pidana penjara paling usang enam tahun atau pidana denda paling banyak empar ribu lima ratus rupiah Hal tersebut didefinisikan sebagai perbuatan menyuap. 

II. KERANGKA TEORITIS
A. Dasar-dasar Teori Pidana, Korupsi, gratifikasi, Birokrasi 
1. Pidana
Dalam penerapan Pidana di Indonesia, gratifikasi bersifat lex specialist derogat legi generali, ketentuan khusus dalam kedua Undang-Undang tersebut mengenyampingkan ketentuan dalam peraturan PerUndang - Undangan lain yang bersifat umum. Dalam konteks Pidana gratifikasi aturan yang dipakai yaitu Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana dirubah dengan Undang-Undang No. 20 tahun 2001 dan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi ini yaitu lexspecialist dan kitab undang-undang hukum pidana yaitu legi generali-nya sehingga dalam pelaksanaan penerapan pidananya mengacu pada Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.

Pidana Indonesia yaitu cuilan dari aturan publik aturan Pidana terbagi menjadi dua cuilan yaitu aturan pidana materiil dan aturan pidana formil. Hukum pidana materiil mengatur wacana penentuan tindak pidana, pelaku tindak pidana, dan pidana (sanksi). Diindonesia, pengaturan aturan pidana materiil diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHPidana). aturan pidana formil mengatur wacana pelaksanaan aturan pidana materiil.

Pengertian aturan Pidana,banyak dikemukakan oleh para sarjana hukum,diantaranya yaitu Prof. Soedarto, S.H yang mengartikan bahwa[1]) aturan pidana memuat aturan-aturan aturan yang mengikatkan kepada perbuatan-perbuatan yang memenuhhi syarat tertentu suatu akhir yang berupa Pidana. Selanjutnya Prof. Soedarto, S.H menyatakan bahwa sejalan dengan pengertian aturan Pidana, maka tidak terlepas dari KUHPidana yang memuat dua hal pokok, yakni :
  • memuat pelukisan dari perbuatan-perbuatan orang yang diancam pidana, artinya KUHPidana memuat syarat-syarat yang harus dipenuhi yang memungkinkan pengadilan menjatuhkan pidana. Kaprikornus di sini seakan-akan negara menyatakan kepada umum dan juga kepada para penegak aturan perbuatan-perbuatan apa yang dihentikan dan siapa yang sanggup dipidana.
  • KUHPidana menetapkan dan mengumumkan reaksi apa yang akan diterima oleh orang yang melaksanakan perbuatan yang dihentikan itu. Dalam aturan Pidana modern reaksi ini tidak hanya berupa pidana tetapi juga apa yang disebut dengan tindakan, yang bertujuan untuk melindungi masyarakat dari perbuatan-perbuatan yang merugikannya.
Selanjutnya berdasarkan pendapat Prof. Moelyatno, S.H mengartikan bahwa aturan pidana yaitu cuilan dari keseluruhan aturan yang berlaku di suatu Negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan untuk :
  • Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dan disertai bahaya atau hukuman yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa yang melanggar larangan tersebut. 
  • Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu sanggup dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan. 
  • Menentukan dengan cara bagaimana mengenai pidana itu sanggup dilksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.[2]) 
Selanjutnya berdasarkan Prof. Moeljatno, S.H menjelaskan dari pengertian aturan pidana tersebut di atas maka yang disebut dalam ke-1) yaitu mengenal “perbuatan pidana” (criminal act). Sedang yang disebut dalam ke-2) yaitu mengenai “pertanggungjawaban aturan pidana” (criminal liability atau criminal responsibility). Yang disebut dalam ke-1) dan ke-2) merupakan “hukum pidana materil” (substantive criminal law), oleh lantaran mengenai isi aturan pidana sendiri. Yang disebut dalam ke-3) yaitu mengenai bagaimana caranya atau prosedurnya untuk menuntut ke muka pengadilan orang-orang yang disangka melaksanakan perbuatan pidana, oleh lantaran itu aturan program pidana (criminal procedure). Lazimnya yang disebut dengan aturan pidana saja yaitu aturan pidana materil.[3])

