Persamaan Ilmu Pengetahuan Dengan Pengetahuan
Saturday, June 22, 2019
Edit
BAB l
PENGETAHUAN DENGAN ILMU PENGETAHUAN
TELAAH FILOSOFIS
1. Filsafat dan Filsafat Ilmu Pengetahuan
Sebelum Metode Penelitian dengan pendekatan Kualitatif atau Metode Penelitian Kualitatif, akan diuraikan terlebih dahulu apa Perbedaan Ilmu Pengetahuan Ilmiah (Science) dengan Pengetahuan (Knowledge). Mengapa demikian ? Kedua metode Penelitian baik kuantitatif maupun kualitatif dipakai untuk berbagi Ilmu Pengetahuan Ilmiah (Science). Oleh lantaran itu perlu diketahui terlebih dahulu apa itu Ilmu Pengetahuan Ilmiah dan perbedaanya dengan Pengetahuan. Dengan dipahaminya Ilmu Pengetahuan Ilmiah akan mempermudah memahami Metode Penelitian Ilmiah dan kaitan antara keduanya. Berikut ini akan disinggung sedikit ihwal Filsafat dan perbedaannya dengan Filsafat Ilmu Pengetahuan.
Secara singkat sanggup dikatakan Filsafat yaitu refleksi kritis yang radikal. Refleksi yaitu upaya memperoleh pengetahuan yang fundamental atau unsur-unsur yang hakiki atau inti. Apabila ilmu pengetahuan mengumpulkan data empiris atau data fisis melalui observasi atau eksperimen, kemudian dianalisis supaya sanggup ditemukan hukum-hukumnya yang bersifat universal. Oleh filsafat hukum-hukum yang bersifat universal tersebut direfleksikan atau dipikir secara kritis dengan tujuan untuk mendapat unsur-unsur yang hakiki, sehingga dihasilkan pemahaman yang mendalam. Kemudian apa perbedaan Ilmu Pengetahuan dengan Filsafat. Apabila ilmu pengetahuan sifatnya taat fakta, objektif dan ilmiah, maka filsafat sifatnya mempertemukan aneka macam aspek kehidupan di samping membuka dan memperdalam pengetahuan. Apabila ilmu pengetahuan objeknya dibatasi, contohnya Psikologi objeknya dibatasi pada sikap insan saja, filsafat objeknya tidak dibatasi pada satu bidang kajian saja dan objeknya dibahas secara filosofis atau reflektif rasional, lantaran filsafat mencari apa yang hakikat. Apabila ilmu pengetahuan tujuannya memperoleh data secara rinci untuk menemukan pola-polanya, maka filsafat tujuannya mencari hakiki, untuk itu perlu pembahasan yang mendalam. Apabila ilmu pengetahuannya datanya mendetail dan akurat tetapi tidak mendalam, maka filsafat datanya tidak perlu mendetail dan akurat, lantaran yang dicari yaitu hakekatnya, yang penting data itu dianalisis secara mendalam.
Persamaan dan perbedaan antara Filsafat dan Agama yaitu sebagai berikut. Persamaan antara Filsafat dan Agama yaitu semuanya mencari kebenaran. Sedang perbedaannya Filsafat bersifat rasional yaitu sejauh kemampuan logika budi, sehingga kebenaran yang dicapai bersifat relatif. Agama berdasarkan kepercayaan atau kepercayaan terhadap kebenaran agama, lantaran merupakan wahyu dari Tuhan YME, dengan demikian kebenaran agama bersifat mutlak.
Kajian filsafat mencakup ruang lingkup yang disusun berdasarkan pertanyaan filsuf populer Immanuel Kant sebagai berikut:
1) Apa yang sanggup saya ketahui (Was kan ich wiesen)
Pertanyaan ini mempunyai makna ihwal batas mana yang sanggup dan mana yang tidak sanggup diketahui. Jawaban terhadap pertanyaan ini yaitu suatu fenomena. Fenomena selalu dibatasi oleh ruang dan waktu. Hal ini menjadi dasar bagi Epistomologi. Eksistensi Tuhan bukan merupakan kajian Epistomologi lantaran berada di luar jangkauan indera. Bahan kajian Epistomologi yaitu yang berada dalam jangkauan indera. Kajian Epistomologi yaitu fenomena sedang eksistensi Tuhan merupakan objek kajian Metafisika. Epistomologi meliputi: Logika Pengetahuan (Knowledge), Ilmu Pengetahuan Ilmiah (Science) dan Metodologi.
2) Apa yang harus saya lakukan (Was soll ich tun)
Pertanyaan ini mempersoalkan nilai (values), dan disebut Axiologi, yaitu nilai-nilai apa yang dipakai sebagai dasar dari perilaku. Kajian Axiologi mencakup Etika atau nilai-nilai keutamaan atau kebaikan dan Estetika atau nilai-nilai keindahan.
3) Apa yang sanggup saya harapkan (Was kan ich hoffen)
Pengetahuan insan ada batasnya. Apabila insan sudah hingga batas pengetahuannya, insan hanya bisa mengharapkan. Hal ini berkaitan dengan being, yaitu hal yang ”ada”, contohnya permasalahan ihwal apakah jiwa insan itu abadi atau tidak, apakah Tuhan itu ada atau tidak. Pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak terjawab oleh Ilmu Pengetahuan Ilmiah, tetapi oleh Religi. Refleksi ihwal Being terbagi lagi menjadi dua, yaitu Ontologi yaitu struktur segala yang ada, realitas, keseluruhan objek-objek yang ada, dan Metafisika yaitu hal-hal yang berada di luar jangkauan indera, contohnya jiwa dan Tuhan.
Pascasarjana Universitas Indonesia.
Selanjutnya akan dibahas salah satu bidang kajian Filsafat, yaitu Filsafat Ilmu Pengetahuan, lantaran bidang ini membahas hakekat ilmu pengetahuan ilmiah (science). Hakekat ilmu pengetahuan sanggup ditelusuri dari 4 (empat) hal, yaitu:
1) Sumber ilmu pengetahuan itu dari mana.
Sumber ilmu pengetahuan mempertanyakan dari mana ilmu pengetahuan itu diperoleh. Ilmu pengetahuan diperoleh dari pengalaman (emperi) dan dari logika (ratio). Sehingga timbul faham atau ajaran yang disebut empirisme dan rasionalisme. Aliran empirisme yaitu faham yang menyusun teorinya berdasarkan pada empiri atau pengalaman. Tokoh-tokoh ajaran ini contohnya David Hume (1711-1776), John Locke (1632-1704), Berkley. Sedang rasionalisme menyusun teorinya berdasarkan ratio. Tokoh-tokoh ajaran ini misalya Spinoza, Rene Descartes. Metode yang dipakai ajaran emperisme yaitu induksi, sedang rasionalisme memakai metode deduksi. Immanuel Kant yaitu tokoh yang mensintesakan faham empirisme dan rasionalisme.
2) Batas-batas Ilmu Pengetahuan.
Menurut Immanuel Kant apa yang sanggup kita tangkap dengan panca indera itu hanya terbatas pada tanda-tanda atau fenomena, sedang substansi yang ada di dalamnya tidak sanggup kita tangkap dengan panca indera disebut nomenon. Apa yang sanggup kita tangkap dengan panca indera itu yaitu penting, pengetahuan tidak hingga disitu saja tetapi harus lebih dari sekedar yang sanggup ditangkap panca indera.
Yang sanggup kita ketahui atau dengan kata lain sanggup kita tangkap dengan panca indera yaitu hal-hal yang berada di dalam ruang dan waktu. Yang berada di luar ruang dan waktu yaitu di luar jangkauan panca indera kita, itu terdiri dari 3 (tiga) wangsit regulatif: 1) wangsit kosmologis yaitu ihwal semesta alam (kosmos), yang tidak sanggup kita jangkau dengan panca indera, 2) wangsit psikologis yaitu ihwal psiche atau jiwa manusia, yang tidak sanggup kita tangkap dengan panca indera, yang sanggup kita tangkap dengan panca indera kita yaitu manifestasinya contohnya perilakunya, emosinya, kemampuan berpikirnya, dan lain-lain, 3) wangsit teologis yaitu ihwal Tuhan Sang Pencipta Semesta Alam.
3) Strukturnya.
Yang ingin mengetahui yaitu subjek yang mempunyai kesadaran. Yang ingin kita ketahui yaitu objek, diantara kedua hal tersebut seperti terdapat garis demarkasi yang tajam. Namun demikian bahwasanya sanggup dijembatani dengan mengadakan dialektika. Kaprikornus bahwasanya garis demarkasi tidak tajam, lantaran apabila dikatakan subjek menghadapi objek itu salah, lantaran objek itu yaitu subjek juga, sehingga sanggup terjadi dialektika.
4) Keabsahan
Keabsahan ilmu pengetahuan membahas ihwal kriteria bahwa ilmu pengetahuan itu sah berarti membahas kebenaran. Tetapi kebenaran itu nilai (axiologi), dan kebenaran itu yaitu suatu relasi. Kebenaran yaitu kesamaan antara gagasan dan kenyataan. Misalnya ada korespondensi yaitu persesuaian antara gagasan yang terlihat dari pernyataan yang diungkapkan dengan realita.
Terdapat 3 (tiga) macam teori untuk mengungkapkan kebenaran, yaitu:
- Teori Korespondensi, terdapat persamaan atau persesuaian antara gagasan dengan kenyataan atau realita.
- Teori Koherensi, terdapat keterpaduan antara gagasan yang satu dengan yang lain. Tidak boleh terdapat pertentangan antara rumus yang satu dengan yang lain.
- Teori Pragmatis, yang dianggap benar yaitu yang berguna. Pragmatisme yaitu tradisi dalam pemikiran filsafat yang berhadapan dengan idealisme, dan realisme. Aliran Pragmatisme timbul di Amerika Serikat. Kebenaran diartikan berdasarkan teori kebenaran pragmatisme.
Untuk mengetahui penerapan 3 (tiga) macam teori tersebut pada bidang apa, periksa denah berikut ini.
Ilmu-ilmu Formal
Ilmu-ilmu Empiris Induktif
Ilmu-ilmu Terapan
Deduktif:
Logika
Matematika
Alam
unorganik
karang, batu, air.
Hayati:
Kehidupan
Sosial:
Manusia ber masyarakat
Budaya:
Manusia dengan ekspresinya
Ukuran kebenaran Koherensi menghadapi rumusan-rumusan yang dihentikan pertentangan satu sama lain
Ukuran kebenaran Korespondensi kesesuaian antara gagasan dengan realita/antara gagasan dengan fakta.
Pragmatis apa yang bermanfaat itu benar.
Ciri-ciri Ilmu Pengetahuan Ilmiah
Filsafat Ilmu Pengetahuan merupakan cabang filsafat yang menelaah baik ciri-ciri ilmu pengetahuan ilmiah maupun cara-cara memperoleh ilmu pengetahuan ilmiah. Ciri-ciri Ilmu Pengetahuan Ilmiah yaitu sebagai berikut:
1) Sistematis.
Ilmu pengetahuan ilmiah bersifat sistematis artinya ilmu pengetahuan ilmiah dalam upaya menjelaskan setiap tanda-tanda selalu berlandaskan suatu teori. Atau sanggup dikatakan bahwa teori dipergunakan sebagai sarana untuk menjelaskan tanda-tanda dari kehidupan sehari-hari. Tetapi teori itu sendiri bersifat ajaib dan merupakan puncak piramida dari susunan tahap-tahap proses mulai dari persepsi sehari-hari/ bahasa sehari-hari, observasi/konsep ilmiah, hipotesis, aturan dan puncaknya yaitu teori.
a) Persepsi sehari-hari (bahasa sehari-hari).
Dari persepsi sehari-hari terhadap fenomena atau fakta yang biasanya disampaikan dalam bahasa sehari-hari diobservasi supaya dihasilkan makna. Dari observasi ini akan dihasilkan konsep ilmiah.
b) Observasi (konsep ilmiah).
Untuk memperoleh konsep ilmiah atau menyusun konsep ilmiah perlu ada definisi. Dalam menyusun definisi perlu diperhatikan bahwa dalam definisi dihentikan terdapat kata yang didefinisikan. Terdapat 2 (dua) jenis definisi, yaitu: 1) definisi sejati, 2) definisi nir-sejati.
Definisi sejati sanggup diklasifikasikan dalam:
- Definisi Leksikal. Definisi ini sanggup ditemukan dalam kamus, yang biasanya bersifat deskriptif.
- Definisi Stipulatif. Definisi ini disusun berkaitan dengan tujuan tertentu. Dengan demikian tidak sanggup dinyatakan apakah definisi tersebut benar atau salah. Benar atau salah tidak menjadi masalah, tetapi yang penting yaitu konsisten (taat asas). Contoh yaitu pernyataan dalam Akta Notaris: Dalam Perjanjian ini si A disebut sebagai Pihak Pertama, si B disebut sebagai Pihak Kedua.
- Definisi Operasional. Definisi ini biasanya berkaitan dengan pengukuran (assessment) yang banyak dipergunakan oleh ilmu pengetahuan ilmiah. Definisi ini mempunyai kekurangan lantaran seringkali apa yang didefinisikan terdapat atau disebut dalam definisi, sehingga terjadi pengulangan. Contoh: ”Yang dimaksud inteligensi dalam penelitian ini yaitu kemampuan seseorang yang dinyatakan dengan skor tes inteligensi”.
- Definisi Teoritis. Definisi ini menjelaskan sesuatu fakta atau fenomena atau istilah berdasarkan teori tertentu. Contoh: Untuk mendefinisikan Superego, kemudian memakai teori Psikoanalisa dari Sigmund Freud.
Definisi nir-sejati dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu:
- Definisi Ostensif. Definisi ini menjelaskan sesuatu dengan menunjuk barangnya. Contoh: Ini gunting.
- Definisi Persuasif. Definisi yang mengandung pada anjuran (persuasif). Dalam definisi ini terkandung anjuran supaya orang melaksanakan atau tidak melaksanakan sesuatu. Contoh: ”Membunuh yaitu tindakan menghabisi nyawa secara tidak terpuji”. Dalam definisi tersebut secara implisit terkandung anjuran supaya orang tidak membunuh, lantaran tidak baik (berdosa berdasarkan Agama apapun).
c) Hipotesis
Dari konsep ilmiah yang merupakan pernyataan-pernyataan yang mengandung informasi, 2 (dua) pernyataan digabung menjadi proposisi. Proposisi yang perlu diuji kebenarannya disebut hipotesis.
d) Hukum
Hipotesis yang sudah diuji kebenarannya disebut dalil atau hukum.
e) Teori
Keseluruhan dalil-dalil atau hukum-hukum yang tidak bertentangan satu sama lain serta sanggup menjelaskan fenomena disebut teori.
2) Dapat dipertanggungjawabkan.
Ilmu pengetahuan ilmiah sanggup dipertanggungjawabkan melalui 3 (tiga) macam sistem, yaitu:
a) Sistem axiomatis
Sistem ini berusaha mengambarkan kebenaran suatu fenomena atau tanda-tanda sehari-hari mulai dari kaidah atau rumus umum menuju rumus khusus atau konkret. Atau mulai teori umum menuju fenomena/gejala konkret. Cara ini disebut deduktif-nomologis. Umumnya yang memakai metode ini yaitu ilmu-ilmu formal, contohnya matematika.
b) Sistem empiris
Sistem ini berusaha mengambarkan kebenaran suatu teori mulai dari gejala/ fenomena khusus menuju rumus umum atau teori. Kaprikornus bersifat induktif dan untuk menghasilkan rumus umum dipakai alat bantu statistik. Umumnya yang memakai metode ini yaitu ilmu pengetahuan alam dan sosial.
c) Sistem semantik/linguistik
Dalam sistem ini kebenaran didapatkan dengan cara menyusun proposisi-proposisi secara ketat. Umumnya yang memakai metode ini yaitu ilmu bahasa (linguistik).
3) Objektif atau intersubjektif
Ilmu pengetahuan ilmiah itu bersifat sanggup berdiri diatas kaki sendiri atau milik orang banyak (intersubjektif). Ilmu pengetahuan ilmiah itu bersifat otonom dan mandiri, bukan milik perorangan (subjektif) tetapi merupakan konsensus antar subjek (pelaku) acara ilmiah. Dengan kata lain ilmu pengetahuan ilmiah itu harus ditopang oleh komunitas ilmiah.
Cara Kerja Ilmu Pengetahuan Ilmiah
Cara kerja Ilmu Pengetahuan Ilmiah untuk mendapat kebenaran oleh Karl Popper disebut Siklus Empiris, yang sanggup digambarkan sebagai berikut:
Gambar sanggup dibedakan menjadi 2 (dua) komponen, yaitu:
1) Komponen Informasi, yang terdiri dari:
- Problem
- Teori
- Hipotesis
- Observasi
- Generalisasi Empiris
Komponen Informasi digambarkan dengan kotak.
2) Komponen langkah-langkah Metodologis, yang terdiri 6 (enam) langkah metodologis, yaitu:
- Inferensi logis
- Deduksi logis
- Interpretasi, instrumentasi, penetapan sampel, penyusun skala.
- Pengukuran, penyimpulan sampel, estimasi parameter.
- Pengujian hipotesis.
- fPembentukan konsep, pembentukan dan penyusunan proposisi.
Langkah Metodologis digambarkan dengan elips.
Penjelasan ihwal langkah-langkah Metodologis yaitu sebagai berikut:
- Langkah pertama. Ada problem yang harus dipecahkan. Seluruh langkah ini (5 langkah) oleh Popper disebut Epistomology Problem Solving. Untuk pemecahan problem tersebut dibutuhkan kajian pustaka (inferensi logis) guna mendapat teori-teori yang sanggup dipakai untuk pemecahan masalah.
- Langkah kedua. Selanjutnya dari teori disusun hipotesis. Untuk menyusun hipotesis dibutuhkan metode deduksi logis.
- Langkah ketiga. Untuk mengambarkan benar tidaknya hipotesis perlu adanya observasi. Sebelum melaksanakan observasi perlu melaksanakan interpretasi teori yang dipakai sebagai landasan penyusunan hipotesis dalam penelitian yaitu penyusunan kisi-kisi/dimensi-dimensi, kemudian penyusunan instrumen pengumpulan data, penetapan sampel dan penyusunan skala.
- Langkah keempat. Setelah observasi, selanjutnya melaksanakan pengukuran (assessment), penetapan sampel, estimasi kriteria (parameter estimation). Langkah tersebut dilakukan guna mendapat generalisasi empiris (empirical generalization).
- Langkah kelima. Generalisasi emperis tersebut pada hakekatnya merupakan hasil pembuktian hipotesis. Apabila hipotesis benar akan memperkuat teori (verifikasi). Apabila hipotesis tidak terbukti akan memperlemah teori (falsifikasi).
- Langkah keenam. Hasil dari generalisasi empiris tersebut dipergunakan sebagai materi untuk pembentukan konsep, pembentukan proposisi. Pembentukan atau penyusunan proposisi ini dipergunakan untuk memperkuat atau memantapkan teori, atau menyusun teori gres apabila hipotesis tidak terbukti.
2. Beda Ilmu Pengetahuan dan Pengetahuan
a. Pendahuluan
Ilmu pengetahuan (science) mempunyai pengertian yang berbeda dengan pengetahuan (knowledge atau sanggup juga disebut common sense). Orang awam tidak memahami atau tidak menyadari bahwa ilmu pengetahuan itu berbeda dengan pengetahuan. Bahkan mugkin mereka menyamakan dua pengertian tersebut. Tentang perbedaan antara ilmu pengetahuan dan pengetahuan akan dicoba dibahas disini.
Mempelajari apa itu ilmu pengetahuan itu berarti mempelajari atau membahas esensi atau hakekat ilmu pengetahuan. Demikian pula membahas pengetahuan itu juga berarti membahas hakekat pengetahuan. Untuk itu kita perlu memahami serba sedikit Filsafat Ilmu Pengetahuan. Dengan mempelajari Filsafat Ilmu Pengetahuan di samping akan diketahui hakekat ilmu pengetahuan dan hakekat pengetahuan, kita tidak akan terbenam dalam suatu ilmu yang spesifik sehingga makin menyempit dan eksklusif. Dengan mempelajari filsafat ilmu pengetahuan akan membuka perspektif (wawasan) yang luas, sehingga kita sanggup menghargai ilmu-ilmu lain, sanggup berkomunikasi dengan ilmu-ilmu lain. Dengan demikian kita sanggup berbagi ilmu pengetahuan secara interdisipliner. Sebelum kita membahas hakekat ilmu pengetahuan dan perbedaannya dengan pengetahuan, terlebih dahulu akan dikemukakan serba sedikit ihwal sejarah perkembangan ilmu pengetahuan.
b. Perkembangan Ilmu Pengetahuan
Mempelajari sejarah ilmu pengetahuan itu penting, lantaran dengan mempelajari hal tersebut kita sanggup mengetahui tahap-tahap perkembangannya. Ilmu pengetahuan tidak langsung terbentuk begitu saja, tetapi melalui proses, melalui tahap-tahap atau periode-periode perkembangan.
a) Periode Pertama (abad 4 sebelum Masehi)
Perintisan “Ilmu pengetahuan” dianggap dimulai pada periode 4 sebelum Masehi, lantaran peninggalan-peninggalan yang menggambarkan ilmu pengetahuan diketemukan mulai periode 4 sebelum Masehi. Abad 4 sebelum Masehi merupakan periode terjadinya pergeseran dari persepsi mitos ke persepsi logos, dari dongeng-dongeng ke analisis rasional. Contoh persepsi mitos yaitu pandangan yang beranggapan bahwa kejadian-kejadian contohnya adanya penyakit atau gempa bumi disebabkan perbuatan dewa-dewa. Kaprikornus pandangan tersebut tidak bersifat rasional, sebaliknya persepsi logos yaitu pandangan yang bersifat rasional. Dalam persepsi mitos, dunia atau kosmos dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan magis, mistis. Atau dengan kata lain, dunia dijelaskan oleh faktor-faktor luar (eksternal). Sedang dalam persepsi rasional, dunia dianalisis dari faktor-faktor dalam (internal). Atau dengan kata lain, dunia dianalisis dengan argumentasi yang sanggup diterima secara rasional atau logika sehat. Analisis rasional ini merupakan perintisan analisis secara ilmiah, tetapi belum sanggup dikatakan ilmiah.
Pada periode ini tokoh yang populer yaitu Aristoteles. Persepsi Aristoteles ihwal dunia yaitu sebagai berikut: dunia yaitu ontologis atau ada (eksis). Sebelum Aristoteles dunia dipersepsikan tidak eksis, dunia hanya menumpang eksistensi dewa-dewa. Dunia bukan dunia riil, yang riil yaitu dunia ide. Menurut Aristoteles, dunia merupakan substansi, dan ada hirarki substansi-substansi. Substansi yaitu sesuatu yang mandiri, dengan demikian dunia itu mandiri. Setiap substansi mempunyai struktur ontologis. Dalam struktur ontologis terdapat 2 prinsip, yaitu: 1) Akt: memperlihatkan prinsip kesempurnaan (realis); 2) Potensi: memperlihatkan prinsip kemampuannya, kemungkinannya (relatif). Setiap benda tepat dalam dirinya dan mempunyai kemungkinan untuk mempunyai kesempurnaan. Perubahan terjadi bila potensi berubah, dan perubahan tersebut direalisasikan.
Pandangan Aristoteles yang sanggup dikatakan sebagai awal dari perintisan “ilmu pengetahuan” yaitu hal-hal sebagai berikut:
1) Hal Pengenalan
Menurut Aristoteles terdapat dua macam pengenalan, yaitu: (1) pengenalan inderawi; (2) pengenalan rasional. Menurut Aristoteles, pengenalan inderawi memberi pengetahuan ihwal hal-hal yang kongkrit dari suatu benda. Sedang pengenalan rasional sanggup mencapai hakekat sesuatu, melalui jalan abstraksi.
2) Hal Metode
Selanjutnya, berdasarkan Aristoteles, “ilmu pengetahuan” yaitu pengetahuan ihwal prinsip-prinsip atau hukum-hukum bukan objek-objek eksternal atau fakta. Penggunaan prinsip atau aturan berarti berargumentasi (reasoning). Menurut Aristoteles, berbagi “ilmu pengetahuan” berarti berbagi prinsip-prinsip, berbagi “ilmu pengetahuan” (teori) tidak terletak pada akumulasi data tetapi peningkatan kualitas teori dan metode. Selanjutnya, berdasarkan Aristoteles, metode untuk berbagi “ilmu pengetahuan” ada dua, yaitu: (1) induksi intuitif yaitu mulai dari fakta untuk menyusun aturan (pengetahuan universal); (2) deduksi (silogisme) yaitu mulai dari pengetahuan universal menuju fakta-fakta.
b) Periode Kedua (abad 17 sehabis Masehi)
Pada periode yang kedua ini terjadi revolusi ilmu pengetahuan lantaran adanya perombakan total dalam cara berpikir. Perombakan total tersebut yaitu sebagai berikut:
Apabila Aristoteles cara berpikirnya bersifat ontologis rasional, Gallileo Gallilei (tokoh pada awal periode 17 sehabis Masehi) cara berpikirnya bersifat analisis yang dituangkan dalam bentuk kuantitatif atau matematis. Yang dimunculkan dalam berfikir ilmiah Aristoteles yaitu berpikir ihwal hakekat, jadi berpikir metafisis (apa yang berada di balik yang nampak atau apa yang berada di balik fenomena).
Abad 17 meninggalkan cara berpikir metafisis dan beralih ke elemen-elemen yang terdapat pada sutau benda, jadi tidak mempersoalkan hakikat. Dengan demikian bukan substansi tetapi elemen-elemen yang merupakan kesatuan sistem. Cara berpikir periode 17 mengkonstruksi suatu model yaitu memasukkan unsur makro menjadi mikro, mengkonstruksi suatu model yang sanggup diuji coba secara empiris, sehingga memerlukan adanya laboratorium. Uji coba penting, untuk itu harus membuat eksperimen. Ini berarti mempergunakan pendekatan matematis dan pendekatan eksperimental. Selanjutnya apabila pada jaman Aristoteles ilmu pengetahuan bersifat ontologis, maka semenjak periode 17, ilmu pengetahuan berpijak pada prinsip-prinsip yang berpengaruh yaitu terang dan terpilah-pilah (clearly and distinctly) serta disatu pihak berpikir pada kesadaran, dan pihak lain berpihak pada materi. Prinsip terang dan terpilah-pilah sanggup dilihat dari pandangan Rene Descartes (1596-1650) dengan ungkapan yang terkenal, yaitu Cogito Ergo Sum, yang artinya lantaran saya berpikir maka saya ada. Ungkapan Cogito Ergo Sum yaitu sesuatu yang pasti, lantaran berpikir bukan merupakan khayalan. Suatu yang niscaya yaitu terang dan terpilah-pilah. Menurut Descartes pengetahuan ihwal sesuatu bukan hasil pengamatan melainkan hasil investigasi rasio (dalam Hadiwijono, 1981). Pengamatan merupakan hasil kerja dari indera (mata, telinga, hidung, dan lain sebagainya), oleh lantaran itu jadinya kabur, lantaran ini sama dengan pengamatan binatang. Untuk mencapai sesuatu yang niscaya berdasarkan Descartes kita harus mencurigai apa yang kita amati dan kita ketahui sehari-hari. Pangkal pemikiran yang niscaya berdasarkan Descartes dikemukakan melalui keragu-raguan. Keragu-raguan menjadikan kesadaran, kesadaran ini berada di samping materi. Prinsip ilmu pengetahuan satu pihak berpikir pada kesadaran dan pihak lain berpijak pada materi juga sanggup dilihat dari pandangan Immanuel Kant (1724-1808). Menurut Immanuel Kant ilmu pengetahuan itu bukan merupakan pangalaman terhadap fakta saja, tetapi merupakan hasil konstruksi oleh rasio.
Agar sanggup memahami pandangan Immanuel Kant tersebut perlu terlebih dahulu mengenal pandangan rasionalisme dan empirisme. Rasionalisme mementingkan unsur-unsur apriori dalam pengenalan, berarti unsur-unsur yang terlepas dari segala pengalaman. Sedangkan empirisme menekankan unsur-unsur aposteriori, berarti unsur-unsur yang berasal dari pengalaman. Menurut Immanuel Kant, baik rasionalisme maupun empirisme dua-duanya berat sebelah. Ia berusaha menjelaskan bahwa pengenalan insan merupakan keterpaduan atau sintesa antara unsur-unsur apriori dengan unsur-unsur aposteriori (dalam Bertens, 1975). Oleh lantaran itu Kant beropini bahwa pengenalan berpusat pada subjek dan bukan pada objek. Sehingga sanggup dikatakan berdasarkan Kant ilmu pengetahuan bukan hasil pengalaman saja, tetapi hasil konstruksi oleh rasio.
Inilah pandangan Rene Descartes dan Immanuel Kant yang menolak pandangan Aristoteles yang bersifat ontologis dan metafisis. Banyak tokoh lain yang meninggalkan pandangan Aristoteles, namun dalam makalah ini cukup mengajukan dua tokoh tersebut, kiranya cukup untuk menggambarkan adanya pemikiran yang revolusioner dalam perkembangan ilmu pengetahuan.
c. Perbedaan Ilmu Pengetahuan dengan Pengetahuan
Terdapat beberapa definisi ilmu pengetahuan, di antaranya adalah:
a) Ilmu pengetahuan yaitu penguasaan lingkungan hidup manusia.
Definisi ini tidak diterima lantaran mencampuradukkan ilmu pengetahuan dan teknologi.
b) Ilmu pengetahuan yaitu kajian ihwal dunia material.
Definisi ini tidak sanggup diterima lantaran ilmu pengetahuan tidak terbatas pada hal-hal yang bersifat materi.
c) Ilmu pengetahuan yaitu definisi eksperimental.
Definisi ini tidak sanggup diterima lantaran ilmu pengetahuan tidak hanya hasil/metode eksperimental semata, tetapi juga hasil pengamatan, wawancara. Atau sanggup dikatakan definisi ini tidak memperlihatkan tali pengikat yang berpengaruh untuk menyatukan hasil eksperimen dan hasil pengamatan (Ziman J. dalam Qadir C.A., 1995).
d) Ilmu pengetahuan sanggup hingga pada kebenaran melalui kesimpulan logis dari pengamatan empiris.
Definisi ini mempergunakan metode induksi yaitu membangun prinsip-prinsip umum berdasarkan aneka macam hasil pengamatan. Definisi ini memperlihatkan kawasan adanya hipotesa, sebagai ramalan akan hasil pengamatan yang akan datang. Definisi ini juga mengakui pentingnya pemikiran spekulatif atau metafisik selama ada kesesuaian dengan hasil pengamatan. Namun demikian, definisi ini tidak bersifat hitam atau putih. Definisi ini tidak memberi kawasan pada pengujian pengamatan dengan penelitian lebih lanjut.
Kebenaran yang disimpulkan dari hasil pengamatan empiris hanya berdasarkan kesimpulan logis berarti hanya berdasarkan kesimpulan logika sehat. Apabila kesimpulan tersebut hanya merupakan logika sehat, walaupun itu berdasarkan pengamatan empiris, tetap belum sanggup dikatakan sebagai ilmu pengetahuan tetapi masih pada taraf pengetahuan. Ilmu pengetahuan bukanlah hasil dari kesimpulan logis dari hasil pengamatan, namun haruslah merupakan kerangka konseptual atau teori yang memberi kawasan bagi pengkajian dan pengujian secara kritis oleh ahli-ahli lain dalam bidang yang sama, dengan demikian diterima secara universal. Ini berarti terdapat adanya kesepakatan di antara para mahir terhadap kerangka konseptual yang telah dikaji dan diuji secara kritis atau telah dilakukan penelitian atau percobaan terhadap kerangka konseptual tersebut.
Berdasarkan pemahaman tersebut maka pandangan yang bersifat statis ekstrim, maupun yang bersifat dinamis ekstrim harus kita tolak. Pandangan yang bersifat statis ekstrim menyatakan bahwa ilmu pengetahuan merupakan cara menjelaskan alam semesta di mana kita hidup. Ini berarti ilmu pengetahuan dianggap sebagai pabrik pengetahuan. Sementara pandangan yang bersifat dinamis ekstrim menyatakan ilmu pengetahuan merupakan acara yang menjadi dasar munculnya acara lebih lanjut. Kaprikornus ilmu pengetahuan sanggup diibaratkan dengan suatu laboratorium. Bila kedua pandangan ekstrim tersebut diterima, maka ilmu pengetahuan akan hilang musnah, dikala pabrik dan laboratorium tersebut ditutup.
Ilmu pengetahuan bukanlah kumpulan pengetahuan semesta alam atau acara yang sanggup dijadikan dasar bagi acara yang lain, tetapi merupakan teori, prinsip, atau dalil yang mempunyai kegunaan bagi pengembangan teori, prinsip, atau dalil lebih lanjut, atau dengan kata lain untuk menemukan teori, prinsip, atau dalil baru. Oleh lantaran itu, ilmu pengetahuan sanggup didefinisikan sebagai berikut:
Ilmu pengetahuan yaitu rangkaian konsep dan kerangka konseptual yang saling berkaitan dan telah berkembang sebagai hasil percobaan dan pengamatan yang bermanfaat untuk percobaan lebih lanjut (Ziman J. dalam Qadir C.A., 1995). Pengertian percobaan di sini yaitu pengkajian atau pengujian terhadap kerangka konseptual, ini sanggup dilakukan dengan penelitian (pengamatan dan wawancara) atau dengan percobaan (eksperimen).
Selanjutnya John Ziman menjelaskan bahwa definisi tersebut memberi tekanan pada makna manfaat, mengapa? Kesahihan gagasan gres dan makna inovasi eksperimen gres atau juga inovasi penelitian gres (menurut penulis) akan diukur jadinya yaitu hasil dalam kaitan dengan gagasan lain dan eksperimen lain. Dengan demikian ilmu pengetahuan tidak dipahami sebagai pencarian kepastian, melainkan sebagai penyelidikan yang berhasil hanya hingga pada tingkat yang bersinambungan (Ziman J. dalam Qadir C.A., 1995).
Bila kita analisis lebih lanjut perlu dipertanyakan mengapa definisi ilmu pengetahuan di atas menekankan kemampuannya untuk menghasilkan percobaan baru, berarti juga menghasilkan penelitian gres yang pada gilirannya menghasilkan teori gres dan seterusnya – berlangsung tanpa berhenti. Mengapa ilmu pengetahuan tidak menekankan penerapannya? Seperti yang dilakukan para mahir fisika dan kimia yang hanya menekankan pada penerapannya yaitu dengan mempertanyakan bagaimana alam semesta dibuat dan berfungsi? Bila hanya itu yang menjadi pemfokusan ilmu pengetahuan, maka apabila pertanyaan itu sudah terjawab, ilmu pengetahuan itu akan berhenti. Oleh lantaran itu, definisi ilmu pengetahuan tidak berorientasi pada penerapannya melainkan pada kemampuannya untuk menghasilkan percobaan gres atau penelitian baru, dan pada gilirannya menghasilkan teori baru.
Para mahir fisika dan kimia yang menekankan penerapannya pada hakikatnya bukan merupakan ilmu pengetahuan, tetapi merupakan logika sehat (common sense). Selanjutnya untuk membedakan hasil logika sehat dengan ilmu pengetahuan William James yang menyatakan hasil logika sehat yaitu sistem perseptual, sedang hasil ilmu pengetahuan yaitu sistem konseptual (Conant J. B. dalam Qadir C. A., 1995). Kemudian bagaimana cara untuk memantapkan atau berbagi ilmu pengetahuan? Berdasarkan definisi ilmu pengetahuan tersebut di atas maka pemantapan dilakukan dengan penelitian-penelitian dan percobaan-percobaan.
Perlu dipertanyakan pula bagaimana korelasi antara logika sehat yang menghasilkan perseptual dengan ilmu pengetahuan sebagai konseptual. Jawabannya yaitu logika sehat yang menghasilkan pengetahuan merupakan premis bagi pengetahuan eksperimental (Conant, J.B. dalam Qadir C.A., 1995). Ini berarti pengetahuan merupakan masukan bagi ilmu pengetahuan, masukan tersebut selanjutnya diterima sebagai problem untuk diteliti lebih lanjut. Hasil penelitian sanggup berbentuk teori baru.
Sedangkan Ernest Nagel secara rinci membedakan pengetahuan (common sense) dengan ilmu pengetahuan (science).
Perbedaan tersebut yaitu sebagai berikut:
1) Dalam common sense informasi ihwal suatu fakta jarang disertai penjelasan ihwal mengapa dan bagaimana. Common sense tidak melaksanakan pengujian kritis korelasi sebab-akibat antara fakta yang satu dengan fakta lain. Sedang dalam science di samping dibutuhkan uraian yang sistematik, juga sanggup dikontrol dengan sejumlah fakta sehingga sanggup dilakukan pengorganisasian dan pengklarifikasian berdasarkan prinsip-prinsip atau dalil-dalil yang berlaku.
2) Ilmu pengetahuan menekankan ciri sistematik.
Penelitian ilmiah bertujuan untuk mendapat prinsip-prinsip yang fundamental dan berlaku umum ihwal suatu hal. Artinya dengan berpedoman pada teori-teori yang dihasilkan dalam penelitian-penelitian terdahulu, penelitian gres bertujuan untuk menyempurnakan teori yang telah ada yang berkaitan dengan problem yang diteliti. Sedang common sense tidak memperlihatkan penjelasan (eksplanasi) yang sistematis dari aneka macam fakta yang terjalin. Di samping itu, dalam common sense cara pengumpulan data bersifat subjektif, lantaran common sense sarat dengan muatan-muatan emosi dan perasaan.
3) Dalam menghadapi konflik dalam kehidupan, ilmu pengetahuan menjadikan konflik sebagai pendorong untuk kemajuan ilmu pengetahuan.
Ilmu pengetahuan berusaha untuk mencari, dan mengintroduksi pola-pola eksplanasi sistematik sejumlah fakta untuk mempertegas aturan-aturan. Dengan memperlihatkan korelasi logis dari proposisi yang satu dengan lainnya, ilmu pengetahuan tampil mengatasi konflik.
4) Kebenaran yang diakui oleh common sense bersifat tetap, sedang kebenaran dalam ilmu pengetahuan selalu diusik oleh pengujian kritis. Kebenaran dalam ilmu pengetahuan selalu dihadapkan pada pengujian melalui observasi maupun eksperimen dan sewaktu-waktu sanggup diperbaharui atau diganti.
5) Perbedaan selanjutnya terletak pada segi bahasa yang dipakai untuk memperlihatkan penjelasan pengungkapan fakta. Istilah dalam common sense biasanya mengandung pengertian ganda dan samar-samar. Sedang ilmu pengetahuan merupakan konsep-konsep yang tajam yang harus sanggup diverifikasi secara empirik.
6) Perbedaan yang fundamental terletak pada prosedur.
Ilmu pengetahuan berdasar pada metode ilmiah. Dalam ilmu pengetahuan alam (sains), metoda yang dipergunakan yaitu metoda pengamatan, eksperimen, generalisasi, dan verifikasi. Sedang ilmu sosial dan budaya juga memakai metode pengamatan, wawancara, eksperimen, generalisasi, dan verifikasi. Dalam common sense cara mendapat pengetahuan hanya melalui pengamatan dengan panca indera.
Dari aneka macam uraian berdasarkan pandangan tokoh-tokoh tersebut dapatlah dikatakan: ilmu pengetahuan yaitu kerangka konseptual atau teori uang saling berkaitan yang memberi kawasan pengkajian dan pengujian secara kritis dengan metode ilmiah oleh ahli-ahli lain dalam bidang yang sama, dengan demikian bersifat sistematik, objektif, dan universal.
Sedang pengetahuan yaitu hasil pengamatan yang bersifat tetap, lantaran tidak memperlihatkan kawasan bagi pengkajian dan pengujian secara kritis oleh orang lain, dengan demikian tidak bersifat sistematik dan tidak objektif serta tidak universal.
d. Proses Terbentuknya Ilmu Pengetahuan
a) Syarat-syarat Ilmu Pengetahuan Ilmiah
Agar sanggup diuraikan proses terbentuknya ilmu pengetahuan ilmiah, perlu terlebih dahulu diuraikan syarat-syarat ilmu pengetahuan ilmiah.
Menurut Karlina Supeli Laksono dalam Filsafat Ilmu Pengetahuan (Epsitomologi) pada Pascasarjana Universitas Indonesia tahun 1998/1999, ilmu pengetahuan ilmiah harus memenuhi tiga syarat, yaitu:
- Sistematik; yaitu merupakan kesatuan teori-teori yang tersusun sebagai suatu sistem.
- Objektif; atau dikatakan pula sebagai intersubjektif, yaitu teori tersebut terbuka untuk diteliti oleh orang lain/ahli lain, sehingga hasil penelitian bersifat universal.
- Dapat dipertanggungjawabkan; yaitu mengandung kebenaran yang bersifat universal, dengan kata lain sanggup diterima oleh orang-orang lain/ahli-ahli lain. Tiga syarat ilmu pengetahuan tersebut telah diuraikan secara lengkap pada sub pecahan di atas.
Pandangan ini sejalan dengan pandangan Parsudi Suparlan yang menyatakan bahwa Metode Ilmiah yaitu suatu kerangka landasan bagi terciptanya pengetahuan ilmiah. Selanjutnya dinyatakan bahwa penelitian ilmiah dilakukan dengan berlandaskan pada metode ilmiah. Sedangkan penelitian ilmiah harus dilakukan secara sistematik dan objektif (Suparlan P., 1994). Penelitian ilmiah sebagai pelaksanaan metode ilmiah harus sestematik dan objektif, sedang metode ilmiah merupakan suatu kerangka bagi terciptanya ilmu pengetahuan ilmiah. Maka jelaslah bahwa ilmu pengetahuan juga mempersyaratkan sistematik dan objektif.
Sebuah teori intinya merupakan pecahan utama dari metode ilmiah. Suatu kerangka teori menyajikan cara-cara mengorganisasikan dan menginterpretasi-kan hasil-hasil penelitian, dan menghubungkannya dengan hasil-hasil penelitian yang dibuat sebelumnya. Kaprikornus peranan metode ilmiah yaitu untuk menghubungkan penemuan-penemuan ilmiah dari waktu dan kawasan yang berbeda. Ini berarti peranan metode ilmiah melandasi corak pengetahuan ilmiah yang sifatnya akumulatif. Dari uraian tersebut di atas dapatlah dikatakan bahwa proses terbentuknya ilmu pengetahuan ilmiah melalui metode ilmiah yang dilakukan dengan penelitian-penelitian ilmiah.
Pembentukan ilmu pengetahuan ilmiah intinya merupakan pecahan yang penting dari metode ilmiah. Suatu ilmu pengetahuan ilmiah menyajikan cara-cara pengorganisasian dan penginterpretasian hasil-hasil penelitian, dan menghubungkannya dengan hasil-hasil penelitian yang dibuat sebelumnya oleh peneliti lain. Ini berarti bahwa ilmu pengetahuan ilmiah merupakan suatu proses akumulasi dari pengetahuan. Di sini peranan metode ilmiah penting yaitu menghubungkan pengetahuan-pengetahuan ilmiah dari waktu dan kawasan yang berbeda. Walaupun dalam ilmu pengetahuan alam (sains) metode ilmiah menekankan metode induktif guna mengadakan generalisasi atas fakta-fakta khusus dalam rangka penelitian, penciptaan teori dan verifikasi, tetapi dalam ilmu-ilmu sosial, baik metode induktif maupun deduktif sama-sama penting. Walaupun fakta-fakta empirik itu penting peranannya dalam metode ilmiah namun kumpulan fakta itu sendiri tidak membuat teori atau ilmu pengetahuan (Suparlan P., 1994). Kaprikornus jelaslah bahwa ilmu pengetahuan bukan merupakan kumpulan pengetahuan atau kumpulan fakta-fakta empirik. Mengapa demikian? Hal ini disebabkan lantaran fakta-fakta empirik itu sendiri supaya mempunyai makna, fakta-fakta tersebut harus ditata, diklasifikasi, dianalisis, digeneralisasi berdasarkan metode yang berlaku serta dikaitkan dengan fakta yang satu dengan yang lain.
Dalam ilmu-ilmu sosial prinsip objektivitas merupakan prinsip utama dalam metode ilmiahnya. Hal ini disebabkan ilmu sosial berafiliasi dengan acara insan sebagai mahluk sosial dan budaya sehingga tidak terlepas adanya korelasi perasaan dan emosional antara peneliti dengan pelaku yang diteliti.
Untuk menjaga objektivitas metode ilmiah dalam ilmu-ilmu sosial berlaku prinsip-prinsip sebagai berikut
- Ilmuwan harus mendekati target kajiannya dengan penuh keraguan dan skeptis.
- Ilmuwan harus objektif yaitu membebaskan dirinya dari sikap, keinginan, kecenderungan untuk menolak, atau menyukai data yang dikumpulkan.
- Ilmuwan harus bersikap netral, yaitu dalam melaksanakan evaluasi terhadap hasil penemuannya harus terbebas dari nilai-nilai budayanya sendiri. Demikian pula dalam membuat kesimpulan atas data yang dikumpulkan jangan dianggap sebagai data akhir, mutlak, dan merupakan kebenaran universal (Suparlan P., 1994).
Sedang pelaksanaan penelitian yang berpedoman pada metode ilmiah hendaknya memperhatikan ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
- Prosedur penelitian harus terbuka untuk diperiksa oleh peneliti lainnya.
- Definisi-definisi yang dibuat yaitu benar dan berdasarkan konsep-konsep dan teori-teori yang sudah ada/baku.
- Pengumpulan data dilakukan secara objektif, yaitu dengan memakai metode-metode penelitian ilmiah yang baku.
- Hasil-hasil penemuannya akan ditentukan ulang oleh peneliti lain bila sasaran, masalah, pendekatan, dan mekanisme penelitiannya sama (Suparlan P., 1994).
b) Metode Penelitian Ilmiah
Pada dasarnya metode penelitian ilmiah untuk ilmu-ilmu sosial sanggup dibedakan menjadi dua golongan pendekatan, yaitu: (1) pendekatan kuantitatif; (2) pendekatan kualitatif.
1) Pendekatan Kuantitatif
Landasan berpikir dari pendekatan kuantitatif yaitu filsafat positivisme yang dikembangkan pertama kali oleh Emile Durkheim (1964). Pandangan dari filsafat positivisme ini yaitu bahwa tindakan-tindakan insan terwujud dalam gejala-gejala sosial yang disebut fakta-fakta sosial. Fakta-fakta sosial tersebut harus dipelajari secara objektif, yaitu dengan memandangnya sebagai benda, mirip benda dalam ilmu pengetahuan alam.
Caranya dengan melaksanakan observasi atau mengamati sesuatu fakta sosial, untuk melihat kecenderungan-kecenderungannya, menghubungkan dengan fakta-fakta sosial lainnya, dengan demikian kecenderungan-kecenderungan suatu fakta sosial tersebut sanggup diidentifikasi. Penggunaan data kuantitatif dibutuhkan dalam analisa yang sanggup dipertanggungjawabkan kesahihannya demi tercapainya ketepatan data dan ketepatan penggunaan model korelasi variabel bebas dan variabel tergantung (Suparlan P., 1997).
2) Pendekatan Kualitatif
Landasan berpikir dalam pendekatan kualitatif yaitu pemikiran Max Weber (1997) yang menyatakan bahwa pokok penelitian sosiologi bukan hanya gejala-gejala sosial, tetapi juga dan terutama makna-makna yang terdapat di balik tindakan-tindakan perorangan yang mendorong terwujudnya gejala-gejala sosial tersebut. Oleh lantaran itu, metode yang utama dalam sosiologi dari Max Weber yaitu Verstehen atau pemahaman (jadi bukan Erklaren atau penjelasan). Agar sanggup memahami makna yang ada dalam suatu tanda-tanda sosial, maka seorang peneliti harus sanggup berperan sebagai pelaku yang ditelitinya, dan harus sanggup memahami para pelaku yang ditelitinya supaya sanggup mencapai tingkat pemahaman yang tepat mengenai makna-makna yang terwujud dalam gejala-gejala sosial yang diamatinya (Suparlan P., 1997).