Pengertian Indeks Pembangunan Insan (Ipm)
Monday, June 3, 2019
Edit
Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Index (HDI) yakni pengukuran perbandingan dari keinginan hidup , melek huruf, pendidikan dan standar hidup untuk semua negara seluruh dunia (Biro Pusat Statistik dan UNDP, 1997). HDI digunakan untuk mengklasifikasikan apakah sebuah negara yakni negara maju, negara berkembang atau negara bodoh dan juga untuk mengukur imbas dari budi ekonomi terhadap kualitas hidup.
Index tersebut pada 1990 dikembangkan oleh pemenang nobel india Amartya Sen dan Mahbub ul Haq seorang ekonom pakistan dibantu oleh Gustav Ranis dari Yale University dan Lord Meghnad Desai dari London School of Economics, semenjak itu digunakan oleh Program pembangunan PBB pada laporan HDI tahunannya. Digambarkan sebagai "pengukuran vulgar" oleh Amartya Sen lantaran batasannya. indeks ini lebih fokus pada hal-hal yang lebih sensitif dan berkhasiat daripada hanya sekedar pendapatan perkapita yang selama ini digunakan, dan indeks ini juga berkhasiat sebagai jembatan bagi peneliti yang serius untuk mengetahui hal-hal yang lebih terinci dalam membuat laporan pembangunan manusianya.
UNDP mengukur HDI dengan pencapaian rata-rata sebuah negara dalam 3 dimensi dasar pembangunan manusia, yaitu (Arsyad Lincolin, 1999):
Hidup yang sehat dan panjang umur yang diukur dengan keinginan hidup ketika kelahiran.
Pengetahuan yang diukur dengan angka tingkat baca tulis pada orang arif balig cukup akal (bobotnya dua per tiga) dan kombinasi pendidikan dasar, menengah, atas gross enrollment ratio (bobot satu per tiga).
standard kehidupan yang layak diukur dengan GDP per kapita gross domestic product / produk domestik bruto dalam paritas kekuatan beli purchasing power parity dalam Dollar AS.
Menurut BKKBN, Indek Pembangunan Manusia (IPM) yakni merupakan indikator komposit tunggal yang digunakan untuk mengukur tingkat pencapaian pembangunan insan yang sudah dilakukan di suatu Negara (wilayah) (Soepono, 1999). IPM atau Human Development Indek (HDI) yang dikeluarkan oleh United Nations Development Program (UNDP) ini digunakan untuk mengukur Keberhasilan Kinerja dalam hal pembangunan manusia.
Tolok ukur yang sanggup dianggap sangat pokok untuk mengukur keberhasilan dalam pembangunan yakni semua yang terkait dengan kesejahteraan rakyat. Kata Kesejahteraan sendiri berdasarkan terminology dalam kamus Bahasa Indonesia mempunyai arti ketentraman, kesenangan hidup, kemakmuran dan keamanan. Dan jika ingin kondisi ini sanggup tercapai maka prasyarat utama yang perlu dilakukan yakni dengan meningkatkan mutu kehidupan individu/ perorangan melalui pembangunan insan seutuhnya.
Kualitas pembangunan insan yang telah dicapai oleh suatu wilayah sanggup dilakukan dengan mengukur mutu pembangunan tersebut dengan memakai parameter dengan 3 (tiga) komponen antara lain; (1) Keberhasilan dalam kesehatannya yaitu dilihat dari kemampuan hidup secara fisik yaitu dengan melihat angka keinginan hidup; (2) Kemampuan untuk merefleksikan keberhasilan pengembangan pendidikan dengan melihat angka melek huruf dan usang sekolah; (3) Besarnya barang dan jasa yang sanggup disediakan oleh masyarakat bagi warganya yaitu dengan melihat paritas daya beli masyarakat. Dengan kata lain Indek pembangunan insan diukur dengan tiga dimensi, yaitu 1) indek kesehatan, 2) pendidikan dan 3) ekonomi. Indek kesehatan diukur dari angka keinginan hidup, biasanya angka keinginan hidup bayi yang lahir. Indek pendidikan salah satunya sanggup diukur dari angka melek huruf. Kemudian dimensi ekonomi diukur dari indek daya beli masyarakat.
Setelah IPM diketahui, maka perlu ditentukan kreteria analisanya, dimana ketentuan tersebut yakni (Suparman, 1986) :
- Status Rendah : IPM < 50
- Status Menengah Bawah : 50 < IPM < 66
- Status Menengah Atas : 66 < IPM < 80
- Status Tinggi : IPM > 80
UNDP (United Nation Development Programme) mendefenisikan pembangunan insan sebagai suatu proses untuk memperluas pilihan-pilihan bagi penduduk. Dalam konsep tersebut penduduk ditempatkan sebagai tujuan simpulan (the ultimated end) sedangkan upaya pembangunan dipandang sebagai sarana (principal means) untuk mencapai tujuan itu. Untuk menjamin tercapainya tujuan pembangunan manusia, empat hal pokok yang perlu diperhatikan yakni produktivitas, pemerataan, kesinambungan, pemberdayaan (UNDP, 1995). Secara ringkas empat hal pokok tersebut mengandung prinsip-prinsip sebagai berikut:
a. Produktivitas
Penduduk harus diberdayakan untuk meningkatkan produktivitas dan berpartisipasi penuh dalam proses penciptaan pendapatan dan nafkah. Pembangunan ekonomi, dengan demikian merupakan himpunan belahan dari model pembangunan manusia.
b. Pemerataan
Penduduk harus mempunyai kesempatan/peluang yang sama untuk mendapat susukan terhadap semua sumber daya ekonomi dan sosial. Semua kendala yang memperkecil kesempatan untuk memperoleh susukan tersebut harus dihapus, sehingga mereka sanggup mengambil menfaat dari kesempatan yang ada dan berpartisipasi dalam kegiatan produktif yang sanggup meningkatkan kualitas hidup.
c. Kesinambungan
Akses terhadap sumber daya ekonomi dan sosial harus dipastikan tidak hanya untuk generasi-generasi yang akan datang. Semua sumber daya fisik, manusia, dan lingkungan selalu diperbaharui.
d. Pemberdayaan
Penduduk harus berpartisipasi penuh dalam keputusan dan proses yang akan memilih (bentuk/arah) kehidupan mereka, serta untuk berpartisipasi dan mengambil manfaat dari proses pembangunan.
Sebenarnya paradigma pembangunan insan tidak berhenti hingga disana. Pilihan-pilihan suplemen yang dibutuhkan dalam kehidupan masyarakat luas menyerupai kebebasan politik, ekonomi dan sosial, hingga kesempatan untuk menjadi kreatif dan produktif, dan menikmati kehidupan yang sesuai dengan harkat pribadi dan jasmani hak-hak azasi insan merupakan belahan dari paradigma tersebut. Dengan demikian, paradigma pembangunan insan mempunyai dua sisi. Sisi pertama berupa informasi kapabilitas insan menyerupai perbaikan taraf kesehatan, pendidikan dan keterampilan. Sisi lainnya yakni pemanfaatan kapabilitas mereka untuk kegiatan-kegiatan yang bersifat produktif, kultural, sosial dan politik. Jika kedua sisi itu didak seimbang maka hasilnya yakni putus asa masyarakat.
Untuk sanggup membuat Indeks Pembangunan Manusia (IPM) maka UNDP mensponsori sebuah proyek tahun 1989 yang dilaksanakan oleh tim ekonomi dan pembangunan. Tim tersebut membuat kemampuan dasar. Kemampuan dasar itu yakni umur panjang, pengetahuan dan daya beli. Umur panjang yang dikuantifikasikan dalam umur keinginan hidup ketika lahir atau sering disebut Angka Harapan Hidup/AHH (eo). Pengetahuan dikuantifikasikan dalam kemampuan baca tulis/ angka melek huruf dan rata-rata usang bersekolah. Daya beli dikuantifikasikan terhadap kemampuan mengakses sumberdaya yang dibutuhkan untuk mencapai standar hidup yang layak.
Nilai IPM suatu negara atau wilayah memperlihatkan seberapa jauh negara atau wilayah itu telah mencapai target yang ditentukan yaitu angka keinginan hidup 85 tahun, pendidikan dasar bagi semua lapisan masyarakat (tanpa kecuali), dan tingkat pengeluaran dan konsumsi yang telah mencapai standar hidup yang layak. Semakin dekat nilai IPM suatu wilayah terhadap angka 100, semakin dekat jalan yang harus ditempuh untuk mencapai target itu.
Karena hanya meliputi tiga komponen, maka IPM harus dilihat sebagai penyederhanaan dari realitas yang kompleks dari luasnya dimensi pembangunan manusia. Oleh lantaran itu, pesan dasar IPM perlu dilengkapi dengan kajian dan analisis yang sanggup mengungkapkan dimensi-dimensi pembangunan insan yang penting lainnya (yang tidak seluruhnya sanggup diukur) menyerupai kebebasan politik, kesinambungan lingkungan, kemerataan antar generasi.
Indeks Pembangunan Manusia merupakan alat ukur yang peka untuk sanggup memperlihatkan citra perubahan yang terjadi, terutama pada komponen daya beli yang dalam perkara Indonesia sudah sangat merosot akhir krisis ekonomi yang terjadi semenjak pertengahan tahun 1997. Krisis ekonomi dan moneter tersebut berdampak pada tingkat pendapatan yang akhirnya banyak PHK dan menurunnya kesempatan kerja yang kemudian dipengaruhi tingkat inflasi yang tinggi selama tahun 1997-1998. Menurunnya tingkat kesempatan kerja dalam konteks pembangunan insan merupakan terputusnya jembatan yang menghubungkan antara pertumbuhan ekonomi dengan upaya peningkatan kapasitas dasar penduduk.
Dampak dari krisis ekonomi pada pembangunan insan yakni dengan menurunnya daya beli dan ini juga berarti terjadinya penundaan upaya peningkatan kapasitas fisik dan kapasitas intelektual penduduk. Penurunan beberapa komponen IPM sebagai akhir kepekaan IPM sebagai alat ukur yang sanggup menangkap perubahan nyata yang dialami penduduk dalam jangka pendek.
2.2. Dimensi Indek Pembangunan Manusia
Dimensi IPM secara rinci ketiga dimensi tersebut sanggup dijelaskan sebagai berikut (Suparman, 1986):
- Angka Harapan Hidup yakni indikator yang mengukur longevity (panjang umur) dari seseorang di suatu wilayah atau negara. Longevity ini bukan hanya upaya perorangan tetapi merupakan upaya masyarakat secara keseluruhan untuk memakai sumber daya yang ada sehingga sanggup memperpanjang hidupnya. Dapat dikatakan seseorang akan bertahan hidup lebih panjang apabila selalu sehat, atau jika menderita sakit secepatnya sanggup berobat untuk membantu mempercepat kesembuhannya.
- Melek Huruf dan Lama Sekolah yakni indikator yang mengukur tingkat pendidikan penduduk dengan melihat seberapa jauh masyarakat di wilayah tersebut memanfaatkan sumber daya yang ada dalam upaya meningkatkan kecerdasan warganya. Indikator Melek Huruf diperoleh dari variabel kemampuan membaca dan menulis dan Indikator Lama Sekolah dihitung dari partisipasi sekolah, tingkat kelas yang sedang/pernah dijalani serta pendidikan tinggi yang ditamatkan.
- Paritas Daya Beli yakni indikator yang mengukur wacana besarnya daya beli masyarakat di suatu wilayah atau negara. Dengan memakai indikator konsumsi riil yang disesuaikan. Sebagai catatan bahwa untuk UNDP dalam mengukur komponen digunakan indikator PDB per kapita.
Dalam melaksanakan pembangunan insan tentunya tidak hanya memperhatikan pada tiga komponen yang menjadi tolok ukur dalam penentuan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) saja, disamping hal-hal tersebut tentunya masih banyak aspek lain yang juga mempengaruhi yaitu dari banyak sekali aspek pembangunan insan yang tidak sanggup diukur seperti; moral, mental, spiritual, tanggung jawab dan lain sebagainya. Untuk itu dalam upaya mencapai kesejahteraan secara utuh kita jangan hanya terjebak untuk memprioritaskan pada peningkatan di tiga aspek yang menjadi tolok ukur IPM saja, tetapi juga perlu meningkatkan kualitas insan dari aspek-aspek yang lainnya.
Angka keinginan hidup yakni asumsi jumlah tahun hidup di suatu wilayah dari sekelompok makhluk hidup tertentu. Angka keinginan hidup merupakan cermin dari kondisi kesehatan penduduk yang mempunyai kemampuan bertahan hidup atau umur lebih usang lantaran kesehatannya lebih baik.
Melek huruf atau melek huruf dalam arti sempit yakni kemampuan membaca dan menulis. Sedang dalam arti luas melek huruf yakni kemampuan untuk mengidentifikasi, mengerti, menerjemahkan, membuat, mengkomunikasikan dan mengolah isi dari rangkaian teks yang terdapat pada bahan-bahan cetak dan goresan pena yang berkaitan dengan banyak sekali situasi. Selain itu juga diartikan sebagai kemampuan untuk memakai bahasa dan menggunakannya untuk mengerti sebuah bacaan, mendengarkan perkataan, mengungkapkannya dalam bentuk tulisan, dan berbicara. Dalam perkembangan modern kata ini kemudian diartikan sebagai kemampuan untuk membaca dan menulis pada tingkat yang baik untuk berkomunikasi dengan orang lain, atau dalam taraf bahwa seseorang sanggup memberikan idenya dalam masyarakat yang bisa baca-tulis, sehingga sanggup menjadi belahan dari masyarakat tersebut.
Baca-tulis dianggap penting lantaran melibatkan pembelajaran berkelanjutan oleh seseorang sehingga orang tersebut sanggup mencapai tujuannya, dimana hal ini berkaitan eksklusif bagaimana seseorang mendapat pengetahuan, menggali potensinya, dan berpartisipasi penuh dalam masyarakat yang lebih luas.
Banyak analis kebijakan menganggap angka melek huruf yakni tolak ukur penting dalam mempertimbangkan kemampuan sumber daya insan di suatu daerah. Hal ini didasarkan pada pemikiran yang berdalih bahwa melatih orang yang bisa baca-tulis jauh lebih murah daripada melatih orang yang buta aksara, dan umumnya orang-orang yang bisa baca-tulis mempunyai status sosial ekonomi, kesehatan, dan prospek meraih peluang kerja yang lebih baik. Argumentasi para analis kebijakan ini juga menganggap kemampuan baca-tulis juga berarti peningkatan peluang kerja dan susukan yang lebih luas pada pendidikan yang lebih tinggi.
Dalam rangka meningkatkan pengetahuan dan pendidikan penduduk maka perlu adanya penyelenggaraan pendidikan yang merata dan berkualitas. Pendidikan yakni perjuangan yang terjadwal untuk mewujudkan suasana berguru dan proses pembelajaran biar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk mempunyai kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, susila mulia, serta keterampilan yang diharapkan dirinya dan masyarakat. Pendidikan meliputi pengajaran keahlian khusus, dan juga sesuatu yang tidak sanggup dilihat tetapi lebih mendalam yaitu pemberian pengetahuan, pertimbangan dan kebijaksanaan. Salah satu dasar utama pendidikan yakni untuk mengajar kebudayaan melewati generasi.
Standar hidup menunjuk ke kualitas dan kuantitas barang-barang dan jasa-jasa yang tersedia bagi orang. Biasanya diukur oleh pendapatan nyata per orang, meskipun beberapa pengukuran lain sanggup digunakan; contohnya yakni ketersediaan barang (seperti jumlah kulkas per 1000 orang), atau pengukuran kesehatan menyerupai keinginan hidup.
Ide standar ini sanggup berlawanan dengan kualitas hidup, yang memperhitungkan tidak hanya standar hidup material, tetapi juga faktor subyektif lainnya yang menyumbang bagi kehidupan seseorang, menyerupai hiburan, keamanan, sumber budaya, kehidupan sosial, kesehatan mental, dll. Cara yang lebih rumit untuk menghitung kesejahteraan harus digunakan untuk membuat keputusan semacam itu, dan seringkali hal ini bersangkutan dengan politik, dan oleh alasannya yakni itu kontroversial.
2.3. Teori Kemiskinan
2.3.1. Pengertian Kemiskinan
Kemiskinan secara umum sanggup diartikan sebagai kondisi individu penduduk atau keluarga yang tidak bisa memenuhi kebutuhan hidup dasarnya secara layak. Namun beberapa institusi atau pihak telah memutuskan pola dalam penentuan kreteria penduduk miskin.
Terjadinya kemiskinan penduduk secara garis besar disebabkan oleh faktor ekternal dan internal penduduk. Kemiskinan dilihat dari penyebabnya sanggup dibedakan menjadi dua, yaitu: Kemiskinan otoriter dan Kemiskinan struktural. Kemiskinan otoriter yaitu kemiskinan yang disebabkan faktor internal penduduk sendiri. Misalkan disebabkan tingkat pendidikan rendah, ketrampilan rendah, budaya dan sebagainya. Kemiskinan struktural yakni kemiskinan yang disebabkan oleh faktor eksternal sehingga kemampuan susukan sumberdaya ekonomi rendah, pada gilirannya pendapatan penduduk menjadi rendah.
Menurut Kuncoro (2004), pengukuran kreteria garis kemiskinan di Indonesia diukur untuk kemiskinan absolut. Institusi pemerintah yang biasa memutuskan kreteria garis kemiskinan yaitu Badan Pusat Statistik (BPS). Menurut BPS (1994), kreteria batas miskin memakai ukuran uang rupiah yang dibelanjakan per kapita sebulan untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum kuliner dan bukan makanan. Berarti kreteria garis kemiskinan diukur dari dua komponen, yaitu garis kemiskinan kuliner dan garis kemiskinan bukan makanan.
Kemiskinan merupakan refleksi dari ketidakmampuan seseorang untuk memenuhi kebutuhannya sesuai dengan standar yang berlaku. Hendra Esmara (1986) mengukur dari ketidakmampuan seseorang untuk memenuhi kebutuhan sesuai dengan standar yang berlaku, maka kemiskinan sanggup dibagi tiga:
- Miskin otoriter yaitu apabila hasil pendapatannya berada di bawah garis kemiskinan, tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum; pangan, sandang, kesehatan, papan, pendidikan.
- Miskin relatif yaitu seseorang bahwasanya telah hidup di atas garis kemiskinan namun masih berada di bawah kemampuan masyarakat sekitarnya.
- Miskin kultural yaitu berkaitan erat dengan sikap seseorang atau sekelompok masyarakat yang tidak mau berusaha memperbaiki tingkat kehidupannya sekalipun ada perjuangan dari pihak lain yang membantu.
Pengalaman di lapangan memperlihatkan bahwa pendekatan permasalahan kemiskinan dari segi pendapatan saja tidak bisa memecahkan permasalahan komunitas. Karena permasalahan kemiskinan komunitas bukan hanya perkara ekonomi namun meliputi banyak sekali perkara lainnya. Kemiskinan dalam banyak sekali bidang ini disebut dengan kemiskinan plural. Delina Hutabarat (1994), menyebutkan sekurang-kurangnya ada enam macam kemiskinan yang ditanggung komunitas yaitu:
- Kemiskinan Subsistensi yaitu penghasilan rendah, jam kerja panjang, perumahan buruk, kemudahan air higienis mahal.
- Kemiskinan Perlindungan yaitu lingkungan jelek (sanitasi, sarana pembuangan sampah, polusi), kondisi kerja buruk, tidak ada jaminan atas hak pemilikan tanah.
- Kemiskinan Pemahaman yaitu kualitas pendidikan formal buruk, terbatasnya susukan atas informasi yang menimbulkan terbatasnya kesadaran atas hak, kemampuan, dan potensi untuk mengupayakan perubahan.
- Kemiskinan Partisipasi yaitu tidak ada susukan dan control atas proses pengambilan keputusan yang menyangkut nasib diri dan komunitas.
- Kemiskinan Identitas yaitu terbatasnya pembauran antar kelompok sosial, terfragmentasi.
- Kemiskinan Kebebasan yitu stress, rasa tidak berdaya, tidak aman baik ditingkat pribadi maupun komunitas.
Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, secara harfiah kata miskin diberi arti tidak berharta benda. Sayogyanya membedakan tiga tipe orang miskin, yakni miskin (poor), sangat miskin (very poor) dan termiskin (poorest). Penggolongan ini berdasarkan pendapatan yang diperoleh setiap tahun. Orang miskin yakni orang yang berpenghasilan kalau diwujudkan dalam bentuk beras yakni 320 kg/orang/tahun. Jumlah tersebut dianggap cukup memenuhi kebutuhan makan minimum (1,900 kalori/orang/hari dan 40 gr protein/orang/hari). Orang yang sangat miskin berpenghasilan antara 240 kg hingga 320 kg beras/orang/tahun, dan orang yang digolongkan sebagai termiskin berpenghasilan berkisar antara 180 kg, 240 kg beras/orang/tahun.
Menurut BPS, penduduk miskin yakni mereka yang asupan kalorinya di bawah 2,100 kalori berdasarkan kategori food dan nonfood diukur berdasarkan infrastruktur antara lain jalan raya, rumah, serta ukuran sosial berupa kesehatan dan pendidikan. Menurut ketentuan BPS kebutuhan kuliner minimum per kapita penduduk yaitu sebanyak 2.100 kalori per hari. Mengingat materi kuliner penduduk berbeda-beda, maka ukuran konsumsinya dilihat dari jumlah rupiahnya.
Pendekatan garis kemiskinan lainnya yang dikemukakan oleh Sayogo (dalam Kuncoro, 2004), memakai dasar harga beras. Menurut Sayogo, definisi kemiskinan yakni tingkat konsumsi per kapita setahun yang sama dengan beras. Berarti jumlah uang rupiah yang dibelanjakan setara dengan nilai beras sebanyak 20 kilogram untuk tempat perdesaan dan 30 kilogram tempat perkotaan.
2.3.2. Konsep dan Indikator Kemiskinan Versi Pemerintah Indonesia
Masalah kemiskinan bisa ditinjau dari lima sudut, yaitu prosentase penduduk miskin, pendidikan (khususnya angka buta huruf), kesehatan (antara lain angka maut bayi dan anak balita kurang gizi), ketenagakerjaan, dan ekonomi (konsumsi/kapita). Bappenas (2004) mendefinisikan kemiskinan sebagai kondisi seseorang atau sekelompok orang, pria dan perempuan, tidak bisa memenuhi hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Hak-hak dasar masyarakat desa antara lain, terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumber daya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakuan atau bahaya tindak kekerasan, dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik, baik bagi perempuan maupun laki-laki. Untuk mewujudkan hak dasar masyarakat miskin, Bappenas memakai beberapa pendekatan utama, antara lain pendekatan kebutuhan dasar, pendekatan pendapatan, pendekatan kemampuan dasar, dan pendekatan objektif dan subjektif.
Pendekatan kebutuhan dasar, melihat kemiskinan sebagai suatu ketidakmampuan seseorang, keluarga, dan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan minimum, antara lain pangan, sandang, papan, pelayanan kesehatan, pendidikan, penyediaan air higienis dan sanitasi. Menurut pendekatan pendapatan, kemiskinan disebabkan oleh rendahnya penguasaan aset dan alat produktif menyerupai tanah dan lahan pertanian atau perkebunan, sehingga secara eksklusif mempengaruhi pendapatan seseorang dalam masyarakat. Pendekatan ini, memilih secara kaku standar pendapatan seseorang di dalam masyarakat untuk membedakan kelas sosialnya. Keterbatasan kemampuan ini menimbulkan tertutupnya kemungkinan bagi orang miskin terlibat dalam pengambilan keputusan. Pendekatan obyektif atau sering juga disebut sebagai pendekatan kesejahteraan menekankan pada evaluasi normatif dan syarat yang harus dipenuhi biar keluar dari kemiskinan. Pendekatan subyektif menilai kemiskinan berdasarkan pendapat atau pandangan orang miskin sendiri (Stepanek, 1985).
Indikator-indikator utama kemiskinan berdasarkan pendekatan di atas yang di kutip dari Badan Pusat Statistik, antara lain sebagai berikut:
- Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar (sandang, pangan dan papan).
- Tidak adanya susukan terhadap kebutuhan hidup dasar lainnya (kesehatan, pendidikan, sanitasi, air higienis dan transportasi).
- Tidak adanya jaminan masa depan (karena tiadanya investasi untuk pendidikan dan keluarga).
- Kerentanan terhadap goncangan yang bersifat individual maupun massa.
- Rendahnya kualitas sumber daya insan dan terbatasnya sumber daya alam.
- Kurangnya apresiasi dalam kegiatan sosial masyarakat.
- Tidak adanya susukan dalam lapangan kerja dan mata pencaharian yang berkesinambungan.
- Ketidakmampuan untuk berusaha lantaran cacat fisik maupun mental.
- Ketidakmampuan dan ketidaktergantungan sosial (anak-anak terlantar, perempuan korban kekerasan rumah tangga, janda miskin, kelompok marginal dan terpencil).
Indikator kemiskinan berdasarkan Bappenas (2006) yakni terbatasnya kecukupan dan mutu pangan, terbatasnya susukan dan rendahnya mutu layanan kesehatan, terbatasnya susukan dan rendahnya mutu layanan pendidikan, terbatasnya susukan terhadap air bersih, lemahnya kepastian kepemilikan dan penguasaan tanah, memburuknya kondisi lingkungan hidup dan sumber daya alam, lemahnya jaminan rasa aman, lemahnya pertisipasi, dan besarnya beban kependudukan yang disebabkan oleh besarnya tanggungan keluarga dan adanya tekanan hidup yang mendorong terjadinya migrasi.
2.3.3. Penyebab Kemiskinan
Kemiskinan merupakan salah satu problem sosial yang amat serius. Langkah awal yang perlu dilakukan dalam membahas perkara ini yakni mengidentifikasi apa bahwasanya yang dimaksud dengan miskin atau kemiskinan dan bagaimana mengukurnya. Konsep yang berbeda akan melahirkan cara pengukuran yang berbeda pula. Setelah itu, dicari faktor-faktor mayoritas (baik yang bersifat kultural maupun struktural) yang menimbulkan kemiskinan. Langkah berikutnya yakni mencari solusi yang relevan untuk memecahkan problem dengan cara merumuskan seni administrasi mengentaskan kelompok miskin atau masyarakat miskin.
Kemiskinan berdasarkan Sharp (1996), dari sisi ekonomi penyebabnya dibagi menjadi tiga yaitu: Pertama, secara mikro, kemiskinan muncul lantaran adanya ketidaksamaan pola kepemilikan sumber daya yang menimbulkan distribusi pendapatan yang timpang. Penduduk miskin hanya mempunyai sumberdaya alam jumlah terbatas dan kualitasnya rendah. Kedua, kemiskinan muncul akhir perbedaan kualitas sumberdaya manusia. Kualitas sumberdaya insan yang rendah berarti produktivitasnya rendah, yang pada gilirannya upahnya randah. Rendahnya kualitas sumberdaya insan ini lantaran rendahnya pendidikan, nasib yang kurang beruntung, adanya diskriminasi, atau lantaran keturunan. Ketiga, kemiskinan muncul akhir perbedaan dalam susukan modal.
Sedangkan Nasikun menyoroti beberapa sumber dan proses penyebab terjadinya kemiskinan, yaitu:
- Policy induces processes, yaitu proses kemiskinan yang dilestarikan, direproduksi melalui pelaksanaan suatu kebijakan (induced of policy) diantaranya yakni kebijakan anti kemiskinan, tetapi realitanya justru melestarikan.
- Socio-economic Dualism, yaitu negara ekskoloni yang mengalami kemiskinan lantaran pola produksi kolonial, yaitu petani menjadi marginal lantaran tanah yang paling subur dikuasai petani skala besar dan berorientasi ekspor.
- Population Growth, yaitu perspektif yang didasari pada teori Malthus bahwa pertambahan penduduk menyerupai deret ukur sedangkan pertambahan pangan menyerupai deret hitung.
- Resources management and The Environment, yaitu adanya unsur contohnya administrasi sumber daya alam dan lingkungan, menyerupai administrasi pertanian yang asal tebas akan menurunkan produktivitas.
- Natural Cycles and Processes, yaitu kemiskinan yang terjadi lantaran siklus alam. Misalnya tinggal di lahan kritis, dimana lahan ini jika turun hujan akan terjadi banjir tetapi jika ekspresi dominan kemarau akan kekurangan air, sehingga tidak memungkinkan produktivitas yang maksimal terus-menerus.
- The Marginalization of Woman, yaitu peminggiran kaum perempuan lantaran perempuan masih dianggap sebagai golongan kelas kedua, sehingga susukan dan penghargaan hasil kerja yang diberikan lebih rendah dari laki-laki.
- Cultural and Ethnic Factors, yaitu bekerjanya faktor budaya dan etnik yang memelihara kemiskinan. Misalnya, pola hidup konsumtif pada petani dan nelayan ketika panen raya, serta adat-istiadat yang konsumtif ketika upacara adat-istiadat keagamaan.
- Explotative Intermediation, yaitu keberadaan penolong yang menjadi penodong, menyerupai rentenir (lintah darat).
- Internal Political Fragmentation and Civil stratfe, yaitu suatu kebijakan yang diterapkan pada suatu tempat yang fragmentasi politiknya yang kuat, sanggup menjadi penyebab kemiskinan.
- International Processes, yaitu bekerjanya sistem-sistem internasional (kolonialisme dan kapitalisme) membuat banyak negara menjadi semakin miskin.
Selain beberapa faktor di atas, penyebab kemiskinan di masyarakat khususnya di pedesaan disebabkan oleh keterbatasan asset yang dimiliki, yaitu:
- Natural Assets; menyerupai tanah dan air, lantaran sebagian besar masyarakat desa hanya menguasai lahan yang kurang memadai untuk mata pencahariannya.
- Human Assets; menyangkut kualitas sumber daya insan yang relatif masih rendah dibandingkan masyarakat perkotaan (tingkat pendidikan, pengetahuan, keterampilan maupun tingkat kesehatan dan penguasaan teknologi).
- Physical Assets; minimnya susukan ke infrastruktur dan kemudahan umum menyerupai jaringan jalan, listrik dan komunikasi.
- Financial Assets; berupa tabungan (saving), serta susukan untuk memperoleh modal usaha.
- Sosial Assets; berupa jaringan, kontak dan imbas politik, dalam hal ini kekuatan bargaining position dalam pengambilan keputusan-keputusan politik.
Hubungan antara pertumbuhan ekonomi, kemiskinan, dan ketimpangan telah banyak dilakukan di Indonesia, salah satunya dilakukan oleh Sumarto (2002) dari SMERU Research Institute. Penelitian ini melaksanakan studi pada 100 desa selama periode Agustus 1998 hingga Oktober 1999. Berdasarkan hasil studi tersebut ada beberapa hal yang menjadi temuan berkaitan dengan penanggulangan kemiskinan antara lain:
- Terdapat kekerabatan negatif yang sangat kuat antara pertumbuhan dan kemiskinan. Artinya ketika perekonomian tumbuh, kemiskinan berkurang; namun ketika perekonomian mengalami kontraksi pertumbuhan, kemiskinan meningkat lagi.
- Pertumbuhan tidak mengurangi kemiskinan secara permanen. Walaupun terjadi pertumbuhan dalam jangka panjang selama periode sebelum krisis, banyak masyarakat yang tetap rentan terhdap kemiskinan. Oleh arena itu, administrasi kejutan (management of shocks) dan jaring pengaman harus diterapkan.
- Pertumbuhan secara kontemporer sanggup mengurangi kemiskinan. Sehingga pertumbuhan yang berkelanjutan penting untuk mengurangi kemiskinan.
- Pengurangan ketimpangan mengurangi kemiskinan secara signifikan. Sehingga sangat tepat untuk mencegah pertumbuhan yang meningkatkan ketimpangan.
- Memberikan hak atas properti dan memperlihatkan susukan terhadap kapital untuk golongan masyarakat miskin sanggup mengurangi kesenjangan, merangsang pertumbuhan, dan mengurangi kemiskinan.
2.3.4. Karekteristik atau Ciri-ciri Penduduk Miskin
Emil Salim (1976) mengemukakan lima karakteristik kemiskinan, kelima karakteristik kemiskinan tersebut adalah:
- Penduduk miskin pada umumnya tidak mempunyai faktor produksi sendiri.
- Tidak mempunyai kemungkinan untuk memperoleh aset produksi dengan kekuatan sendiri.
- Tingkat pendidikan pada umumnya sendiri.
- Banyak diantara mereka tidak mempunyai fasilitas.
- Diantara mereka berusaha relatif muda dan tidak mempunyai keterampilan atau pendidikan yang memadai.
Ciri-ciri kelompok (penduduk) miskin, yaitu :
- Rata-rata tidak mempunyai faktor produksi sendiri menyerupai tanah, modal, peralatan kerja dan keterampilan.
- Mempunyai tingkat pendidikan yang rendah.
- Kebanyakan bekerja atau berusaha sendiri dan bersifat perjuangan kecil (sektor informal), setengah menganggur atau menganggur (tidak bekerja).
- Kebanyakan berada di pedesaan atau tempat tertentu perkotaan (slum area).
- Kurangnya kesempatan untuk memperoleh (dalam jumlah yang cukup), materi kebutuhan pokok, pakaian, perumahan, kemudahan kesehatan sosial lainnya.
Kelompok penduduk miskin yang berada pada masyarakat pedesaan dan perkotaan, pada umumnya sanggup digolongkan pada buruh tani, petani gurem, pedagang kecil, nelayan, pengrajin kecil, buruh, pedagang kaki lima, pedagang asongan, pemulung, gelandangan, pengemis, dan pengangguran.
Untuk mengukur kemiskinan, Indonesia melalui BPS memakai pendekatan kebutuhan dasar (basic needs) yang sanggup diukur dengan angka atau hitungan Indeks Perkepala (Head Count Index), yakni jumlah dan prosentase penduduk miskin yang berada di bawah garis kemiskinan. Garis kemiskinan ditetapkan pada tingkat yang selalu konstan secara riil sehinga kita sanggup mengurangi angka kemiskinan dengan menelusuri kemajuan yang diperoleh dalam mengentaskan kemiskinan di sepanjang waktu. Salah satu cara mengukur kemiskinan yang diterapkan di Indonesia yakni mengukur derajat ketimpangan pendapatan diantara masyarakat miskin, menyerupai koefisien Gini antar masyarakat miskin (GP) atau koefisien variasi pendapatan (CV) antar masyarakat miskin (CVP). Koefisien gini atau CV antar masyarakat miskin tersebut penting diketahui lantaran dampak guncangan perekonomian pada kemiskinan sanggup sangat berbeda tergantung pada tingkat dan distribusi sumber daya diantara masyarakat miskin. Prinsip-prinsip untuk mengukur kemiskinan, yakni :
- Anonimitas independensi, yaitu ukuran cakupan kemiskinan dilarang tergantung pada siapa yang miskin atau pada apakah negara tersebut mempunyai jumlah penduduk yang banyak atau sedikit.
- Monotenisitas, yakni bahwa jika kita memberi sejumlah uang kepada seseorang yang berada dibawah garis kemiskinan, jika diasumsikan semua pendapatan yang lain tetap maka kemiskinan yang terjadi mustahil lebih tinggi dari pada sebelumnya.
- Sensitivitas distribusional, yaitu menyatakan bahwa dengan semua hal lain konstan, jika mentransfer pendapatan dari orang miskin ke orang kaya, maka akhirnya perekonomian akan menjadi lebih miskin.
2.3.5. Model Solusi Kemiskinan
Pengalaman di negara-negara Asia memperlihatkan banyak sekali model mobilisasi perekonomian pedesaan untuk memerangi kemiskinan, yaitu: Pertama, mendasarkan pada mobilitas tenaga kerja yang masih belum didaya gunakan (idle) dalam rumah tangga petani gurem biar terjadi pembentukan modal di pedesaan (Nurkse, 1953). Tenaga kerja yang masih belum didayagunakan pada rumah tangga petani kecil dan gurem merupakan sumberdaya yang tersembunyi dan potensi tabungan. Alternatif cara untuk memobilisasi tenaga kerja dan tabungan pedesaaan adalah: 1) memakai pajak eksklusif atas tanah, menyerupai yang dilakukan di Jepang. 2) dilakukan dengan menyusun kerangka kelembagaan di pedesaan yang memungkinkan tenaga kerja yang belum didayagunakan untuk pemupukan modal tanpa perlu menambah upah. Ini persis yang dilakukan Cina yang menerapkan sistem kerjasama kelompok dan brigades ditingkat tempat yang paling rendah (communes). Dengan metode ini ternyata memungkinkan adanya kenaikan yang substansial dalam itensitas tenaga kerja dan produktivitas tenaga kerja.
Model kedua, menitik beratkan pada tranfer daya dari pertanian ke industri melalui prosedur pasar (Fei & Gustav, 1964). Ide bahwa penawaran tenaga kerja yang tidak terbatas dari rumah tangga petani kecil sanggup meningkatkan tabungan dan deretan modal lewat proses pasar. Pengalaman Taiwan menyajikan contoh yang baik atas mobilisasi sumber daya dari sektor pertanian mengandalkan prosedur pasar, tanpa memakai instrumen pajak menyerupai yang dilakukan oleh Jepang. Proporsi output sektor pertanian sebagian besar tetap dijaga sebagai surplus lewat intermediasi pemilik tanah dan melalui nilai tukar (terms of trade) sebelum Perang Dunia II.
Model ketiga, menyoroti pesatnya pertumbuhan dalam sektor pertanian yang dibuka dengan kemajuan teknologi dan kemungkinan sektor yang memimpin (Mellor, 1976), Model ini dikenal dengan nama Model Pertumbuhan Berbasis Teknologi, atau Rural-Led Development. Proses ini akan berhasil apabila dua syarat berikut terpenuhi: 1) kemampuan mencapai tingkat pertumbuhan output pertanian yang tinggi; 2) proses ini juga membuat pola undangan yang aman terhadap pertumbuhan. Pada gilirannya ini tergantung dari dampak keterkaitan ekonomi pedesaan lewat pengeluaran atas barang konsumsi yang dipasok dari dalam sektor itu sendiri, dan melalui investasi yang didorong.
Model keempat, menyoroti dimensi spasial dalam menanggulangi kemiskinan. Kemiskinan bisa diatasi dengan cara kemudahan dalam mengakses dua bidang, yaitu: 1) bidang ekonomi dan 2) bidang sosial (Kuncoro, 2004). Akses dalam bidang ekonomi dibagi menjadi dua yaitu: susukan terhadap lapangan kerja dan susukan terhadap faktor ekonomi. Akses terhadap faktor produksi terdiri dari: 1) Kemudahan masyarakat dalam mengakses modal usaha, 2) kemudahan masyarakat dalam mengakses pasar, 3) kemudahan masyarakat dalam kepemilikan modal. Sedangkan susukan dalam bidang sosial dibagi menjadi dua yaitu: susukan terhadap kemudahan pendidikan dan susukan terhadap kemudahan kesehatan.
2.3.6. Efek Lingkaran Perangkap Kemiskinan Terhadap Pembangunan Ekonomi
Yang dimaksudkan dengan bulat perangkap kemiskinan (the vicious circle of poverty), atau dengan singkat perangkap kemiskinan, yakni serangkaian kekuatan yang saling mempengaruhi secara sedemikian rupa sehingga menimbulkan keadaan di mana sesuatu negara akan tetap miskin dan akan tetap mengalami banyak kesukaran untuk mencapai tingkat pembangunan yang lebih tinggi. Teori ini terutama dikaitkan kepada nama Nurkse, spesialis ekonomi yang merintis penelaahan mengenai perkara pembentukan modal di negara berkembang.
Dalam mengemukakan teorinya wacana bulat perangkap kemiskinan pada hakikatnya Nurkse beropini bahwa kemiskinan bukan saja disebabkan oleh ketiadaan pembangunan masa kemudian tetapi juga menghadirkan kendala kepada pembangunan di masa yang akan datang. Sehubungan dengan hal ini Nurkse menyampaikan : “Suatu negara jadi miskin lantaran ia merupakan negara miskin” (A country is poor because it is poor). Menurut pendapatnya bulat perangkap kemiskinan yang terpenting yakni keadaan-keadaan yang menimbulkan timbulnya kendala terhadap terciptanya tingkat pembentukan modal yang tinggi. Di satu pihak pembentukan modal ditentukan oleh tingkat tabungan, dan di lain pihak oleh perangsang untuk menanam modal. Di negara berkembang kedua faktor itu tidak memungkinkan dilaksanakannya tingkat pembentukan modal yang tinggi. Makara berdasarkan pandangan Nurkse, terdapat dua jenis bulat perangkap kemiskinan yang menghalangi negara berkembang mencapai tingkat pembangunan yang pesat : dari segi penawaran modal dan dari segi undangan modal.
Dari segi penawaran modal bulat perangkap kemiskinan sanggup dinyatakan sebagai berikut. Tingkat pendapatan masyarakat yang rendah, yang diakibatkan oleh tingkat produktivitas yang rendah, menimbulkan kemampuan masyarakat untuk menabung juga rendah. Ini akan menimbulkan tingkat pembentukan modal yang rendah. Keadaan yang terakhir ini selanjutnya akan sanggup menimbulkan suatu negara menghadapi kekurangan barang modal dan dengan demikian tingkat produktivitas akan tetap rendah. Dari segi undangan modal, corak bulat perangkap kemiskinan mempunyai bentuk yang berbeda. Di negara-negara miskin perangsang untuk melaksanakan penanaman modal rendah lantaran luas pasar untuk menyebarkan jenis barang terbatas, dan hal yang belakangan disebutkan ini disebabkan oleh pendapatan masyarakat yang rendah. Sedangkan pendapatan yang rendah disebabkan oleh produktivitas yang rendah yang diwujudkan oleh pembentukan modal yang terbatas pada masa lalu. Pembentukan modal yang terbatas ini disebabkan oleh kekurangan perangsang untuk menanam modal.
Di belahan lain dari analisis Nurkse, ia menyatakan bahwa peningkatan pembentukan modal bukan saja dibatasi oleh bulat perangkap kemiskinan menyerupai yang dijelaskan di atas, tetapi juga oleh adanya international demonstration effect. Maksudnya yakni kecenderungan untuk mencontoh corak konsumsi di kalangan masyarakat yang lebih maju.
Di samping kedua bulat perangkap kemisikinan ini, Meier dan Baldwin mengemukakan satu bulat perangkap kemiskinan lain. Lingkaran kemiskinan ini timbul dari kekerabatan saling mempengaruhi antara keadaan masyarakat yang masih bodoh dan tradisional dengan kekayaan alam yang belum dikembangkan. Untuk mengembangkan kekayaan alam yang dimiliki, harus ada tenaga kerja yang mempunyai keahlian untuk memimpin dan melaksanakan banyak sekali macam kegiatan ekonomi.
Hubungan Tiga Perangkap Kemiskinan
Pada gambar di atas teori bulat perangkap kemiskinan menjelaskan bahwa:
Adanya ketidakmampuan mengerahkan tabungan yang cukup.
Kurangnya rangsangan melaksanakan penanaman modal.
Rendahnya taraf pendidikan, pengetahuan, dan kemahiran masyarakat, merupakan tiga faktor utama yang menghambat terciptanya pembentukan modal dan perkembangan ekonomi.
2.4. Pertumbuhan Ekonomi dan Pembangunan Manusia
2.4.1. Definisi Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi yakni proses terjadinya kenaikan produk nasional bruto riil atau pendapatan nasional riil. Makara perekonomian dikatakan tumbuh atau berkembang bila terjadi pertumbuhan output riil.
Definisi pertumbuhan ekonomi yang lain yakni bahwa pertumbuhan ekonomi terjadi bila ada kenaikan output perkapita. Pertumbuhan ekonomi menggambarkan kenaikan taraf hidup diukur dengan output riil per orang.
Menurut Schumpeter, pertumbuhan ekonomi yakni peningkatan output masyarakat yang disebabkan oleh semakin banyaknya jumlah faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi masyarakat tanpa adanya perubahan “teknologi” dalam produksi itu sendiri.
Simon Kuznets mendefenisikan pertumbuhan ekonomi suatu negara sebagai kemampuan negara itu untuk menyediakan barang-barang ekonomi yang terus meningkat bagi penduduknya, dimana pertumbuhan kemampuan ini berdasarkan kepada kemajuan teknologi dan kelembagaan serta adaptasi ideologi yang dibutuhkannya.
2.4.2. Hubungan Pertumbuhan Ekonomi dengan Pembangunan Manusia
Dalam literatur-literatur konvensional wacana teori ekonomi modern, demokrasi dianggap sebagai barang mewah. Tuntutan akan meningkat seiring dengan peningkatan pendapatan per kapita. Hipotesis yang berkaitan dengan ini yakni hipotesis pilihan yang tidak menyenangkan (cruel choice) antara dua demokrasi dan disiplin. Karena demokrasi pada tahap awal pembangunan tidak terlalu dekat dengan pertumbuhan ekonomi yang cepat, maka yang dibutuhkan oleh suatu negara yakni disiplin. Teori Konvensional yang lain yakni hipotesis tetesan ke bawah (trickle down) yang beropini bahwa pertumbuhan ekonomi yang cepat akan memberi sumbangan pada pembangunan manusia. Jika pembangunan meningkat, maka masyarakat sanggup membelanjakan lebih banyak untuk pembangunan manusia. Berdasarkan kedua hipotesa tersebut, kekerabatan antara pembangunan manusia, demokrasi dan pertumbuhan ekonomi merupakan satu garis linear satu arah, dimana pertumbuhan ekonomi menjadi penggeraknya. Namun bukti-bukti mengenai kebenaran hipotesa cruel choice dan trickle down tidak terlalu meyakinkan
.
Hubungan Antara Pembangunan Manusia, Demokrasi dan Pertumbuhan
Model pertumbuhan endogenus (dari dalam) memperlihatkan suatu kerangka alternative untuk mempelajari kekerabatan antara pembangunan manusia, demokrasi dan pertumbuhan ekonomi. Teori ini menyatakan bahwa perbaikan dalam tingkat maut bayi, dan pencapaian pendidikan dasar akan kuat positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi pada gilirannya akan secara substansial meningkatkan peluang bahwa dari waktu ke waktu lembaga-lembaga politik akan menjadi lebih demokratis. Studi lintas negara yang dilakukan oleh Barro menemukan adanya kekerabatan kausal antara maut bayi dan pendidikan dengan pertumbuhan ekonomi yang juga mengikuti teori modal insan atau human capital theory.
Dengan membangun kekerabatan tersebut, Barro secara efektif menolak hipotesa trickle down yang menyatakan bahwa pembangunan insan yang tinggi hanya sanggup dicapai melalui pertumbuhan ekonomi. Walaupun demikian, dalam kerangka ini, demokrasi masih dianggap sebagai barang mewah, dengan implikasi bahwa negara-negara miskin tinggi sanggup (atau mungkin seharusnya tidak) berdemokrasi.
Kerangka Barro
Bhalla memperkenalkan perspektif lain dalam perdebatan ini. Ia menemukan adanya imbas positif dari demokrasi cenderung untuk melindungi hak milik dan kontrak yang penting artinya bagi berfungsinya ekonomi pasar dengan baik, yang memerlukan dukungan dari sektor swasta. Walaupun Bhalla tidak secara eksklusif meneliti kekerabatan antara pertumbuhan ekonomi dengan pembangunan manusia, dengan membalik kekerabatan kausalitasnya, temuannya secara tidak eksklusif membawa pada pendekatan trickle down terhadap pembangunan.
Pendekatan Trickle Down terhadap Pembangunan
Laporan pembangunan insan untuk Indonesia ini menandakan argument bahwa pembangunan insan merupakan unsur terpenting bagi konsolidasi demokrasi. Fakta-fakta dan argument-argument yang dijabarkan dalam tinjauan teoritis ini memungkinkan kita untuk melengkapi kekerabatan antara pembangunan manusia, demokrasi dan pertumbuhan ekonomi, dimana ketiga variabel berinteraksi satu sama lainnya untuk menghasilkan segitiga kebaikan (virtous triangle).
Virtous Triangle
Dalam segitiga kebaikan ini, pembangunan insan secara positif mempengaruhi pertumbuhan ekonomi baik secara eksklusif maupun tidak eksklusif melalui demokrasi. Efek eksklusif dari pembangunan insan terhadap pembangunan mengikuti teori modal insan dan model pertumbuhan endogenous yang banyak ditemukan dalam banyak sekali literatur empiris. Penelitian Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia menemukan bahwa melek huruf yang tinggi, angka maut bayi yang rendah, ketidakmerataan dan kemiskinan yang rendah memperlihatkan kontribusi positif pada pertumbuhan ekonomi yang cepat di Asia Timur dan Tenggara.
2.5. Kaitan Kesehatan Dan Pembangunan
2.5.1. Problematika Kesehatan di Indonesi
Hal utama yang diperbincangkan dalam cara pandang kasatmata seputar pembangunan kesehatan di Indonesia akan kita kaji meliputi beberapa hal di bawah ini.
a. Problem Kematian Ibu
Kematian maternal yaitu maut perempuan sewaktu hamil, melahirkan atau dalam 42 hari setelah berakhirnya kehamilan, yang disebabkan oleh apapun yang berafiliasi dengan kehamilan atau penanganannya dan tidak tergantung pada lamanya dan lokasi kehamilan. (Sarwono, 1994 ).
Kematian maternal sangat berkaitan dengan maut bayi. Hal itu menjadi penting apabila kita menyadari setiap tahun berapa banyak perempuan yang bersalin dan berapa banyak ibu dan bayi yang mati setiap tahun lantaran persalinan. Hal ini berkaitan dengan tujuan obstetri (ilmu kebidanan) yaitu membawa ibu dan bayi dengan selamat melalui masa kehamilan, persalinan dan nifas dengan kerusakan yang seminimal mungkin (Bagian obsgin UNPAD, 1983).
Dengan tingginya angka maut ibu, tentu sangat menyedihkan lantaran yang meninggal yakni anggota masyarakat yang masih muda dan menjadi pusat kebahagiaan dan kesejahteraan keluarga. Penyebab maut ibu hamil merupakan suatu hal yang cukup kompleks, dan sanggup digolongkan menjadi beberapa faktor, antara lain :
- Reproduksi. Pada reproduksi kita akan dihadapkan oleh beberapa dilema pada usia, paritas serta kehamilan yang tidak normal
- Komplikasi Obstetrika. Sedangkan untuk komplikasi kebidanan sering dihadapkan adanya perdarahan sebelum dan setelah anak lahir, kehamilan ektopik, nanah nifas serta gestosis
- Pelayanan Kesehatan. Pada tingkat pelayanan adanya kelemahan dalam upaya memudahkan bagi upaya memajukan kesehatan maternal, asuhan medik yang kurang baik, kurangnya tenaga terlatih serta obat – obat kedaruratan yang minimal
- Sosio Budaya. Apalagi dalam bidang sosial budaya, dilema kemiskinan, bagaimana status pendidikannya (tertinggal atau memang bodoh), transportasi yang sulit serta terjadinya mitologi pantangan kuliner tertentu pada ibu hamil.
Dari banyak faktor tersebut maka alasannya yakni – alasannya yakni maut ibu hamil yang terpenting antara lain meliputi pendarahan, penyakit kehamilan dan persalinan, eklampsia serta kehamilan ektopik.
Beberapa pengalaman ilmiah faktor – faktor tersebut sepertinya dari kebanyakan maut ibu hamil sanggup dicegah. Upaya yang sanggup kita lakukan untuk menurunkan angka maut ibu hamil dan anak yakni dengan pengawasan tepat dan paripurna, yang terdiri dari 3 hal penting, yaitu :
- Prenatal care, Pengawasan ibu sewaktu hamil. Pertolongan dalam masa ini terutama bersifat profilaksis / pencegahan.
- Pertolongan sewaktu persalinan, Pimpinan persalinan yang tepat sanggup membantu mengurangi terjadinya kelainan dalam persalinan.
- Postpartum care, Upaya pengawasan setelah melahirkan, untuk menghindari dan mengetahui lebih dini terjadinya kelainan postpartum.
Sehingga harus dipahami bahwa bukan hanya pertolongan waktu persalinan saja yang penting, tetapi juga harus didahului oleh prenatal care (ANC : Ante Natal Care) yang baik dan disusul dengan perawatan postpartum yang baik.
b. Problem Kematian Bayi
Kematian Perinatal yakni maut janin yang terjadi pada usia kehamilan diatas 22 ahad atau berat janin diatas 500 gr hingga dengan 4 ahad setelah lahir. Lahir mati (Stillbirth) bayi lahir mati dengan berat 500 gr atau lebih yang ketika dilahirkan tidak memperlihatkan tanda kehidupan. Kematian Neonatal yakni bayi lahir dengan berat 500 gr atau lebih yang mati dalam 28 hari setelah dilahirkan (Mochtar, 1994)
Angka maut perinatal, angka maut bayi, maut maternal dan maut balita merupakan parameter dari keadaan kesehatan, pelayanan kebidanan dan kesehatan yang mencerminkan keadaan sosek dari suatu negara.
Setiap perempuan dalam kehamilan dan persalinan tidak luput dari kemungkinan penyebab dari resiko maut perinatal. Morbiditas dan mortalitas perinatal mempunyai kaitan erat dengan kehidupan janin dalam kandungan dan waktu persalinan. Jika digolongkan secara garis besar maka penyebab utama maut perinatal berdasarkan (Mochtar, 1994) adalah:
- Faktor resiko Hipoksia/asfiksia.
- Faktor resiko Berat Badan Lahir Rendah.
- Faktor resiko Cacat bawaan dan Infeksi.
- Faktor resiko Trauma Persalinan.
Sebenarnya dengan menyediakan pelayanan kesehatan dan pelayanan kebidanan yang bermutu akan bisa menekan faktor-faktor utama tersebut guna menurunkan angka maut perinatal selain faktor-faktor yang lain harus ditingkatkan menyerupai menaikkan tingkat sosial dan ekonomi masyarakat.
2.5.2. Strategi Percepatan Pembangunan Kesehatan
Untuk memasuki pada wilayah penjelajahan menuju seni administrasi percepatan (crass strategy) terhadap problematika yang ada kita gunakan Standar Pelayanan Prima (SPP) sebuah pedoman pelayanan kasatmata yang dipergunakan oleh Pemerintah RI maupun lembaga-lembaga non pemerintah. SPP ini sangat terkait dengan pembangunan pelayanan sanggup berdiri diatas kaki sendiri atau kemandirian pelayanan sehingga terwujudnya keadaan lingkungan dan sikap publik.
Mengenai SPP ini kita akan menjelaskan secara detail dibawah ini. SPP merupakan pelayanan publik yang dianggap terbaik lantaran selalu berangkat dari pemikiran, perasaan dan kontekstualisasi kebutuhan publik yang meliputi :
- Standar Pelayanan Prima (SPP) dibutuhkan dalam menejemen publik karena, kepercayaan pelanggan sebuah kemutlakan dalam menghadapi persaingan bebas di abad global
- Agar tercipta sebuah “kepercayaan publik” baik di forum kesehatan maupun publik maka diharapkan sebuah pemberdayaan SDM, SDA dan menejemen publiknya secara kokoh dan sistemik melalui banyak sekali aktivitas keberdayaan yang meningkatkan kualitas.
- Adapun legalitas aturan bagi gerak SPP melalui : salah satu sikap Pemerintah Republik Indonesia yang telah menerbitkan dengan SK Men-PAN No.81 Tahun 1993 wacana : Pelayanan Publik; kemudian diperkuat dengan Inpres No.1 Tahun 1995 wacana perintah pelaksanaan peningkatan mutu pelayanan kepada men-pan serta pada tahun 1998 melalui menko wasbang menerbitkan surat edaran menko wasbang no.145 tahun 1999 wacana rincian pelayanan publik dengan SPP.
- Dalam SPP sendiri mempunyai prinsip yaitu : mengutamakan pelanggan, sistem efektif, pelayanan berbasis merebut hati, pola perbaikan layanan terus menerus / berkelanjutan dan pelanggan terberdayakan
- Sedangkan konseptualisasi SPP melalui : prokreasi berdasarkan inisiatif, kreatif dan bertanggung jawah / amanah dalam segala hal
- Poros gerakan yang dikembangkan melalui SPP terhadap seni administrasi agresi dengan memakai gerakan katalitik, adanya kepemilikan publik, bergaung secara kompetitif dan mempunyai misi suci (keterlibatan seimbang antara dimensi provan dan eskatologik)
- Hasil simpulan dari sebuah pelaksanaan SPP ialah menjadikan pelanggan mendapat laba setara, terwujudnya sistem desentralisasi operasional, berkemampuan dalam mendongkrak pasar bisnis gres lantaran menjadi perhatian yang sangat menguntungkan pasar konsumen
- Pola menejemen SPP dalam pelaksanaannya memakai pola TQM (Total Quality Management) yang telah lebih dahulu terkenal digunakan dalam banyak sekali kebijakan publik maupun spesialisasi tertentu
- Metode akuntansi untuk pelaksanaan SPP selalu melibatkan publik
- Unsur-unsur penting yang mempengaruhi keberhasilan SPP di lapangan ialah bagaimana SPP diimplementasikan dalam bentuk yang sederhana, terang dan niscaya (terhitung), kondisi kegiatan menjadi aman, baik publik dan perangkat kelembagaan hukumnya, selalu bernuansa terbuka, ekonomis, berkeadilan serta dijalankan tepat waktu
- Ketika SPP dioperasionalkan diharapkan kelembagaan yang terorganisir untuk menjalankan SPP diharapkan wadah organisasi sistemik dalam kategori sebagai media Learning Organization – organisasi pembelajaran, hal ini akan berkhasiat bagi analisis dampak kesejahteraan publik (public welfare). Makara kiprah masyarakat secara terbuka untuk berpartisipasi dalam keberlanjutan sistem layanan yang makin kredibel (terpercaya)
- SPP dalam memenuhi pelaksanaan di masyarakat memakai banyak sekali jenis atau model yakni: Pelayanan Eksternal, Pelayanan Internal, Pelayanan Utama, Pelayanan Pendukung serta terakhir yakni munculnya beberapa Pelayanan Tambahan
- Secara aplikatif SPP sangat membutuhkan fragmentasi kepribadian dari para SDM yang terlibat untuk komitmen, profesional dalam keahliannya serta selalu konsisten dalam bertindak
- Untuk meluncurkan SPP diharapkan siklus aplikatif sebagai berikut :
1). Pembaharuan desain yang meliputi :
- Roh pelayanan, jenis SPP secara detail, penghayatan kemauan publik, perancangan publik
- Memperjelas pembagian kegiatan, unit pelaksana dan sikap serta sarana dan prasarana juga alur giat.
2). Sosialisasi serta koordinasi meliputi :
- Civitas stakeholders harus faham,
- Semua layanan terkoordinir,
- Adanya Dialog antara pemasok dan penerima
3). Langkah tepat mengenai penyusunan banyak sekali hal meliputi :
- Visi dan Misi,
- Jenis yang dipublikkan,
- Spesifikasi,
- Prosedur,
- Pengawasan dan Pengendalian Kualitas,
- Lampiran lengkap (denah lokasi, formulir, hasil MoU dan lain-lain).
4). Persiapan Aksi yang ditandai adanya:
- Tersedinya sarana dan prasarana dengan syarat tiadanya konflik antara asumsi dan realitas serta kokohnya PDCA (Plan – Do – Check – Action) dari menejemen TQM.
- Tersedia tenaga terlatih.
- Adanya Uji Coba telah final melalui Model Mutu yang dicapai dengan tehnik SQGM (service quality gap model) yaitu teknik untuk peta kesenjangan mutu pelayanan serta melalui Gap Model untuk melihat letak kelemahannya.
- Efektifitas pemasaran.
5). Antara Aksi dan Evaluasi berjalan stimulatif.
2.5.3. Strategi Baru Pembangunan Kesehatan
Mengacu pada visi dan misi yang telah ditetapkan, selanjutnya telah pula dirumuskan Strategi gres Pembangunan Kesehatan. Strategi gres Pembangunan Kesehatan yang telah dirumuskan oleh Departemen Kesehatan adalah:
- pembangunan nasional berwawasan kesehatan,
- profesionalisme,
- jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat (JPKM), dan
4) desentralisasi.
Dalam upaya melancarkan seni administrasi tersebut maka setiap seni administrasi telah pula dirumuskan faktor-faktor kritis keberhasilannya (critical success factors). Faktor-faktor kritis untuk melancarkan seni administrasi sanggup dijelaskan berikut.
- Strategi ke-1: Pembangunan nasional berwawasan kesehatan. Faktor-faktor yang memilih keberhasilannya adalah: 1) visi kesehatan sebagai landasan bagi pembangunan nasional, 2) paradigma sehat sebagai akad gerakan nasional, 3) sistem advokasi untuk upaya promotif dan preventif dalam aktivitas kesehatan yang paripurna, 4) dukungan sumberdaya yang berkelanjutan, 5) sosialisasi internal maupun eksternal, dan 6) restrukturisasi dan revitalisasi infrastruktur dalam kerangka desentralisasi.
- Strategi ke-2: Profesionalisme. Faktor-faktor yang memilih keberhasilannya adalah: 1) konsolidasi administrasi sumberdaya manusia, 2) perkuatan aspek-aspek ilmu pengetahuan dan teknologi, semangat pengabdian, dan kode etik profesi, 3) perkuatan konsep profesionalisme kesehatan dan kedokteran, dan 4) aliansi strategis antara profesi kesehatan dengan profesi lain terkait.
- Strategi ke-3: Jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat. Faktor-faktor yang memilih keberhasilannya adalah: 1) akad bersama dan gerakan mendukung paradigma sehat, 2) dukungan peraturan perundang-undangan, 3) sosialisasi internal maupun eksternal, 4) intervensi pemerintah pada tahap-tahap awal penghimpunan dana, 5) kebijakan pengembangan otonomi dalam administrasi pelayanan kesehatan.
- Strategi ke-4: Desentralisasi. Faktor-faktor yang memilih keberhasilannya adalah: 1) perimbangan dan keselarasan antara desentralisasi, dekonsentrasi, dan kiprah pembantuan, 2) kejelasan jenis dan tingkat kewenangan, 3) petunjuk-petunjuk yang terang wacana administrasi berikut indikator kinerjanya, 4) pemberdayaan, 5) sistem dan kebijakan keberlanjutan di bidang sumber daya manusia, 6) infrastruktur lintas sektor yang kondusif, serta, 7) prosedur pelatihan dan pengawasan yang efektif.