Makalah Kebanjiran Jakarta Februari 2007
Tuesday, June 11, 2019
Edit
KERAGAMAN RUANG BANJIR JAKARTA PADA FEBRUARI 2007*)
Abstrak
Ruang Megapolitan Jakarta sebagai barometer kehidupan masyarakat Indonesia, tentunya mempunyai keragaman ruang dan waktu di dalam persebaran banjir. Adanya variasi ruang Jakarta berdasarkan topografi, geologi dan geomorfologi sebagai pembatas banjir di dalam persebarannya. Pertanyaan, dimanakah ruang banjir Jakarta? dan berapa usang waktu di dalam ruang banjir Jakarta pada Februari 2007? Metodelogi, melaksanakan banyak sekali overlay peta topografi (ketinggian dan lereng), geologi (formasi batuan) dan geomorfologi (genesa dan proses) pada skala 1:50.000 yang juga memperhatikan kaidah ruang geografisnya pada masyarakat kota Jakarta.
Kata kunci: Variasi ruang, Banjir Jakarta, dan Februari 2007.
Pendahuluan
Geomorfologi Jakarta atas dasar proses genesanya sanggup dibagi menjadi dua satuan morfologi, yakni Dataran Pantai dan Kipas Gunung Api Bogor. Dataran Pantai dicirikan dengan permukaan yang relatif datar, dengan ketinggian 0-15 m dapl, lebar 7-40 km, mencakup tanggul pematang pantai, kawasan rawa, dan dataran delta. Dataran ini dikenal juga sebagai Dataran Rendah Jakarta. Kipas Gunung Api Bogor menyebar dari selatan ke utara, dengan Bogor sebagai puncaknya. Satuaan morfologi ini ditempati rempah-rempah gunung api berupa tuf, konglomerat, dan breksi yang sebagian telah mengalami pelapukan kuat, berwarna merah kecoklatan (Bemmelen,1949:654).
Proses terjadinya dataran rendah tempat bertumpunya kota Jakarta dan sekitarnya, berdasarkan Verstappen (1953), lebih muda daripada pembentukan kawasan di pecahan selatan, dengan gunung-gunung yang terbentang dari Banten Selatan hingga Periangan Timur. Terjadinya Dataran Rendah Jakarta dan sekitarnya akhir proses pengendapan bahan-bahan vulkanis yang berasal dari gunung api Salak, Pangrango, dan Gede.
*) Makalah disajikan pada Seminar Nasional Geomorfologi di P2O-LIPI, Ancol Timur Jakarta pada 9 September 2009.
Bahan-bahan ini kemudian dibawa arus sungai menyerupai Cisadane, Angke, Ciliwung, dan Bekasi yang bermuara di pantai utara Jawa, sehingga terbentuk lapisan-lapisan tanah alluvial yang disebut kipas alluvial. Menurut Verstappen (1953: 67-79), dataran rendah Jakarta dan sekitarnya telah berusia sekitar 5.000 tahun.
Region Dataran Rendah Jakarta termasuk dalam wilayah endapan, di mana terdapat 13 sungai yang mengaliri di antaranya terdapat 4 sungai besar, yaitu Ci Sadane dengan pedoman air arah barat perbatasan dengan kota Tangerang, sungai Angke dan Ci Liwung pedoman arah Tengah, serta sungai Bekasi pedoman air arah Timur perbatasan kota Bekasi, ke empat sungai-sungai ini berhulu di Selatan endapan puing berkipas yakni Gunung Gede-Pangrango (Kabupaten Bogor dan Kota Bogor) dan Salak (Kabupaten Sukabumi). Ada 11 sungai kecil menyerupai sungai Kamal, Tanjungan, Pesanggrahan, Grogol, Kruukut, Cideng, Cipinang, Sunter, Buaran, Jatikramat, dan Cakung. Ke 11 sungai tersebut, hulunya terletak pada ketinggian 100 – 200 m dpl yang secara gravitasi mengaliri air dan endapan puing berkipas (alluvial fan) yang semuanya bermuara ke Teluk Jakarta. Dataran yang termasuk dalam satuan morfologi ini terbentang memanjang dari Selat Sunda hingga ke Teluk Cirebon, sebagian terdiri dari sedimen marin yang mempunyai sedikit perlipatan, tertutup tuf kuarter, dan deposit alluvium (Bemmelen, 1949).
Morfologi wilayah DKI Jakarta merupakan dataran rendah, yang di pecahan utaranya berafiliasi pribadi dengan maritim Jawa. Beberapa sungai utama mengalir melalui wilayah ini, sehingga alami mempunyai potensi untuk terjadinya banjir. Secara alami, faktor penyebab terjadinya banjir selain keadaan morfologinya yang berupa dataran rendah, juga disebabkan oleh curah hujan yang tinggi di pecahan belakangnya (hinterland), pedoman permukaan (run off) yang besar, gradien sungai atau drainase yang sangat landai, imbas pasang surut, dan pendangkalan sungai disekitar muaranya.
Luas Provinsi DKI Jakarta 65.000 Ha dengan penduduk 10 juta jiwa merupakan potensial terhadap bahaya banjir. Wilayah ini terletak di dataran rendah dengan ketinggian permukaan tanah 0,5 m – 25 m dpl, di mana kurang lebih 40 persennya atau 24.000 Ha dataran rendah yang tingginya 1 hingga 1,5 meter di bawah muka maritim pasang yang merupakan kawasan target banjirnya, selain itu kawasan bebas banjir yang ada di Jakarta 15% - 20%. Jika, curah hujannya optimum dikaitkan dengan topografi yang ada, maka area rawan banjir niscaya terendam banjir yang juga menjadi kawasan target banjirnya.
Istilah banjir (dalam kamus besar Indonesia,2008) berarti basah banyak dan deras, adakala meluap dari sungai lantaran hujan turun terus-menerus atau insiden terbenamnya daratan (yang biasanya kering) lantaran volume air yang meningkat. Banjir juga merupakan insiden alam yang kejadian dan tempatnya sanggup diprediksi atau diprakirakan dari metode besaran curah hujan harian, dan keragaman bentuklahan yang telah dihuni oleh manusia.
Selain faktor insan yang lebih dominan, terdapat faktor-faktor alam yang sifatnya sanggup mempengaruhi terjadinya banjir diantaranya ialah : kondisi geomorfologi (dataran rendah/ perbukitan, ketinggian dan lereng, bentuk sungai), geologi, hidrologi (siklus, kaitan hulu–hilir, kecepatan aliran), iklim (kelembaban, angin, durasi dan intensitas curah hujan), dan pasang surut air maritim yang dipengaruhi oleh fenomena pemanasan global (global warming). Garis ekuator termal yang melewati wilayah DKI pada ketika posisi matahari berada di selatan khatulistiwa, yaitu pada bulan Januari dan Februari, dimana pada bulan tersebut terjadi hujan maksimum sebagai pemicu banjir di wilayah kipas aluvial (alluvial fan) Jakarta.
Melihat perkembangan lingkungan di Jakarta, banjir di kota Megapolitan ini sanggup lebih besar dibandingkan tahun 2002 lalu. Bahkan sekitar 70 persen kota Jakarta ini terkena problem banjir baik secara pribadi maupun tidak langsung. Ada 30 persen kota yang terkena banjir itu pada umumnya di Jakarta utara dan Jakarta Barat dengan ketinggian mencapai 20 cm dapl. Keberadaan area banjir kasatmata dan pontensial di megapolitan DKI Jakarta selama periode dua puluh lima tahun terakhir berubah-ubah, baik secara spasial dan temporal (misal pada tahun 1980 area banjirnya 769,603 Ha, pada tahun 1996 area banjirnya 2258,53 Ha, dan pada 2002 area banjirnya 16.777,67 Ha), sedangkan pada 2 Pebuari 2007 dengan intensitas rata-rata curah hujan harian 200 mm, terjadi peristiwa banjir yang sangat besar, di mana area banjirnya diprakirakan mencapai luasan 42.500 Ha atau mengalami penambahan area banjir 26.800 Ha dalam periode sama pada tahun 2002, yang menggenangi Ibukota Negara Indonesia, dan mempunyai referensi target kawasan banjirnya sangat bermacam-macam dalam ruang/spasial dan waktu/temporal.
2. Pembahasan
Pola persebaran region intensitas hujan harian pada bulan Februari 2007 di Provinsi DKI Jakarta dari penampang arah utara ke selatan, di masing-masing stasiun curah hujan ialah sebagai berikut:
ada peningkatan persebaran tebal curah hujannya dari stasiun Tanjungpriok 664,7 mm (pantai utara Jakarta), Pakubuono 752 mm (pedalaman), dan Halim 997 mm (selatan Jakarta). Sedangkan tebal hujan mengalami penurunan pada wilayah stasiun curah hujan Depok tebal hujannya mencapai 793 mm dan Gunung Mas 789 mm yang merupakan hulu kipas aluvial Jakarta;
pada pecahan utara pantai Jakarta yang berupa dataran aluvial pantai, yang diwakili oleh sts.Tanjungpriok, mempunyai karakteristik tebal curah hujan 664,7 mm di mana jumlah hari hujan sebesar 20 hari dengan tebal hujan maksimum 168 mm pada tanggal 2 Pebruari dan hujan minimum 0,1 mm yang terjadi pada tanggal 7 Pebruari. Kecenderungan hujan fluktuatif , di mana yang menurun tebal hujannya terjadi pada dasarian pertama (548,5 mm) ke dasarian kedua (52,6 mm) sebesar 495,9 mm, dan tebal hujan pada dasarian ketiga (63,3 mm) atau meningkat 11,3 mm.
pada pecahan tengah pedalaman dataran aluvial yang datar hingga bergelombang, yang diwakili oleh stasiun curah hujan Pakubuono, mempunyai karakteristik tebal curah hujan dalam satu bulan sebesar 752 mm, dengan tebal hujan harian maksimun 234,7 mm pada tanggal 2 Pebruari dan hujan minimumnya 3 mm yang terjadi pada tanggal 7 dan 22 Pebruari. Tebal hujan pada dasarian pertama 600 mm dan menurun secara drastis 527 mm, dimana tebal hujannya pada dasarian kedua 39,7 mm sedangkan pada dasarian ketiga tebal hujan naik 6 mm menjadi 79 mm.
stasiun curah hujan Halim yang terletak 6o31’ LS dan 106 o 9’ BT dengan permukaan tanah datar hingga bergelombang, memeliki intensitas hujan harian tertingginya mencapai 259 mm pada tanggal 3 Pebruari dan intensitas hujan harian terendah sebesar 1 mm yakni pada tanggal 13 dan 27 Pebruari, dengan jumlah hari hujannya sebanyak 20 hari. Intensitas hujan harian mempunyai fluktuasi yang bermacam-macam yaitu ada kenaikan yang dratis pada tanggal 2 ke tanggal 3 Pebruari sebesar 132,1 mm dan pada tanggal 3 Pebruari merupakan hujan maksimum pertama, sedangkan pada tanggal 18 Pebruari terjadi intensitas hujan maksimu kedua sebesar 121 mm. Distribusi intensitas curah hujan dengan penurunan dratis terjadi pada tanggal 5 Pebruari sebesar 112,1 mm yakni pada hujan maksimum pertama, sedangkan penurunan maksimum kedua pada tanggal 19 Pebruari sebesar 99 mm.
pada stasiun curah hujan Depok (6o45’ LS dan 106 o 43’ BT) merupakan wilayah batas tengah DA Ci Liwung dengan permukaan tanah bergelombang sebagai region dataran aluvial, dengan rata-rata ketinggiannya 75 m dpl, mempunyai karakteristik intensitas curah hujannya, yaitu curah hujan tertinggi 132 mm yang merupakan intensitas hujan maksimum pertama dengan peningkatan tebal hujan sebesar 86 mm yang terjadi pada tanggal 3 Pebruari, sedangkan intensitas maksimum kedua pada bulan 18 Pebuari sebesar 104 mm dengan peningkatan tebal hujannya 104 mm. Penurunan intensitas curah hujan maksimum pertama terjadi pada tanggal 4 Pebruari sebesar 81 mm, dan pada penurunan intensintas curah hujan maksimum kedua terjadi pada tanggal 19 Pebruari dengan besar tebal hujannya 73 mm. Jumlah hari hujan yang terjadi di stasiun curah hujan Depok sebanyak 18 hari hujan.
stasiun curah hujan Gunung Mas merupakan hulu kipas aluvial Jakarta dan hulu DA Ci liwung serta mempunyai ketinggian diatas 1000 m dpl dengan permukaan tanahnya bergelombang hingga terjal. Karakteristik curah hujannya, yaitu pada bulan Pebruari tebal/besaran curah hujannya 783 mm dengan dasarian pertama 557 mm, dasarian kedua 205 mm dan dasarian ketiga 21 mm, sedangkan intensitas curah hujan tertinggi 247 mm yang terjadi pada tanggal 5 Pebruari dan intensitas curah hujan terendah 4 mm pada tanggal 15 Pebruari. Jumlah hari hujan yang terjadi di stasiun curah hujan Gunung Mas kabupaten Bogor sebanyak 19 hari hujan (lihat grafik 1)
Pola persebaran region intensitas hujan harian pada bulan Pebruari 2007 di Provinsi DKI Jakarta dari penampang arah Timur ke Barat pada sepanjang garis pantai utara, dengan region dataran aluvial pantai Jakarta, di mana pada masing-masing stasiun curah hujan menyerupai di stasiun Tambun kabupaten Bekasi, stasiun Kedoya dan Cengkareng merupakan pecahan dari wilayah kota Jakarta Barat, ialah sebagai berikut:
secara umum tebal curah hujan pada bulan Pebruari di ketiga stasiun mempunyai penurunan nilai hujan yang fluktuatif yakni Tambun 844 mm, Kedoya 785,6 mm dan Cengkareng 527,2 mm.
stasiun curah hujan Tambun, intensitas curah hujan tertinggi 201 mm pada tanggal 2 Pebruari, dan intensitas hujan terendah 6 mm pada tanggal 26 Pebruari. Jumlah hari hujan pada stasiun ini sebanyak 19 hari hujan, dengan tebal hujan pada dasarian pertama 657 mm, dasarian kedua 109 mm dan dasarian ketiga 78 mm. Fluktuasi peningkatan tebal hujan terjadi pada tanggal 2 Pebruari sebesar 109 mm dan fluktuasi penurunan tebal hujannya 143 mm pada tanggal 3 Pebruari.
stasiun curah hujan Kedoya, intensitas curah hujan tertinggi 185 mm pada tanggal 2 Pebruari, dan intensitas hujan terendah 1 mm pada tanggal 13 Pebruari. Jumlah hari hujan pada stasiun ini sebanyak 17 hari hujan, dengan tebal hujan pada dasarian pertama 697 mm, dasarian kedua 49,5 mm dan dasarian ketiga 39,1 mm. Fluktuasi peningkatan tebal hujan terjadi pada tanggal 2 Pebruari sebesar 84,5 mm dan fluktuasi penurunan tebal hujannya 87,1 mm pada tanggal 3 Pebruari, sedangkan pada tanggal 6 Pebruari terjadi peningkatan intensitas curah hujan maksimum kedua sebesar 135 mm dan menurun kembali pada tanggal 7 Pebruari dengan intensitas curah hujannya 2 mm.
stasiun curah hujan Cengkareng, intensitas curah hujan tertinggi 122 mm pada tanggal 2 Pebruari, dan intensitas hujan terendah 0,1 mm pada tanggal 7 Pebruari. Jumlah hari hujan pada stasiun ini sebanyak 20 hari hujan, dengan tebal hujan pada dasarian pertama 434,7 mm, dasarian kedua 63,2 mm dan dasarian ketiga 29,3 mm. Fluktuasi peningkatan tebal hujan terjadi pada tanggal 2 Pebruari sebesar 61,6 mm dan fluktuasi penurunan tebal hujannya 81 mm pada tanggal 3 Pebruari dengan intensitas curah hujan hariannya mencapai 41 mm (lihat grafik 2).
Proses geomorfologi yang terjadi di DKI Jakarta dan Sekitarnya, merupakan suatu proses fluvial. Penggolongan satuan bentuklahan atas dasar genesa tersebut, menjadi bentuklahan asal proses fluvial, dan disajikan pada tabel 1 berikut ini:
Stratigrafis, kawasan yang termasuk dalam satuan morfologi Dataran Rendah Jakarta mempunyai dua kesatuan-satuan gunung api muda dan satuan aluvium. Satuan gunung api muda ialah bahan-bahan yang dihasilkan Gunung Salak dan Gunung Pangrango yang diendapkan di masa Pleistosen, mencakup hampir dua pertiga Dataran Rendah Jakarta.
Pada pecahan utara Dataran Rendah Jakarta, satuan gunung api muda menghilang, digantikan satuan aluvium yang terbentang dari arah barat, kira-kira di Tanah Abang ke arah timur kira-kira di Cakung (lihat Peta 1. Geomorfologi Jakarta dan Sekitarnya).
Dua region penggenangan periodik, yaitu region A dan region B. Region penggenangan A terjadi pada tahun 2002. Region penggenangan B terjadi lima tahun berikutnya. Mengingat adanya pergeseran kawasan genangan dalam dua waktu yang berbeda, nampaknya tidak gampang untuk memperlihatkan kawasan mana yang akan jadi target genangan pada waktunya (lihat Peta 2. Region Banjir Jakarta).
Meskipun demikian, dengan menyimak kembali permukaan wilayah DKI Jakarta, adanya wilayah endapan disatu pihak dan wilayah abrasi dipihak lain, bergotong-royong cukup menawarkan petunjuk pecahan mana dari wilayah DKI Jakarta yang paling mungkin menjadi target genangan. Batas pemisah kedua wilayah permukaan itu, secara hidrologis diidentifikasikan sebagai batas potential genangan.
Dengan memperhatikan lebih jauh kawasan tampung air (catchment), bentuknya yang menyempit dan sejajar satu terhadap lainnya dengan orientasi utara-selatan, sanggup dimengerti bila sejumlah besar air yang masuk wilayah endapan, akan segera menyebar secara divergen. Hal lain, menyerupai geometri sungai, bangunan yang melintang aliran, menjadikan terhambatnya pedoman dan kemudian akumulasi air, yang pada gilirannya menyebabkan penggenangan banjir di Dataran Rendah Jakarta.
Hampir 50 persen permukaan wilayah DKI Jakarta merupakan wilayah endapan, yang datar keseluruhannya dengan luasan 30.850 Hektar. Wilayah endapan ini terbentang mulai dari Kembangan, Kedoya di pecahan barat DKI Jakarta hingga ke Pulogadung, Penggilingan dibagian timurnya, terdapat di batang utama Kali Krukut, Kali Pesanggrahan dan Kali Buaran.
Wilayah ini datar, lereng 0 – 3%, dengan ketinggian antara 0 – 3 meter diatas permukaan maritim (dpl). Di pecahan tengah, melebar hingga sejauh Monumen Nasional (Monas). Daerah barat Kamal Muara dan kawasan Marunda merupakan pecahan wilayah endapan yang selalu tergenang. Bagian lainnya, dengan permukaan air tanah yang dangkal, secara periodik mengalami genangan banjir.
Permukaan tanggul pantai berupa datar (lereng 0 – 3%), dengan beda tinggi yang tidak terlalu besar, kecuali di kawasan Tegal Alur dan kawasan sebelah utara Jalan Raya Bekasi. Dimana kedua kawasan itu sanggup diperlukan terhindar dari penggenangan lantaran ketinggian ada yang mencapai tujuh meter diatas permukaan laut.
Klasifikasi wilayah endapan tinggi masih datar. Dibagian timur melebar ke utara hingga mendekati Tugurawagatel, Jalan Daan Mogot dibagian barat, membatasi wilayah endapan rendah sekali. Ketinggian berkisar antara 3 – 7 meter dpl. Reentrant wilayah endapan tinggi, tampak menonjol di empat pecahan DKI Jakarta, yaitu Kedoya, Bendungan Hilir, Pisangan Timur dan Gintung. Batas inilah, yang kira-kira sejalan dengan garis kontur tujuh meter sebagai garis potensial genangan. Susunan batuan induk sebagian berupa aluvium pantai., kecuali Tanah Abang, Menteng, Pulomas, dan Kampung Ambon berupa batuan vulkanik muda. Ada bekas alur sungai, menyerupai Kadangsapi, dan Rawarengas dibagian timur wilayah endapan ini.
Pada wilayah abrasi (< 50%) permukaan datar, merupakan sebuah jalur yang sempit, Wilayah abrasi ini intinya menunjuk kepada ujung dataran kipas. Kenampakan wilayah permukaan datar ini, terlihat sebagai sebuah escarpment yang terputus-putus. Sisi yang menghadap ke utara umumnya terjal, sedang yang menghadap ke selatan, landai. Tempat-tempat dimana beda tinggi yang tajam itu nampak, menyerupai Duku Atas, Bukit Duri dan Cakung (Stasiun Kereta Api) dengan batuan induknya berupa batuan vulkanik muda yang secara periodik adakala terkena banjir. begitupula Ci Liwung, yang menjorok hingga Kalisari (di Cijantung) dengan medan permukaan terbentuk dari aluvium sungai. Bagian lain dari permukaan berlereng ini, terbentuk dari batuan vulkanik muda. Air permukaan mengalir lancar. Dengan demikian, permukaan wilayah berlereng, terhindar dari penggenangan banjir.
Di selatan DKI Jakarta, beda tinggi setempat lebih tajam, relatif terhadap dasar lembah yang umumnya sempit-sempit. Ketinggian permukaan wilayah berangasan ini, di atas 25 meter dpl menyerupai di Munjul 75 m dapl (lihat Peta 3 Ketinggian, Peta 4. Lereng, dan Peta 5. Geologi). Pada wilayah ini, tidak terjadi genangan air atau banjir, lantaran besarnya perbedaan topografi (ketinggian dan lereng), dan bentuklahan berupa perbukitan dan escarpment di region gunung api muda dan kipas aluvialnya.
3. Kesimpulan
kondisi peningkatan curah hujan harian di DKI Jakarta pada bulan Februari 2007, sanggup disebabkan diantaranya pembentukan awan pembawa hujan (misal cummulus nimbus) yang terjadi di atas Teluk Jakarta akhir dari proses konvektif dan insiden kondensasi yang kemudian awan tersebut di bawah angin berupa hujan deras ke Daratan Rendah Jakarta semakin berkurang intensitas curah hujan hariannya ke arah selatan dan barat. Dimana Intensitas curah hujan harian yang tinggi sebesar 200 mm sebagai pemicu banjir di Dataran Rendah Jakarta .
ada pergeseran area banjir pada Dataran Rendah Jakarta pada bentuklahan proses fluvialnya, misal pada bentuklahan rawa belakang ke bentuklahan kipas aluvial. Pola sebaran waktu banjir semakin ke selatan Teluk Jakarta relatif durasi lebih singkat dibandingkan di utaranya (makin luas dan dalam) banjirnya.
4. Daftar Acuan
- Bammelen, R.W van. 1949. The Geology of Indonesia. The Hague: Martinus Nijhoff.
- Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2008. Jakarta: Balai Pustaka.
- Sandy, I Made. 1986. Republik Indonesia Geografi Regional. Jakarta: Puri Megarsari
- Turkandi, T, dkk. 1992. Geologi Lembar Jakarta dan Kepulauan Seribu, Jawa. Bandung: Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi
- Verstappen, H.Th. 1953. “Djakarta Bay: A Geomorphological Study on Shore line Developmennt” S-Gravenhage: Drukkerij Trio.
- Verstappen, H.Th. 1983. Applied Geomorphology, Geomorphological Surveys for Environmental Development, Elsivier, Amsterdam.
5. Ucapan Terima Kasih
Peneliti mengucapkan terima kasih kepada bapak Prof. Dr. Sutikno, Prof. Dr. Sudarmadji, M.Eng.Sc dan Prof. Dr. Suratman Worosuprojo, M.Sc sebagai Promotor dan Ko.Promotor pembimbingan dalam penelitian ini berupa pengkayaan konsep ilmu geografi fisik, dan juga sebagian kecil data penelitian draft disertasi peneliti, begitupula ucapan terimakasih kepada Badan Meteorlogi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Pusat dan Dinas Pengairan PU Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta yang telah menawarkan datanya untuk dianalisis secara spasial-temporal dalam perspektif geografi. Pada akhirnya, Peneliti mengucapkan terima kasih kepada bapak Prof.Dr. Otto S.R. Ongkosongo dan Panitia, lantaran makalah ini sanggup di seminarkan pada Seminar Nasional Geomorfologi, di P2O- LIPI Ancol, pada tanggal 9 September 2009, dalam membangun pengetahuan gres bagi peneliti dan pembaca lainnya.