Pengertian Sengketa Pilkada

A. Pengertian ”Sengketa Pilkada”. 
Sengketa terjadi lantaran adanya benturan kepentingan. Oleh lantaran itu seiring dengan perkembangan masyarakat muncul aturan yang berusaha untuk meminimalisir banyak sekali benturan kepentingan dalam masyarakat. Beberapa kala yang kemudian spesialis filsafat yang berjulukan Cicero mengatakan, “Ubi Societas Ibi Ius” artinya, dimana ada masyarakat maka di situ ada hukum. Pernyataan ini sangat sempurna sekali lantaran adanya aturan itu yaitu berfungsi sebagai kaidah atau norma dalam masyarakat. Kaidah atau norma itu yaitu patokan-patokan mengenai sikap yang dianggap pantas.33 Kaidah mempunyai kegunaan untuk menyelaraskan tiap kepentingan anggota masyarakat. Sehingga di masyarakat tidak akan terjadi benturan kepentingan antara anggota masyarakat yang satu dengan yang lainnya. Menurut Van Kan, 34 kepentingan-kepentingan insan sanggup saling bertumbukan bila tidak dikendalikan oleh kaidah, sehingga lahirlah kaidah agama, kaidah kesusilaan dan kaidah kesopanan sebagai perjuangan insan untuk menyelaraskan kepentingan-kepentingan itu. Tetapi, ketiga kaidah di atas ternyata mempunyai kelemahan:
  1. Kaidah agama, kaidah kesusilaan dan kaidah kesopanan belum cukup melindungi kepentingan-kepentingan insan dalam masyarakat lantaran ketiga kaidah ini tidak mempunyai hukuman yang tegas dan sanggup dipaksakan. 
  2. Kaidah agama, kaidah kesusilaan dan kaidah kesopanan belum mengatur secara keseluruhan kepentingan-kepentingan insan menyerupai kepentingan insan dalam bidang pertanahan, kehutanan, kelautan, udara dan lainlain.
Oleh lantaran itu, diharapkan satu kaidah lagi yang sanggup menjawab dua kelemahan di atas. Kaidah tersebut yaitu kaidah hukum. Kaidah aturan mempunyai sifat pemaksa artinya bila seseorang melanggar kepentingan orang lain maka beliau akan dipaksa oleh aturan untuk mengganti rugi atau bahkan dicabut hak kebebasannya dengan jalan dimasukan ke penjara biar kepentingan orang lain itu tidak terganggu. Lain dengan ketiga kaidah sebelumnya yang tidak mempunyai hukuman yang sanggup dipaksakan. Kaidah aturan juga mengisi kelemahan ketiga kaidah tadi yaitu dengan jalan berusaha mengatur seluruh peri kehidupan yang bekerjasama dengan insan sebagai anggota masyarakat maupun sebagai individu. Contohnya, aturan mulai mengatur dari insan itu dilahirkan hingga meninggal dunia. Hukum juga mengatur wacana kepentingan manusia/masyarakat terhadap tanahnya, kepentingan dari segi administrasinya, hak-hak dan lain-lain. Sehingga di dalam masyarakat yang komplek kepentingannya, maka aturan pun akan turut mengimbanginya.

Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 Tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan Dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, yang dimaksud dengan pemilihan kepala tempat dan wakil kepala tempat yang selanjutnya disebut pemilihan yaitu sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat di wilayah provinsi dan/atau kabupaten/kota berdasarkan Pancasila danUndang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 untuk menentukan kepala tempat dan wakil kepala daerah. Dasar aturan yaitu Undang-undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Dengan ditetapkannya Undang-undang ini, Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah mempunyai tugas yang sangat strategis dalam rangka pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan, pemerataan, kesejahteraan masyarakat, memelihara korelasi yang harmonis antara Pemerintah dan Daerah serta antar Daerah untuk menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Berdasarkan Pasal 106 ayat (1) Undang-undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, keberatan terhadap penetapan hasil pemilihan kepala tempat dan wakil kepala tempat hanya sanggup diajukan oleh pasangan calon kepada Mahkamah Agung dalam waktu paling lambat 3 (tiga) hari sehabis penetapan hasil pemilihan kepala tempat dan wakil kepala daerah.

 Kemudian ayat (2) menyatakan: Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berkenaan dengan hasil perhitungan bunyi yang menghipnotis terpilihnya pasangan calon. Ayat (3) menyatakan: Pengajuan keberatan kepada Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada pengadilan tinggi untuk pemilihan kepala tempat dan wakil kepala tempat provinsi dan kepada pengadilan negeri untuk pemilihan kepala tempat dan wakil kepala tempat kabupaten/kota. Ayat (4) menyatakan: Mahkamah Agung memutus sengketa hasil penghitungan bunyi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) paling lambat 14 (empat belas) hari semenjak diteirmanya permohonan keberatan oelh Pengadilan Negeri/Pengadilan Tinggi/Mahkamah Agung. Ayat (5) menyatakan: Putusan Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud pada ayat (4) bersifat final dan mengikat. Ayat (6) menyatakan: Mahkamah Agung dalam melaksanakan kewenangannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sanggup mendelegasikan kepada Pengadilan Tinggi untuk memutus sengketa perhitungan bunyi pemilihan kepala tempat dan wakil kepala tempat kabupaten dan kota. Ayat (7) menyatakan: Putusan Pengadilan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) bersifat final. Selanjutnya ketentuan Pasal 106 di atas diulang secara utuh dalam Pasal 94 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 wacana Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Pasal 94 selengkapnya berbunyi sebagai berikut: (1) keberatan terhadap penetapan hasil pemilihan hanya sanggup diajukan oleh pasangan calon kepada Mahkamah Agung dalam waktu paling lambat 3 (tiga) hari sehabis penetapan hasil pemilihan. (2) Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berkenaan dengan hasil perhitungan bunyi yang menghipnotis terpilihnya pasangan calon. (3) Pengajuan keberatan kepada Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sanggup disampaikan kepada pengadilan tinggi untuk pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur dan Pengadilan Negeri untuk pemilihan Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota. (4) Mahkamah Agung memutus sengketa hasil penghitungan bunyi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) paling lambat 14 (empat belas) hari semenjak diterimanya permohonan keberaatn oleh Pengdailan Negeri/Pengadilan Tinggi/Mahkamah Agung. (5) Putusan Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud pada ayat (4) bersifat final dan mengikat. (6) Mahkamah Agung dalam melaksanakan kewenangannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sanggup mendelegasikan kepada Pengadilan Tinggi untuk memutus sengketa hasil perhitungan bunyi pemilihan Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota. (7) Putusan Pengadilan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) bersifat final dan mengikat. Dasar aturan yang terakhir yaitu Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2005 wacana Tata Cara Pengajuan Upaya Hukum Keberatan terhadap Penetapan Hasil Pilkada dan Pilwakada Dari KPUD Provinsi dan KPUD Kabupaten/Kota. Pangkal sengketa yaitu objek atau wilayah kompetensi yang sanggup dikategorikan sebagai sengketa Pilkada.

Pangkal sengketa ini kerap disalah artikan oleh para penegak hukum. Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004, bentuk-bentuk pelanggaran pemilu menyerupai kecurangan, tidak terdaftar sebagai pemilih dan bentuk kecurangan lainya di laporkan ke Komite Pengawas Pemilu yang dilanjutkan ke tingkat kepolisian. Pasal 106 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 wacana Pemerintahan Daerah menyebutkan "Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 (satu) hanya berkenaan dengan hasil perhitungan bunyi yang menghipnotis terpilihnya pasangan calon". Hal serupa juga terlihat pada Pasal 94 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dan juga Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2005 wacana Tata Cara Pengajuan Upaya Hukum Keberatan terhadap Penetapan Hasil Pilkada dan Pilwakada Dari KPUD Provinsi dan KPUD Kabupaten/Kota. Ayat tersebut terperinci dan tegas menyatakan bahwa yang jadi pokok keberatan yang akan dilayani yaitu mengenai hasil perhitungan bunyi yang berarti proses tamat dari Pilkada. 

B. Pemilihan Umum 
Demokrasi, pada mulanya merupakan satu gagasan wacana tumpuan kehidupan yang muncul sebagai reaksi terhadap kenyataan sosial politik yang tidak manusiawi di tengah-tengah masyarakat. Reaksi tersebut tentu datangnya dari orang-orang yang berpikir idealis dan bijaksana. Mereka terusik dan tergugah melihat adanya pengekangan dan pelecehan seksual terhadap hak-hak asasi manusia. Ada tiga nilai ideal yang mendukung demokrasi sebagai satu gagasan kehidupan yaitu kemerdekaan (freedom), persamaan (ekuality), dan keadilan (justice). Dalam kenyataan hidup, wangsit tersebut direalisasikan melalui perwujudan symbol-simbol dan hakekat dari nilai-nilai dasar demokrasi sungguh-sungguh mewakili atau diangkat dari kenyataan hidup yang sepadan dengan nilai-nilai itu sendiri35 .

Sejalan dengan makin mendunianya demokrasi, anutan wacana demokrasi pun semakin berkembang. Tapi pada umumnya anutan itu berintikan wacana kekuasan dalam Negara. Dalam Negara demokrasi, rakyatlah yang mempunyai dan mengendalikan kekuasan dan kekuasaan itu dijalankan demi kepentingan rakyat. Abraham Lincoln pernah menyampaikan bahwa demokrasi yaitu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Suatu pemerintahan itu sanggup disebut demokratis apabila pemerintahan tersebut sanggup menyampaikan kesempatan konstitusional yang teratur bagi persaingan tenang untuk memperoleh kekuasaan politik untuk banyak sekali kelompok yang berbeda, tanpa menyisihkan bab penting dari penduduk manapun dengan paksa.

Rezim-rezim demokratis dibedakan oleh paksa, legalitas, dan legitimasi banyak sekali organisasi dan himpunan yang relatif bebas dalam hubungannya dengan pemerintah dan dengan dirinya satu sama lain. Salah satu hal penting untuk memenuhi prasyarat tersebut diatas yaitu dengan melaksanakan pemilihan umum, lantaran tidak ada demokrasi tanpa diikuti pemilihan umum yang merupakan wujud yang paling kasatmata dari demokrasi. Melihat struktur kepartaian yang demikian, konflik-konflik antara partai-partai politik di Indonesia intinya merupakan konflik antar sosial kultural berdasarkan perbedaan-perbedaan suku-bangsa, agama, tempat dan stratifikasi sosial. 

Tentu saja tidak sanggup disangkal bahwa sikap politik dari banyak sekali partai politik di Indonesia di dalam hubungannya satu sama lain jauh lebih kompleks daripada sekedar bersumber dari dalam perbedaan-perbedaan suku-bangsa, agama, tempat dan stratifikasi sosial. Kompleksitas itulah yang telah membuka kemungkinan membuka tumpuan bagaimana cara melihat tumpuan kepartaian dan sikap politik yang diwujudkan oleh banyak sekali partai di Indonesia. Herbert Feith menyatakan konflik-konflik politik di Indonesia sebagai konflik ideologi yang bersumber di dalam ketegangan-ketegangan yang terjadi antara pandangan dunia tradisional di satu pihak, dengan pandangan dunia modern di pihak lainya36 . Sementara itu Donald Hindley menyatakan keragaman tumpuan kepartaian di Indonesia bersifat saling menyilang, yaitu golongan yang bersifat keagamaan di satu pihak dan penggolongan atas penganut pandangan dunia tradisional dan dunia modern di pihak lain37 .

1. Arti Pemilhan Umum 
Pada hakikatnya pemilu di Negara manapun mempunyai esensi yang sama. Pemilu berarti rakyat melaksanakan acara menentukan orang atau sekelompok orang yang menjadi pemimpin rakyat atau pemimpin Negara. Pemimpin yang terpilih akan menjalankan kehendak rakyat yang memilihnya. Pemilihan umum merupakan salah satu sarana utama untuk menegakkan tatanan politik yang demokratis. Fungsinya sebagai alat menyehatkan dan menyempurnakan demokrasi. Esensinya sebagai sarana demokrasi untuk membentuk suatu sistem kekuasaan 

Negara yang intinya lahir dari bawah berdasarkan kehendak rakyat sehingga terbentuk kekuasaan Negara yang benar-benar memancarkan kebawah sebagai suatu kewibawaan sesuai dengan impian rakyat, oleh rakyat, berdasarkan sistem permusyawaratan perwakilan38 . Pemilihan Umum pada hakekatnya merupakan pengesahan dan perwujudan dari hak-hak politik rakyat dan sekaligus merupakan pendelegasian hak-hak politik rakyat pada wakil-wakilnya untuk menjalankan pemerintahan. Untuk mewujudkan hal tersebut dibutuhkan kendaraan politik, partai politik kemudian hadir dan menyampaikan kader-kadernya untuk mewakili hak-hak politik rakyat dalam negara. Tetapi untuk memperjuangkan hak-hak politik rakyat partai politik terlebih dahulu harus memperoleh eksistensi yang sanggup dilihat dari perolehan bunyi dalam pemilihan umum.

Pemilihan umum yaitu suatu sarana atau cara untuk menentukan orang-orang yang akan mewakili rakyat dalam menjalankan roda pemerintahan, kepentingan rakyat perlu diwakali. Karena pada ketika kini ini mustahil melibatkan rakyat secara eksklusif dalam acara tersebut mengingat jumlah penduduk sangat besar. Maka dari itu partai politik manawarkan calon-calon untuk mewakili kepentingan rakyat. Pemilihan umum merupakan ketika dimana partai politik bertarung untuk memperoleh eksistensi di forum legislatif.

2. Fungsi Pemilihan Umum 
Dalam negara demokratis (pemerintah dari, oleh, dan untuk rakyat) maka salah satu ciri utamanya yaitu pemilhan umum untuk menentukan partai politik yang akan menerima kepercayaan rakyat. Pemilihan umum merupakan citra yang ideal bagi suatu pemerintahan yang demokratis. Menurut Seymour Martin Lipset demokrasi yang stabil membutuhkan konflik atau pemisahan sehingga akan terjadi perebutan jabatan politik, oposisi terhadap partai yang berkuasa dan pergantian partai-partai berkuasa39. Karena itu pemilu bukan hanya untuk menentukan partai yang berkuasa secara sah, namun jauh lebih penting dari yaitu sebagai bukti bahwa demokrasi yang berjalan dengan stabil, dimana terjadi pergantian partaipartai politik yang berkuasa. 

C. Pemilihan Kepala Daerah
Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yaitu Pemilu untuk menentukan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara eksklusif dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 194540. Sebelum diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 wacana Pemerintahan Daerah, Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Namun semenjak Juni 2005 Indonesia menganut sistem pemilihan Kepala Daerah secara langsung. Pada dasarnya tempat merupakan bab yang tidak sanggup dipisahkan dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini berkaitan dengan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang seharusnya sinkron dengan pemilihan presiden dan wakil presiden, yaitu pemilihan secara langsung. Menurut Rozali Abdullah, beberapa alasan mengapa diharuskan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung41, adalah: 1. Mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat Warga masyarakat di tempat merupakan bab yang tak terpisahkan dari warga masyarakat Indonesia secara keseluruhan, yang mereka juga berhak atas kedaulatan yang merupakan hak asasi mereka, yang hak tersebut dijamin dalam konstitusi kita UUD Negara Republik Indonesia 1945. Oleh lantaran itu, warga masyarakat di daerah, berdasarkan kedaulatan yang mereka punya, diberikan hak untuk menentukan nasib wilayahnya masing-masing, antara lain dengan menentukan Kepala Daerah secara langsung. 40 Pasal 1 ayat 4 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007
  • 33 Soerjono Soekanto, Mengenal Sosiologi Hukum (Bandung : Alumni, 1986) hlm. 9. 34 J. Van Kan dan J.H. Beekhuis, Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta : PT Pembangunan Ghalia Indonesia, 1982) hlm. 7-17.
  • 35 Arbi Sanit, Perwakilan Politik Indonesia, (CV. Rajawali. Yogyakarta.1985) hlm. 83
  • 36 Jacobus Ranjabar, Sistem Sosial Budaya Indonesia suatu pengantar. (Ghalia Indonesia. Jakarta, 1998). hlm. 71 37 Ibid, hlm. 72
  • 38 Rusli Karim M, Perjalanan Partai Politik di Indonesia : Sebuah Potret Pasang Surut, (CV. Rajawali. Jakarta.1991) hlm. 120
  • 39 Seymour Martin Lipset, Political Man : Basis Sosial Tentang Politik, (Pustaka Pelajar. Yogyakarta.1960) hlm. 1
  • . 41 Lihat: Rozali Abdullah, pelaksanaan Otonomi Luas dengan Pemilihan Kepala Derah secara Langsung, PT Raja Grafindo, 2005, hlm 53-55

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel