Teori Lengkap Kebudayaan
Sunday, June 2, 2019
Edit
HASIL PRAKONGRES KEBUDAYAAN V Prakongres Kebudayaan V dengan tema “Konsep, Kebijakan, dan Strategi Kebudayaan” dilaksanakan pada tanggal 28 – 30 April 2003 di Ruang Wiswa Sabha, Komplek Kantor Gubernur Bali, diikuti 148 orang penerima dari seluruh Indonesia yang terdiri atas: pemakalah sebanyak 45 orang, wakil-wakil dari propinsi, kabupaten/kota dan penerima umum lainnya dari banyak sekali kalangan Perguruan Tinggi, Asosiasi Keilmuan, Lembaga Swadaya Masyarakat, pemuka, tokoh/pemangku adat. Setelah mendengarkan sambutan Gubernur Provinsi Bali, Bapak Dewa Beratha dan sambutan pembukaan oleh Menteri Kebudayaan dan Pariwisata R.I., Bapak I Gede Ardika, dan setelah mendengarkan presentasi dan diskusi sidang-sidang pleno dan sidang-sidang kelompok, dirumuskan sebagai berikut:
* Lokalitas, Nasionalitas dan Globalitas
* Lokalitas, Nasionalitas dan Globalitas
Integrasi dan Disintegrasi
- Pengalaman dalam proses mengindonesia diwarnai dinamika integrasi dan disintegrasi bangsa. Dominasi pada seni administrasi politik dan ekonomi menghasilkan pemerintahan yang diktatorial dan sentralistik telah menimbulkan konflik yang disintegratif.
- Perlu pengindonesiaan secara terus menerus dengan sebuah “strategi baru” yang menekankan nasion (bukan nasionalisme) dan berwawasan kebudayaan yang tercerahkan.
- Solidaritas sosiologis yang muncul pada budaya terkenal yaitu wacana potensi multikultural dalam ruang-ruang keluarga Indonesia. Pada sisi lain, potensi multikultur itu berada pada banyak sekali konflik etnik, yang menuntut adanya transformasi. Baik melalui pengelolaan konflik dan institusionalisasi konflik secara demokratis. Upaya ini sanggup mengurangi menjalarnya kekerasan maupun etnosentrisme.
Identitas dan Krisis Budaya
1. Transisi Identitas
- Kearifan lokal hendaknya menjadi perhatian pemerintah pusat dan Pemerintah daerah, serta menjadi landasan moral berbangsa. Untuk membangun kembali karakter bangsa, perlu dilakukan tindakan bersama, menyeluruh dan berkesinambungan. (Kasus-kasus perlakuan diskriminatif terhadap suku Dayak, Papua dan Aceh misalnya, dalam penguasaan penggarapan hutan, dan pengelolaan sumber daya hendaknya memperhatikan hak-hak dasar masyarakat tempatan).
- Masyarakat beragam akan berhadapan dengan feodalisme dan konformisme kebudayaan dominan, pelanggaran moral, merosotnya kewibawaan hukum, hancurnya otoritas dan legitimasi kepemimpinan
- Transisi perubahan kebudayaan melahirkan krisis identitas dan situasi heteronomi. Aspek konservatif dan progresif dalam kebudayaan akan mencari keseimbangannya, untuk menjadi teladan bersama. Pengelolaan krisis pada masa transisi sanggup dilakukan melalui pendekatan integratif.
- Agama dan nilai gotong royong, pada pengalaman bermasyarakat, tidak terbukti digunakan sebagai dasar pembentukan masyarakat budaya plural. Perpecahan dalam agama sering terjadi dan gotong royong hanya efektif dalam budaya agraris, namun tidak tahan berhadapan dengan kebutuhan ekonomi
2. Konflik dan Kekerasan
- aSuku-suku bangsa tertentu mempunyai keterikatan yang sangat besar lengan berkuasa kepada tanah dan hutan, religi dan adat serta kebersamaan, namun tersingkir dan terpinggirkan.
- Potensi konflik budaya sanggup dicairkan lewat pendekatan interaktif dan transformatif
Perubahan dan Pemberdayaan
1. Hukum dan Produktivitas
- Pengakuan atas hak intelektual menghindari eksploitasi ekonomi dan moral bagi pemegang hak.
- Mengkaji dan mempertahankan perangkat aturan yang terkait dengan kepentingan umum dalam bidang kebudayaan dan pengetahuan lokal (indigenous knowledge). Undang-undang yang terkait dengan HaKI, tanah, adat dan lingkungan hendaknya mengakomodasi perkembangan dan kepentingan kolektif.
- Kebijakan dalam pelestarian dan proteksi bentang-pandang budaya (cultural landscape) dikembangkan dalam prinsip: masyarakat sebagai pusat pengelolaan, terciptanya prosedur kelembagaan yang bisa menyerap apresiasi dan agresi bersama, adanya santunan legal, serta bersifat berkelanjutan.
- Diperlukan santunan aturan terhadap politik pengembangan kesenian dan industri budaya.
2. Pendidikan
- Mencerdaskan kehidupan bangsa berarti membuat bangsa siap hidup dalam budaya modern dan wahana yang perlu disiapkan yaitu satu sistem pendidikan nasional yang berwawasan budaya
- Pendidikan di sekolah perlu, lantaran tidak semua sanggup diajarkan di rumah, maka sekolah pun perlu diperbaiki sehingga benar-benar membuat siswa sanggup mengalami ‘the joy of discovery’ dan tidak lagi menjadi tempat korupsi (tawar-menawar) rundingan perihal nilai
- Terabaikannya kewajiban membaca buku dan bimbingan mengarang di dunia pendidikan kita selama 60 tahun berakibat lulusan kita tetap ‘rabun membaca dan pincang mengarang.
- Kongres Kebudayaan hendaknya menghasilkan suatu planning agresi yang antara lain berkenaan dengan sistem persekolahan dan pembelajaran sosial.
Butir-butir tersebut di atas yang menyangkut sub tema: A. Konsep, Lokalitas, Nasionalitas dan Globalitas, B. Identitas dan Krisis Budaya, C. Perubahan dan Pemberdayaan telah terangkum dan disimpulkan sebagai berikut:
Perihal Konsep Kebudayaan:
Konsep kebudayaan Indonesia sebagai budaya nasional masih dipertanyakan, bahkan puncak-puncak kebudayaan daerah dalam kaitan dengan budaya nasional perlu diberi relevansi baru. Reformasi memberi impian terjadinya demokratisasi budaya tetapi yang lebih sering terjadi yaitu konflik antara kelompok budaya bukan dalam identitas budaya utuh masing-masing, tetapi dalam variasi unsur-unsur yang terbuka, baik secara lintas budaya maupun lintas generasi.
Perihal Kebijakan Kebudayaan:
Membangun masyarakat multikultur merupakan keniscayaan – namun tak bisa begitu saja diterima dan tidak dilaksanakan secara otoriter. Kebijakan tersebut diupayakan secara sistematis, programatis, terpadu dan berkesinambungan. Tindakan ini sanggup melalui pendidikan multikultur, lewat lembaga-lembaga mediasi interkultural dan kebijakan-kebijakan progresif yang berpihak (affirmative action).
Perihal Strategi Kebudayaan:
Demokratisasi budaya diupayakan terwujud melalui dekonstruksi budaya dominan, menyerupai feodalisme, otoritarianisme dan konformisme. Adalah suatu ironi bahwa di satu pihak dirasakan kerinduan terhadap integritas budaya etik, tetapi di lain pihak dirasakan pula keterpasungan lewat adat dan tradisi, sehingga dibutuhkan reinterpretasi dan reposisi.
Rekomendasi:Dalam penyelenggaraan Prakongres Kebudayaan V di Denpasar belum tercakup beberapa wilayah dan tema-tema yang cukup penting dan perlu diikutsertakan mengingat relevansinya dalam kebudayaan. Rangkaian tema tersebut adalah: ekonomi rakyat, industri budaya (perbukuan, seni terkenal dll.), religi dan spiritualitas, kesetaraan gender, ilmu pengetahuan dan teknologi, bahasa dan simbol serta lingkungan hidup.
SOAL POSISI KEBUDAYAAN DALAM ORGANISASI PEMERINTAHAN
KETIKA sektor kebudayaan yang telah 55 tahun tenang bersatu dengan sektor pendidikan dipindahkan guna bergabung dengan pariwisata menjadi Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (2000), salah satu rujukannya yaitu susunan kabinet di Malaysia. Di sana keduanya disatukan dalam Kementerian Kebudayaan, Kesenian, dan Pelancongan.
RUJUKAN itu kini berubah. Dalam susunan kabinet Malaysia yang gres (27/3/04), kebudayaan dan kesenian dipisahkan dari pelancongan atau pariwisata menjadi Kementerian Kebudayaan, Kesenian, dan Warisan dipimpin oleh Datuk Rais Yatim, sementara Kementerian Pelancongan diterajui oleh Datuk Leo Michel Toyad.
Pemisahan itu disebut sebagai era gres kebudayaan dan pelancongan serta disambut bangga oleh kalangan budayawan dan seniman Malaysia. Mereka berpendapat, kebudayaan mempunyai jadwal yang sama sekali tidak selari (selaras?) dengan pelancongan yang menjual produk untuk tujuan komersial. "Apabila kebudayaan dan pelancongan yang pertentangan ini berada dalam satu kementerian, yang kita lihat yaitu pelancongan," demikian mereka menyimpulkan. Dengan pemisahan itu, berdasarkan mereka, "pertindihan kebudayaan dan pelancongan telah berakhir".
Posisi kebudayaan
Dalam lima tahun terakhir, posisi kebudayaan dalam tata organisasi pemerintahan mengalami masa gonjang-ganjing. Dalam tempo sesingkat itu, di samping harus pindah rumah, juga mengalami empat kali "bongkar-pasang" organisasi. Ketidakstabilan itu mulai muncul semenjak tahun 1998. Ketika itu, dibuat Departemen Pariwisata, Seni, dan Budaya (Deparsenibud), sementara nama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan masih tetap ada. Ini berarti ada dua forum pemerintah yang menangani bidang yang sama. Agar misinya tidak tumpang tindih, disepakati Direktorat Jenderal Kebudayaan menangani hal-hal yang berkaitan dengan pembinaan, pengembangan, perlindungan, dan pemanfaatan kebudayaan (bagian hulu), sedangkan Deparsenibud menangani hal-hal yang berkaitan dengan pemanfaatan kebudayaan untuk pariwisata (bagian hilir). Meskipun demikian, tumpang tindih pengelolaan kebudayaan tidak terelakkan.
Belum ada satu tahun organisasi gres itu berjalan, terjadi perubahan lagi. Nama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan berkembang menjadi Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). Tugas pokoknya mengalami perubahan pula. Kata "kebudayaan" tidak tercantum lagi dalam uraian kiprah pokok Depdiknas. Usaha mempertahankan semoga posisi kebudayaan tetap bersatu dengan pendidikan berhasil. Presiden menyetujui dalam kiprah pokok Depdiknas ditambahkan kata "termasuk kebudayaan" menjadi: "melaksanakan sebagian kiprah pemerintahan dan pembangunan di bidang pendidikan, termasuk kebudayaan". Hanya berjalan beberapa bulan saja, upaya mempertahankan posisi itu akhirnya pupus. Bidang kebudayaan resmi pindah dari Depdiknas bergabung dengan pariwisata menjadi Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (Depbudpar).
Belum mencapai usia satu tahun, status Depbudpar berubah lagi menjadi Kementerian Negara Kebudayaan dan Pariwisata (Menneg Budpar). Perubahan status itu membawa konsekuensi kiprah pokoknya menjadi terbatas pada penyusunan kebijakan saja. Lalu, siapa yang akan menangani pelaksanaan kebijakan di bidang kebudayaan? Untuk mengatasi hal itu dibentuklah Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata (BP Budpar). Nasib forum ini pun tidak terlalu baik. Karena adanya mosi tidak percaya dan sejumlah Asosiasi Industri Pariwisata terhadap kinerja BP Budpar, forum yang gres berusia 1,5 tahun itu pun dibubarkan. Pokok permasalahan kericuhan terletak pada pariwisata. Tetapi, sebagai konsekuensinya bidang kebudayaan harus ikut menanggung. Suatu realitas yang sangat tidak menguntungkan kinerja bidang kebudayaan.
Setelah penggabungan
Sejak awal duduk kasus penggabungan, kebudayaan dan pariwisata telah banyak mendapatkan reaksi. Di samping misi antara keduanya berbeda, alasan penggabungan dinilai tidak transparan. Jika penggabungan itu didasarkan atas kemudahan dalam pemanfaatan kebudayaan bagi pariwisata, bukanlah yang dijadikan daya tarik wisatawan tidak hanya kebudayaan? Bukankah pusaka alam dan pusaka saujana (gabungan alam dan budaya dalam kesatuan ruang dan waktu) Indonesia mempunyai daya tarik yang luar biasa?
Reaksi itu semakin memuncak ketika BP Budpar dibubarkan kemudian digabungkan ke dalam Menneg Budpar. Langkah itu dinilai tidak membuat suasana kerja yang sejuk, tetapi sebaliknya. Sebagai sebuah kementerian negara yang tugasnya terbatas pada "penyusunan kebijakan", ternyata juga menampung kiprah "pelaksanaan kebijakan". Di samping misinya yang rancu, nomenklatur satuan-satuan organisasi bidang kebudayaan juga membingungkan.
Salah satu perubahan nomenklatur yang menerima sorotan yaitu perubahan satuan organisasi Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslitarkenas) menjadi Asisten Deputi Arkeologi Nasional. Dalam rincian tugasnya yang gres tertulis "melaksanakan penyimpangan dan penyusunan kebijakan, pemantauan, analisis, hubungan kerja, penilaian serta penyusunan laporan di bidang arkeologi nasional". Tidak tercantum kiprah pelaksanaan kegiatan penelitian. Tugas gres itu dinilai tidak mencerminkan misinya yang amat penting, yaitu melaksanakan penelitian untuk mengungkap sejarah awal kehidupan insan atau menyingkap misteri sangkan paraning dumadi, menyerupai yang dikatakan oleh Prof Dr Daoed Joesoef pada "Seminar Kebudayaan, Makna, dan Pengelolaannya", tanggal 15 Januari 2004. Di samping itu, nomenklatur deputi pun menimbulkan pertanyaan lantaran di samping terdapat Deputi Pelestarian dan Pengembangan Kebudayaan juga terdapat Deputi Sejarah dan Purbakala serta Deputi Seni dan Film. Bukankah sejarah dan purbakala serta seni dan film merupakan unsur dari kebudayaan?
Kondisi demikian itu menimbulkan keprihatinan sejumlah pemerhati kebudayaan. Sebagai salah satu bentuk keprihatinan itu, penerima Kongres Kebudayaan 2003 yang terdiri atas para budayawan, seniman, cendekiawan, pemangku adat, dan tokoh masyarakat kembali memberikan rekomendasi kepada pemerintah semoga dalam kabinet yang akan tiba dibuat kementerian kebudayaan tersendiri. Usul itu memang bukan hal baru. Sebuah keinginan yang masuk akal dan nrimo itu telah dilontarkan semenjak 4,5 bulan setelah Indonesia merdeka. Dalam Musyawarah Kebudayaan tanggal 31 Desember 1945 di Sukabumi, para penerima sepakat memberikan desakan kepada pemerintah semoga segera dibuat kementerian kebudayaan. Meskipun seruan tersebut telah dibahas dan disampaikan lagi pada Kongres Kebudayaan 1948, 1951, 1954, 1991, dan Kongres Kesenian 1995, hingga kini belum mendapatkan tanggapan.
Bentuk keprihatinan yang lain juga disampaikan 16 hebat arkeologi dan kebudayaan serta 8 wakil organisasi profesi di bidang kebudayaan dengan memberikan petisi kepada presiden pada pertengahan Desember 2003. Dalam petisi tersebut disampaikan dua permohonan. Pertama, semoga pemerintah kembali mengaktifkan unit-unit organisasi pemerintah yang sebelum restrukturisasi telah menangani penelitian arkeologi pada khususnya dan kebudayaan pada umumnya. Kedua, semoga pemerintah tidak menggabungkan urusan training kebudayaan dengan pengembangan pariwisata.
Kinilah saatnya
Secara belakang layar (tidak melalui kongres atau petisi) Malaysia telah mengambil langkah strategis, memisahkan kebudayaan dan pelancongan. Langkah ini menambah jumlah deretan "acungan jempol" bagi Negeri Jiran dalam keberanian dan kejelian membaca perkembangan. Tujuan pemisahan itu sangat cantik, yaitu untuk memartabatkan kebudayaan dengan memberi tanggung jawab kepada sebuah kementerian yang khusus memartabatkan peradaban bangsa dalam memasuki pergaulan global.
Bagaimana halnya dengan Indonesia? Masalah kebudayaan di Indonesia mempunyai dimensi yang lebih kompleks dibandingkan dengan Malaysia. Indonesia yang terdiri atas hampir 500 suku bangsa mempunyai agama, bahasa, dan budaya yang berbeda. Oleh lantaran itu, duduk kasus yang dihadapi tidak hanya terkait dengan benda cagar budaya, kesenian, dan bahasa saja, tetapi juga duduk kasus jati diri bangsa, persatuan bangsa, peradaban Indonesia, serta pengenalan kebudayaan di luar negeri sebagai salah satu upaya mengangkat derajat dan martabat kita sebagai bangsa. Untuk kesemuanya itu dibutuhkan perhatian yang khusus.
Kinilah saatnya untuk menempatkan posisi dan misi kebudayaan dalam sistem pemerintahan secara tepat. Meskipun dalam kampanye pemilu pertama tidak tampak calon presiden atau wakil presiden yang secara lugas memperlihatkan platform pembangunan kebudayaan, kinilah saatnya berani mengambil kebijakan membentuk organisasi kebudayaan tersendiri. Adapun bentuknya bisa departemen, kementerian, atau LPND. Siapa pun yang akan menjadi pemimpin bangsa.
** Teori dan Pengertian Kebudayaan (Cultural)
Kebudayaan (Cultural)
Kata kebudayaan sering kali dikaitkan dengan suatu penghargaan atas benda-benda atau hasil seni dan kreasi insan yang bermutu tinggi dan mempunyai nilai artistik menyerupai misalnya, lukisan, opera, sandiwara dan lain-lain. Akan tetapi dalam ilmu sosiologi kata kebudayaan mempunyai arti lain yang tidak mempunyai kaitan dengan hal-hal menyerupai itu.
Sir Edward Burnet Taylor seorang antropolog bangsa Inggris yaitu orang yang pertama kali mendefinisikan kebudayaan (dalam bukunya Primitive Culture, 1871) sebagai: “that complex whole that includes knowledge, belief, art, morals, law, custom and any other capabilities and habits acquired by man as a member of society”. Secara sosiologis kebudayaan sanggup didefinisikan sebagai pengetahuan, sistem kepercayaan dan keseluruhan tingkah laris yang menjadi ciri anggota suatu masyarakat tertentu yang dipelajari dan diwariskan dari satu generasi ke generasi lainnya. Kadang-kadang kata kebudayaan disamakan dengan istilah “warisan sosial” atau “pola hidup”. Kebudayaan bersifat sosial dan sangat bergantung kepada interaksi manusia. Kebudayaan juga harus dipelajari dan bukan merupakan warisan biologis. Sebab itu hanya masyarakat insan saja yang mempunyai kebudayaan.
1. Komunikasi Simbolik
Salah satu faktor penting yang membedakan insan dari benatang yaitu kemampuan insan dalam berkomunikasi secara sempurna. Kemampuan insan dalam berkomunikasi itulah yang mengakibatkan mereka bisa menyebarluaskan kebudayaan dari suatu generasi ke generasi berikutnya dan yang mengakibatkan pula mereka bisa bertahan untuk hidup terus.
Manusia sanggup berkomunikasi dengan menggunakan simbol-simbol yang terdiri dari dua macam. Yang pertama lazim disebut sebagai simbol referential (denotative) yakni simbol yang memperlihatkan referens tertentu menyerupai contohnya mesin tik, meja, dingklik dan lain-lain. Yang kedua yaitu simbol yang mempunyai sifat expressive (conotative) yang sering mempunyai makna yang jamak dan abstrak, menyerupai contohnya musik, bentuk tarian dan lain-lain.Tetapi pada umumnya insan berkomunikasi dengan menggunakan sekelompok simbol yang kita sebut “bahasa”. Yakni dalam bentuk “bahasa percakapan” (spoken language) yang merupakan pola-pola bunyi-bunyian yang mengandung arti tertentu. Disamping itu terdapat juga cara berkomunikasi dengan menggunakan “bahasa tertulis” (written language) yakni pencatatan dengan goresan pena yang mendorong ke arah pelestarian kebudayaan tersebut. Dan yang tidak kalah pentingnya yaitu “bahasa isyarat” (body language) yaitu suatu ungkapan atau pernyataan melalui isyarat atau gerakan-gerakan tubuh. Dengan percakapan insan bisa mengajarkan dan menurunkan kebudayaan dari suatu generasi ke generasi berikutnya. Dengan bahasa goresan pena insan bisa melestarikan apa-apa yang dianggap penting, menyerupai contohnya resep-resep obat-obatan, teknik bercocok tanam, cara membuat peralatan dan sebagainya.
Manusia berpikir atas dasar sekelompok simbol-simbol atau bahasa tetapi apa yang ia pikirkan ditentukan oleh budayanya yakni melalui bahasa itu. Benyamin Whart, spesialis bahasa, menyampaikan bahwa bahasa menentukan realitas. Sebagai contoh didalam bahasa Inggris ada “time tense” atau pemisah waktu yakni dengan menggunakan waktu lampau, waktu kini dan waktu yang akan datang. Struktur bahasa Indian Hopi, kata Whart, lebih menggambarkan kenyataan yang ada dan tidak memperhatikan duduk kasus waktu. Sebagai contoh untuk memperlihatkan suatu tindakan, bahasa Indian Hopi selalu menyebut sifat dari pembuktian untuk memperlihatkan apakah tindakan itu suatu pengalaman langsung, suatu kepercayaan atau suatu generalisasi. Dalam bahasa Inggris kita sanggup berkata: “The boy ran down the hill” (waktu lampau), sedangkan bahasa Indian Hopi menggunakan “wari” (suatu petunjuk bahwa “lari-nya” itu telah terlihat secara langsung dan tidak memperlihatkan bahwa “lari-nya” itu telah terjadi (past tense) atau apakah “lari-nya” itu sedang terjadi (present tense). Nampaknya perhatian selektif dalam suatu bahasa menggambarkan pengalaman dan duduk kasus yang unik dalam suatu masyarakat. Kata “snow” bagi orang Inggris hanya menggambarkan satu macam obyek pengamatan, tidak perduli apakah salju itu berbentuk pasir, berbentuk kapas atau berbentuk karang. Tetapi bagi kebudayaan Eskimo “salju” itu sanggup digambarkan dengan kata atau sifat yang berbeda-beda. Hal ini mungkin memperlihatkan bahwa bagi orang Eskimo penjenisan apa yang disebut salju itu sangat penting dalam mempertahankan hidup mereka. Sebab itu melalui bahasa setiap kebudayaan menghasilkan banyak sekali macam konsep-konsep perihal realitas bagi para anggota masyarakatnya. Kaprikornus tidak perlu heran bahwa beberapa kata tidak sanggup diterjemahkan kedalam bahasa lain.
2. Sikap dan Nilai Budaya
Sikap yaitu suatu keadaan yang mengakibatkan seseorang bereaksi atau berprilaku tertentu apabila diberikan suatu rangsangan tertentu. Sedangkan nilai (Values) yaitu pertimbangan-pertimbangan atas suatu kehendak/keinginan atau pertimbangan-pertimbangan perihal pentingnya sesuatu. Dalam hal ini sikap sangat tergantung pada sistem nilai. Apabila kita menilai “hak milik” sebagai sesuatu yang penting, maka kita selalu akan berusaha untuk mempunyai sesuatu.
Baik sikap maupun sistem nilai, keduanya tidak bersifat konkrit, tetapi merupakan ide-ide atau sistem kepercayaan yang ditentukan dengan jalan mengamati prilaku semua manusia. Sikap dan nilai-nilai keduanya ditentukan oleh kebudayaan dan oleh lantaran itu akan berbeda-beda antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya. Di Amerika Serikat, sanggup masuk satu team football di suatu akademi tinggi dinilai sangat tinggi. Akan tetapi di negara lain permainan football yang mengutamakan tabrak kekuatan tubuh mungkin tidak disukai.
Sikap dan nilai diperoleh berdasarkan interaksi dengan sesama manusia. Akan tetapi sering terjadi bahwa pengalaman interaksi dengan insan lain sangat terbatas, sehingga menimbulkan pandangan sempit yang dikenal dengan istilah “stereotypes” (penyamarataan). Beberapa contoh, contohnya di Amerika Serikat, pegawai negeri di “stereotype” kan sebagai pemalas, tidak mempunyai kompentensi; mereka tidak sanggup hidup terus kalau mereka bekerja diluar pemerintah. Orang Indian juga sering di “stereotype”kan sebagai pemabuk, kotor; orang Negro di “stereotype” kan sebagai hitam, malas, setengah buta aksara dan berbibir tebal.
Stereotypes mungkin sering tidak benar, tetapi sanggup mengatur pola prilaku, lantaran stereotype memberi cara (alternatif) bagaimana mengantisipasi prilaku orang lain. Orang putih di Amerika Serikat sangat mengharapkan semoga orang Black mengikuti mereka dalam berprilaku. Kadang-kadang ada orang yang baik tetapi di cap nakal, maka orang itu terpaksa harus berprilaku sebagaimana cap (label) yang diberikan kepadanya.
3. Norma-Norma Kebudayaan
Norma yaitu aturan-aturan tingkah laris yang memutuskan bagaimana insan harus berprilaku dalam suatu keadaan tertentu. Bagaimana siswa harus berprilaku di dalam kelas tatkala guru sedang mengajar. Dengan kata lain norma kebudayaan yaitu suatu standar konkrit perihal apa yang diharapkan atau disetujui oleh kelompok insan mengenai pikiran-pikiran atau prilaku mereka. Norma berbeda-beda antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya. Apa yang dianggap norma dalam suatu masyarakat belum tentu merupakan norma di masyarakat lainnya. Orang yang dibesarkan di Jepang diharapkan sanggup makan dengan alat yang disebut “chopstick”. Tetapi kalau dibesarkan di Amerika Serikat diharapkan sanggup makan dengan menggunakan sendok, garpu dan pisau. Bagaimana di Jawa Barat? Kira-kira anda diharapkan sanggup makan dengan tangan. Norma berfungsi sebagai prilaku standard yang akan membawa keteraturan dan keserasian. Di Indonesia sudah terbiasa orang berjalan di sebelah kiri, sebaliknya di Amerika Serikat orang sudah terbiasa berjalan di sebelah kanan jalan. Kebiasaan berjalan di Indonesia sudah tentu jangan digunakan di Amerika Serikat. Bila anda kebetulan jalan-jalan disalah satu jalan di kota New York dengan membawa kebiasaan jalan di Indonesia akan sanggup bertabrakan terus.
Norma juga sering mempunyai sifat komplementer, artinya saling mengisi antara yang satu dengan yang lainnya. Keadaan menyerupai ini sering disebut normative (normative system). Akan tetapi lantaran norma yang berbeda-beda sering berlaku dalam kelompok-kelompok yang berbeda dalam satu masyarakat, maka sering terjadi konflik. Beberapa waktu yang lampau (bahkan sekarangpun masih berlaku di beberapa pedesaan) perempuan selalu membiarkan laki-laki (suami) berada di depan bila sedang berjalan berkelompok. Tetapi dikalangan anak muda jaman kini biasanya laki-laki akan membiarkan perempuan berada di muka bila sedang berjalan berkelompok.
Norma dalam beberapa hal yaitu sama atau menyerupai dengan sikap dan nilai-nilai. Keduanya bersikap abnormal dan tidak sanggup dilihat kecuali bila kita mengamati prilaku insan dalam kondisi yang terpisah. Disamping itu norma juga mengurangi kiprah pengambilan keputusan para individu. Kita tidak perlu lagi menentukan apakah menggunakan baju atau tidak kalau berpergian atau pergi tidur.
4. Variasi Norma-Norma
Seorang hebat ilmu sosiologi bangsa Amerika, William Graham Summer, didalam bukunya Folkways (1907) membedakan tiga macam norma yang penting. Yang pertama ia sebut “folkways” yakni adat istiadat atau kebiasaan berprilaku yang bersifat tradisionil. Folkways yaitu merupakan prilaku yang disenangi atau yang paling disarankan. Dalam upacara adat perkawinan mempelai laki-laki dan perempuan selalu mengenakan pakaian yang sesuai dengan daerahnya. Pelanggaran terhadap adat istiadat tidak menimbulkan hukuman, yang mungkin ada yaitu “cemoohan”. Adat istiadan atau folkways merupakan bencana yang tidak direncanakan, timbulnya adakala hanya secara kebetulan. Menghadiri upacara perkawinan menggunakan baju batik sudah sanggup diterima oleh sebagian anggota masyarakat di pulau jawa. Yang kedua yaitu “mores” yaitu kebiasaan-kebiasaan yang membawa implikasi penting bagi kehidupan para anggota masyarakat. Mores memisahkan mana yang benar mana yang salah. Membunuh sesama insan yaitu salah, meskipun jaman dahulu membunuh musuh dibenarkan. Diwaktu perang membunuh masih dianggap perbuatan yang benar. Pelanggaran terhadap meres sanggup dijatuhi eksekusi berat. Sebab itu insan wajib mentaati mores. Yang ketiga yaitu “hukum” (laws) yakni mores yang telah dirumuskan menjadi peraturan-peraturan oleh pihak yang mempunyai wewenang atau kekuasaan (pemerintah). Hukum bersifat memaksa, artinya setiap warga masyarakat wajib mengetahui dan mentaatinya. Kadang-kadang aturan tidak sejalan dengan mores. Berdiri telanjang dimuka umum mungkin tidak dianggap melanggar hukum, tetapi terang melanggar mores, lantaran melanggar kepantasan.
5. Perbedaan dan Persamaan Kebudayaan
Ada perbedaan dalam kebudayaan antara satu masyarakat dengan masyarakat lain, masing-masing sejalan dengan sistem kepercayan, sistem nilai dan norma-norma yang berlaku. Sebagai contoh, didalam setiap masyarakat selalu tersedia sekumpulan norma yang mengatur sistem perkawinan atau sistem pendidikan anak-anak. Dibeberapa masyarakat berlaku norma perkawinan yang monogamus (seorang suami untuk seorang istri), dilain masyarakat berlaku norma perkawinan yang poligamus (seorang suami untuk lebih dari satu orang istri). Dibeberapa masyarakat terdapat kebebasan menentukan calon pasangan hidup, sedangkan dimasyarakat lain calon pasangan hidup telah ditetapkan oleh orang tanya masing-masing. Disatu masyarakat kekuasaan keluarga berada dipihak laki-laki (Batak), dilain masyarakat kekuasaan berada dipihak perempuan (Minangkabau).
Banyak alasan yang menimbulkan perbedaan-perbedaan tersebut, antara lain adalah: (1) adanya perbedaan tingkat perkembangan/pertumbuhan masyarakat, contohnya cepat atau lambatnya suatu masyarakat yang tradisionil berkembang menjadi masyarakat moderen; (2) adanya perbedaan geografis, contohnya bagi orang Eskimo tidak memungkinkan membangun rumah menyerupai di Indonesia; (3) adanya perbedaan dalam sejarah pertumbuhan suatu masyarakat misalnya, setiap masyarakat mempunyai cara-cara yang baik untuk memenuhi kebutuhan biologisnya (misalnya pangan), akan tetapi cara-cara yang mana yang akan diambil dan dibudayakan tergantung keadaan, bahkan sering terjadi secara kebetulan saja.
6. Organisasi Kebudayaan
Kebudayaan disusun melalui cara yang sistematis semoga para anggota masyarakat sanggup saling berinteraksi secara efisien. Salah satu sifat kebudayaan yang biasa disebut “cultural trait” yaitu yang merupakan unit terkecil dari suatu kebudayaan. Cultural trait sanggup berbentuk suatu benda, suatu isyarat atau kata-kata. Kuku yaitu cultural trait, lantaran ia tidak sanggup diuraikan lagi (mungkin sanggup juga dipecah-pecah menjadi bentuk lain, tetapi apa namanya?). Kumpulan dari pada cultural trait biasanya disebut sebagai suatu komplek kebudayaan (cultural complex). Bersalaman mungkin sanggup dianggap sebagai suatu cultural trait; tetapi bila bersalaman dihubungkan dengan banyak sekali prilaku, contohnya bersalaman untuk “sungkem” (bahasa jawa) bersalaman sebagai “selamat jalan” bagi yang mau pergi, maka bersalam-salaman tersebut sanggup dianggap komplek. Aspek dari pada komplek budaya tersebut menjadi penting lantaran salah satu komplek tersebut saling berkaitan satu sama lain. Gabungan beberapa komplek kebudayaan biasa dikenal dengan istilah “cultural pattern” atau pola kebudayaan. Beberapa diantara hebat sosiologi menanamkan pola kebudayaan sebagai institution (kelembagaan). Kaprikornus forum yaitu merupakan suatu sistem hubungan sosial yang mempunyai pola-pola tertentu untuk dijalankan oleh insan sebagai anggota di dalamnya.
Kebanyakan hebat sosiologi mendefinisikan kelompok folkways, mores dan aturan sejalan dengan kegiatan-kegiatan suatu kelembagaan (institution) dalam masyarakat. Ada lima macam bentuk kelembagaan dalam ilmu sosiologi, yaitu: (1) Keluarga (family); (2) Agama (relegion); (3) Pemerintah (goverment); (4) Pendidikan (education) dan (5) Sistem perekonomian (the economic system). Pentingnya kelembagaan-kelembagaan itu meningkat melalui banyak sekali tata cara dalam menjalankan ibadah keagamaan, upacara-upacara adat/tradisi dan perayaan-perayaan yang kesemuanya itu berfungsi sebagai penunjang terhadap kumpulan-kumpulan norma yang menjadi dasar kehidupan kelembagaan tersebut. Dalam kebudayaan suatu masyarakat juga sering dikenal istilah “sub-culture” yakni kelompok kebudayaan kecil yang menginduk kepada kebudayaan yang besar lantaran ia masih mengakui sejumlah norma kebudayaan induknya. Namun sub-culture dianggap berbeda lantaran ia mempunyai norma-norma tersendiri. Contoh, dalam masyarakat Amerika Serikat golongan menengah yaitu yang terbanyak jumlahnya (mayoritas). Mereka menanamkan nilai-nilai tertentu yang dianggap amat penting bagi kehidupan, menyerupai kerja keras, disiplin pribadi, time is money dan sebagainya. Akan tetapi anggota-anggota sub-culture (orang-orang Black, misalnya) menolak sebagian dari nilai-nilai tersebut. Para anggota sub-culture tidak selalu terisolir dari masyarakat yang lebih besar lantaran dalam banyak sekali hal mereka masih saling berinteraksi.
Disamping sub-culture, dalam suatu masyarakat sering terdapat kelompok pendobrak yang disebut “counter culture” yakni mereka yang menentang atau menolak norma-norma kelompok masyarakat yang berkultur dominan. Namun demikian timbulnya sub-culture atau counter-culture merupakan tanda-tanda yang kurang baik bagi kehidupan suatu masyarakat. Oleh lantaran itu perlu dicari cara atau jalan yang sanggup memperbaiki keadaan. Cultural integration atau integrasi budaya merupakan cara-cara terpadu dan fungsionil yang berlaku bagi seluruh sifat dan bentuk (trait dan complex) dalam suatu kebudayaan. Ciri-ciri dari cultural integrated (kebudayaan terpadu) yaitu adanya sifat yang saling berkaitan erat, sehingga perubahan dalam satu sifat akan menimbulkan perubahan pada sifat tertentu yang pada akhirnya akan merubah kebudayaan secara menyeluruh. Contoh, di Amerika Serikat terdapat beberapa kelompok suku Indian yang berasal dari Great Plain. Sebagai jawaban kekalahan mereka melawan tentara Amerika, mereka ditampung dalam kamp penampungan. Mereka terpaksa dipisah dari “bison” (sejenis kerbau) yang merupakan sumber kuliner tradisionil. Hal ini bukan saja mengacaukan kebiasaan-kebiasaan mereka dalam memperoleh makanan, tetapi juga mengganggu sistem kepercayaan dan sistem sistem nilai yang mereka agungkan. Berburu bison bagi mereka bukan sekedar suatu cara mencari nafkah, tetapi merupakan unsur pendidikan, terutama bagi anak-anaknya. Berburu berarti menguji kepribadian dan keberanian yang sudah menjadi tata cara hidup mereka.
7. Relativitas Kebudayaan
Karena banyaknya variasi kebudayaan antara masyarakat yang satu dengan yang lainnya maka sering terjadi bahwa apa yang merupakan larangan di suatu masyarakat merupakan perbuatan yang dibenarkan pada masyarakat lainnya. Contoh, dalam budaya orang Eskimo ada suatu norma yang mengharuskan istrinya berafiliasi sex dengan temannya sebagai suatu penghormatan. Perbuatan menyerupai itu di Indonesia yaitu suatu pelanggaran norma dan dianggap sebagai zina. Adanya relativitas budaya tidak berarti bahwa unsur moralitas diabaikan, lantaran setiap masyarakat mempunyai konsep-konsep perihal apa yang dianggap benar dan apa yang dianggap salah. Kekhususan didalam paugeran itulah yang bersifat relatif. Sebab itu yaitu salah bila kita menilai pada prilaku dan budaya suatu masyarakat atas dasar standard moralitas masyarakat kita.
8. Ethnocentrism
Ethnocentrisme yaitu tendensi atau kecenderungan yang membudaya yang sukar dihindarkan dan bersifat universil yang menganggap kebudayaan suatu masyarakat lebih baik dari pada kebudayaan masyarakat lain. Membudaya lantaran anggapan menyerupai itu dipelajari secara formil melalui banyak sekali lembaga: keluarga, sekolah (kita umat Islam telah dididik bahwa agama Islam yaitu agama yang benar dan lurus. Orang India dididik bahwa agama Hindu yaitu agama yang benar, dsb); dan juga dipelajari secara informal, contohnya melalui homor-humor: Orang Parahiyangan halus budi bahasanya, orang Batak kasar, dsb. Universal lantaran masyarakat lain juga mempunyai anggapan yang sama terhadap masyarakat kita menyerupai halnya anggapan kita terhadap masyarakat lain. Tidak sanggup dihindari lantaran kita telah diexpose terhadap budaya semenjak kita lahir. Sistem kepercayaan, sistem nilai dan norma telah mendarah daging disanubari tiap anggota masyarakat dan kita tidak pernah mempertanyakan hal itu. Beberapa penelitian perihal ethnosentrisme memberikan banyak keterangan yang cukup meyakinkan. Adorno dkk., dalam studinya “Authoritarian Personality” menemukan bahwa ethnosentrisme cenderung “bias” terhadap semua tipe kelompok (Negro, Yahudi, orang asimg, dll.). Altus dan Tabejian (Journal of Abnormal and Social Psychology, 48: 1953) menemukan bahwa orang-orang bau tanah yang berpendidikan rendah dan yang kurang mengikuti kejadian-kejadian dalam masyarakat dan sangat taat kepada agama mempunyai kecenderungan ethnosetrisme yang tinggi.
Disamping aspek yang negatif, sudah tentu ada juga kebaikan atas pandangan yang ethnosentris tersebut. Aspek yang baik dari ethnosentrisme antara lain yaitu bahwa ethnosentrisme menunjang “status quo”, lantaran itu sanggup mencegah perubahan-perubahan yang mungkin kurang baik kesudahannya bagi masyarakat. Disamping itu ethnosentrisme juga meningkatkan loyalitas kesatuan dan moral yang tinggi dalam suatu masyarakat, lantaran itu sanggup memperkokoh persatuan. Pengaruh negatif dari ethnosentrisme antara lain yaitu menghabat perubahan-perubahan yang mungkin sangat penting bagi perkembangan dan pertumbuhan masyarakat itu sendiri. Ethnosentrisme juga mencegah saling pengertian dan kolaborasi antar bangsa. Ethnosentrisme juga menghambat asimilasi dan akulturasi kelompok-kelompok minoritas dalam masyarakat.
9. Goncangan Budaya (Culture Shock)
Bagi individu-individu yang mempunyai sifat terbuka dalam mendapatkan kebudayaan luar tetapi hidup dalam masyarakat yang tidak menganut keyakinan dan kepercayaan yang sama, maka keadaan menyerupai itu sanggup dikatakan sebagai goncangan budaya. Meskipun sebagian besar anggota masyarakat enggan untuk melepaskan adat istiadat yang tradisionil, sistem nilai dan sistem kepercayaan yang ada namun perubahan-perubahan dalam suatu masyarakat tidak dapt dihindarkan. Change is normal untuk setiap masyarakat, kata para ahli. Hanya cara dan kadar perubahannya yang tidak sama. Tantangan-tantangan terhadap perubahan muncul manakala terdapat penyimpangan-penyimpangan yang besar terhadap nilai-nilai dan adat istiadat tradisionil yang hakiki.
Diantara faktor-faktor yang mengakibatkan terjadinya perubahan sosial budaya antara lain adalah: kemajuan teknologi, lingkungan fisik, perubahan penduduk dan kebutuhan manusia. Teknologi merupakan penyebab paling penting. Perkembangan dan perubahan dalam bidang teknologi umumnya terjadi di negara-negara maju dan juga negara yang sedang berkembang. Semakin cepat perubahan teknologi terjadi maka perubahan-perubahan sosial budaya harus disesuaikan. Bila tidak maka akan muncul ketimpangan yang akan merugikan masyarakat itu sendiri. Perubahan lingkungan (fisik) secara tiba-tiba jarang terjadi (misalnya gempa bumi). Akan tetapi perubahan sistem hidrologis di dunia ini yang berjalan secara perlahan-lahan pada akhirnya akan membawa perubahan sosial budaya bagi masyarakat. Peristiwa kelaparan yang terjadi di Etiopia akhir-akhir ini memperlihatkan betapa ekspresi dominan kemarau sanggup merubah sistem sosial budaya suatu masyarakat. Perubahan jumlah penduduk juga membawa perubahan terhadap kehidupan sosial budaya. Keluarga Berencana yang pada masa almarhum Presiden Soekarno dihentikan oleh pemerintah, kini sangat dianjurkan. Para tokoh agama (ulama) yang sebelumnya menentang KB kini harus menentukan sikap lain demi kesejahteraan masyarakat Indonesia. Kebutuhan insan juga merupakan faktor yang sanggup merubah sosial budaya masyarakat. Kebutuhan anggota masyarakat terhadap energi (minyak) merubah kebiasaan-kebiasaan memasak diantara anggota masyarakat. Sifat minyak yang berbeda dengan kayu bakar membuat bentuk atau cara gres perihal bagaimana menyiapkan santapan bagi para anggota keluarga. Bentuk rumah yang dahulu dilengkapi dengan dapur khusus kini berubah. Bahkan dengan semakin meningkatnya kebutuhan para anggota masyarakat terhadap kuliner yang sanggup cepat disajikan, mungkin “dapur” dalam rumah akan berubah fungsinya bukan tempat memasak tetapi sekedar tempat menghangatkan. Gejala budaya “jajan di warung” sudah mulai meluas dikalangan ibu-ibu yang bekerja di kantor-kantor atau pabrik-pabrik. Apakah perubahan tersebut baik atau jelek rasanya masih terlalu pagi untuk mengatakannya.
10. Cultural Lag
Budaya insan terdiri dari unsur materi dan non materi. Telah sering diperdebatkan bahwa perubahan-perubahan hanya akan terjadi pada budaya materi saja. Masyarakat mungkin akan mendapatkan perubahan-perubahan dalam teknologi (sebagian dari budaya materi), tetapi sedikit kemungkinan bahwa mereka mau merubah sistem kepercayaannya, sistem nilainya, norma-normanya atau organisasi sosialnya. Hal tersebut menimbulkan celah perbedaan yang disebut “cultural lag”, yakni manakala unsur-unsur non materi dari pada budaya mencoba mengimbangi perubahan yang terjadi pada unsur materi.
*** Hubumgan Kebudayaan Antara Suku-Bangsa dan Golongan di Indonesia
1. Umum
Sifat beragam dari bangsa Indonesia, disamping merupakan pujian hendaknya pula dilihat bahwa suatu negara dengan keanekaragaman suku-bangsa dan kebudayaan mengandung potensi konflik. Oleh karenanya guna menuju suatu integrasi nasional Indonesia yang kokoh, terdapat banyak sekali hambatan yang harus diperhatikan.
Dalam rangka mempersatukan penduduk Indonesia yang beranekawarna, Koentjaraningrat (1982:345-346) melihat ada empat duduk kasus pokok yang dihadapi, ialah (a) mempersatukan aneka-warna suku-bangsa, (b) hubungan antar umat beragama, (c) hubungan mayoritas-minoritas dan (d) integrasi kebudayaan di Irian Jaya dengan kebudayaan Indonesia. Diantara sekitar 210 juta orang penduduk Indonesia cukup umur ini, sulit diketahui secara pasti distribusi jumlah dari masing-masing suku-bangsa. Terakhir kalinya, Sensus Penduduk di Indonesia yang memuat items suku-bangsa yaitu yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda; yang hasilnya dimuat dalam Volkstelling (1930).
Sensus Penduduk Indonesia yang dilakukan pada 1970 dan dalam dasawarsa berikutnya, tidak mencantumkan items suku-bangsa. Mengingat hal tersebut, ada kesulitan untuk mengetahui secara pasti laju pertumbuhan penduduk berdasarkan suku-bangsa dan distribusi mereka. Sekalipun demikian, ada pula banyak sekali perjuangan untuk mengetahui hal di atas, antara lain pernah dicoba oleh Pagkakaisa Research (1974), antara lain disebutkan bahwa suku-bangsa bahwa Jawa mencapai 45,8 % dari total penduduk Indonesia pada 1974 (sekitar 120.000.000 orang). Berbagai distribusi penduduk Indonesia berdasarkan suku-bangsa ialah Sunda (14,1 %), Madura (7,1 %), Minangkabau (3,3 %), Bugis (2,5 %), Batak (2,0 %), Bali (1,8 %), 24 suku-bangsa lainnya (20,3 %) dan orang Cina (2,7 %). Sementara itu, di kalangan para pakar masih terdapat perbedaan dalam mengklasifikasikan penduduk di Indonesia ke dalam suatu konsep suku-bangsa. Koentjaraningrat (1982:346-347) menilai bahwa berapakah sesungguhnya jumlah suku-bangsa di Indonesia, hingga dikala kini masih sukar ditentukan secara pasti. Hal ini disebabkan ruang lingkup istilah konsep suku-bangsa sanggup mengembang atau menyempit, tergantung subyektivitas.
Sebagai contoh, paling sedikit di Pulau Flores terdapat empat suku-bangsa yang berbeda bahasa dan adat-istiadatnya, ialah orang Manggarai, Ngada, Ende-Lio dan Sikka. Namun kalau mereka ada di luar Flores, mereka biasanya dipandang oleh suku-bangsa lainnya atau mereka mengidentifikasikan dirinya sebagai satu suku-bangsa, ialah Flores.
Hal ini juga terjadi dikalangan suku-bangsa Dayak di Pulau Kalimantan. Menurut H.J.Malinckrodt, orang Dayak diklasifikasikan ke dalam enam rumpun atau stammen ras, ialah Kenya-Kayan-Bahau, Ot Danum, Iban, Moeroet, Klemantan dan Poenan. Selanjutnnya jika diamati lebih lanjut, di kalangan orang Dayak Kalimantan ada 405 suku-bangsa yang saling berbeda satu dengan lainnya. Jika mereka berada di luar Pulau Kalimantan, orang lain menyebut mereka dan mereka sendiri mengidentifikasikan dirinya sebagai suku-bangsa Dayak, akan tetapi di Kalimantan sendiri antara satu dengan yang lain merasa mempunyai perbedaan. Demikian pula hanya di Irian Jaya, berdasarkan penelitian dari Summer Language Institute, paling tidak terdapat 252 suku-bangsa yang masing-masing menggunakan bahasa yang berbeda. Mengingat hal tersebut maka, Koentjaraningrat memandang perlu upaya pendifinisian konsep suku-bangsa di Indonesia secara ilmiah, antara lain dengan mengambil beberapa unsur kebudayaan sebagai indikator yang sanggup berlaku bagi semua "suku-suku-bangsa" yang ada di Indonesia.
Upaya untuk memahami keanekaragaman suku-bangsa dan kebudayaan di Indonesia yaitu sekaligus berpretensi pula mengungkapkan banyak sekali bentuk interaksi sosial yang terjadi dikalangan suku-bangsa yang saling berbeda kebudayaannya. Dengan mempelajari proses interaksi sosial yang terjadi, sekaligus diharapkan akan memberikan pengetahuan perihal proses-proses sosial di kalangan mereka sehingga akan diketahui segi dinamis dari masyarakat dan kebudayaan.
Berbagai perubahan dan perkembangan masyarakat yang merupakan segi dinamis yaitu jawaban interaksi sosial yang terjadi diantara para warganya, baik orang perorangan, orang dengan kelompok maupun antar kelompok manusia. Kerjasama (cooperation), persaingan (competition), pertikaian (conflict), fasilitas (acomodation), asimilasi (assimilation), akulturasi (acculturation) dan integrasi (integration) merupakan proses-proses sosial yang perlu diperhatikan dalam rangka studi hubugan antar suku-bangsa, terutama untuk mempercepat terwujudnya integrasi nasional Indonesia yang kokoh.
2. Prejudice dan Stereotype Ethnic
Dalam rangka upaya menuju integrasi nasional Indonesia yang besar lengan berkuasa maka anekawarna suku-bangsa di Indonesia itu saling berinteraksi, dan Sebagai konsekwensi dari suatu interaksi sosial yang timbul maka seringkali muncul citra subyektif mengenai suku-bangsa lain. Oleh lantaran itu, dalam kehidupan suatu suku-bangsa tertentu sehari-harinya dijumpai citra subyektif mengenai suku-bangsa lain atau yang lazim disebut dengan stereotipe etnik.
Sementara ini stereotipe etnik, tidak selalu berupa citra yang bersifat negatif (akan tetapi biasanya ini yang sering muncul) melainkan ada kalanya pula citra yang bersifat positif. Ada penilaian bahwa stereotipe etnik yang negatif akan menghambat interaksi social dalam kehidupan masyarakat yang multi etnik, yang pada gilirannya akan sanggup pula mengakibatkan terhambatnya proses menuju integrasi nasional. Untuk memahami bagaimanakah posisi dan hubungan seorang individu dalam konteks kelompoknya, Herbert M.Blalock (1976:2) pernah mengusulkan dua model pendekatan, ialah secara mikro dan makro. Secara mikro, individu digunakan sebagai pusat penelitian terutama yang berkaitan dengan banyak sekali hal latar belakang timbulnya bentuk-bentuk prejudice (prasangka) maupun stereotipe etnik. Selanjutnya dalam pendekatan secara makro, lebih dipusatkan terhadap studi mengenai duduk kasus diskriminasi dan kepemimpinan. Berbagai hal yang erat kaitannya dengan itu antara lain mengenai bentuk-bentuk diskriminasi serta duduk kasus status dan peranan ditempatkan sebagai unit analisis yang penting.
Disadari sepenuhnya oleh Blalock (1976:16) bahwa sering terjadi ketidak-jelasan dalam menafsirkan arti kata diskriminasi; apakah ditempatkan sebagai proses (discriminatory behavior) ataukah sebagai hasil dari suatu proses. Oleh karenanya studi perihal diskriminasi, unit analisisnya harus lebih dipusatkan kepada kelompok daripada perorangan. Hal ini antarala disebabkan oleh kesukaran dalam mengukur 'derajad diskriminasi'; sama halnya dengan mengukur favorable sebagai lawan unfavorable. Selanjutnya, dalam salah satu pembatasannya perihal diskriminasi F.H.Hankins (1976:16) mengartikannya sebagai unequal treatment of equals. Ada beberapa aspek yang terkandung dalam pengertian prejudice yang harus diperhatikan (Blalock, 1976:2; Martin dan Franklin, 1973:144), antara lain rasa gelisah (anxiety), rasa frustrasi, sifat otoriter, kekakuan (rigidity), rasa terasing (alienation), sifat kolot, konvensional dan yang berkaitan dengan kedudukan. Berbagai aspek tersebut menempel dalam struktur masyara-kat, karenanya untuk memahami perlu dikaitkan dengan banyak sekali hal yang melatar belakanginya, contohnya pendidikan, pekerjaan, pekerjaan, kepercayaan, mobilita vertikal dan horizontal seseorang. Selain itu, harus disadari pula bahwa ada kesulitan untuk menentukan latar belakang yang manakah merupakan penentu utama bagi timbulnya suatu prejudice.
Dalam goresan pena Blalock (1976:3-10) dijelaskan bahwa dari hasil penelitian John D. Photiadis dan Jeane Bigger dikalangan 300 orang cukup umur di Dakota Selatan terbukti bahwa authoritarianism berkorelasi tinggi dengan timbulnya prejudice. Akan tetapi jika hasil penelitian tersebut dibandingkan dengan yang dilakukan oleh peneliti lainnya dengan indikator yang berbeda maka hubungan authoritarianism yang tinggi itu, ternyata tidak selalu tepat.
Prejudice dan stereotype saling erat berkaitan, baik secara budi maupun psikologis (Martin dan Franklin, 1973:152-153). Kedua hal itu ada pada semua ras, suku-bangsa, kepercayaan, pekerjaan maupun kebangsaan. Pada hakekatnya prejudice dan stereotype merupakan imaginasi mentalitas yang kaku; yaitu dalam wujud memberikan penilaian negative yang ditujukan kepada out-group, sebaliknya kepada sesama in-group memberikan penilaian yang positip. Stereotype terhadap out-group yang kaku akan mengakibatkan timbulnya prejudice yang kuat. Oleh karenanya prejudice dinilai pula sebagai perkembangan lebih lanjut dari stereotype.
Timbulnya stereotype dalam diri seseorang yaitu sebagai jawaban efek suatu persepsi tertentu dan berfungsi untuk menyakinkan diri sendiri. Adanya fungsi menyerupai itu, juga dibenarkan oleh Milton M.Gordon (1975:97), yang antara lain disebabkan oleh jawaban terjadinya hubungan di kalangan dua kelompok yang berbeda. Adanya banyak sekali perbedaan rasial (fisik) diantara segmen penduduk yang porsinya tidak sama dalam suatu wilayah geografis atau sosial, akan sanggup menimbulkan kesulitan. Oleh karenanya diusahakan untuk memunculkan sesuatu yang sanggup merupakan kepentingan dan loyalitas bersama. Guna menumbuhkan loyalitas nasional, Linton (1957:28) menilai bahwa adanya keragaman dan perbedaan kepercayaan dan banyak sekali unsur-unsur kebudayaan yang lain, bukanlah merupakan bahaya untuk menumbuhkan solidaritas nasional. Oleh karenanya dalam mengamati inti permasalahan yang sanggup menjelaskan banyak sekali kristalisasi prejudice, ada kalanya tidak cukup dijelaskan melalui adanya hambatan perbedaan fisik semata.
Ada penilaian bahwa stereotipe etnik yang negatif akan menghambat interaksi social dalam kehidupan masyarakat yang multi etnik, yang pada gilirannya akan sanggup pula mengakibatkan terhambatnya proses menuju integrasi nasional. Studi mengenai etisitas sering dikaitkan dengan derajat konformitas dari anggota suatu kolektiva (suku-bangsa) untuk bersedia mendapatkan norma-norma tertentu dalam suatu proses interaksi sosial. Oleh karenanya para hebat antropologi menyerupai Mitchell (1956), Epstein (1958), Gluckman (1961) dan Barth (1969); sering mengkaitkan studi mengenai etnisitas dengan perbedaan latar belakang kebudayaan dari suatu kolektiva tertentu, terutama yang menunjuk pada aspek fundamental yang bersifat primordial. Hal ini disebabkan oleh adanya kecenderungan seseorang untuk mengidentifikasikan dirinya dengan etnik tertentu sementara itu pihak lain juga sering mengidentifikasikan bahwa sikap seseorang yaitu terkait dengan latar belakang kesuku-bangsannya.
3. Suku-Bangsa dan Golongan di Indonesia
Istilah ethnic atau yang diterjemakan ke dalam istilah suku-bangsa, berasal dari kata Yunani eOvikos yang artinya heathen, yaitu penyembah berhala atau sebutan bagi orang yang tidak ber Tuhan. Sementara itu, istilah itu sendiri dalam bahasa Yunani berasal dari akar kata eOvos ("ethnos") yang diterjemahkan sebagai nation atau bangsa, yaitu suatu istilah yang lazim digunakan untuk menunjuk pada bangsa-bangsa yang bukan Israel. Dengan kata lain, berdasarkan The Shorter Oxford English Dictionary on Historical Principles, ada dua pengertian yang terkandung dalam istilah ethnic, ialah (a) menunjuk kepada bangsa-bangsa yang non Nasrani atau non Yahudi dan (b) menunjuk kepada bangsa yang masih menyembah berhala.
Dalam perkembangan berikutnya, istilah ethnic dikenal luas setelah digunakan secara resmi oleh suatu Ethnological Society, yaitu suatu forum yang didirikan di London pada 1843. Lima tahun sebelumnya, di Paris juga terdapat forum serupa, ialah Societe Ethnologique de Paris, dan di New York pada 1842 juga mempunyai forum serupa tersebut di atas American Ethnological Society. Lloyd Warner dalam goresan pena Brian M.du Toit et al.(1978:3) menjelaskan bahwa yang terkandung dalam pengertian ethnic menunjuk pada individu-individu guna mempertimbangkan di manakah seseorang atau dirinya termasuk atau dimasukkan sebagai anggotanya; yaitu yang di dasarkan atas latar belakang kebudayaan. Oleh lantaran itu istilah ethnic cenderung lebih bersifat sosio-kultural dari pada yang berkaitan dengan ras.
Salah satu batasan dari pengertian ethnic-group yaitu dibuat oleh Schemerhorn (1970:12) "........ as a collectivity within a larger society having real or putative common acestrry, memories of a shared historical past, and a cultural focus on one or more symbolic elements defined as the epitome of their peoplehood". Sebagai contoh dari banyak sekali unsur simbolik tersebut mencakup "kinship patterns, physical contiguity (as in localism or sectioalist), religious patterns, language aor dialiect form, tribal affiliation, nationality, phenotypical feature, or any combination of these”. Selanjutnya, seringkali pemakaian istilah golongan dalam konteks integrasi nasional, dikaitkan dengan kehadiran masyarakat Cina di Indonesia yang diklasifikasi sebagai golongan minoritas. Secara sepintas, konotasi arti minoritas yaitu lebih dikaitkan dengan perbandingan jumlah mereka yang lebih kecil daripada beberapa suku-bangsa yang ada di Indonesia, contohnya Jawa dan Sunda. Selain itu, jumlah mereka pada tahun 1971 yaitu merupakan 2,7 % dari keseluruhan penduduk Indonesia; dan jumlah mereka pada setiap ibukota kabupaten di Indonesia hanyalah berkisar lima hingga dengan sepuluh persen dari keseluruhan penduduk suatu kota.
Jika dikaji lebih lanjut, istilah minoritas mengandung banyak sekali dimensi dan variabel. Dalam suatu studi mengenai hubungan antar kelompok, Simson dan Yinger (1972:11) menganjurkan semoga para peneliti hendaknya berhati-hati, terutama jika dikaitkan dengan konsep-konsep yang mendasar. Istilah minoritas memang sering digunakan tetapi tidak dalam konteks sebagai istilah teknis. Semula istilah tadi sering digunakan untuk memperlihatkan kategori orang-orang dan bukannya bukan berdasarkan kelompok. Akan tetapi semakinlama, istilah itu juga dipergunakan untuk menunjuk pada kategori orang atau sejumlah penduduk yang merupakan sasaran suatu prejudice atau prasangka dan diskriminasi; contohnya dipergunakan oleh Theodorson dan Theodorson (1970:258), "Any recognizable racial, religion, or ethnic group in community that suffer some disadvantage due to prejudice or discrimination". Apabila ditelaah lebih lanjut, pengertian yang dikandung dalam pembatasan di atas yaitu masih umumnya sifatnya. Berbeda halnya dengan pembatasan yang dibuat oleh Louis Wirth (1943:347), “We may define a minority as a group of people who, because of their physical or cultural characteristics are single out from the other society in which they live for differential and unequal treatment, and who therefore regard themselves as objects of collective discrimination. The existence of minority in a society implies the existence of a corresponding dominant group with higher social status and greater priviledges. Minority status carries it the exclusion from full participation in the life of the society".
Jelas tampak melalui pembatasan tersebut bahwa konotasi arti minoritas tidak selalu harus dikaitkan dengan variabel ras. Oleh karenanya, apabila pembatasan itu diterapkan terhadap orang Cina di Indonesia, yaitu kurang tepat. Orang Cina maupun banyak sekali suku-bangsa bumiputera di Indonesia, sebagian besar yaitu termasuk ke dalam pembagian terstruktur mengenai ras Mongoloid. Perbedaan di kalangan mereka itu, lebih tampak pada wujud fisik dan lebih menunjuk pada perbedaan kebudayaan dan kehidupan sehari-harinya.
Timbulnya perlakuan 'diskriminatif' dalam konteks Louis Wirth yaitu lebih disebabkan oleh kurangnya keterlibatan orang Cina dalam banyak sekali kegiatan kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Lebih lanjut Louis Wirth juga mengemukakan bahwa kehadiran golongan minoritas, tidak terlepaskan dari adanya kelompok lebih banyak didominasi yang mempunyai kedudukan lebih tinggi dan mempunyai hak-hak istimewa (privileges). Oleh lantaran itu, untuk lebih memahami bentuk-bentuk kehidupan dalam suatu masyarakat yang majemuk, kiranya paradigma yang diusulkan Schermerhorn (1970:13) menyerupai orang Cina di Indonesia. tampak pada sketsa 1 di atas, sanggup digunakan untuk menjelaskan posisi keturunan
Paradigma Kelompok Dominan dan Subordinat
Kelompok Dominan
Jumlah Kekuasaan
Kelompok A + + Golongan mayoritas
Kelompok B - + Elite
Kelompok Subordinat
Jumlah Kekuasaan
Kelompok C + - Subyek massa
Kelompok D - - Golongan minoritas
Melalui sketsa di atas tampak bahwa paradigma kelompok lebih banyak didominasi dan subordinat, didasarkan atas dua dimensi, ialah size (jumlah) dan power (kekuasaan). Berdasarkan paradigma itu maka keturunan orang Cina di Indonesia yang lazim diklasifikasikan sebagai golongan minoritas yaitu lebih mempunyai karakteristik sebagai kelompok B dan D; sebaliknya banyak sekali suku-bangsa bumiputera yang sering dikategorikan sebagai golongan mayoritas yaitu lebih mempunyai ciri-siri kelompok A dan C. Oleh karenanya apabila konotasi golongan minoritas (kelompok D) berdasarkan model paradigma tersebut diterapkan untuk orang Cina di Indonesia, yaitu tidak tepat. Dilihat dari perbandingan jumlah orang Cina dengan keseluruhan penduduk, konotasi minoritas bagi orang Cina memang tepat. Akan tetapi ditinjau dari kekuasaan yang dimilikinya, terutama dalam pengertian ekonomik, yaitu tidak tepat jika golongan Cina di Indonesia termasuk minoritas.
Secara ekonomik, orang Cina di Indonesia mempunyai peranan yang cukup besar. Paradigma yang dikemukakan oleh Schemerhorn yaitu sebagai salah satu upaya untuk lebih sanggup memahami pengertian minoritas yang mempunyai kompleksitas dimensi dan variabel.
Pengertian Spiritual dan Religiusitas
Pengertian Spiritual dan Religiusitas
Selanjutnya, berdasarkan dimensi dan variabel lain, pemakaian istilah golongan minoritas bagi orang Cina sanggup dibenarkan lantaran dalam rangka hubungan dengan penduduk bumiputera, posisi mereka yaitu sebagai subordinat; sebaliknya banyak sekali suku-bangsa bumiputera tidak selalu berada pada kedudukan supraordinat atau kelompok dominant. Pengklasifikasian apakah belum ditulis, contohnya adanya kecenderungan untuk melaksanakan perkawinan dengan sesama golongannya menyerupai yang dikemukakan oleh Wagley dan Maris. Pendapat Wagley dan Maris mengenai hal tersebut dikutip oleh Simpson dan Yinger (1972:12-13); dikatakannya bahwa golongan minoritas mempunyai lima karakteristik. Pertama, golongan minoritas yaitu merupakan segmen dari subordinat dalam suatu negara yang kompleks. Kedua, golongan minoritas mempunyai bentuk fisik yang berbeda dan unsur-unsur kebudayaan yang dimilikinya dinilai lebih rendah oleh golongan mayoritas. Ketiga, bahwa golongan minoritas mempunyai kesadaran akan dirinya merupakan suatu kesatuan dengan ciri-ciri tertentu. Keempat, bahwa keanggotaan seseorang dalam golongan minoritas yaitu diperoleh lantaran keturunan atau lantaran ciri-ciri kebudayaan dan fisik yang menempel pada dirinya. Kelima, perkawinan yang terjadi di kalangan golongan minoritas yaitu cenderung dengan sesamanya.
4. Asimilasi dan Integrasi Nasional
Asimilasi sebagai salah bentuk proses-proses sosial yaitu erat kaitannya dengan proses dan pertemuan dua kebudayaan atau lebih. Oleh karenanya, istilah asimilasi dan akulturasi dipergunakan dalam pengertian yang sama; dan sebagai kesudahannya kedua pengertian yang diberikan kepada kedua istilah tersebut bertumpang tindih. Ada sebagian pendapat yang menyampaikan bahwa istilah asimilasi lebih sering digunakan oleh para hebat sosiologi, sedangkan istilah akulturasi lebih sering dipergunakan oleh hebat antropologi (Gordon, 1964:61).
Lebih lanjut M.J.Herskovits beropini bahwa akulturasi lebih spesifik istilah yang lazim digunakan di Amerika. Lapangan studi mengenai akulturasi di kalangan sebagian mahasiswa di Jerman, lebih dikenal dengan kajian mengenai perubahan kebudayaan, sedangkan di Inggris lebih terkenal dengan studi perihal kontak kebudayaan. Mengingat hal tersebut maka melalui The Social Research Council 1930, selain mengusahakan perumusan yang lebih tepat mengenai akulturasi, juga disusun suatu pedoman metodologi yang berisikan sejumlah permasalahan yang harus diperhatikan. Untuk pertama kalinya, pembatasan akulturasi yang dibuat oleh tiga orang hebat antropologi (R.Redfield, R.Linton dan M.J.Herskovits) sebagai hasil rumusan sub komite akulturasi dari kongres di atas, dimuat dalam "Memorandum for the Study of Acculturation" dalam American Anthropologist Vol.38 No.1 (Januari-Maret 1936:149). Lebih lanjut, perumusan mengenai hal itu dikembangkan lebih lanjut dan dimuat dalam Outline for the Study of Acculturation (Herskovits, 1958:131-136). Selanjutnya, intinya pengertian yang terkandung dalam istilah asimilasi dan akulturasi; disamping mengandung pengertian yang sama, tetapi juga memperlihatkan ada dimensi yang berbeda. Sebagai contoh pembatasan asimilasi yang dibuat oleh Robert E.Park dan Ernest W.Burgess (1921:735), antara lain "......... a process of interpretation and fusion in which persons and groups aquire the memories, sentiments, and attitude of other persons or groups, and, by sharing their experience and history, are incorporated with them in a common cultural life".
Lebih lanjut, ketiga hebat antropologi di atas dalam memberikan pembatasan akulturasi adalah "......... comprehends those phenomena which result when groups of individuals having different culture comes into continous first hand contact, with subsequent changes in the original cultural patterns of either or both groups".
Jika diamati, kedua pembatasan tersebut berisikan suatu pengertian mengenai terjadinya pertemuan orang-orang atau sikap budaya. Sebagai jawaban pertemuan tersebut, kedua belah pihak saling mempengaruhi dan akhirnya kebudayaan mereka saling berubah bentuk. Sementara itu yang tampak membedakannya yaitu tidak ditemukannya ciri-ciri struktural dalam pembatasan akulturasi. Dalam pembatasan asimilasi, hubungan yang bersifat sosio-struktural tercermin dari "sharing their experience" dan "incorporated with in in a common cultural life". Lebih lanjut Herskovits (1958:10) juga beropini bahwa makna yang terkandung dalam akulturasi yaitu berbeda dengan perubahan kebudayaan (cultural change). Akulturasi hanyalah merupakan salah satu aspek dari perubahan kebudayaan, sedangkan akulturasi merupakan salah satu tahapan dari asimilasi. Lebih lanjut Arnold M.Rose (1957:557-558) menyampaikan bahwa “........the adoption by a person or group of the culture of another social group" yaitu akulturasi; sedangkan "leading to this adoption" yaitu karakteristik dari asimilasi.
Terwujudnya rumusan dari sub komite akulturasi tersebut di atas, tidak terlepaskan dari perkembangan ruang lingkup dan obyek yang selalu mengalami perubahan, terutama semenjak awal periode XX. Sebagai jawaban efek Ero-Amerika, bangsa-bangsa 'primitif' mulai menghilang; sementara itu sebagai jawaban perkembangan yang terjadi di Amerika, konsepsi asimilasi juga mengalami perubahan lantaran mulai dikaitkan dengan aspek politik.
Park dan Burgess (1921:736-737) menyampaikan bahwa asimilasi merupakan produk simpulan yang tepat dari suatu kontak sosial; dan pada kepingan lain tulisannya, Park (1957:281) memberikan istilah konsepnya sebagai 'asimilasi sosial', yaitu " .......... the process or processes by which people of diverse racial origins and different cultural heritage, accupying a common territory, achieve a cultural solidarity sufficient at least to sustain a national exixtence". Para migran di Amerika dianggap telah berasimilasi apabila mereka itu secepatnya sanggup mempergunakan bahasa Inggris dan berperan serta dalam banyak sekali kegiatan sosial, ekonomi dan politik tanpa mengakibatkan timbulnya prasangka. Oleh karenanya dalam salah satu tulisannya, Milton M.Gordon menunjuk adanya tujuh variabel yang harus dikaji dalam asimilasi. Dalam hal itu asimilasi mengharuskan para migran untuk menyesuaikan dirinya pada kelompok kebudayaan yang didatangi (host society). Ini berarti bahwa kebudayaan golongan mayoritaslah yang dijadikan ukuran untuk menilai keberhasilan orang-perorangan atau suatu kelompok dalam menyesuaikan dirinya. Konsepsi ini sesuai dengan pandangan Arnold M.Rose, dalam asimilasi loyalitas mereka terhadap kebudayaan asal semakin kecil dan akhirnya kelompok tersebut mengidentifikasikan dirinya ke dalam kebudayaan baru.
Guna mengupayakan terwujudnya asimilasi dalam rangka integrasi nasional, yaitu menarik mengkaitkannya dengan ungkapan dari Horace Kallen yang dikutip oleh Milton M.Gordon (1964:145), yaitu "Men may change their clothes, their wive, their religion, their philosophies, to a greater or lesser extent; their cannot change the grandfather". Timbulnya ungkapan tersebut yaitu erat kaitannya dengan penilaian dalam bentuk stereotipe terhadap orang Yahudi, 'sekali Yahudi tetap Yahudi'. Meskipun orang Yahudi hidup tersebar di banyak sekali Negara tetapi mengingat kuatnya ikatan perasaan mereka terhadap keluarga, maka akar kebudayaan Yahudi sangat mewarnai sepak terjang kehidupannya (Epstein, 1978:139). Selanjutnya, para perantau orang Cina di banyak sekali negara Asia Tenggara juga sering disamakan dan mempunyai cirri menyerupai orang Yahudi (Purcell, 1964; Skinner, 1967; Somers, 1964).
Selain mengandung pengertian kuatnya ikatan suatu golongan terhadap keluarganya, atau dalam arti luas terhadap nenek-moyang mereka; banyak sekali ciri tersebut bukanlah merupakan suatu yang tidak sanggup diubah atau berubah. Berbagai studi mengenai proses perubahan kebudayaan yang dimiliki oleh suatu kelompok insan yaitu menunjuk pada suatu gerak yang dinamis. Yang menjadi duduk kasus yaitu bagaimanakah aspek primordial attachment sanggup dieliminasi sehingga tujuan simpulan untuk membangun tabiat bangsa sanggup diwujudkan. Dalam salah satu ntulisannya, C.Geertz (1965:105-107) menjelaskan banyak sekali hal yang berkaitan dengan primordial attachment, yaitu rasa keterikatan terhadap golongan tertentu, contohnya lantaran ras, hubungan darah, bahasa, adat-istiadat dan agama. Berbagai bentuk keterikatan tersebut antara lain disebabkan oleh sub national cultural value. Sebagai akibatnya, proses pengembangan kebudayaan (politik) nasional menjadi terganggu. Dengan kata lain, suatu proses asimilasi dalam rangka integrasi nasional akan berjalan tersendat.
5. Paradigma Orientasi Sentripetal (Sp) dan Sentrifugal (Sf)
A B
Superordinat Sp Sf
Cenderung ke arah integrasi
Subordinat Sp Sf
Assimilation Incorporation Cultural Autonomy
C D
Superordinat Sf Sp
Cenderung ke arah konflik
Subordinat Sp Sf
Forced segregration with resistance Forced assimilation with resistance
SP: Sentripetal, SF: Sentrifugal
Dalam upaya mewujudkan integrasi nasional, terdapat dua aliran, ialah asimilasionis dan pluralis, yaitu dua dari empat tipologi yang digunakan untuk meletakkan identitas golongan minoritas, terutama yang berkaitan dengan penerapan suatu kebijaksanaan. Lebih lanjut Louis Wirth (1945:347) menyampaikan bahwa kebijakan asimilasionis merupakan upaya untuk menggabungkan para anggota minoritas ke dalam masyarakat lebih luas dengan cara melarang kebudayaan mereka dan mengharuskannya mengadopsi sistem nilai dan gaya hidup kelompok lebih banyak didominasi atau superordinat. Hal tersebut yaitu berbeda dengan upaya yang dianut oleh kaum pluralis.
Kelompok lebih banyak didominasi bersikap toleran terhadap kebudayaan kelompok subordinat, atau dengan kata lain golongan minoritas diperkenankan mempertahankan kebudayaan mereka. Jika diperbandingkan maka kebijaksanaan asimilasi yang ditrapkan bagi orang Cina di Indonesia dengan banyak sekali suku-bangsa yang ada di Indonesia, terdapat perbedaan. Untuk orang orang Cina yang telah mempunyai status kewarganegaraan Indonesia berlaku kebijaksanaan yang bersifat asimilasionis; sedangkan untuk banyak sekali suku-bangsa di Indonesia cenderung berlaku paham pluralis. Dalam konteks orang Cina diarahkan dan diharapkan mendapatkan dan menyatukan dirinya ke dalam salah satu kebudayaan kelompok superordinat, yaitu salah satu kebudayaan yang dimiliki oleh suatu suku-bangsa bumiputera di Indonesia; sementara itu hingga kini apakah itu kebudayaan nasional Indonesia, masih merupakan polemik yang menarik.
Selanjutnya, jika kedua paham tersebut dikaji lebih lanjut, maka ada implikasi yang mungkin sanggup muncul dari kedua paham tadi, terutama jika dikaitkan dengan sejauh manakah kelompok superordinat bisa melaksanakan dan memperkenankan kelompok subordinate melaksanakan hal tersebut. Dalam hal ini, timbul pula suatu pertanyaan apakah kelompok superordinat begitu saja percaya bahwa golongan minoritas akan berasimilasi ataukah akan tetap mempertahankan kebudayaan mereka. Selain itu pula, apakah kelompok lebih banyak didominasi sanggup mendapatkan banyak sekali hal kontradiktip yang mungkin akan dilakukan oleh kelompok subordinat. Oleh karenanya, jika banyak sekali hal tadi sanggup diterima maka suatu integrasi akan berjalan dengan baik, dan sebaliknya jika tidak maka akan timbul konflik, baik secara terbuka maupun yang bersifat latent.
Selanjutnya, penting diperhatikan dalam mengidentifikasikan suatu integrasi, terutama dalam menempatkan kelompok superordinat. Dalam hal ini ada dua konsep utama yang sanggup digunakan sebagai model bagi analisis, yaitu apakah cenderung bersifat sentripetal ataukan sentrifugal. Suatu kecenderungan yang bersifat sentripetal, biasanya lebih menunjuk hal-hal yang bersifat kultural, contohnya dalam bentuk diterimanya sistem nilai dan gaya hidup yang lazim berlaku di masyarakat. Sementara itu sanggup pula dalam bentuk semakin meningkatnya partisipasi dalam banyak sekali kelompok perkumpulan dan kelembagaan. Untuk melihat adanya perbedaaan dalam tingkat analisis, maka yang pertama disebut dengan asimilasi sedangkat yang kedua yaitu inkorporasi.
Selanjutnya, yang disebut sebagai suatu kecenderungan sentrifugal terjadi dikalangan subordinat apabila ada keinginan untuk memisahkan diri dari kelompok lebih banyak didominasi atau dari banyak sekali ikatan yang ada di masyarakat. Secara kultural, biasanya hal tersebut lazim terjadi lantaran kelompok subordinat seringkalai masih tetap menjaga banyak sekali tradisi, sistem nilai, bahasa, agama, pola-pola rekreasi mereka dan lain sebagainya. Guna melindungi banyak sekali hal tersebut, dibutuhkan persyaratan struktural, antara lain tampat dari adanya kecenderungan untuk melaksanakan endogami atau mendirikan perkumpulan yang terpisah, dan bahkan memusatkan diri pada suatu lapangan pekerjaan tertentu yang langsung terhadap out-group.
Akhirnya, suatu integrasi yaitu mengandung hambatan psikologis, antara lain berkaitan dengan tingkat kepuasan tertentu dari suatu suku-bangsa atau golongan. Oleh karenanya dalam suatu upaya mewujudkan integrasi, muncul pandangan yang menilai apakah itu suatu agreement (permufakatan) ataukah congruency (penyesuaian), terutama yang berkaitan apakah sentripetal ataukah sentrifugal. Apabila terjadi disagreement atau discrepancy (ketidaksesuaian) maka berarti kelompok superordinat menang atas kebijaksanaan yang bersifat sentripetal; padahal kelompok subordinat lebih menghendaki yang bersifat sentrifugal. Jika hal ini terjadi maka akan timbul konflik yang menyebar luas.
**** BUDAYA DAERAH
1. TATA KRAMA SUKU BANGSA MELAYU BETAWI
A. Berbicara dan Mendengarkan
Bahasa Betawi merupakan bahasa yang komunikatif bagi orang Betawi, yang dipergunakan dalam lingkunga eluarga maupun dalam lingkungan masyarakat. Sebagaimana bahasa Indonesia pada umumnya yang tidak mengenal tingkatan pemakaianya, baik bila berbicara dengan yang sebaya, lebih bau tanah maupunberbicaradengan yang lebih muda. Hanya dalam penggunaan kata ganti orang pertama tungal, bila orang berbicara dengan yang lebih bau tanah usianya, maka biasanya akan menyampaikan ‘saya’, tetapi bila dengan yang sebaya atau yang lebih muda usia, maka yang digunakan yaitu ‘gua’, kecuali apabila yang sudah erat betul dengan yang lebih bau tanah pun akan menyampaikan ‘gua’.
Di dalam kehidupan tentunya ada orang yang dihormati, yakni mereka yang mempunyai usia yang lebih tua, dan bagi orang Betawi tatakrama lebih menitikberatkan pada usia yang dimiliki seseorang, sekalipun demikian sopan santun kekerabatan perlu menerima perhatian sesuai dengan hubungan yang berlaku.
Seorang anak apabila bericara dengan orang bau tanah harus lebih lunak sekalipun yang digunakan yaitu sama bahasa Betawi, lantaran bahasa Betawi tidak ada bahasa yang halus dankasar. Anak tidak boleh menyebut ‘lu’ kepada orang tua, khususnya kepada ibu bapaknya.
Akan tetapi sebaliknya, orang bau tanah terhadap anak tidak ada aturan, adakala suami terhadap istripun lebih banyak menggunakan kata yang dianggap kasar, namun bagi orang Betawi sendiri dianggap biasa, jadi bukannya kasar atau tidak hormat, iniseagai tanda keakraban antara satu dengan lainnya. Misalnya saja seoran anak berbicara dengan ayahnya: “Bapa, ini hari saya kagak bakal…..”, kata bapa yaitu sebutan bagi ayah, sedangkan oran bau tanah atau yang lebih bau tanah kepada anak atau yang lebih muda akan mengatakan: “lu kagak pantes…..” noh gua…….” Kaprikornus dalam bahasa Betawi, sebagai pernyataan hormat akan ditandai dengan pengucapan kata ganti orang. Bila seseorang bertemu di jalan,maka akan menyampaikan “assalamualaikum” terlebih dahulu diucapkan yang usianya lebih muda, demikian pula bila anak bertemu orang bau tanah di jalan akan menyapa “assalamualaikum” dan dibalas oleh orang tuanya “waalaikum salam” yang lebih muda selalu yang lebihdulu menyapa diiringi dengan sikap yang agak membungkukkan badan. Selanjutnya sapaan diucapkan tergatung dari hubungan kekerabatan yang ada, menyerupai menyapa kepada ibu, nyak/mak, sebaliknya orang bau tanah menyebut anak perempuan dengan istilah noan, dan ntong untuk aak laki-laki. Sapaan kepada anak tersebut sebagai pernyataan syang orang tua. Saudara yang muda kepada yang lebih tua, menyebut mpok (perempuan) dan kakak (laki-laki). Apabila memerintah atau menyuruh: “Nyak lu, tolong ambilkan rokok gua”. Hal ini bila yang diperintah yaitu istrinya. Cara melaran melaksanakan sesuatu: “lebih baik jangan lu kerjainitu, kagak ada artinya”, apabila yang dihentikan yaitu istri, anak, atau yang lebih muda. Cara menolak perintah: “segen” bila yang memerintah sederajad, akan tetapi bila yang lebih tua: “saya nggak mau”. Cara menyangkal perkataan: “ngomong jangan sembarangan, masa gua yang dikatain ……..”
B. Berpakaian dan Berdandan
Pada setiap orang Betawi tidaklah ada pakaian khusus yang harus dikenakan pada waktu tertentu, mereka bebas mengenakan pakaian apapun pada waktu santai, tidur dan melaksanakan kegiatan rumah tangga, kecuali waktu menghadiri pesta atau pergi mengaji. Untuk perempuan yang sudah berkeluarga biasanya menggunakan kain dengan kebaya panjang dilengkapi dengan kerudung, sedangkan untuk laki-laki menggunakan celana panjang atau sarung dengan kemeja yang longgar menggunakan krah kemeja berdiri (semacam kemeja Cina), yang disebut baju koko, dan peci.
Bagi laki-laki yang sudah haji, biasanya ada tanda yang merupakan cirri khasnya, yaitu mengenakan ikat pinggang besar warna hijau yang disebut amben,sedangkan perempuan mengenakan stagen yang berwarna hijau pula. Untuk berpergian tentunya tidak sma dengan pakaian yang dikenakan sehari-hari di rumah, biasanya bila berpergian pakaian yang dikenakan lebih bagus dari pada pakaian sehari-hari. Orang bau tanah tidak diperkenankan dan meanggalkan pakaian di hadapan belum dewasa yang sudah dewasa, demikian pula sebaliknya yang berlaku bagi belum dewasa yang sudah dewasa. Mereka biasanya pergi ke kamar, sehingga tidak diketahui oleh anak-anak. Dalam sopan santun membetulkan pakaian di hadapan orang banyak tidak diperkenankan. Bila suami sedang berhadapan dengan tamu misalnya, maka istri akan memanggil suami masuk untuk memberitahukan pakaian yang dikenakan tidak betul, kemudia suami sendirilah yang membetulkannya.
Bila menyusukan anak, tidak dilakukan di hadapan rang banyak, kecuali masih anggota keluarganya. Apabila sedang ada tamu atau bepergian, maka si ibu akan encari tempat yang tertutupuntuk menyusukan anak. Hal ini sesuai dengan sopan santun yang berlaku, lagi pula tidak pantas mengeluarkan anggota tubuh di hadapa orang banyak,sekalipun anak sangat membutuhkannya. Apabila bepergian, biasanya ibu membawa dot yang diisi susu, semoga suatu dikala dibutuhkan sanggup diberikan pada bayi.
Berdandan dengan rapi merupakan salah satu keharusan bagi wanita, selain bagi daya tarik, juga kerapian seseorang secara tidak langsung sanggup merupakan citra pribadinya, dalam hal ini berdandan tidak perlu menyolok. Berdandan dengan rapi namun sederhana dilengkapi perhiasan yang sederhana pula memberi ciri bahwa beliau bahagia akan kehidupan yang sederhana.
C. Bersalam
Pada orang Betawi, tatakrama bersalam merupakan hal yang menonjol dalam kehidupannya, ini merupakan cirri khas dari orang Betawi. Ucapan assalamualaikum yang diucapkan ketika bertemu di jalan, diiringi dengan saling bersalaman tangan. Pada masyarakat Betawi ada empat macam salam yang membedakan satu dengan lainnya yaitu :
- Salam sebagai penghormatan, yakni salam dengan mencium tangan orang yang dihormati.
- Salam medok (salam akrab), yakni salam dengan menjabat tangan erat-erat, adakala diikuti berpelukan dan menepuk pundak yangdisalami.
- Salam curiga, yakni asisten saling berjabatan, sementara tangan kiri emegang lengan asisten orang yang dicurigai.
- Salam diendus (mengendus), yaitu salam sambil mencium tangan tetapi tidak hingga kena, jadi hanya diendus. Salam inipun sebagai penghormatan, akan tetapi yang dihormati bukan anggota keluarga atau kerabat.
Cara bersalaman menyerupai itu hanya berlaku bagi mereka yang sama jenis kelamin, kecuali apabilamereka yang bersalaman tersebut masih sebagai kerabat.
Salam yang pertama bertujuan untuk menghormati orang yang lebih tua, terutama ditujukan bagi orang tua, belum dewasa yang akan pergi, berangkat sekolah atau kerja selalu menyalami demikian, begitu pula sepulang dari kerja atau sekolah. Salam yang kedua bertujuan untuk memelihara atau meningkatkan kekakraban diantara kedua belah pihak. Berpelukan dan menepuk pundak biasanya sebagai pernyataan selamat atas keberhasilannya, kerinduan atau akan terjadi perpsahan. Salam yang ketiga bertujuan untuk melindungi diri, semoga yang dicurigai tidak melaksanakan tinakan semena-mea. Salam yang keempat bertujuan untuk menghormati orang yang patut dihormati, contohnya guru ngaji, tokoh-tokoh masyarakat, orang lain yang lebih bau tanah usianya.
Bersalam ketika mendapatkan tamu, tergantung dari siapakah tamu tersebut, maka sanggup dilakukan salah satu dari keempat cara salam yang diuraikan di atas. Akan tetapi bila tamu tersebut gres dikenalnya, maka dilakukan dengan kedua belah tangan dengan sikap agak membungkuk. Sebenarnya salam dengan kedua belah tangan ini bukanlah merupakan salam orisinil Betawi, namun orang-orang Betawi yang menyesuaikan dengan yang umum sering dilakukan.
D. Duduk
Pada masyarakat Betawi, tidak ada susunan (tempat) duduk yang menjadi ukuran tatakrama dalam keluarga batih, baik yang berlaku pada waktu santai, mendapatkan tamu dan membicarakan duduk kasus keluarga yang penting, hanya pada waktu makan, walaupun tidak mutlak harus dilakukan, tetapi masih ada keluarga yang masih mempunyai kebiasaan mengatur susunan duduk pada waktu makan.
Kesempatan duduk sanggup dibedakan antara duduk di atas tikar dengan duduk di atas kursi. Duduk di atas tikar pada masyarakat Betawi, mempunyai dua cara yang dianggap sopan, yaitu duduk bersila untuk laki-laki, dan duduk timpuh untuk perempuan. Duduk bersila yaitu duduk dengan melipat kedua belah kaki, dengan sebelah kaki berada di bawah (dijepit) kaki sebelahnya.
Cara duduk bersila iniberlaku untuk segala acara, contohnya pada waktu makan, pada waktu santai, mendapatkan tamu dan membicarakan duduk kasus keluarga yang penting. Pada kesempatan yang sama, maka perempuan akan duduk bertimuh.
Kesempatan duduk di kursi, dianggap tidak sopan bila kaki diangkat, dan diinjakkan ke dingklik yang digunakan untuk duduk, sikap yang patut untuk dilaksanakan yaitu kedua belah kaki secara sejajar menginjak lantai, tubuh duduk tegak dan tangan berada di atas tangan dingklik atau di atas paha. Duduk di kursi, sementara yang sudah bau tanah duduk di bawah/tikar, dinyatakan sebagai orang yang tidak tahu sopan santun. Disamping itu ada beberapa cara duduk yang dianggap tidak baik untuk dilakukan, lantaran tidak sesuai dengan sopan santun yang berlaku. Cara duduk tersebut diantaranya :
- Dekukul, yaitu kaki diangkat sebelah, dengan tangan saling tumpang di dengkul. Duduk menyerupai ini seringkali dilakukan pada waktu santai sendiri, akan tetapi apabila berhadapan dengan orang lain, terutama yang lebih tua, tamu, atau kerabat, dinyatakan sebagai orang yang tidak tahu adat sopan santun, tidak menghargai orang yang ada di sekelilingnya.
- Berdeku, yaitu cara duduk dengan kedua belah kaki dilipat ke belakang, posisi kaki di bawah pantat, kedua belah tangan diletakkan di atas paha. Cara duduk semacam ini, biasanya dilakukan padakesempatan upacara.
- Istiras, yaitu cara duduk dengan kedua belah kaki setengah dilipat, kedua belah tangan saling berpegangan, yang seperti tergantung di dengkul. Cara duduk semacam ini biasanya dilakukan pada waktu istirahat bersama keluarga, dan tidak pantas apabila berhadapan dengan tamu atau kerabat yang patut dihormati.
- Loa-loa, yaitu duduk dengan mengangkat sebelah kaki, sementara jari-jari tangan saling menjepit yang diletakkan di dengul, cara duduk menyerupai ini sangatlah tidak sopan apabila dilakukan di hadapan orang lain yang pantas dihormati. Para orang bau tanah akan marah, apabila melihat belum dewasa duduk menyerupai ini, kebiasaan duduk menyerupai ini akan membuat orang jadi pemalas, dengan demikian rezekipun akan sulit didapat. Hal ini disebabkan apabilaorang sudah terbiasa duduk demikian, akan usang bergerak dari tempat duduk, lantaran duduk menyerupai ini mempunyai kenikmatan tersendiri.
E. Makan Minum
Pada orang Betawi, kegiatan makan dan minum sanggup dilakukan di meja makan dan gelar tikar, yakni duduk bahu-membahu di lantai dengan beralaskan tikar. Makan di meja biasanya dilakukan bila bahu-membahu tamu atau kerabat yang sangat dihormati, kalau makan biasanya cukup duduk di atas tikar.
Istri/ibu atau anak perempuan yang sudah cukup umur yang mempersiapkan makan, pada keluarga yang mempunyai anak gadis, dianjurkan semoga dialah yang mempersiapkan segala sesuatu untuk makan, baik alat makannya, maupun santapannya. Anak gadis dari kecil sudah dididik segala sesuatu yang berafiliasi dengan dengan pekerjaan rumah tangga, dari mulai mempersiapkan hingga membereskannya. Dengan demikian dialah yang akan menggantikan kiprah ibunya dalam rumah tangga, selagi ibunya tidak di rumah atau sebelum ia menikah.
Alat-alat makan yang dipersiapkan terdiri dari; piring, tesi (sendok), kobokan (tempat yang berisi air untuk basuh tangan) dan gelas, setiap alat tersebut tidak ditempatkan berdasarkan cara atau aturan tertentu. Biasanya piring-piring dibiarkan ditumpuk, demikian pula sendoknya, adakala diletakkan di atas tumpukan piring, kadang pula disamping piring. Kobokan hanya disediakan satu atau dua buah saja, sehingga bila orang yang makan banyak, basuh tangan dilakukan secara bergantian. Ikan dan nasi biasanya disajikan di tengah orang-orang yang makan, sedangkansayur disajikan dengan menggunakan cawan atau piring sayur, peletakan sayur tersebut tidak bersama lauk pauk yang lain, melainkan sudah disajikan di depan tempat duduk masing-masing orang yang akan makan.
Cara duduk, suami berhadapan dengan istri, belum dewasa berada di sebelah kanan atau kiri orang tuanya. Istri biasanya duduk dekat nasi diletakkan, hal ini untuk memudahkan si istri menyendok nasi, lantaran istrilah yang biasa mengambilkan nasi untuk suami dan belum dewasa yang masih kecil, sedangkan lauk pauknya anak (anak-anak) mengambilnya masing-masing. Kecuali sayur istri biasanya mengambilkan langsung dari kuali yang masih disimpan di dapur. Setiap orang yang makan akan mendapatkan sepiring sayur, kecuali belum dewasa tergantung dari kemauannya. Apabila ada yang ingin tambah sayur, maka istri jugalah yang mengambilkan di dapur, jadi khusus sayur tidak disajikan di tempat makan.
Di dikala makan sehari-hari dalam keluarga, tidak ada kata mempersilahkan makan, kalau anak atau istri sudah selesai menyajikan makan, dengan sendirinya suami dan belum dewasa sudah berkumpul di tempat makan tersebut. Ada kalanya sebelum makan siap disajikan, orang-orang sudah berkumpul di tempat makan. Kecuali makan bersama tamu atau kerabat, maka biasanya istrilah yang mempersilakan makan. Istri mengambilkan nasi yang diperuntukkan bagi tamu atau kerabat yang lebih tua.
Cara duduk bila makan bersama tamu, tergantung dengan siapa tamu tersebut, laki-laki atau perempuan. Apabila tamu tersebut laki-laki, maka duduk bersebelahan dengan suami, sebaliknya bila tamu tersebut perempuan duduknya dekat istri. Akan tetapi bila tamu itu terdiri dari beberapa orang laki-laki, maka suamilah yang menemani makan, demikian pula halnya bila tamu tersebut terdiri dari beberapa orang perempuan, maka istrilah yang menemani makan, hal inmi dilakukan untuk menghindari supaya tamu tersebut sanggup makan dengan leluasa an tidak canggung.
Ketika berlangsung jadwal makan, belum dewasa dihentikan sambil berbicara, hal ini untuk menghindari eselak, yaitu masuknya kuliner tanpa dikunyah yang menimbulkan batuk-batuk, tetapi bila makan bersama tamu, justru merupakan hal yang mengasikkan apabila makan sampil bercakap-cakap, hingga adakala tidak terasa lagi sudah berkali-kali nasi ditambah.
Anak-anak tidak selamanya harus makan bersama orang tuanya, adakala anak dianjurkan makan lebih dulu, sebelum orang bau tanah menyajikan makan, belum dewasa tidak boleh mengganggu orang bau tanah yang sedang makan. Makan merupakan salah satu kegiatan untuk menikmati karunia Tuhan, oleh lantaran itudi dikala makan, suasananya betul-betul tenang, sehingga kuliner sanggup dinikmati sepuas mungkin. Orang bau tanah akan murka bila ditengah makan, ada anaknya yang rewel, yang mengganggu apalagi makan bersama tamu, sedapat mungkin anak yang rewek tersebut dibawa keluar oleh ibunya. Namun tentunya murka tersebut tidak dilakukan di dikala makan, lantaran murka pada waktu makan akan membuat suasana tegang, sehingga makananpun tidak sanggup dinikmati. Mengeluarkan suara alat-alat makan, contohnya lantaran piring terantuk dengan piring, atau suara sendok yang beradu dengan piring, tidaklah merupakan larangan, asalkan tidak disengaja menyerupai dianggap mainan. Justru dengan adanya suara tersebut meandakan orang di rumah itu sedang makan, sehingga apabila ingin bertamu, orang menjadi tahu diri, tidak mengganggu keluarga yang sedang makan.
Walaupun bukan merupakan larangan, namun bagi orang Betawi tidaklah pantas makan sambil bersendawa. Setiap orang Betawi apabila akan menambah kuliner (nasi) tidaklah diperbolehkan menghabiskan nasi yang ada di piring makan, setidak-tidaknya masih ada tersisa sesuap atau sesendok di piring makan, gres nasi ditambah. Kebiasaan ini disebut long-longan, yang berarti tidak ada batasnya, tidakada kenyangnya. Kebiasaan itu berdasarkan anggapan bahwa rezeki harus dicari tanpa henti-hentinya, setiap rezeki yang tiba merupakan tambahan rezeki sebelumnya. Dengan kata lain dalam hidup ini, rezeki yang didapat tidak ada habisnya, bahkansebelum rezeki yang bakal datang, rezeki sebelumnya masih tersisa, tidak habis sama sekali. Dengan keyakinan menyerupai itu, maka orang Betawi tidak mau menyalahi kebiasaan mereka. Setiap orang yang menambah nasi, menggunakan tangan kiri, apabila makan pakai tangan kanan, tetapi apabila makan dengan tesi (sendok), nasi harus diambil dengan tangan kanan, dengan lebih dulu meletakkan sendok secara terbuka di atas piring makan.Cara membukakan sendok di atas piring makan, membuktikan masih akan tambah nasi. Dalam kehidupan sehari-hari keluarga Betawi, jarang sekali menggunakan garpun sebagai alat makan, berdasarkan pandangan mereka makan dengan garpu merupakan efek kebudayaan modern, dan tidak pantas makan duduk di atas tikar menggunakan garpu. Makan dengan sendok dan garpu hanya dilakukan pada pesta-pesta, sedangkan bagi orang Betawi, secara tradisional, dalam pestapun jarang dilakukan perjamuan makan, hanya sekedar kudapan dan minum teh, nasi dan lauk pauk sudah ditata dalam kotak (besek), yaitu tempat nasi yang dibuat dri bamboo, khusus digunakan pada waktu selamatan atau pesta untuk dibawa pulang ke rumah masing-masing.
Minuman biasanya disajikan oleh ibu/istri sebagai slah satu cara pelayanan seorang istri terhadap suami, bahkan pada kesempatan itu pula istri ikut mendampingi suami sambil membicarakan maslah keluarga. Pisin atau piring kecil sering dijadikan sebagai alat bantu untuk menuangkan air dari gelas, apabila air yang akan diminum masih panas. Bila minum menggunakan pisin, gelas dipegang di tangan kanan, pisin di tangan kiri, air (teh atau kopi) dituang ke dalam pisin, kemudian diminum dengan tangan kiri pula. Minuman yang dihirup dari pisin biasanya menimbulkan bunyi, justru di sinilah nikmatnya minum dengan menggunakan alat bantu pisin.
Dalam kesempatan minum ini ada kalanya disertai dengan kuliner ringan, menyerupai goring pisang, ubi atau singkong, terutama pada pagi hari, lantaran kebiasaan orang Betawi makan pertama sekitar pukul 10.00 – 11.00, jadi makan dan minum pagi itu dianggap sebagai sarapan pagi.
Makan yang kedua kali sekitar pukul 12.00 – 13.00, bagi orang Betawi disebut makan mindo, berarti makan yang kedua kalinya, makan malam dilakukan biasanya menjelang Magrib atau setelah shalat Magrib.
3. KESIMPULAN
Di Indonesia orang Melayu dikenal sebagai salah satu sukubangsa yang cukup besar peranan dan sumbangan dalam pengembangan kebudayaan nasional. Ciri paling fundamental bagi identitas kesukubangsaan Melayu pada masa kini adalah:
- Bahasanya yang mendasari bahasa nasional Indonesia,
- Memeluk agama Islam, dan
- Kebudayaan yang cenderung terbuka terhadap pembaharuan.
Setelah islam masuk dan berkembang, maka hampir semua unsur kebudayaan yang mentradisi sebelumnya ( animisme, dinamisme, hindu dan budha ) diislamkan sehingga pada gilirannya nafas dan pemikiran agama islam terasa lebih dominant didalam kebudayaan Melayu. Unsur-unsur budaya yang dianggap bertentangan dengan pemikiran agama islam dihilangkan meskipn tak sepenuhnya berhasil. Sisa-sisa budaya usang itu masih terasa menempel hingga sekarang. Di dalam adat istiadat misalnya, dominasi islam itu dibakukan dengan motto “ adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah”. Ungkapan ini menyampaikan, bahwa adat istiadat yang berlaku didalam masyarakat Melayu Riau yaitu adat yang harmonis dan tidak bertentangan dengan pemikiran agama islam.
Bagi orang melayu Riau, lingkungan hidup itu disebut hutan tanah, artinya bahwa lingkungan itu bukan hanya tanahnya saja tetapi mencakup hutan dan seluruh sumber daya yang harus dilestarikan. Hutan sangat berharga bagi masyarakat melayu lantaran kandungan sumber daya alam di dalamnya. Pada masyarakat Melayu mengenal pembagian tanah yang terdiri dari tiga kepingan yakni tanah perladangan, rimba larangan, rimba simpanan (ulayat) dan rimba kepungan sialang. Pembagian tersebut merupakan salah satu upaya menjaga kelestarian alam(hutan).
Kalaulah kita mau bercermin, kita seharusnya bisa berguru dari kearifan masyarakat lokal dalam mengelola sumber daya alamnya. Masyarakat, tak terkecuali masyarakat Melayu Riau yang umumnya tinggal di daerah pesisir. Umumnya, kearifan lokal yang berlaku dalam keseharian mereka merupakan pesan-pesan budaya yang diwujudkan dan diekspresikan melalui upacara tradisional, seloka-seloka, tabu-tabu dan tradisi lainnya.
Sebagai ilustrasi bagaimana masyarakat Melayu menjaga lautnya bisa dilihat dari posisi rumah yang mereka tempati beranak-pinak selalu menghadap ke laut. Dalam artian, bagi mereka maritim sesungguhnya bukanlah kepingan belakang rumah mereka yang seringkali diartikan sebagai kepingan atau tempat pembuangan sampah. Laut bagi masyarakat Melayu Riau yaitu masa depan dan tantangan yang membuat mereka harus selalu berpikir untuk menaklukkannya.
Mestinya kita juga harus berguru dari suku Sakai bagaimana mereka memperlakukan alamnya. Bagi masyarakat sakai, hutan dan sungai yaitu rentak nadi yang menyatu dalam kehidupan yang mereka hadapi. Oleh lantaran rasa kebersatuannya dengan alam, Sakai kaya dengan kearifan-kearifan dalam berafiliasi hutan. Bukankah Sakai atau masyarakat lokal lainnya memerlukan alam dalam memenuhi keperluannya. Tapi mengapa mereka lebih arif daripada masyarakat modern yang seringkali mengaku mempunyai peradaban maju.
DAFTAR PUSTAKA;
- Allport, Gordon W., The Nature of Prejudice, Boston, Beacon Press, 1951.
- Allport, Gordon W., "The Problem of Prejudice", Racial and Ethnic Relations - Selected Readings, Bernard E.Segal (ed.), New York, Thomas Y.Crowell Company, 1954, Hlm.5-53.
- Arimbi HP (1997 ).Penghancuran Secara Sistematis Sistem-sistem Adat oleh Kelompok dominant. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Friends of the Earth (FoE) Indonesia
- Anonim ( 2003) Matrik Sosial Budaya Masyarakat kampong Hutan terhadap Lingkungan hidup Indonesia Media
- Anonim (2001) .Visi Riau 2020, Pusat Kebudayaan Melayu . Dinas Pariwita Propinsi Riau.
- Blalock, Hurbert M., Toward a Theory of Minority Group Relations, John Willey and Sons Inc., New York, 1967.
- Bierstedt, Robert; The Social Order, (3rd ed.) Mc Graw-Hill, New York 1968;
- Broom, Leonard, and Phillip Selznick; Sociology : A text with Adapted Readings. (4th ed.) Harper & Row. New York 1968;
- Cohen, Abner (ed.), Urban Ethnicity, Tavistock Publications, London-New York, 1974.
- Geertz, Clifford, "The Inrtegrative Revolution: Primordial Sentiment and Civil Politics in the New States", Old Societies and New States, C.Geertz (ed.), New York, The Free Press, 1965, Hlm.105-107.
- Gordon, Milton M., Assimilation in American Life, Oxford University Press, New York, 1964.
- Green, Arnold W.; Sosiology : An Analysis of Life in Modern Society. (5th ed). Mc Graw- Hill. New York. 1968;
- Harun Daud(1998).Sejarah Melayu: Satu Kajian Daripada Aspek Pensejarahan Budaya, Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur.
- Herkovits, Melville J., Acculturation: The Study of Culture Contact, New York, Peter Smith, 1958.
- Koentjaraningrat (ed.), Masalah-Masalah Pembangunan: Bunga Rampai Antropologi Terapan, LP3ES, Jakarta, 1982.
- Linton, Ralp (ed.), The Science of Man in the World Crisis, New York, Columbia University Press, 1945.
- Martin, James G and Clyde W.Franklin, Minority Group Relations, Charles E. Merrill Publishing Company, Ohio, 1973.
- Merrill, Francis E. : Society and Culture : An Introduction to Sociology. (4th ed.) PrenticeHaal. Englewood Cliffs, New York. 1969;
- Rusdi Idar ( 1990). Mengibarkan panji-panji budi, daya dan karsa.Dinas Pariwita Propinsi Riau
- Schermerhorn,R.A., Comparative Ethnic Relations: A Framework of Theory and Research, Random House, New York, 1970.
- Shibutani T., Kian M.Kwan, Ethnic Stratification: A Comparative Approach, The MacMillan Company, London, 1969.
- Toit, Brian M.du (ed.), Ethnicity in Modern Africa, Westview Press, Colorado, 1978.
- Wirth, Louis, "The Problem of Minority Groups", The Science of Man in the World Crisis, R.Linton (ed.), New York, Columbia University Press, 1945, Hlm.347-372.