Dalam hal yang sama Menurut Profesor Simons bahwa aturan pidana itu sanggup dibagi menjadi aturan pidana dalam arti objektif atau strafrecht in objective zin dan aturan pidana dalam arti subjektif atau strafrecht ini subjective zin. Hukum pidana dalam arti objektif yaitu aturan pidana yang berlaku, atau yang juga disebut sebagai aturan positif atau ius poenale. Hukum Pidana dalam arti subjektif tersebut, oleh Professor Simons telah dirumuskan sebagai:

“Keseluruhan dari larangan-larangan dan keharusan-keharusan, yang atas pelanggarannya oleh Negara atau oleh suatu masyarakat aturan umum lainnya telah dikaitkan dengan suatu penderitaan yang bersifat khusus berupa suatu hukuman, dan keseluruhan dari peraturan-peraturan dimana syarat-syarat mengenai akhir aturan itu telah diatur serta keseluruhan dari peraturan-peraturan yang mengatur persoalan pelaksanaan dari hukumannya itu sendiri”. 

Hukum pidana dalam arti subjektif itu mempunyai dua pengertian, yaitu: 
  • Hak dari negara dan alat-alat kekuasaanya untuk menghukum, yakni hak yang telah mereka peroleh dari peraturan-peraturan yang telah ditentukan oleh aturan pidana dalam arti objektif; 
  • Hak dari negara untuk mengaitkan pelanggaran terhadap peraturan-peraturannya dengan hukum. Hukum pidana dalam arti subjektif di dalam pengertian ibarat yang disebut terakhir di atas, juga disebut sebagai ius puniendi.[4])
Pengertian Korupsi di Indonesia Berdasarkan kamus aturan korupsi diartikan sebagai penyalahgunaan Jabatan atau kekuasaan untuk memperkaya diri sendiri selanjutya apabila diartikan secara harafiah Korupsi yaitu merupakan sesuatu yang busuk, jahat, dan merusak. Jika membicarakan wacana Korupsi memang akan menemukan kenyataan semacam itu lantaran korupsi menyangkut segi-segi moral, sifat keadaan yang busuk, jabatan lantaran pemberian, faktor ekonomi dan politik, serta penempatan keluarga atau golongan kedalam kedinasan dibawah kekuasaan jabatanya. Dengan demikian, sanggup ditarik kesimpulan bahwa sebetulnya istilah korupsi mempunyai arti yang sangat luas.

Gratifikasi
a. Pengertian Gratifikasi
Gratifikasi,gratifikasi yaitu bentuk dari Korupsi dan arti dari Korupsi itu sendiri yaitu berasal dari bahasa latin coruptocartumpen yang berarti :busuk atau rusak. Korupsi ialah sikap jelek yang dilakukan pejabat publik secara tidak masuk akal atau tidak legal untuk memperkaya diri sendiri. Selanjutnya substansi dari Korupsi salah satunya ialah gratifikasi,gratifikasi yaitu “sebuah pemberian yang diberikan atas diperolehnya dukungan atau keuntungan” Gratifikasi sanggup diartikan positif dan negatif,Gratifikasi positif yaitu pemberian yang diberikan dengan ikhlas dari seseorang kepada orang lain tanpa pamrih artinya pemberian dalam arti “tanda kasih” tanpa mengharapkan tanggapan apapun. Ssedangkan Gratifikasi Negatif yaitu pemberian hadiah yang dilakukan dengan pamrih artinya pemberian yang dilakukan dengan tujuan tertantu untuk mendapatkan sesuatum salah satunya dalam pelayanan yang lebih ekstra terhadap seseorang tersebut.

b. Pengertian Gratifikasi Berdasarkan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi : 
Gratifikasi merupakan Tindak Pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perUndang-Undangan yang mengatur wacana tindak pidana korupsi. Pengertian gratifikasi lebih ditekankan pada perbuatan yang merugikan kepentingan publik atau masyarakat luas atau kepentingan pribadi atau golongan.

Istilah gratifikasi berasal dari bahasa belanda “gratikate” yang diadopsi dalam bahasa inggris menjadi “gratification” yang artinya pemberian sesuatu atau hadiah. Black”s law dictionary mengatakan pengertian gratifikasi yaitu sebagai “a voluntarily given rewad or recompense for a service or benefit” yang sanggup diartikan sebagai “sebuah pemberian yang diberikan atas diprolehnya suatu dukungan atau keuntungan”. Kita terkadang sangat sulit membedakan antara “hadiah (gift) “ dengan “suap (bribe)” ketika berhadapan dengan pejabat. Dari pembagian terstruktur mengenai diatas, terang gratifikasi berbeda dengan hadiah dan sedekah. Hadiah dengan sedekah tidak terkait dengan kepentingan untuk memperoleh keputusan tertentu,tetapi motifnya lebih didasarkan pada keiklasan semata. Lain halnya dengan Gratifikasi.

Birokrasi 
Birokrasi berasal dari kata bureaucracy ( bahasa inggris bureau +cracy ) diartikan sebagai suatu organisasi yang mempunyai rantai komando dengan bentuk piramida, dimana lebih banyak orang berada ditingkat bawah dari pada tingkat atas biasanya ditemui pada instansi yang sifatnya atmministratif maupun militer.[5]) Sementara itu berdasarkan kamus besar bahasa Indonesia, birokrasi didefinisikan sebagai : system pemerintah yang dijalankan oleh pegawai pemerintah lantaran berpegang pada hirarki dan jenjang jabatan, dan system pemerintahan yang dijalankan dengan berdasarkan sangat ketat. Selanjutnya beberapa pengertian Birokrasi berdasarkan para jago :
  • Hegel dan Karl Marx,keduanya mengartikan birokrasi sebagai instrument untuk melaksanakan pembebasan dan transformasi sosial.
  • Bintoro Tjokroamidjojo,menurut Bintoro Tjokroamidjojo yaitu birokrasi dimaksud untuk mengorganisir secara teratur suatu pekerjaan yang harus dilakukan oleh banyak orang.
  • Blau dan Page, mengemukakan birokrasi sebagai tipe dari suatu organisasi yang dimaksudkan untuk mencapai tugas-tugas administrative yang besar dengan cara mengkoordinis secara sistematis (teratur).
Berdasarkan uraian-uraian tersebut diatas,dapat dirumuskan bahwa birokrasi yaitu :
  • suatu persedur yang harus dilaksanakan sesuai peraturan semoga tujuan organisasi sanggup tercapai.
  • keseluruhan pegawanegeri pemerintah, baik sipil maupun militer yang bertugas membantu pemerintah dan mendapatkan honor dari pemerintah lantaran statusnya itu.
B. Hubungan Hukum antara Korupsi dan Gratifikasi
Hubungan korupsi dan gratifikasi sangat akrab yaitu substansi dari Korupsi yaitu Gratifikasi dimana pemberian hadiah kepada pejabat Negara merupakan faktor utama yang sanggup dikatagorikan sebagai korupsi. Selanjutnya dengan adanya iming-iming kesepakatan atau hadiah yang diberikan untuk salah seorag pejabat Negara maka dengan kekuasaannya ia menyalahgunakannya dan melaksanakan sesuatu diluar dari aturan yang berlaku, sehingga apa yang diperoleh oleh seorang pemberi hadiah atau gratifikasi sesuai dengan mekanisme yang sah tetapi pada kenyataannya hal itu tidak dibenarkan mengingat :

Perumusan dalam “Pasal 12 B Undang-undang Republik Indonsia Nomo31 Tahun 1999 sebagaimana yang telah dirubah dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 wacana Peberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal 12 B berbunyi ; setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara Negara dianggap pemberian suap,apabila bekerjasama dengan jabatannyadan yang berlawanan dengan kewajibannya atau tugasnya”

Sehingga dalam perbuatan gratifikasi tersebut memunculkan adanya unsur perbuatan yang melawan aturan sepanjang itu berlawanan dengan kewajibannya dan tugasnya.

C. Peraturan PerUndang-Undangan Tentang Tindak Pidana Korupsi
Pasal 12 B Undang-undang Republik Indonsia Nomo. 31 Tahun 1999 sebagaimana yang telah dirubah dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 wacana peberantasan tindak pidana Korupsi. Pasal 12 B berbunyi ; 
setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara Negara dianggap pemberian suap,apabila bekerjasama dengan jabatannyadan yang berlawanan dengan kewajibannya atau tugasnya,dengan ketentuan sebagai berikut :
  • Yang nilainya Rp.10.000.000 (sepuluh juta ) ataulebih,pembuktian bahwa grtifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh peserta gratifikasi.
  • yang nilainya kurang dari Rp. 10.000.000 (sepuluh juta),pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penuntut umum.
Undang-undang No. 31 tahun 1999 wacana Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang kemudian dilakukan perubahan melalui UU No. 20 tahun 2001. Dalam konsideran menimbang Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 disebutkan bahwa tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara meluas tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap hak sosial ekonomi masyarakat secara luas, sehingga tindak pidana korupsi digolongkan sebagai kejahatan yang luar biasa sehingga pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa. Dari konsideran tersebut terlihat sifat khusus tindak pidana korupsi terletak pada adanya unsur kerugian keuangan negara, yang bahkan dianggap sebagai pelanggaran terhadap hak sosial ekonomi masyarakat. Sebagaimana undang-undang lain yang mengatur aturan pidana khusus, UU No. 31 tahun 1999 dan UU No. 20 tahun 2001 mengandung beberapa ketentuan yang menyimpang dari ketentuan aturan pidana umum yang terdapat dalam KUHP.

Sesuai adagium lex specialist derogat legi generali, ketentuan khusus dalam kedua undang-undang tersebut mengesampingkan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan lain yang bersifat umum. Dalam konteks ini UU No. 31 tahun 1999 dan UU No. 20 tahun 2001 yaitu lex specialist dan kitab undang-undang hukum pidana yaitu legi generali-nya. Menurut Nolte dalam Het Strafrecht en de Afzonderlijke Wetten, penyimpangan dalam aturan pidana khusus terdiri dari dua macam, yaitu penyimpangan secara tegas tersurat dalam undang-undang yang bersangkutan secara expressisverbis dan penyimpangan secara diam-diam.

Sesuai adagium lex specialist derogat legi generali, ketentuan khusus dalam kedua undang-undang tersebut mengesampingkan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan lain yang bersifat umum. Dalam konteks ini UU No. 31 tahun 1999 dan UU No. 20 tahun 2001 yaitu lex specialist dan kitab undang-undang hukum pidana yaitu legi generali-nya. Menurut Nolte dalam Het Strafrecht en de Afzonderlijke Wetten, penyimpangan dalam aturan pidana khusus terdiri dari dua macam, yaitu penyimpangan secara tegas tersurat dalam undang-undang yang bersangkutan secara expressisverbis dan penyimpangan secara diam-diam.

2. KUHpidana Bab XXVIII (pasal 418,419,420) yang mengatur wacana kejahatan jabatan. Yang berbunyi sebagai berikut :
Pasal 418
Setiap pejabat yang mendapatkan hadiah atau kesepakatan padahal diketahui aau sepatutnya harus diduganya,bahwa hadiah atau kesepakatan diberikan karna kekuasaannya atau kewenangan yang bekerjasama dengan jabatannya,atau yang berdasarkan pikiran orang yang member hadiah atau kesepakatan itu ada hubungannya dengan jabatannya diancam dengan pidana penjara paling usang enam tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Pasal 419
Diancam dengan pidana penjara paling usang lima tahun seorang pejabat : 
  1. yang mendapatkan hadiah atau kesepakatan padahal diketahuinya bahwa hadiah atau kesepakatan itu diberikannya untuk menggerakannya supaya melaksanakan atau tidak melaksanakan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya. 
  2. yang mendapatkan hadiah mengetahui bahwa hadiah itu diberikan sebagai akhir atau oleh lantaran sipenerima telah melaksanakan atau tidak melaksanakan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya Pasal 420
  • diancam dengan pidana penjara paling usang Sembilan tahun. (a) seorang hakim yang mendapatkan hadiah atau janji, padahal diketahui bahwa hadiah atau kesepakatan itu diberikan untuk mempengauhi putusan masalah yang menjadi tugasnya. (b) barang siapa berdasarkan ketentuan undang-undang ditunjuk menjadi penasehat penasehat untuk menghadiri sidang pengadilan ,menerima hadiah atau janji,padahal diketahui bahwa hadiah atau kesepakatan itu diberikan untuk menghipnotis nasehat wacana masalah yang harus diputus oleh pengadilan itu.
  • jika hadiah atau kesepakatan itu diterima dengan sadar bahwa hadiah atau kesepakatan itu diberikan supaya dipidana dalam suatu masalah pidana, maka yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling usang dua belas tahun kurungan.
Adapun Undang-Undang yang menjadi perhiasan dan sebagai payung Hukum dalam penulisan Hukum ini sebagai berikut :
a. Pasal 184 dalam KUHAPidana yang dipakai penulis sebagai salah satu pasal yang dipakai dalam melaksanakan penyidikan gratifikas sebagai cara dalam mengumpulkan alat bukti, dalam Pasal 184 KUHAPidana hal-hal yang bisa dijadikan alat-alat bukti sebagai berikut
  1. Keterangan saksi.
  2. keterangan ahli.
  3. surat.
  4. Petunjuk.
  5. Keterangan Terdakwa 
b. Undang – Undang N0.43 Tahun 1999 Tentang perubahan atas Undang – Undang No. 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-pokok Kepegawaian : selanjutnya dalam penulisan Hukum ini Pegawai Negeri ( PNS ) merupakan kawasan tempat praktek gratifikasi sehingga perlu dilihat juga pokok – pokok kepegawain sehingga dalam peraktek pelaksanaannya ada keserasaian dalam pencapaian supermasi Hukum yang dalam rangka usaha mencapai tujuan nasional untuk mewujudkan masyarakat madani yang taat hukum, berpandangan modern, demokratis, makmur, adil, dan bernoral tinggi, diharapkan Pegawai Negeri yang merupakan unsur aparatur Negara yang bertugas sebagai abdi masyarakat yang menyelenggarakan pelayanansecara adil dan merata, menjaga persatuan dan kesatuan bangsa dengan penuh kesetian pada pancasila dan Undang-Undang dasar 1945,serta diharapkan Pegawai Pemerintah dan pembangunan, serta higienis dan bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.

c. Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 wacana Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, Nepotisme.

Penyelenggara Negara mempunyai kiprah yang penting dalam memilih penyelenggaraan Negara untuk mencapai cita- cita usaha bangsa yang adil dan makmur,penyelenggara harus bisa menjalankan fungsi dan tugasnya secara sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab selanjutnya bahwa peraktek praktek Korupsi, Kolusi, Nepotisme tidak hanya dilakukan oleh penyelenggara Negara dengan pihak lain yang sanggup merusak sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara,sehingga diharapkan penggabungan dengan Undang-Undang No.31 Tahun 1999 semoga mendapatkan keserasian dan terwujudnya supermasi aturan di Indonesia.

d. Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 wacana proteksi saksi korban.
Dalam adanya dugaan pemberian Gratifikasi perlu adanya laporannya perlu adanya dukungan masyarakat pada umumnya sehingga dengan adanya Undang-Undang ini menciptakan masyarakat tidak takut melapor kepada KPK. 

Berikut yaitu beberapa bentuk landasan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi :
a. Landasan Filosofis
klarifikasi umum UU No.20 Tahun 2001 menyebutkan bahwa maksud diadakannya penyisipan pasal 12 B dalam UU.31 Tahun 1999 yaitu untuk menghilangkan rasa kekurang adilan bagi pelaku Tindak Pidana Korupsi dalam hal nilai korup relatif kecil. Dalam pasal 12 B UU No.31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No.20 Tahun 2001 wacana Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi berbunyi : “setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara Negara dianggap pemberian suap,apabila bekerjasama dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.”

b. landasan sosiologis
peraktek korupsi pada masa kini mengalami perkembangan dengan munculnya praktik-praktik gres yang berusaha memanfaatkan celah atau kelemahan peraturan peratura PerUndang-Undangan yang ada. Pemberian hadiah seringkali dianggap hanyalah sebagai suatu ucapan terima kasih atau ucapan selamat kepada seorang pejabat. Tetapi bagaimana jika pemberian itu berasal dari seseorang yang mempunyai kepentingan terhadap keputusan atau kebijakan pejabat tersebut.? Dan bagaimana jika nilai dari pemberian tersebut diatas nilai kewajaran.? Dan apakah pemberian tersebut akan menghipnotis integritas, independensi dan objektivitas dalam pengambilan keputusan atau kebijakan, sehingga sanggup menguntungkan pihak lain atau diri sendiri.

Pemberian hadiah sebagai suatu perbuatan atau tindakan seseorang yang mengatakan sesuatu ( uang atau benda ) kepada orang lain tentu saja hal tersebut diperbolehkan, namun jika pemberian tersebut dengan cita-cita untuk sanggup menghipnotis keputusan atau kebijakan. Hai inilah yang perlu untuk disosialisasikan kepada masyarakat bahwa betapa pentingnya memerangi Korupsi.

III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Penerapan Sanksi Gratifikasi Berdasarkan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi di Pengadilan Tindak Pidana korupsi Samarinda.

Didalam perumusan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana dirubah dengan Undang-Undang N0. 20 Tahun 2001 yang berbunyi 

Setiap gratifikasi kepada Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara dianggap pemberian suap apabila bekerjasama dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.

Selanjutnya dari hasil penelitian penulis di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Samarinda menyebutkan bahwa dalam Penerapan hukuman yang diberikan kepada Pegawai Negeri Sipil ataupun Penyelenggara Negara sesuai dengan pasal Dakwaannya atau Fakta Hukum yang terjadi. Didalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi ini sesuai dengan Pasal 12B berbunyi sebagai berikut: 
1. Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggaraNegara dianggap pemberian suap, apabila bekerjasama dengan jabatannyadan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut:
  • yang nilainya Rp.10.000.000,00 ( sepuluh Juta rupiah ) atau lebih pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh peserta gratifikasi.
  • yang nilainya kurang dari Rp. 10.000.000,00 ( sepuluh juta rupiah ), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut dilakukan oleh penuntut umum.
2.pidana bagi pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yaitu Pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling usang 20 (dua puluh) Tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). 

Namun dalam penerapan pasal 12 B ini apabila dilihat sesuai dengan Pasal 12 aksara C yang menyebutkan Gratifikasi tidak berlaku apabila :
  1. ketentuan sebagamana dimaksud dalam Pasal 12 B ayat (1) tidak berlaku,jika peserta melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada komisi pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
  2. penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilakukan oleh peserta gratifikasi paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung semenjak tanggal gratifikasi tersebut diterima.
  3. Komisi Peberantasan Korupsi dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh)hari kerja semenjak tanggal mendapatkan laporan wajib menetapkan gratifikasi sanggup menjadi milik peserta atau milik Negara. 
  4. ketentuan mengenai tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan penentuan status gratifkasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur dalam Undang-Undang wacana Komisi Pemberantasan Tindak pidana Korupsi.
B.Hambatan-Hambatan Dalam Pembuktian gratifikasi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Samarinda.
berdasarkan penelitian yang penulis lakukan yaitu bahwa terdapat banyak kesulitan,seperti yang diketahui bahwa sifat dari gratifikasi yang secara garis besarnya yaitu kejahatan luar biasa maka pembuktiannyapun harus luar biasa juga, dalam pembuktian adanya dugaan gratifikasi diharapkan bukti-bukti permulaan yang cukup. Selanjutnya sanggup dilahat juga pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana KUHAPidana. Dalam aturan Pidana ,hal-hal yang bisa dijadikan “alat-alat bukti”, diatur dalam pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum program Pidana ( KUHAPidana ), sebagai berikut.
  1. Keterangan saksi.
  2. Keterangan ahli.
  3. Surat. 
  4. Petunjuk.
  5. Keterangan terdakwa.
Kelima alat bukti ini oleh KUHAPidana disebut sebagai alat bukti yang sah, artinya diluar dari kelima alat bukti tersebut tidak bisa dijadikan bukti didalam berperkara diranah aturan Pidana. Kecuali diatur secara khusus dalam Undang-Undang terpisah dari KUHAPidana. Dalam [endefinisian dalam pasal 184 KUHPidana ini keterangan saksi merupakan pembuktian yang paling sulit dalam pertanda adanya gratifikasi Selain hambatan yang terjadi dalam pembuktian juga ada hambatan lain yaitu memilih apakah suatu gratifikasi tersebut bekerjasama dengan suatu jabatan atau pekerjaan. Contohnya, sebagaimana yang diketahui sepreti Parsel Idulfitri Kepada Penguasa atau Pejabat kemudian pemberian parsel Natal atau Tahun Baru dikalangan pejabat sudah menjadi teradisi yang berlangsung puluhan tahun. Pada prakteknya , akan sulit untuk memilah mana pemberian parsel yang dilakukan dengan niat silaturahim, dan pemberian parsel mana yang diiringi cita-cita naik Jabatan atau mendapat proyek. 

Dalam penelitian yang dilakukan penulis pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Samarinda yang merupakan salah satu hambatan dalam pembuktian yaitu dari beberapa masalah yang berkaitan dengan gratifikasi, pada umumnya berupa “uang”.karna wujut dari uang lebih susah untuk ditelusuri asal usulnya, selanjutnya dengan bentuk uang lebih gampang untuk mengukur jumlahnya baik peserta maupun pemberi dan peserta hadiah atau gratifikasi maupun pemberi dan peserta hadiah atau gratifikasi. Pada perkembangan zaman yang akan tiba khususnya dalam pembuktian gratifikasi penulis dalam penelitiaannya pada pengadilan Tindak Pidana Korupsi Samarinda menemukan hal gres dalam bentuk uang yang kemungkinan besar sistem ini masuk kenegara Indonesia dan dipakai sebagai objek gratifikasi yaitu “BitCoin” yang dimaksud dengan bitcoin ini ialah bentuk dari uang masa depan yang diperkirakan sanggup masuk keindonesia dan wujud dari bitcoin ini yaitu uang digital yang mengatakan kemudahan dalam berteransaksinya suatu uang. 

IV. PENUTUP
Kesimpulan Dan Saran:
  1. Bahwa intinya ketentuan dalam penerapan hukuman gratifikasi menganut asas lex specialist derogat legi generali, ketentuan khusus dalam kedua Undang-Undang tersebut mengenyampingkan ketentuan dalam peraturan PerUndang - Undangan lain yang bersifat umum.
  2. Berdasarkan Undang-Undang Tindak Pidana korupsi bahwa seorang Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang sanggup dikatagorikan sebagai peserta gratifikasi apabila memenuhi unsur dalam perumusan pasal 12 aksara B yang berbunyi sebagai berikut :
  3. Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara Negara dianggap pemberian suap, apabila bekerjasama dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut:
  • yang nilainya Rp.10.000.000,00 ( sepuluh Juta rupiah ) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh peneeima gratifikasi.
  • yang nilainya kurang dari Rp. 10.000.000,00 ( sepuluh juta rupiah ), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut dilakukan oleh penuntut umum.
2.pidana bagi pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yaitu Pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling usang 20 (dua puluh) Tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). 

3.Dalam hal yang sama juga bahwa dalam penerapan hukuman gratifikasi itu berdasarkan pada pasal dakwaannya dan fakta aturan yang terjadi dalam kasusnya. Dan dalam penerapannya masalah korupsi dalam arti gratifikasi harus terdiri dari unsur Objektif dan Subjektif sebagai berikut :

Unsur Objektif, terdiri dari :Pembuatanya : a. Pegawai Negeri ; atau b. penyelenggara Negara.
  • Perbuatannya : Menerima ( hadiah)
  • Objeknya : Hadiah 
Unsur Subjektif, terdiri dari :
Kesalahan : diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akhir atau disebabkan alasannya yaitu sudah melaksanakan atau tidak melaksanakan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangandengan jabatannya.

4.Dalam penelitian penulis juga menemukan bahwa dalam penerapan hukuman gratifikasi tidak berlaku sesuai dengan pasal 12 Huruf C yang berbunyi sebagai berikut : 
  1. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B ayat (1) tidak berlaku, jika peserta melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
  2. Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilakukan oleh peserta gratifikasi paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung semenjak tanggal gratifikasi tersebut diterima.
  3. Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja semenjak tanggal mendapatkan laporan wajib menetapkan gratifikasi sanggup menjadi milik penerima.
5.Dalam hal yang sama bahwa hasil dari penelitian penulis maka dalam penerapan Undang-Undang No.31 Tahun 1999 sebagaimana dengan Undang-Undang No.20 Tahun 2001 seusai dalam perumusan pasal 12 aksara B banyak menemukan hambatan dan hambatan yang paling fundamental ialah bahwa dalam pembuktiannya.Selain hambatan dalam pembuktian juga ada hambatan lain yaitu memilih apakah suatu gratifikasi tersebut bekerjasama dengan suatu jabatan atau pekerjaan. Contohnya, sebagaimana dijelaskan sepreti parsel lebaran Kepentingan Penguasa, dalam pemberantasan Korupsi,pemberian parsel (gratifikasi) pada ketika lebaran, Natal atau Tahun Baru dikalangan pejabat sudah menjadi teradisi yang berlangsung puluhan tahun. Pada prakteknya , akan sulit untuk memilah mana pemberian parsel yang dilakukan dengan niat silaturahim, dan pemberian parsel mana yang diiringi cita-cita naik jabatan atau sanggup proyek.

Saran :
  1. Dalam penulisan aturan ini penulis ingin mengatakan saran bahwa aturan berdasarkan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi Yang telah ada diharapkan bisa mengikuti keadaan dengan perkembangan zaman kini ini dengan memperhatikan apa yang selama ini menjadi hambatan dalam pembuktian masalah Korupsi, 
  2. Dalam hal yang sama diharapkan bahwa dalam penerapan hukuman yang diberikan harus lebih tegas dan lebih berat sehingga mengatakan efek jera terhadap orang yang menyalahgunakan jabatannya karna mengingat seusai dengan perkembangan zaman ketika ini modus-modus Koupsi yang dipakai semakin banyak dan perlu kejelian dalam penanganannya.
  3. Penulis juga mengatakan saran bahwa mengingat pemberian-pemberian yang beralasan dengan suatu hari raya sehingga mengatakan parsel-parsel kepada Pegawai Negeri ataupun Penyelenggara Negara yang merayakan hari raya tersebut yang apabila dilahat dari beling mata Hukum hal itu sangatlah tidak sewajarnya. Maka hal ini perlu adanya setandarlisasi ataupun aturan yang mengatur hal tersebut dalam hal pemberian parsel kepada Pegawai Negeri dan Penyelenggara Negara. Mengingat kiprah dan fungsinya dalam pelayanan masyarakat.
Daftar Pustaka;
A. Literatur
  • Evi Hartanti, S.H., 2005. Tindak Pidana Korupsi. Penerbit Sinar Grafika, Jakarta.
  • A. Hamzah, Korupsi Di Indonesia Masalah Dan Pemecahannya, Penerbit Gramedia, Jakarta.
  • Laden Marpaung, Tindak Pidana Korupsi Masalah Dan Pemecahannya, Penerbit sinar gramedia, Jakarta,.
  • Sofjan Sastrawidjaja, 1990, Hukum Pidana 1, Penerbit CV. Armico.
  • Moeljatno,2002, Asas-Asas Hukum Pidana, Penerbit Rineka Cipta.
  • Simons dalam buku P.A.F.lamintang, 1997, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Penerbit Citra Aditya Bakti, Bandung.
  • Romli Atmasasmita, 2002, korupsi,komisi anti korupsi diindonesia, Penerbit tubuh training Hukum Nasional Departemen kehakiman dan HAM RI, Jakarta.
  • Rocky Marbun, 2011, kiat jitu menuntaskan masalah hukum,Cetakan pertama, penerbit Visimedia,
  • Kamus Hukum, Karangan Fienso Suharsono, penerbit Van’detta Publishing
B. Peraturan
  • Putusan Nomor : 55/Pid.Tipikor/2013/PN.Samarinda
  • Undang-Undang No 31 Tahun 1999 yang dirubah menjadi Undang-Undang No 20 tahun 2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi
  • Kitab Undang-Undangn Hukum Pidana. Penulis Dr.Andi Hamzah. S.H. penerbit,Rineka Cipta,2011
  • Undang-Undang No 28 Tahun 1999 wacana Penyelenggara Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi Dan Nepotisme
  • Undang-Undang No 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan korban
  • Undang-Undang Republik Indonesia No 43 Tahun 1999 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian
C. Lain-lain
  • WWW.WikipediaIndonesia.com
  • Kamus hukum, https://www.google.co.id/search?q=kamus+hukum&ie
  • Agustinus Edy Kristianto, http://korupsi.vivanews.com/news/read/28525 suap__korupsi_tanpa_akhir_1 diakses 24 Juni 2010.
  • Widya Ayu Rekti, http://rektivoices.wordpress.com/2009/05/25/memperlus-makna-gratifikasi, Diakses 2 April 2011.
[1] Sofjan Sastrawidjaja, 1990, Hukum Pidana 1, Penerbit CV. Armico, hlm. 9.
[2] Moeljatno,2002, Asas-Asas Hukum Pidana, Penerbit Rineka Cipta, hlm. 1
[3] Ibid.
[4] Simons dalam buku P.A.F.lamintang, 1997, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Penerbit Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 4.
[5] http//id.wikipedia.org/birokrasi

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel