Teori, Sejarah, Pengertian, Ciri-Ciri Dan Jenis Filsafat

F I L S A F A T
Aku dihentikan menyampaikan bahwa mereka bijaksana, sebabkebijaksanaan yakni sesuatu yang luhur, dan hanya dimiliki oleh Tuhan sendiri. Sebutan yang bersahaja, yaitu yang selayaknya diberikan kepada mereka yakni pencinta kebijaksanaan atau akhli Filsafat (Socrates dalam Phaedrus karya Plato)

A. PENGERTIAN FILSAFAT
Secara etimologis filsafat berasal dari bahasa Yunani dari kata “philo” berarti cinta dan” sophia” yang berarti kebenaran, sementara itu berdasarkan I.R. Pudjawijatna (1963 : 1) “Filo artinya cinta dalam arti yang seluas-luasnya, yaitu ingin dan lantaran ingin kemudian berusaha mencapai yang diinginkannya itu . Sofia artinya kebijaksanaan , bijaksana artinya pandai, mengerti dengan mendalam, jadi berdasarkan namanya saja Filsafat boleh dimaknakan ingin mengerti dengan mendalam atau cinta dengan kebijaksanaan.

Kecintaan pada kebijaksanaan haruslah dipandang sebagai suatu bentuk proses, artinya segala upaya pemikiran untuk selalu mencari hal-hal yang bijaksana, bijaksana di dalamnya mengandung dua makna yaitu baik dan benar, baik yakni sesuatu yang berdimensi etika, sedangkan benar yakni sesuatu yang berdimensi rasional, jadi sesuatu yang bijaksana yakni sesuatu yang etis dan logis. Dengan demikian berfilsafat berarti selalu berusaha untuk berfikir guna mencapai kebaikan dan kebenaran, berfikir dalam filsafat bukan sembarang berfikir namun berpikir secara radikal hingga ke akar-akarnya, oleh lantaran itu meskipun berfilsafat mengandung kegiatan berfikir, tapi tidak setiap kegiatan berfikir berarti filsafat atau berfilsafat. Sutan Takdir Alisjahbana (1981) menyatakan bahwa pekerjaan berfilsafat itu ialah berfikir, dan hanya insan yang telah datang di tingkat berfikir, yang berfilsafat. Guna lebih memahami mengenai makna filsafat berikut ini akan dikemukakan definisi filsafat yang dikemukakan oleh para akhli :
  1. Plato salah seorang murid Socrates yang hidup antara 427 – 347 Sebelum Masehi mengartikan filsafat sebagai pengetahuan wacana segala yang ada, serta pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran yang asli.
  2. Aristoteles (382 – 322 S.M) murid Plato, mendefinisikan filsafat sebagai ilmu pengetahuan yang meliputi kebenaran yang terkandung di dalamnya ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik dan estetika. Dia juga beropini bahwa filsafat itu memeriksa lantaran dan asas segala benda.
  3. Cicero (106 – 43 S.M). filsafat yakni pengetahuan wacana sesuatu yang maha agung dan usaha-usaha mencapai hal tersebut.
  4. Al Farabi (870 – 950 M). seorang Filsuf Muslim mendefinidikan Filsafat sebagai ilmu pengetahuan wacana alam maujud, bagaimana hakikatnya yang sebenarnya.
  5. Immanuel Kant (1724 – 1804). Mendefinisikan Filsafat sebagai ilmu pokok dan pangkal segala pengetahuan yang meliputi di dalamnya empat problem yaitu : 
  • Metafisika (apa yang sanggup kita ketahui).
  • Etika (apa yang boleh kita kerjakan).
  • Agama ( hingga dimanakah pengharapan kita) 
  • Antropologi (apakah yang dinamakan manusia).
H.C Webb dalam bukunya History of Philosophy menyatakan bahwa filsafat mengandung pengertian penyelidikan. Tidak hanya penyelidikan hal-hal yang khusus dan tertentu saja, bahkan lebih-lebih mengenai sifat – hakekat baik dari dunia kita, maupun dari cara hidup yang seharusnya kita selenggarakan di dunia ini.
7. Harold H. Titus dalam bukunya Living Issues in Philosophy mengemukakan beberapa pengertian filsafat yaitu :
  • Philosophy is an attitude toward life and universe (Filsafat yakni perilaku terhadap kehidupan dan alam semesta).
  • Philosophy is a method of reflective thinking and reasoned inquiry (Filsafat yakni suatu metode berfikir reflektif dan pengkajian secara rasional)
  • Philosophy is a group of problems (Filsafat yakni sekelompok masalah)
  • Philosophy is a group of systems of thought (Filsafat yakni serangkaian sistem berfikir)
Dari beberapa pengertian di atas nampak bahwa ada akhli yang menekankan pada subtansi dari apa yang difikirkan dalam berfilsafat ibarat pendapat Plato dan pendapat Al Farabi, Aristoteles lebih menekankan pada cakupan apa yang difikirkan dalam filsafat demikian juga Kant setelah menyebutkan sifat filsafatnya itu sendiri sebagai ilmu pokok, sementara itu Cicero disamping menekankan pada substansi juga pada upaya-upaya pencapaiannya. Demikian juga H.C. Webb melihat filsafat sebagai upaya penyelidikan wacana substansi yang baik sebagai suatu keharusan dalam hidup di dunia. Definisi yang nampaknya lebih menyeluruh yakni yang dikemukakan oleh Titus, yang menekankan pada dimensi-dimensi filsafat dari mulai sikap, metode berfikir, substansi masalah, serta sistem berfikir.

Meskipun demikian, jikalau diperhatikan secara seksama, nampak pengertian-pengertian tersebut lebih bersifat saling melengkapi, sehingga sanggup dikatakan bahwa berfilsafat berarti penyeledikan wacana Apanya, Bagaimananya, dan untuk apanya, dalam konteks ciri-ciri berfikir filsafat, yang jikalau dikaitkan dengan terminologi filsafat tercakup dalam ontologi (apanya), epistemologi (bagaimananya), dan axiologi (untuk apanya)

B. CIRI-CIRI FILSAFAT 
Bila dilihat dari aktivitasnya filsafat merupakan suatu cara berfikir yang mempunyai karakteristik tertentu. Menurut Sutan Takdir Alisjahbana syarat-syarat berfikir yang disebut berfilsafat yaitu : a) Berfikir dengan teliti, dan b) Berfikir berdasarkan aturan yang pasti. Dua ciri tersebut membuktikan berfikir yang insaf, dan berfikir yang demikianlah yang disebut berfilsafat. Sementara itu Sidi Gazalba (1976) menyatakan bahwa ciri ber-Filsafat atau berfikir Filsafat yakni : radikal, sistematik, dan universal. Radikal bermakna berfikir hingga ke akar-akarnya (Radix artinya akar), tidak tanggung-tanggung hingga dengan aneka macam konsekwensinya dengan tidak terbelenggu oleh aneka macam pemikiran yang sudah diterima umum, Sistematik artinya berfikir secara teratur dan logis dengan urutan-urutan yang rasional dan sanggup dipertanggungjawabkan, Universal artinya berfikir secara menyeluruh tidak pada bagian-bagian khusus yang sifatnya terbatas.

Sementara itu Sudarto (1996) menyatakan bahwa ciri-ciri berfikir Filsafat yakni :
  • Metodis : memakai metode, cara, yang lazim dipakai oleh filsuf (akhli filsafat) dalam proses berfikir
  • Sistematis : berfikir dalam suatu keterkaitan antar unsur-unsur dalam suatu keseluruhan sehingga tersusun suatu pola pemikiran Filsufis.
  • Koheren : diantara unsur-unsur yang dipikirkan tidak terjadi sesuatu yang bertentangan dan tersusun secara logis
  • Rasional : mendasarkan pada kaidah berfikir yang benar dan logis (sesuai dengan kaidah logika)
  • Komprehensif : berfikir wacana sesuatu dari aneka macam sudut (multidimensi).
  • Radikal : berfikir secara mendalam hingga ke akar-akarnya atau hingga pada tingkatan esensi yang sedalam-dalamnya
  • Universal : muatan kebenarannya bersifat universal, mengarah pada realitas kehidupan insan secara keseluruhan 
Dengan demikian berfilsafat atau berfikir filsafat bukanlah sembarang berfikir tapi berfikir dengan mengacu pada kaidah-kaidah tertentu secara disiplin dan mendalam. Pada dasarnya insan yakni homo sapien, hal ini tidak serta merta semua insan menjadi Filsuf, lantaran berfikir filsafat memerlukan latihan dan adaptasi yang terus menerus dalam kegiatan berfikir sehingga setiap masalah/substansi menerima pencermatan yang mendalam untuk mencapai kebenaran balasan dengan cara yang benar sebagai manifestasi kecintaan pada kebenaran.

C. OBJEK FILSAFAT 
Pada dasarnya filsafat atau berfilsafat bukanlah sesuatu yang asing dan terlepas dari kehidupan sehari-hari, lantaran segala sesuatu yang ada dan yang mungkin serta sanggup difikirkan bisa menjadi objek filsafat apabila selalu dipertanyakan, difikirkan secara radikal guna mencapai kebenaran. Louis Kattsoff menyebutkan bahwa lapangan kerja filsafat itu bukan main luasnya yaitu meliputi segala pengetahuan insan serta segala sesuatu yang ingin diketahui manusia, Langeveld (1955) menyatakan bahwa filsafat itu berpangkal pada pemikiran keseluruhan serwa sekalian secara radikal dan berdasarkan sistem, sementara itu Mulder (1966) menjelaskan bahwa tiap-tiap insan yang mulai berfikir wacana diri sendiri dan wacana tempat-tempatnya dalam dunia akan menghadapi beberapa problem yang begitu penting, sehingga persoalan-persoalan itu boleh diberi nama persoalan-persoalan pokok yaitu : 1) Adakah Allah dan siapakan Allah itu ?, 2) apa dan siapakah insan ?, dan 3) Apakah hakekat dari segala realitas, apakah maknanya, dan apakah intisarinya ?. Lebih jauh E.C. Ewing dalam bukunya Fundamental Questions of Philosophy (1962) menyatakan bahwa pertanyaan-pertanyaan pokok filsafat (secara tersirat menunjukan objek filsafat) ialah : Truth (kebenaran), Matter (materi), Mind (pikiran), The Relation of matter and mind (hubungan antara materi dan pikiran), Space and Time (ruang dan waktu), Cause (sebab-sebab), Freedom (kebebasan), Monism versus Pluralism (serba tunggal lawan serba jamak), dan God (Tuhan)

Pendapat-pendapat tersebut di atas menggambarkan betapa luas dan mencakupnya objek filsafat baik dilihat dari substansi kasus maupun sudut pandang nya terhadap masalah, sehingga sanggup disimpulkan bahwa objek filsafat yakni segala sesuatu yang maujud dalam sudut pandang dan kajian yang mendalam (radikal). Secara lebih sistematis para akhli membagi objek filsafat ke dalam objek material dan obyek formal. Obyek material yakni objek yang secara wujudnya sanggup dijadikan materi telaahan dalam berfikir, sedangkan obyek formal yakni objek yang menyangkut sudut pandang dalam melihat obyek material tertentu.

Menurut Endang Saefudin Anshori (1981) objek material filsafat yakni sarwa yang ada (segala sesuatu yang berwujud), yang pada garis besarnya sanggup dibagi atas tiga problem pokok yaitu : 1). Hakekat Tuhan; 2). Hakekat Alam; dan 3). Hakekat manusia, sedangkan objek formal filsafat ialah perjuangan mencari keterangan secara radikal terhadap objek material filsafat. Dengan demikian objek material filsafat mengacu pada substansi yang ada dan mungkin ada yang sanggup difikirkan oleh manusia, sedangkan objek formal filsafat menggambarkan wacana cara dan sifat berfikir terhadap objek material tersebut, dengan kata lain objek formal filsafat mengacu pada sudut pandang yang dipakai dalam memikirkan objek material filsafat.

D. SISTIMATIKA FILSAFAT
adapun Bidang-bidang kajian/sistimatika filsafat antara lain yakni :
  1. Ontologi. Bidang filsafat yang meneliti hakikat wujud/ada (on = being/ada; logos = pemikiran/ ilmu/teori).
  2. Epistemologi. Filsafat yang memeriksa wacana sumber, syarat serta proses terjadinya pengetahuan (episteme = pengetahuan/knowledge; logos = ilmu/teori/pemikiran) 
  3. Axiologi. Bidang filsafat yang menelaah wacana hakikat nilai-nilai (axios = value; logos = teori/ilmu/pemikiran)
Sementara itu berdasarkan Gahral Adian, Pendekatan filsafat melalui sistimatika sanggup dilakukan dengan mengacu pada tiga pernyataan yang dikemukakan oleh Immanuel Kant yaitu :
  1. Apa yang sanggup saya ketahui ?
  2. Apa yang sanggup saya harapkan ?
  3. Apa yang sanggup saya lakukan ?
ketiga pertanyaan tersebut menghasilkan tiga wilayah besar filsafat yaitu wilayah pengetahuan, wilayah ada, dan wilayah nilai. Ketiga wilayah besar tersebut kemudian dibagi lagi kedalam wilayah-wilayah pecahan yang lebih spesifik. Wilayah nilai meliputi nilai etika (kebaikan) dan nilai estetika (keindahan), wilayah Ada dikelompokan ke dalam Ontologi dan Metafisika, dan wilayah pengetahuan dibagi ke dalam empat wilayah yaitu filsafat Ilmu, Epistemologi, Metodologi, dan Logika. lebih lanjut ketiga wilayah tersebut diskemakan sbb :
  • ONTOLOGI METAFISIKA
  • FILSAFAT ILMU ETIKA
  • EPISTEMOLOGI 
  • METODOLOGI
  • LOGIKA ESTETIKA
E. CABANG-CABANG FILSAFAT
Dengan memahami Bidang-bidang kajian/sistimatika filsafat, nampak bahwa betapa luas cakupan filsafat mengingat segala sesuatu yang ada sanggup dijadikan substansi bagi pemikiran filsafat, namun demikian dalam perkembangannya para akhli mencoba mengelompokan cabang-cabang Filsafat kedalam beberapa pengelompokan sehingga nampak lebih fokus dan sistematis. Pencabangan ini intinya merupakan perkembangan selanjutnya dari pembidangan/sistematika filsafat, seiring makin berkembangnya pemikiran insan dalam melihat substansi objek material filsafat dengan titik tekan penelaahan yang bervariasi. Berikut ini akan dikemukakan pendapat beberapa pakar wacana cabang-cabang filsafat.
  1. Plato (427 – 347 S.M). membedakan lapangan atau bidang-bidang Filsafat kedalam : 1) Dialektika (yang mengandung problem idea-idea atau pengertian-pengertian umum), 2) Fisika (yang mengandung problem dunia materi), 3) Etika (yang mengandung problem baik dan buruk).
  2. Aristoteles (382 – 322 S.M).berpendapat bahwa Filsafat sanggup dibagi ke dalam empat cabang yaitu :
  • Logika. Merupakan ilmu pendahuluan bagi Filsafat
  • Filsafat Teoritis. Yang meliputi tiga bidang: 1) Fisika, 2) Matematika, 3) Metafisika.
  • Filsafat Praktis. Mencakup tiga bidang yaitu 1) Etika, 2) Ekonomi, 3) Politik.
  • Poetika (kesenian)
3. Al Kindi. Membagi Filsafat ke dalam tiga bidang yaitu : 
  • Ilmu Thabiiyat (Fisika)--merupakan tingkatan terendah
  • Ilmu Riyadhi (matematika)—merupakan tingkatan menengah
  • Ilmu Rububiyat (Ketuhanan)—merupakan tingkatan tertinggi
4. Al Farabi. Membagi Filsafat ke dalam dua pecahan yaitu :
  • Filsafat Teori. Meliputi matematika, Fisika, dan Metafisika.
  • Filsafat Praktis. Meliputi etika dan politik
5. H. De Vos. Menggolongkan Filsafat ke dalam : 
  • Metafisika (pemikiran di luar kebendaan)
  • Logika (cara berfikir benar)
  • Ajaran wacana Ilmu Pengetahua
  • Filsafat Alam
  • Filsafat Kebudayaan
  • Filsafat sejarah
  • Etika (masalah baik dan buruk)
  • Estetika (masalah keindahan, seni)
  • Antropologi (masalah yang berkaitan dengan manusia)
Hasbullah Bakry (1978). Menyatakan bahwa di zaman modern ini pembagian/cabang filsafat terdiri 
  • Filsafat Teoritis yang terdiri dari: logika, Metafisika, filsafat alam, filsafat manusia.
  • Filsafat praktis. Terdiri dari : etika, filsafat Agama, filsafat kebudayaan 
7. Prof.H.Ismaun (2000). Membagi cabang-cabang Filsafat sebagai berikut :
  • Epistemologi (filsafat pengetahuan)
  • Etika (filsafat moral.
  • Estetika (filsafat seni)
  • Metafisika
  • Politik (filsafat pemerintahan/negara)
  • Filsafat Agama
  • Filsafat pendidikan
  • Filsafat ilmu
  • Filsafat hukum
  • Filsafat sejarah
  • Filsafat matematika
8. Richard A. Hopkin. Membahas Filsafat ke dalam tujuh cabang penelaahan yaitu :
  • Etics (etika)
  • Political Philosophy (filsafat politik)
  • Metaphisics (metafisika)
  • Philosophy of Religion (filsafat Agama)
  • Theory of Knowledge (teori pengetahuan)
  • Logics (logika)
9. Alburey Castell. Membagi filsafat ke dalam :
  • Ketuhanan (theological problem)
  • Metafisika (methaphysical problem)
  • Epistemologi (epistemological problem)
  • Etika (ethical problem)
  • Politik (political problem)
  • Sejarah (historical problem)
10. Endang Saifuddin Anshori. Membagi cabang-cabang filsafat sebagai berikut :
  1. Metafisika. Filsafat wacana hakekat yang ada dibalik fisika, wacana hakekat yang bersifat transenden, di luar atau di atas jangkauan pengalaman manusia.
  2. Logika. Filsafat wacana pikiran yang benar dan yang salah.
  3. Etika. Filsafat wacana tingkah laris yang baik dan yang buruk.
  4. Estetika. Filsafat wacana kreasi yang indah dan yang jelek
  5. Epistemologi. Filsafat wacana ilmu pengetahuan
  6. Filsafat-filsafat khusus lainnya seperti: filsafat hukum, filsafat sejarah, filsafat alam, filsafat agama, filsafat manusia, filsafat pendidikan dan lain sebagainya
Pencabangan filsafat sebagaimana tersebut di atas amat penting dipahami guna melihat perkembangan keluasan dari substansi yang dikaji dan ditelaah dalam filsafat, dan secara teoritis hal itu masih mungkin berkembang sejalan dengan kemendalaman pengkajian terhadap objek materi filsafat.

F. PENDEKATAN DALAM MEMPELAJARI FILSAFAT
Upaya memahami apa yang dimaksud dengan filsafat sanggup dilakukan melalui aneka macam pendekatan, secara umum, pendekatan yang diambil sanggup dikategorikan berdasarkan sudut pandang terhadap filsafat, yakni filsafat sebagai produk dan filsafat sebagai proses. Sebagai produk artinya melihat filsafat sebagai kumpulan pemikiran dan pendapat yang dikemukakan oleh filsuf, sedangkan sebagai proses, filsafat sebagai suatu bentuk/cara berfikir yang sesuai dengan kaidah-kaidah berfikir filsafat.

Menurut Donny Gahral Adian (2002), terdapat empat pendekatan dalam melihat/memahami filsafat yaitu:
  • Pendekatan Definisi.
  • Pendekatan Sistimatika.
  • Pendekatan Tokoh
  • Pendekatan Sejarah
Pendekatan Definisi. Dalam pendekatan ini filsafat dicoba difahami melalui aneka macam definisi yang dikemukakan oleh para akhli, dan dalam kekerabatan ini penelusuran asal kata menjadi penting, mengingat kata filsafat itu sendiri intinya merupakan kristalisasi/representasi dari konsep-konsep yang terdapat dalam definisi itu sendiri, sehingga pemahaman atas kata filsafat itu sendiri akan sangat membantu dalam memahami definisi filsafat. 

Pendekatan Sistimatika. Objek material Filsafat yakni serwa yang ada dengan aneka macam variasi substansi dan tingkatan. Objek material ini bisa ditelaah dari aneka macam sudut sesuai dengan fokus keterangan yang diinginkan. Variasi fokus telaahan yang mengacu pada objek formal melahirkan aneka macam bidang kajian dalam filsafat yang menggambarkan sistimatika, 

Pendekatan Tokoh. Pada umumnya para filsuf jarang membahas secara tuntas seluruh wilayah filsafat, seorang filsuf biasanya mempunyai fokus utama dalam pemikiran filsafatnya. Dalam pendekatan ini seseorang mencoba mendalami filsafat melalui penelaahan pada pemikiran-pemikiran yang dikemukakan oleh para Filsuf, yang terkadang mempunyai kekhasan tersendiri, sehingga membentuk suatu aliran filsafat tertentu, oleh lantaran itu pendekatan tokoh juga sanggup dikelompokan sebagai pendekatan Aliran, meskipun tidak semua Filsuf mempunyai aliran tersendiri.

Pendekatan Sejarah. Pendekatan ini berusaha memahami filsafat dengan melihat aspek sejarah dan perkembangan pemikiran filsafat dari waktu ke waktu dengan melihat kecenderungan-kecenderungan umum sesuai dengan semangat zamannya, kemudian dilakukan periodisasi untuk melihat perkembangan pemikiran filsafat secara kronologis.

Dari pendekatan-pendekatan tersebut di atas, nampak sekali bahwa untuk memahami filsafat seseorang sanggup memasukinya melalui empat pintu, namun demikian bagi pemula, pintu-pintu tersebut harus dilalui secara terurut, mengingat pintu pendekatan Tokoh dan pendekatan Historis perlu didasari dengan pemahaman awal wacana filsafat yang sanggup diperoleh melalui pintu pendekatan definisi dan pendekatan sistematika.

G. SUDUT PANDANG TERHADAP FILSAFAT
Terdapat tiga sudut pandang dalam melihat Filsafat, sudut pandang ini menggambarkan variasi pemahaman dalam memakai kata Filsafat, sehingga dalam penggunaannya mempunyai konotasi yang berbeda. Adapun sudut pandang tersebut yakni :
  1. Filsafat sebagai metode berfikir (Philosophy as a method of thought
  2. Filsafat sebagai pandangan hidup (Philosophy as a way of life)
  3. Filsafat sebagai Ilmu (Philosophy as a science)
Filsafat sebagai metode berfikir berarti filsafat dipandang sebagai suatu cara insan dalam memikirkan wacana segala sesuatu secara radikal dan menyeluruh, Filsafat sebagai pandangan hidup mengacu pada suatu keyakinan yang menjadi dasar dalam kehidupan baik intelektual, emosional, maupun praktikal, sedangkan filsafat sebagai Ilmu artinya melihat filsafat sebagai suatu disiplin ilmu yang mempunyai karakteristik yang khas sesuai dengan sifat suatu ilmu. 

H. SEJARAH SINGKAT FILSAFAT
Sejarah filsafat sanggup diperiodisasi ke dalam empat periode (Sudarto. 1996) yaitu :
  • 1. Tahap/masa Yunani kuno (Abad ke-6 S.M hingga final kurun ke-3 S.M)
  • 2. Tahap/masa Abad Pertengahan (akhir kurun ke-3 S.M hingga awal kurun ke-15 Masehi)
  • 3. Tahap/masa Modern (akhir kurun ke-15 M hingga kurun ke-19 Masehi) 
  • 4. Tahap/masa cukup umur ini/filsafat kontemporer (abad ke-20 Masehi)
sementara itu K. Bertens dalam bukunya Ringkasan Sejarah Filsafat (1976) menyusun topik-topik pembahasannya sebagi berikut :
  1. Masa Purba Yunani
  2. Masa Patristik dan Abad pertengahan
  3. Masa Modern
Pembagian periodisasi yang nampaknya lebih rinci, dikemukakan oleh Susane K. Langer (Donny Gahral Adian, 2002) yang membagi sejarah filsafat ke dalam enam tahapan yaitu :
  1. Yunani Kuno (+ 600 SM)
  2. Filsuf-filsuf Manusia Yunani
  3. Abad Pertengahan (300 SM –1300M)
  4. Filsafat Modern (17-19 M)
  5. Positivisme (Abad 20 M)
  6. Alam Simbolis
kemudian Gahral Adian menambahkan kepada enam tahapan tersebut dengan satu tahapan lagi yaitu Post Modernisme. Meskipun terdapat perbedaan dalam periodisasi sejarah filsafat, namun semua itu nampaknya lebih menunjukan perincian dengan memakai sifat pemikiran serta pengaruhnya dalam kehidupan masyarakat.

Masa Yunani Kuno. Pada tahap awal kelahirannya filsafat menampakkan diri sebagi suatu bentuk mitologi, serta dongeng-dongeng yang dipercayai oleh Bangsa Yunani, gres setelah Thales (624-548 S.M) mengemukakan pertanyaan asing pada waktu itu, filsafat berkembang menjadi suatu bentuk pemikiran rasional (logos). Pertanyaan Thales yang menggambarkan rasa keingintahuan bukanlah pertanyaan biasa ibarat apa rasa kopi ?, atau pada tahun keberapa tanaman kopi berbuah ?, pertanyaan Thales yang merupakan pertanyaan filsafat, lantaran mempunyai bobot yang dalam sesuatu yang ultimate (bermakna dalam) yang mempertanyakan wacana Apa bekerjsama materi alam semesta ini (What is the nature of the world stuff ?), atas pertanyaan ini indra tidak bisa menjawabnya, sains juga terdiam, namun Filsuf berusaha menjawabnya. Thales menjawab Air (Water is the basic principle of the universe), dalam pandangan Thales air merupakan prinsip dasar alam semesta, lantaran air sanggup berkembang menjadi aneka macam wujud 

Kemudian silih berganti Filsuf menunjukkan balasan terhadap materi dasar (Arche) dari semesta raya ini dengan argumentasinya masing-masing. Anaximandros (610-540 S.M) menyampaikan Arche is to Apeiron, Apeiron yakni sesuatu yang paling awal dan abadi, Pythagoras (580-500 S.M) menyatakan bahwa hakekat alam semesta yakni bilangan, Demokritos (460-370 S.M) beropini hakekat alam semesta yakni Atom, Anaximenes (585-528 S.M) menyatakan udara, dan Herakleitos (544-484 S.M) menjawab asal hakekat alam semesta yakni api, ia beropini bahwa di dunia ini tak ada yang tetap, semuanya mengalir . Variasi balasan yang dikemukakan para filsuf menandai dinamika pemikiran yang mencoba mendobrak dominasi mitologi, mereka mulai secara intens memikirkan wacana Alam/Dunia, sehingga sering dijuluki sebagai Philosopher atau akhli wacana Filsafat Alam (Natural Philosopher), yang dalam perkembangan selanjutnya melahirkan Ilmu-ilmu kealaman. 

Pada perkembangan selanjutnya, disamping pemikiran wacana Alam, para akhli fikir Yunani pun banyak yang berupaya memikirkan wacana hidup kita (manusia) di Dunia. Dari titik tolak ini lahir lah Filsafat moral (atau filsafat sosial) yang pada tahapan berikutnya mendorong lahirnya Ilmu-ilmu sosial. Diantara filsuf populer yang banyak mencurahkan perhatiannya pada kehidupan insan yakni Socrates (470-399 S.M), ia sangat menentang anutan kaum Sofis

Yang cenderung mempermainkan kebenaran, Socrates berusaha meyakinkan bahwa kebenaran dan kebaikan sebagai nilai-nilai yang

Kaum Sofis yakni golongan yang tidak lagi memikirkan alam, malainkan melatih kemahiran insan dalam berpidato, berargumentasi untuk mempertahankan kebenaran, akan tetapi bagi mereka kebenaran itu sifatnya relatif tergantung kemampuan berargumentasi. Salah seorang tokohnya yakni Protagoras yang beropini bahwa Man is the measure of all things objektif yang harus diterima dan dijunjung tinggi oleh semua orang. Dia mengajukan pertanyaan pada siapa saja yang ditemui dijalan untuk membukakan batin warga Athena kepada kebenaran (yang benar) dan kebaikan (yang baik). Dari prilakunya ini pemerintah Athena menganggap Socrates sebagai penghasut, dan risikonya ia dieksekusi mati dengan jalan meminum racun. 

Sesudah Socrates mennggal, filsafat Yunani terus berkembang dengan Tokohnya Plato (427-347 S.M), salah seorang murid Socrates. Diantara pemikiran Plato yang penting yakni berkaitan dengan pembagian relaitas ke dalam dua pecahan yaitu realitas/dunia yang hanya terbuka bagi rasio, dan dunia yang terbuka bagi pancaindra, dunia pertama terdiri dari idea-idea, dan dunia ke dua yakni dunia jasmani (pancaindra), dunia wangsit sifatnya tepat dan tetap, sedangkan dunia jasmani selalu berubah. Dengan pendapatnya tersebut, berdasarkan Kees Berten (1976), Plato berhasil mendamaikan pendapatnya Herakleitos dengan pendapatnya Permenides, berdasarkan Herakleitos segala sesuatu selalu berubah, ini benar kata Plato, tapi hanya bagi dunia Jasmani (Pancaindra), sementara berdasarkan Permenides segala sesuatu sama sekali tepat dan tidak sanggup berubah, ini juga benar kata Plato, tapi hanya berlaku pada dunia idea saja. 

Dalam sejarah Filsafat Yunani, terdapat seorang filsuf yang sangat legendaris yaitu Aristoteles (384-322 S.M), seorang yang pernah berguru di Akademia Plato di Athena. Setelah Plato meninggal Aristoteles menjadi guru pribadinya Alexander Agung selama dua tahun, setelah itu ia kembali lagi ke Athena dan mendirikan Lykeion, ia sangat mengagumi pemikiran-pemikiran Plato meskipun dalam filsafat, Aristoteles mengambil jalan yang berbeda (Aristoteles pernah mengatakan-ada juga yang beropini bahwa ini bukan ucapan Aristoteles- Amicus Plato, magis amica veritas – Plato memang sahabatku, tapi kebenaran lebih bersahabat bagiku – ungkapan ini terkadang diterjemahkan bebas menjadi “Saya menyayangi Plato, tapi saya lebih menyayangi kebenaran”)

Aristoteles mengkritik tajam pendapat Plato wacana idea-idea, berdasarkan Dia yang umum dan tetap bukanlah dalam dunia idea akan tetapi dalam benda-benda jasmani itu sendiri, untuk itu Aristoteles mengemukakan teori Hilemorfisme (Hyle = Materi, Morphe = bentuk), berdasarkan teori ini, setiap benda jasmani mempunyai dua hal yaitu bentuk dan materi, sebagai contoh, sebuah patung niscaya mempunyai dua hal yaitu materi atau materi baku patung contohnya kayu atau batu, dan bentuk contohnya bentuk kuda atau bentuk manusia, keduanya mustahil lepas satu sama lain, pola tersebut hanyalah untuk memudahkan pemahaman, lantaran dalam pandangan Aristoteles materi dan bentuk itu merupakan prinsip-prinsip metafisika untuk memperkukuh dimingkinkannya Ilmu pengetahuan atas dasar bentuk dalam setiap benda konkrit. Teori hilemorfisme juga menjadi dasar bagi pandangannya wacana manusia, insan terdiri dari materi dan bentuk, bentuk yakni jiwa, dan lantaran bentuk tidak pernah lepas dari materi, maka konsekwensinya yakni bahwa apabila insan mati, jiwanya (bentuk) juga akan hancur.

Disamping pendapat tersebut Aristoteles juga dikenal sebagai Bapak Logika yaitu suatu cara berpikir yang teratur berdasarkan urutan yang tepat atau berdasarkan kekerabatan lantaran akibat. Dia yakni yang pertama kali membentangkan cara berpikir teratur dalam suatu sistem, yang intisarinya yakni Sylogisme (masalah ini akan diuraikan khusus dalam topik Logika) yaitu menarik kesimpulan dari kenyataan umum atas hal yang khusus (Mohammad Hatta, 1964).

Abad Pertengahan. Semenjak meninggalnya Aristoteles, filsafat terus berkembang dan menerima kedudukan yang tetap penting dalam kehidupan pemikiran insan meskipun dengan corak dan titik tekan yang berbeda. Periode semenjak meninggalnya Aristoteles (atau setelah meninggalnya Alexander Agung (323 S.M) hingga menjelang lahirnya Agama Katolik oleh Droysen (Ahmad Tafsir. 1992) disebut periode Hellenistik (Hellenisme yakni istilah yang menunjukan kebudayaan campuran antara budaya Yunani dan Asia Kecil, Siria, Mesopotamia, dan Mesir Kuno). Dalam masa ini Filsafat ditandai antara lain dengan perhatian pada hal yang lebih aplikatif, serta kurang memperhatikan Metafisika, dengan semangat yang Eklektik (mensintesiskan pendapat yang berlawanan) dan bercorak Mistik.

Menurut A. Epping. at al (1983), ciri insan (pemikiran filsafat) kurun pertengahan yakni :
  1. Ciri berfilsafatnya dipimpin oleh Gereja
  2. Berfilsafat di dalam lingkungan anutan Aristoteles
  3. berfilsafat dengan pemberian Augustinus 
pada masa ini filsafat cenderung kehilangan otonominya, pemikiran filsafat kurun pertengahan bercirikan Teosentris (kebenaran berpusat pada wahyu Tuhan), hal ini tidak mengherankan mengingat pada masa ini efek Agama Katolik sangat besar dalam kehidupan manusia, termasuk dalam bidang pemikiran.

Filsafat kurun pertengahan sering juga disebut filsafat scholastik, yakni filsafat yang mempunyai corak semata-mata bersifat keagamaan, dan mengabdi pada teologi. Pada masa ini memang terdapat upaya-upaya para filsuf untuk memadukan antara pemikiran Rasional (terutama pemikiran-pemikiran Aristoteles) dengan Wahyu Tuhan sehingga sanggup dipandang sebagai upaya sintesa antara kepercayaan dan akal. Keadaan ini pun terjadi dikalangan umat Islam yang mencoba melihat anutan Islam dengan sudut pandang Filsafat (rasional), hal ini dimungkinkan mengingat begitu kuatnya efek pemikiran-pemikiran hebat filsafat Yunani/hellenisme dalam dunia pemikiran ketika itu, sehingga keyakinan Agama perlu dicarikan landasan filosofisnya semoga menjadi suatu keyakinan yang rasional.

Pemikiran-pemikiran yang mencoba melihat Agama dari perspektif filosofis terjadi baik di dunia Islam maupun Kristen, sehingga para hebat mengelompokan filsafat skolastik ke dalam filsafat skolastik Islam dan filsafat skolastik Kristen. 

Di dunia Islam (Umat Islam) lahir filsuf-filsuf populer ibarat Al Kindi (801-865 M), Al Farabi (870-950 M), Ibnu Sina (980-1037 M), Al Ghazali (1058-1111 M), dan Ibnu Rusyd (1126-1198), sementara itu di dunia Katolik lahir Filsuf-filsuf antara lain ibarat Peter Abelardus (1079-1180), Albertus Magnus (1203-1280 M), dan Thomas Aquinas (1225-1274). Mereka ini disamping sebagai Filsuf juga orang-orang yang mendalami anutan agamanya masing-masing, sehingga corak pemikirannya mengacu pada upaya mempertahankan keyakinan agama dengan jalan filosofis, meskipun dalam banyak hal terkadang anutan Agama dijadikan Hakim untuk memfonis benar tidaknya suatu hasil pemikiran Filsafat (Pemikiran Rasional).

Masa Modern. Pada masa ini pemikiran filosofis ibarat dilahirkan kembali dimana sebelumnya dominasi gereja sangat lebih banyak didominasi yang berakibat pada upaya mensinkronkan antara anutan gereja dengan pemikiran filsafat. Kebangkitan kembali rasio mewarnai zaman modern dengan salah seorang pelopornya yakni Descartes, ia berjasa dalam merehabilitasi, mengotonomisasi kembali rasio yang sebelumnya hanya menjadi budak keimanan.

Diantara pemikiran Desacartes (1596-1650) yang penting yakni diktum kesangsian, dengan menyampaikan Cogito ergo sum, yang biasa diartikan saya berfikir, maka saya ada. Dengan ungkapan ini posisi rasio/fikiran sebagai sumber pengetahuan menjadi semakin kuat, ajarannya punya efek yang cukup besar bagi perkembangan ilmu pengetahuan, segala sesuatu bisa disangsikan tapi subjek yang berfikir menguatkan kepada kepastian.

Dalam perkembangnnya argumen Descartes (rasionalisme) menerima tantangan keras dari para filosof penganut Empirisme ibarat David Hume (1711-1776), John Locke (1632-1704). Mereka beropini bahwa pengetahuan hanya didapatkan dari pengalaman lewat pengamatan empiris. Pertentangan tersebut terus berlanjut hingga muncul Immanuel Kant (1724-1804) yang berhasil menciptakan sintesis antara rasionalisme dengan empirisme, Kant juga dianggap sebagai tokoh sentral dalam zaman modern dengan pernyataannya yang populer sapere aude(berani berfikir sendiri), pernyataan ini terang makin mendorong upaya-upaya berfikir insan tanpa perlu takut terhadap kekangan dari Gereja.

Pandangan empirisme semakin kuat pengaruhnya dalam cabang ilmu pengetahuan setelah munculnya pandangan August Comte (1798-1857) wacana Positivisme. Salah satu buah pikirannya yang sangat penting dan besar lengan berkuasa yakni wacana tiga tahapan/tingkatan cara berpikir insan dalam berhadapan dengan alam semesta yaitu : tingkatan Teologi, tingkatan Metafisik, dan tingkatan Positif

Tingkatan Teologi (Etat Theologique). Pada tingkatan ini insan belum bisa memahami hal-hal yang berkaitan dengan lantaran akibat. Segala insiden dialam semesta merupakan akhir dari suatu perbuatan Tuhan dan insan hanya bersifat pasrah, dan yang sanggup dilakukan yakni memohon pada Tuhan semoga dijauhkan dari aneka macam bencana. Tahapan ini terdiri dari tiga tahapan lagi yang berevolusi yakni dari tahap animisme, tahap politeisme, hingga dengan tahap monoteisme.

Tingkatan Metafisik (Etat Metaphisique). Pada dasarnya tingkatan ini merupakan suatu variasi dari cara berfikir teologis, dimana Tuhan atau Dewa-dewa diganti dengan kekuatan-kekuatan ajaib contohnya dengan istilah kekuatan alam. Dalam tahapan ini insan mulai menemukan keberanian dan merasa bahwa kekuatan yang mengakibatkan tragedi sanggup dicegah dengan menunjukkan aneka macam sajian-sajian sebagai penolak bala/bencana.

Tingkatan Positif (Etat Positive). Pada tahapan ini insan sudah menemukan pengetahuan yang cukup untuk menguasai alam. Jika pada tahapan pertama insan selalu dihinggapi rasa khawatir berhadapan dengan alam semesta, pada tahap kedua insan mencoba mempengaruhi kekuatan yang mengatur alam semesta, maka pada tahapan positif insan lebih percaya diri, dengan ditemukannya hukum-hukum alam, dengan bekal itu insan bisa menundukan/mengatur (pernyataan ini mengindikasikan adanya pemisahan antara subyek yang mengetahui dengan obyek yang diketahui) alam serta memanfaatkannya untuk kepentingan manusia, tahapan ini merupakan tahapan dimana insan dalam hidupnya lebih mengandalkan pada ilmu pengetahuan.

Dengan memperhatikan tahapan-tahapan ibarat dikemukakan di atas nampak bahwa istilah positivisme mengacu pada tahapan ketiga (tahapan positif/pengetahuan positif) dari pemikiran Comte. Tahapan positif merupakan tahapan tertinggi, ini berarti dua tahapan sebelumnya merupakan tahapan yang rendah dan primitif, oleh lantaran itu filsafat Positivisme merupakan filsafat yang anti metafisik, hanya fakta-fakta saja yang sanggup diterima. Segala sesuatu yang bukan fakta atau tanda-tanda (fenomin) tidak mempunyai arti, oleh lantaran itu yang penting dan punya arti hanya satu yaitu mengetahui (fakta/gejala) semoga siap bertindak (savoir pour prevoir).

Manusia harus memeriksa dan mengkaji aneka macam tanda-tanda yang terjadi beserta hubungan-hubungannya diantara gejala-gejala tersebut semoga sanggup meramalkan apa yang akan terjadi, Comte menyebut hubungan-hubungan tersebut dengan konsep-konsep dan hukum-hukum yang bersifat positif dalam arti mempunyai kegunaan untuk diketahui lantaran benar-benar positif bukan bersifat spekulasi ibarat dalam metafisika.

Pengaruh positivisme yang sangat besar dalam zaman modern hingga kini ini, telah mengundang para pemikir untuk mempertanyakannya, kelahiran post modernisme yang narasi awalnya dikemukakan oleh Daniel Bell dalam bukunya The cultural contradiction of capitalism, yang salah satu pokok fikirannya yakni bahwa etika kapitalisme yang menekankan kerja keras, individualitas, dan prestasi telah berkembang menjadi hedonis konsumeristis.

Postmodernisme intinya merupakan pandangan yang tidak/kurang mempercayai narasi-narasi universal serta kesamaan dalam segala hal, faham ini lebih menunjukkan daerah pada narasi-narasi kecil dan lokal yang berarti lebih menekankan pada keberagaman dalam memaknai kehidupan. 

PERTANYAAN UNTUK BAHAN DISKUSI
  1. jelaskan pengertian filsafat?
  2. jelaskan pendekatan-pendekatan dalam mempelajari filsafat?
  3. jelaskan metode berfikir filsafat?
  4. apa yang dimaksud dengan berfikir radikal?
  5. jelaskan objek filsafat?
  6. jelaskan apa yang dimaksud dengan positivisme?
  7. jelaskan bagaimana pendapat Immanuel Kant wacana rasio dan pengalaman?
  8. apakah filsafat diharapkan bagi kehidupan manusia, coba jelaskan?

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel