Teori Lengkap Sengketa

I. A. Pengertian ”Sengketa Pilkada”. 
Sengketa terjadi lantaran adanya benturan kepentingan. Oleh lantaran itu seiring dengan perkembangan masyarakat muncul aturan yang berusaha untuk meminimalisir aneka macam benturan kepentingan dalam masyarakat. Beberapa kurun yang kemudian spesialis filsafat yang berjulukan Cicero mengatakan, “Ubi Societas Ibi Ius” artinya, dimana ada masyarakat maka di situ ada hukum. Pernyataan ini sangat sempurna sekali lantaran adanya aturan itu yaitu berfungsi sebagai kaidah atau norma dalam masyarakat. Kaidah atau norma itu yaitu patokan-patokan mengenai sikap yang dianggap pantas.33 Kaidah mempunyai kegunaan untuk menyelaraskan tiap kepentingan anggota masyarakat. Sehingga di masyarakat tidak akan terjadi benturan kepentingan antara anggota masyarakat yang satu dengan yang lainnya. Menurut Van Kan, 34 kepentingan-kepentingan insan bisa saling bertumbukan kalau tidak dikendalikan oleh kaidah, sehingga lahirlah kaidah agama, kaidah kesusilaan dan kaidah kesopanan sebagai perjuangan insan untuk menyelaraskan kepentingan-kepentingan itu. Tetapi, ketiga kaidah di atas ternyata mempunyai kelemahan:
  1. Kaidah agama, kaidah kesusilaan dan kaidah kesopanan belum cukup melindungi kepentingan-kepentingan insan dalam masyarakat lantaran ketiga kaidah ini tidak mempunyai hukuman yang tegas dan sanggup dipaksakan. 
  2. Kaidah agama, kaidah kesusilaan dan kaidah kesopanan belum mengatur secara keseluruhan kepentingan-kepentingan insan ibarat kepentingan insan dalam bidang pertanahan, kehutanan, kelautan, udara dan lainlain.
Oleh lantaran itu, diharapkan satu kaidah lagi yang sanggup menjawab dua kelemahan di atas. Kaidah tersebut yaitu kaidah hukum. Kaidah aturan mempunyai sifat pemaksa artinya kalau seseorang melanggar kepentingan orang lain maka beliau akan dipaksa oleh aturan untuk mengganti rugi atau bahkan dicabut hak kebebasannya dengan jalan dimasukan ke penjara biar kepentingan orang lain itu tidak terganggu. Lain dengan ketiga kaidah sebelumnya yang tidak mempunyai hukuman yang sanggup dipaksakan. Kaidah aturan juga mengisi kelemahan ketiga kaidah tadi yaitu dengan jalan berusaha mengatur seluruh peri kehidupan yang berafiliasi dengan insan sebagai anggota masyarakat maupun sebagai individu. Contohnya, aturan mulai mengatur dari insan itu dilahirkan hingga meninggal dunia. Hukum juga mengatur perihal kepentingan manusia/masyarakat terhadap tanahnya, kepentingan dari segi administrasinya, hak-hak dan lain-lain. Sehingga di dalam masyarakat yang komplek kepentingannya, maka aturan pun akan turut mengimbanginya.

Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 Tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan Dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, yang dimaksud dengan pemilihan kepala kawasan dan wakil kepala kawasan yang selanjutnya disebut pemilihan yaitu sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat di wilayah provinsi dan/atau kabupaten/kota berdasarkan Pancasila danUndang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 untuk menentukan kepala kawasan dan wakil kepala daerah. Dasar aturan yaitu Undang-undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Dengan ditetapkannya Undang-undang ini, Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah mempunyai kiprah yang sangat strategis dalam rangka pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan, pemerataan, kesejahteraan masyarakat, memelihara kekerabatan yang harmonis antara Pemerintah dan Daerah serta antar Daerah untuk menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Berdasarkan Pasal 106 ayat (1) Undang-undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, keberatan terhadap penetapan hasil pemilihan kepala kawasan dan wakil kepala kawasan hanya sanggup diajukan oleh pasangan calon kepada Mahkamah Agung dalam waktu paling lambat 3 (tiga) hari sesudah penetapan hasil pemilihan kepala kawasan dan wakil kepala daerah.

 Kemudian ayat (2) menyatakan: Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berkenaan dengan hasil perhitungan bunyi yang menghipnotis terpilihnya pasangan calon. Ayat (3) menyatakan: Pengajuan keberatan kepada Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada pengadilan tinggi untuk pemilihan kepala kawasan dan wakil kepala kawasan provinsi dan kepada pengadilan negeri untuk pemilihan kepala kawasan dan wakil kepala kawasan kabupaten/kota. Ayat (4) menyatakan: Mahkamah Agung memutus sengketa hasil penghitungan bunyi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) paling lambat 14 (empat belas) hari semenjak diteirmanya permohonan keberatan oelh Pengadilan Negeri/Pengadilan Tinggi/Mahkamah Agung. Ayat (5) menyatakan: Putusan Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud pada ayat (4) bersifat final dan mengikat. Ayat (6) menyatakan: Mahkamah Agung dalam melaksanakan kewenangannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sanggup mendelegasikan kepada Pengadilan Tinggi untuk memutus sengketa perhitungan bunyi pemilihan kepala kawasan dan wakil kepala kawasan kabupaten dan kota. Ayat (7) menyatakan: Putusan Pengadilan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) bersifat final. Selanjutnya ketentuan Pasal 106 di atas diulang secara utuh dalam Pasal 94 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 perihal Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Pasal 94 selengkapnya berbunyi sebagai berikut: (1) keberatan terhadap penetapan hasil pemilihan hanya sanggup diajukan oleh pasangan calon kepada Mahkamah Agung dalam waktu paling lambat 3 (tiga) hari sesudah penetapan hasil pemilihan. (2) Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berkenaan dengan hasil perhitungan bunyi yang menghipnotis terpilihnya pasangan calon. (3) Pengajuan keberatan kepada Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sanggup disampaikan kepada pengadilan tinggi untuk pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur dan Pengadilan Negeri untuk pemilihan Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota. (4) Mahkamah Agung memutus sengketa hasil penghitungan bunyi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) paling lambat 14 (empat belas) hari semenjak diterimanya permohonan keberaatn oleh Pengdailan Negeri/Pengadilan Tinggi/Mahkamah Agung. (5) Putusan Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud pada ayat (4) bersifat final dan mengikat. (6) Mahkamah Agung dalam melaksanakan kewenangannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sanggup mendelegasikan kepada Pengadilan Tinggi untuk memutus sengketa hasil perhitungan bunyi pemilihan Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota. (7) Putusan Pengadilan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) bersifat final dan mengikat. Dasar aturan yang terakhir yaitu Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2005 perihal Tata Cara Pengajuan Upaya Hukum Keberatan terhadap Penetapan Hasil Pilkada dan Pilwakada Dari KPUD Provinsi dan KPUD Kabupaten/Kota. Pangkal sengketa yaitu objek atau wilayah kompetensi yang sanggup dikategorikan sebagai sengketa Pilkada.

Pangkal sengketa ini kerap disalah artikan oleh para penegak hukum. Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004, bentuk-bentuk pelanggaran pemilu ibarat kecurangan, tidak terdaftar sebagai pemilih dan bentuk kecurangan lainya di laporkan ke Komite Pengawas Pemilu yang dilanjutkan ke tingkat kepolisian. Pasal 106 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 perihal Pemerintahan Daerah menyebutkan "Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 (satu) hanya berkenaan dengan hasil perhitungan bunyi yang menghipnotis terpilihnya pasangan calon". Hal serupa juga terlihat pada Pasal 94 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dan juga Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2005 perihal Tata Cara Pengajuan Upaya Hukum Keberatan terhadap Penetapan Hasil Pilkada dan Pilwakada Dari KPUD Provinsi dan KPUD Kabupaten/Kota. Ayat tersebut terperinci dan tegas menyatakan bahwa yang jadi pokok keberatan yang akan dilayani yaitu mengenai hasil perhitungan bunyi yang berarti proses final dari Pilkada. 

B. Pemilihan Umum 
Demokrasi, pada mulanya merupakan satu gagasan perihal pola kehidupan yang muncul sebagai reaksi terhadap kenyataan sosial politik yang tidak manusiawi di tengah-tengah masyarakat. Reaksi tersebut tentu datangnya dari orang-orang yang berpikir idealis dan bijaksana. Mereka terusik dan tergugah melihat adanya pengekangan dan pelecehan seksual terhadap hak-hak asasi manusia. Ada tiga nilai ideal yang mendukung demokrasi sebagai satu gagasan kehidupan yaitu kemerdekaan (freedom), persamaan (ekuality), dan keadilan (justice). Dalam kenyataan hidup, inspirasi tersebut direalisasikan melalui perwujudan symbol-simbol dan hakekat dari nilai-nilai dasar demokrasi sungguh-sungguh mewakili atau diangkat dari kenyataan hidup yang sepadan dengan nilai-nilai itu sendiri35 .

Sejalan dengan makin mendunianya demokrasi, fatwa perihal demokrasi pun semakin berkembang. Tapi pada umumnya fatwa itu berintikan perihal kekuasan dalam Negara. Dalam Negara demokrasi, rakyatlah yang mempunyai dan mengendalikan kekuasan dan kekuasaan itu dijalankan demi kepentingan rakyat. Abraham Lincoln pernah menyampaikan bahwa demokrasi yaitu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Suatu pemerintahan itu sanggup disebut demokratis apabila pemerintahan tersebut sanggup memberikan kesempatan konstitusional yang teratur bagi persaingan hening untuk memperoleh kekuasaan politik untuk aneka macam kelompok yang berbeda, tanpa menyisihkan belahan penting dari penduduk manapun dengan paksa.

Rezim-rezim demokratis dibedakan oleh paksa, legalitas, dan legitimasi aneka macam organisasi dan himpunan yang relatif bebas dalam hubungannya dengan pemerintah dan dengan dirinya satu sama lain. Salah satu hal penting untuk memenuhi prasyarat tersebut diatas yaitu dengan melaksanakan pemilihan umum, lantaran tidak ada demokrasi tanpa diikuti pemilihan umum yang merupakan wujud yang paling konkret dari demokrasi. Melihat struktur kepartaian yang demikian, konflik-konflik antara partai-partai politik di Indonesia intinya merupakan konflik antar sosial kultural berdasarkan perbedaan-perbedaan suku-bangsa, agama, kawasan dan stratifikasi sosial. 

Tentu saja tidak sanggup disangkal bahwa sikap politik dari aneka macam partai politik di Indonesia di dalam hubungannya satu sama lain jauh lebih kompleks daripada sekedar bersumber dari dalam perbedaan-perbedaan suku-bangsa, agama, kawasan dan stratifikasi sosial. Kompleksitas itulah yang telah membuka kemungkinan membuka pola bagaimana cara melihat pola kepartaian dan sikap politik yang diwujudkan oleh aneka macam partai di Indonesia. Herbert Feith menyatakan konflik-konflik politik di Indonesia sebagai konflik ideologi yang bersumber di dalam ketegangan-ketegangan yang terjadi antara pandangan dunia tradisional di satu pihak, dengan pandangan dunia modern di pihak lainya36 . Sementara itu Donald Hindley menyatakan keragaman pola kepartaian di Indonesia bersifat saling menyilang, yaitu golongan yang bersifat keagamaan di satu pihak dan penggolongan atas penganut pandangan dunia tradisional dan dunia modern di pihak lain37 .

1. Arti Pemilhan Umum 
Pada hakikatnya pemilu di Negara manapun mempunyai esensi yang sama. Pemilu berarti rakyat melaksanakan acara menentukan orang atau sekelompok orang yang menjadi pemimpin rakyat atau pemimpin Negara. Pemimpin yang terpilih akan menjalankan kehendak rakyat yang memilihnya. Pemilihan umum merupakan salah satu sarana utama untuk menegakkan tatanan politik yang demokratis. Fungsinya sebagai alat menyehatkan dan menyempurnakan demokrasi. Esensinya sebagai sarana demokrasi untuk membentuk suatu sistem kekuasaan 

Negara yang intinya lahir dari bawah berdasarkan kehendak rakyat sehingga terbentuk kekuasaan Negara yang benar-benar memancarkan kebawah sebagai suatu kewibawaan sesuai dengan impian rakyat, oleh rakyat, berdasarkan sistem permusyawaratan perwakilan38 . Pemilihan Umum pada hakekatnya merupakan pengukuhan dan perwujudan dari hak-hak politik rakyat dan sekaligus merupakan pendelegasian hak-hak politik rakyat pada wakil-wakilnya untuk menjalankan pemerintahan. Untuk mewujudkan hal tersebut dibutuhkan kendaraan politik, partai politik kemudian hadir dan memberikan kader-kadernya untuk mewakili hak-hak politik rakyat dalam negara. Tetapi untuk memperjuangkan hak-hak politik rakyat partai politik terlebih dahulu harus memperoleh eksistensi yang sanggup dilihat dari perolehan bunyi dalam pemilihan umum.

Pemilihan umum yaitu suatu sarana atau cara untuk menentukan orang-orang yang akan mewakili rakyat dalam menjalankan roda pemerintahan, kepentingan rakyat perlu diwakali. Karena pada dikala kini ini mustahil melibatkan rakyat secara eksklusif dalam acara tersebut mengingat jumlah penduduk sangat besar. Maka dari itu partai politik manawarkan calon-calon untuk mewakili kepentingan rakyat. Pemilihan umum merupakan dikala dimana partai politik bertarung untuk memperoleh eksistensi di lembaga legislatif.

2. Fungsi Pemilihan Umum 
Dalam negara demokratis (pemerintah dari, oleh, dan untuk rakyat) maka salah satu ciri utamanya yaitu pemilhan umum untuk menentukan partai politik yang akan menerima kepercayaan rakyat. Pemilihan umum merupakan gambaran yang ideal bagi suatu pemerintahan yang demokratis. Menurut Seymour Martin Lipset demokrasi yang stabil membutuhkan konflik atau pemisahan sehingga akan terjadi perebutan jabatan politik, oposisi terhadap partai yang berkuasa dan pergantian partai-partai berkuasa39. Karena itu pemilu bukan hanya untuk menentukan partai yang berkuasa secara sah, namun jauh lebih penting dari yaitu sebagai bukti bahwa demokrasi yang berjalan dengan stabil, dimana terjadi pergantian partaipartai politik yang berkuasa. 

C. Pemilihan Kepala Daerah
Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yaitu Pemilu untuk menentukan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara eksklusif dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 194540. Sebelum diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 perihal Pemerintahan Daerah, Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Namun semenjak Juni 2005 Indonesia menganut sistem pemilihan Kepala Daerah secara langsung. Pada dasarnya kawasan merupakan belahan yang tidak sanggup dipisahkan dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini berkaitan dengan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang seharusnya sinkron dengan pemilihan presiden dan wakil presiden, yaitu pemilihan secara langsung. Menurut Rozali Abdullah, beberapa alasan mengapa diharuskan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung41, adalah: 1. Mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat Warga masyarakat di kawasan merupakan belahan yang tak terpisahkan dari warga masyarakat Indonesia secara keseluruhan, yang mereka juga berhak atas kedaulatan yang merupakan hak asasi mereka, yang hak tersebut dijamin dalam konstitusi kita UUD Negara Republik Indonesia 1945. Oleh lantaran itu, warga masyarakat di daerah, berdasarkan kedaulatan yang mereka punya, diberikan hak untuk menentukan nasib wilayahnya masing-masing, antara lain dengan menentukan Kepala Daerah secara langsung. 40 Pasal 1 ayat 4 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007
  • 33 Soerjono Soekanto, Mengenal Sosiologi Hukum (Bandung : Alumni, 1986) hlm. 9. 34 J. Van Kan dan J.H. Beekhuis, Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta : PT Pembangunan Ghalia Indonesia, 1982) hlm. 7-17.
  • 35 Arbi Sanit, Perwakilan Politik Indonesia, (CV. Rajawali. Yogyakarta.1985) hlm. 83
  • 36 Jacobus Ranjabar, Sistem Sosial Budaya Indonesia suatu pengantar. (Ghalia Indonesia. Jakarta, 1998). hlm. 71 37 Ibid, hlm. 72
  • 38 Rusli Karim M, Perjalanan Partai Politik di Indonesia : Sebuah Potret Pasang Surut, (CV. Rajawali. Jakarta.1991) hlm. 120
  • 39 Seymour Martin Lipset, Political Man : Basis Sosial Tentang Politik, (Pustaka Pelajar. Yogyakarta.1960) hlm. 1
  • . 41 Lihat: Rozali Abdullah, pelaksanaan Otonomi Luas dengan Pemilihan Kepala Derah secara Langsung, PT Raja Grafindo, 2005, hlm 53-55

ll. PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI
Pengertian Sengketa
Sengketa biasanya bermula dari suatu situasi dimana ada pihak yang merasa dirugikan pleh pihak lain. Perasaan tidak puas akan muncul kepermukaan apabila terjadi conflict of interest. Pihak yang merasa dirugikan akan memberikan ketidakpuasannya kepada pihak kedua, apabila pihak kedua sanggup menanggapi dan memuaskan pihak pertama, selesailah konflik tersebut, sebaliknya jika reaksi pihak kedua memperlihatkan perbedaan pendapat atau mempunyai nilai-nilai yang berbeda, akan terjadilah apa yang dinamakan sengketa.

Penyelesaian sengketa secara formal bermetamorfosis proses adjudikasi yang terdiri atas proses melalui pengadilan/litigasi dan arbitrase/perwasitan, serta proses penyelesaian-penyelesaian konflik secara informal yang berbasis pada kesepakatan pihak-pihak yang bersengketa melalui perundingan dan mediasi.

Cara-cara Penyelesaian Sengketa
a. Negosiasi
Merupakan komunikasi dua arah yang dirancang untuk mencapai kesepakatan pada dikala kedua belah pihak mempunyai kepentingan sama maupun berbeda.
b. Mediasi
Merupakan salah satu bentuk perundingan antara para pihak yang bersengketa yang melibatkan pihak ketiga dengan tujuan membantu tercapainya penyelesaian yang bersifat kompromistis. Pihak ketiga yang ditunjuk membantu menuntaskan sengketa dinamakan mediator. Mediasi mengandung unsur-unsur :
  1. Merupakan sebuah proses penyelesaian sengketa berdasarkan perundingan.
  2. Mediator terlibat dan diterima oleh para pihak yang bersengketa di dalam perundingan.
  3. Mediator bertugas membantu para pihak yang bersengketa untuk mencari penyelesaian.
  4. Tujuan mediasi untuk mencapai atau menghasilkan kesepakatan yang sanggup diterima pihak-pihak yang bersengketa guna mengakhiri sengketa.
Tugas Mediator antara lain : 
Bertindak sebagai fasilitator sehingga terjadi pertukaran informasi yang sanggup dilaksanakan. 
Menemukan dan merumuskan titik-titik persamaan dari argumentasi para pihak dan berupaya untuk mengurangi perbedaan pendapat yang timbul (penyesuaian persepsi) sehingga mengarahkan kepada satu keputusan bersama. 

c. Arbitrase 
Subekti : merupakan suatu penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh seorang wasit atau para wasit yang berdasarkan persetujuan bahwa mereka akan tunduk kepada atau menaati keputusan yang akan diberikan wasit atau para wasit yang mereka pilih. 
Abdulkadir Muhamad : peradilan yang dipilih dan ditentukan sendiri secara sukarela oleh pihak-pihak yang bersengketa. 
Pasal 3 ayat 3 UU No 14 tahun 1970 menyatakan bahwa penyelesaian masalah di luar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui arbitrsase tetap diperbolehkan tetapi putusan arbiter hanya mempunyai kekuatan eksekutorial sesudah memperoleh izin atau perintah untuk dihukum dari pengadilan. 

UU arbitrase nasional : UU No 30 Tahun 1999 perihal Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Berdasarkan UU tersebut, Arbitrase merupakan cara penyelesaian sengketa perdata di luar pengadilan umum, yang didasarkan perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.
Penjanjian arbitrase tidak batal meskipun : 
  • Meninggalnya salah satu pihak. 
  • Bangkrutnya salah satu pihak. 
  • Novasi (Pembaharuan utang) 
  • Insolvensi (keadaan tidak bisa membayar)salah satu pihak. 
  • Pewarisan. 
  • Berlakunya syarat-syarat hapusnya peikatan pokok. 
  • Bilamana pelaksanaan perjanjian dialihtugaskan pada pihak ketiga dengan persetujuan pihak yang melaksanakan perjanjian arbitrase. 
  • Berakhirnya atau batalnya perjanjian pokok. 
Jenis Arbitrase : 
Arbitrase ad hoc atau arbitrase volunter : merupakan arbitrase yang dibuat secara khusus untuk menuntaskan atau memutuskan perselisihan tertentu. 
Arbitrase institusional : merupakan suatu lembaga yang bersifat permanen sehingga arbitrase institusional tetap berdiri untuk selamanya, meskipun perselisihan telah selesai. 

Di Indonesia terdapat dua lembaga arbitrase, yaitu : 
  • Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI). 
  • Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI).

lll. PENYELESAIAN SENGKETA DALAM PERDAGANGAN INTERNASIONAL
A. Pengantar

Transaksi/hubungan dagang

Potensi melahirkan sengketa dagang Negosiasi

Penyelesaian melalui pengadilan atau arbitrase

Dasar aturan bagi forum

Kesepakatan para pihak 

Apabila terjadi kekosongan forum
Common law dengan konsep “long arm jurisdiction”

B. Para Pihak dalam Sengketa
1. Sengketa antara Pedagang dan Pedagang

Cara penyelesaian bergantung pada kebebasan dan kesepakatan para pihak

Menentukan lembaga pengadilan dan aturan apa yang akan diberlakukan
Ada batasannya
2. Sengketa antara Pedagang dan Negara Asing

Kontrak dagang dalam nilai yang relative besar

Masalah imunitas Negara

Pengertian jure imperii dan jure gestiones dalam HI
Badan peradilan umumnya menganut jure gestione

C. Prinsip-prinsip Penyelesaian Sengketa
1. Prinsip Kesepakatan Para Pihak (Konsensus)

Prinsip Fundamental

Badan-badan peradilan termasuk (termasuk arbitrase) harus menghormati apa yang para pihak sepakati
  1. bahwa salah satu pihak atau kedua belah pihak tidak berupaya menipu, menekan atau menyesatkan pihak lainnya;
  2. bahwa perubahan atas kesepakatan harus berasal dari kesepakatan kedua belah pihak. Artinya, pengakhiran kesepakatan atau revisi terhadap muatan kesepakatan harus pula berdasarkan pada kesepakatan kedua belah pihak.
2. Prinsip Kebebasan Memilih Cara-cara Penyelesaian Sengketa

Termuat dalam Psl 7 The Uncitral Model Law on International Commercial Arbitration

Pasal ini memuat definisi mengenai perjanjian arbitrase, yaitu perjanjian penyerahan sengketa ke suatu tubuh arbitrase. Menurut pasal ini penyerahan sengketa kepada arbitrase merupakan kesepakatan atau perjanjian para pihak. Artinya, penyerahan suatu sengketa ke tubuh arbitrase haruslah berdasarkan pada kebebasan para pihak untuk memilihnya.

3. Prinsip Kebebasan Memilih Hukum
Kebebasan para pihak untuk menentukan aturan ini termasuk kebebasan untuk menentukan kepatutan dan kelayakan (ex aequo et bono)

4. Prinsip Itikad Baik (Good Faith)
5. Prinsip Exhaustion of Local Remedies
Menurut prinsip ini, aturan kebiasaan internasional memutuskan bahwa sebelum para pihak mengajukan sengketanya ke pengadilan internasional, maka langkah-langkah penyelesaian sengketa yang tersedia atau diberikan oleh aturan nasional suatu negara harus terlebih dahulu ditempuh (exhausted).

D. Forum Penyelesaian Sengketa
1. Negosiasi
Kohona menyampaikan bahwa perundingan yaitu "an efficacious means of settling disputes relating to an agreement, because they enable parties to arrive at conclusions having regard to the wishes of all the disputants." 

Kelemahan utama dalam penggunaan cara ini dalam menuntaskan sengketa adalah: pertama, manakala para pihak berkedudukan tidak seimbang. Salah satu pihak kuat, yang lain lemah. Dalam keadaan ini, salah satu pihak berpengaruh berada dalam posisi untuk menekan pihak lainnya. Hal ini acapkali terjadi manakala dua pihak bernegosiasi untuk menuntaskan sengketanya di antara mereka.

Kelemahan kedua yaitu bahwa proses berlangsungnya perundingan acapkali lambat dan bisa memakan waktu lama. Ini terutama lantaran sulitnya permasalahan-permasalahan yang timbul di antara para pihak. Selain itu jarang sekali adanya persyaratan penetapan batas waktu bagi para pihak untuk menyelesaian sengketanya melalui perundingan ini

Kelemahan ketiga, yaitu manakala suatu pihak terlalu keras dengan pendiriannya. Keadaan ini sanggup menimbulkan proses perundingan ini menjadi tidak produktif.

2. Mediasi
  • Melalui pihak ketiga
  • Usulan-usulan penyelesaian informal
  • A quick, cheap and effective result
  • Penyelesaian melalui mediasi tidak mengikat
3. Konsiliasi
  • Konsiliasi lebih formal daripada mediasi
  • Komisi konsiliasi
  • Tahap tertulis dan lisan
4. Arbitrase
  • Arbitrase yaitu penyerahan sengketa secara sukarela kepada pihak ketiga yang netral. Pihak ketiga ini bisa individu, arbitrase terlembaga atau arbitrase sementara (ad hoc). 
  • Adapun alasan utama mengapa tubuh arbitrase ini semakin banyak dimanfaatkan yaitu sebagai berikut:
  1. kelebihan penyelesaian sengketa melalui arbitrase yang pertama dan terpenting yaitu penyelesaiannya yang relatif lebih cepat daripada proses berperkara melalui pengadilan. 
  2. sifat kerahasiaannya. Baik kerahasiaan mengenai persidangannya maupun kerahasiaan putusan arbitrasenya.
  3. Dalam penyelesaian melalui arbitrase, para pihak mempunyai kebebasan untuk menentukan ‘hakimnya’ (arbiter) yang berdasarkan mereka netral dan akhli atau spesialis mengenai pokok sengketa yang mereka hadapi. 
  4. Keuntungan lainnya dari tubuh arbitrase ini yaitu dimungkinkannya para arbiter untuk menerapkan sengketanya berdasarkan kelayakan dan kepatutan (apabila memang para pihak menghendakinya).
  5. Dalam hal arbitrase internasional, putusan arbitrasenya relative lebih sanggup dilaksanakan di negara lain dibandingkan apabila sengketa tersebut diselesaikan melalui contohnya pengadilan. 
Penyerahan suatu sengketa kepada arbitrase sanggup dilakukan dengan pembuatan suatu submission clause, yaitu penyerahan kepada arbitrase suatu sengketa yang telah lahir. Alternatif lainnya,atau melalui pembuatan suatu klausul arbitrase dalam suatu perjanjian sebelum sengketanya lahir (klausul arbitrase atau arbitration clause).

Baik submission clause atau arbitration clause harus tertulis. Sistem aturan nasional dan internasional mensyaratkan ini sebagai suatu syarat utama untuk arbitrase. Dalam aturan nasional kita, syarat ini tertuang dalam pasal 1 (3) UU Nomor 30 tahun 1999 perihal Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Dalam instrumen aturan internasional, termuat dalam Pasal 7 ayat (2) UNCITRAL Model Law on International Commercial Arbitration 1985, atau pasal II Konvensi New York 1958.

lembaga-lembaga arbitrase internasional terkemuka contohnya yaitu the London Court of International Arbitration (LCIA), the Court of Arbitration of the International Chamber of Commerce (ICC) dan the Arbitration Institute of the Stockholm Chamber of Commerce (SCC).

Di samping kelembagaan, pengaturan arbitrase kini ini ditunjang pula oleh adanya suatu aturan berabitrase yang menjadi contoh bagi banyak negara di dunia, yaitu Model Law on International Commercial Arbitration yang dibuat oleh the United Nations Commission on International Trade Law (UNCITRAL)

lV. PENYELESAIAN SECARA DAMAI SENGKETA INTERNASIONAL
A. Prinsip-prinsip Umum Hukum Internasional yang berlaku.
Prinsip penyelesaian sengketa internasional secara hening didasarkan pada prinsip-prinsip aturan internasional yang berlaku secara universal dan dimuat dalam Deklarasi mengenai Hubungan Bersahabat dan Kerjasama Antara Negara tanggal 24 Oktober 1970 serta Deklarasi Manila tanggal 15 Nopember 1982 mengenai Penyelesaian Sengketa Internasional Secara Damai, yaitu sbb:
  • Prinsip bahwa negara tidak akan menggunan paksa yang bersifat mengancam integritas teritorial atau kebebasan politik suatu negara, atau memakai cara-cara lainnya yang tidak sesuai dengan tujuan-tujuan PBB
  • Prinsip non-intervensi dalam urusan dalam negeri dan luar negeri suatu negara
  • Prinsip persamaan hak dan menentukan nasib sendiri bagi setiap bangsa
  • Prinsip persamaan kedaulatan negara
  • Prinsip aturan internasional mengenai kemerdekaan, kedaulatan dan integritas teritorial suatu negara
  • Prinsip itikad baik dalam kekerabatan internasional
  • Prinsip keadilan dan aturan internasional
B. Kebebasan Memilih Prosedur Penyelesaian Sengketa Hukum Internasional tidak berisi keharusan biar suatu negara menentukan mekanisme penyelesaian tertentu. Hal ini juga ditegaskan oleh Pasal 33 Piagam PBB yang meminta kepada negara-negara untuk menyelesaian sengketa secara hening sambil menyebutkan majemuk mekanisme yang sanggup dipilih oleh negara-negara yang bersengketa. Karena kebebasan ini, maka negara-negara pada umumnya memberikan prioritas pada mekanisme penyelesaian sengketa secara politik, ketimbang penyelesaian melalui arbitrase atau secara yurisdiksional lantaran penyelesaian sengketa secara politik akan lebih melindungi kedaulatan mereka.

Perbedaan antara sengketa politik dengan sengketa aturan yaitu:
  • Sengketa politik ialah sengketa dimana suatu negara mendasarkan tuntutannya atas pertimbangan non yuridik, contohnya atas dasar politik atau kepentingan nasional lainnya, penyelesaian sengketanya yaitu secara politik.
  • Sengketa aturan ialah sengketa dimana suatu negara mendasarkan sengketa atau tuntutannya atas dasar ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam suatu perjanjian atau yang telah diakui oleh aturan internasional.
C. Penyelesaian Sengketa Secara Politik (Non Yurisdiksional) Keputusan yang diambil dalam penyelesaian sengketa secara politik hanya berbentuk usul-usul yang tidak mengikat negara yang bersengketa. Usul-usul tersebut tetap mengutamakan kedaulatan negara-negara yang bersengketa dan tidak harus didasarkan atas ketentuan-ketentuan hukum.

Karena makin bertambahnya intervensi organisasi-organisasi internasional terutama PBB dalam penyelesaian politik sengketa-sengketa internasional, maka penyelesaian politik dibagi menjadi:
1. Penyelesaian dalam kerangka antara negara
a. Perundingan Diplomatik
Perundingan biasanya diadakan dalam bentuk pembicaraan-pembicaraan eksklusif antara negara-negara yang bersengketa dalam pertemuan tertutup antara wakil-wakilnya.
Terbagi atas:
1. Perundingan eksklusif antar negara
Perundingan-perundingan eksklusif ini biasanya dilakukan oleh Menteri-Menteri luar negeri, duta-duta besar atau wakil-wakil yang ditugaskan khusus untuk berunding dalam kerangka diplomasi ad hoc. Perundingan-perundingan tersebut sanggup berlangsung dalam kerangka bilateral maupun multilateral.
2. Jasa-jasa Baik dan Mediasi
Jasa-jasa baik (good offices) berarti intervensi suatu negara ketiga yang merasa dirinya masuk akal untuk membantu penyelesaian sengketa yang terjadi antara dua negara. Prosedur jasa-jasa baik ini sanggup diminta oleh salah satu dari kedua negara yang bersengketa atau oleh kedua-duanya. Secara prinsip, negara yang memberikan jasa-jasa baiknya tidak ikut secara eksklusif dalam perundingan-perundingan, tetapi hanya menyiapkan dan mengambil langkah-langkah yang perlu biar negara-negara bersengketa bertemu satu sama lain dan merundingkan sengketanya. Bila pihak-pihak yang bersengketa telah baiklah untuk saling bertemu satu sama lain, amka berakhirlah misi negara yang memberikan jasa-jasa baiknya tersebut.

3. Jasa-jasa Baik dan Mediasi Sekjen PBB
Dalam pelaksanaan fungsinya, Sekretaris Jenderal PBB. Apakah atas prakarsa sendiri ataupun dari negara-negara sering memberikan jasa-jasa baiknya kepada pihak-pihak yang terlibat untuk penyelesaian sengketa mereka.

b. Angket
yaitu juga merupakan cara penyelesaian sengketa antar negara yang nono yurisdiksional dengan tujuan untuk mengumpulkan fakta-fakta yang merupakan penyebab dari suatu sengketa, keadaan diwaktu terjadinya sengketa dan jenis dari sengketa yng terjadi. Sistim angket ini bertujuan untuk memberikan dasar yang berpengaruh jalannya suatu perundingan. Agar perundingan mempunyai dasar-dasar yang berpengaruh tentu diharapkan data-data yang objektif sebagai penyebab terjadinya suatu sengketa.

c. Konsiliasi Internasional
Adalah suatu cara penyelesaian secara hening sengketa internasional oleh suatu organ yang telah dibuat sebelumnya atau dibuat kemudian atas kesepakatan para pihak yang bersengketa sesudah lahirnya masalah yang dipersengketakan.

2. Penyelesaian dalam kerangka Organisasi PBB
Agar keamanan dan perdamaian sanggup terjamin demi keselamatan umat manusia, tentu sengketa-sengketa yang terjadi harus diselesaikan secara damai.
a. Observasi Pendahuluan
Pasal 2 ayat 3 Piagam PBB menyatakan bahwa:
“Anggota-anggota PBB harus menuntaskan sengketa-sengketa internasional mereka secara hening sebegiturupa sehingga perdamaian dan keamanan internasional maupun keadilan tidak terancam”

b. Peranan Utama Dewan Keamanan
Peranan Utama Dewan Keamanan dikukuhkan dalam Pasal 24 ayat 1 Piagam yang menyatakan:
“Agar PBB sanggup mengambil tindakan segera dan efektif, negara-negara anggota memberikan tanggung jawab utama kepada Dewan Keamanan untuk pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional dan baiklah bahwa Dewan Keamanan dalam melaksanakan tugasnya bertindak atas nama negara-negara anggota”

c. Intervensi Majelis Umum
Peranan Majelis Umum berdasarkan pasal 10 Piagam PBB:
“Majelis Umum sanggup membahas semua masalah atau hal-hal yang termasuk dalam kerangka Piagam atau yang berafiliasi dengan kekuasaan atau fungsi salah satu organ yang tercantum dalam Piagam…..dan menciptakan rekomendasi-rekomendasi kepada anggota PBB atau Dewan Keamanan”

Jadi, Majelis mempunyai wewenang atas aneka macam masalah apakah masalah itu merupakan suatu sengketa atau keadaan. Mengenai keadaan, Majelis memepunyai kekuasaan intervensi eksklusif dalam 2 hal yaitu:
1. Menurut Pasal 11 ayat (3) ;
“Majelis sanggup menarik perhatian Dewan Keamanan terhadap semua keadaan yang sanggup membahayakan perdamaian dan keamanan internasional”
2. Menurut pasal 14 ;
“Majelis sanggup mengusulkan tindakan-tindakan untuk penyelesaian secara hening semua keadaan, tanpa memandang asal-usul, yang mungkin mengganggu kesejahteraan umum atau membahayakan kekerabatan baik antar bangsa”

d. Wewenang Sekretaris Jenderal PBB
Disamping Dewan Keamanan dan Majelis Umum, Sekjen PBB yang sanggup menarik perhatian Dewan Keamanan. Menurut pasal 99 Piagam: “Sekertaris Jenderal sanggup menarik perhatian Dewan Keamanan atas semua masalah, yang berdasarkan pendapatnya sanggup mengancam perdamaian dan keaman dunia”

3. Penyelesaian dalam kerangka Organisasi-organisasi dan Badan-badan Regional
Menurut pasal 33 Piagam PBB memutuskan bahwa; “salah satu cara untuk menyelesaian sengketa internasional secara hening yaitu melalui pengaturan regional (regional arrangement) serta campur tangan organisasi-organisasi dan badan-badan regional, berdasarkan pilihan para pihak sendiri”

Wewenang organisasi-organisasi dan badan-badan regional didalam proses awal penyelesaian sengketa secara hening ditentukan secara berbeda berdasarkan mekanisme masing-masing pengaturan regional, misalnya:

Liga Arab (League of Arab States)
Apabila sengketa yang timbul tidak menyangkut masalah kemerdekaan, kedaulatan dan keutuhan wilayah salah satu negara anggotanya atau negara lainnya, maka keputusan Liga Arab akan mengikat dan wajib dilaksanakan oleh negara anggotanya. Dewan Liga Arab hanya sanggup berfungsi sebagai tubuh arbitrase untuk menuntaskan sengketa diantara para anggotanya berdasarkan:
  • permohonan dari negara anggota untuk menangani sengketa
  • permasalahan yang menjadi sengketa
D. Penyelesaian Secara Hukum 1. Arbitrase Internasional
Yaitu cara penyelesaian sengketa internasional secara hening yang dirumuskan dalam suatu keputusan oleh Arbiter yang dipilih oleh pihak-pihak yang bersengketa.

Ciri-ciri pokok Arbitrase:
  1. Sukarela, yaitu negara-negara tidak diharuskan menentukan cara penyelesaian yang demikian dan negara-negara juga bebas menentukan hakim-hakimnya.
  2. Sifat hukumnya mengikat, yaitu terletak pada keharusan negara-negara melaksanakan keputusannya dengan itikad baik.
  3. Non-institusional, yaitu bahwa arbiter-arbiternya sanggup dipilih oleh para pihak yang bersengketa dan bukan merupakan organ yang permanen yang dibuat sebelum lahirnya sengketa.
2. Mahkamah Internasional
Mahkamah internasional yaitu merupakan belahan integral dari PBB.
Aspek-aspek Institusional Mahkamah, yaitu segala sesuatu yang berafiliasi dengan sifat permanennya Mahkamah internasional tersebut. Dikatakan bersifat permanen, lantaran didirikan sebelum lahirnya sengketa, hakim-hakimnya telah dipilih sebelumnya dan demikian juga dengan wewenang dan prosedurnya yang telah ditetapkan sebelum sengketa lahir.

i. Komposisi dan cara-cara pengangkatan Hakim
Menurut pasal 2 Statuta:
“Mahkamah terdiri dari sekumpulan hakim-hakim yang bebas dipilih tanpa memandang kewarganegaraan diantara ahli-ahli yang mempunyai etika yang tinggi dan kualifikasi yang diharapkan untuk memegang jabatan aturan tertinggi di negara mereka masing-masing atau penasihat-penasihat aturan yang keahliannya telah diakui dalam aturan internasional”

Hakim-hakim Ad Hoc yaitu hakim-hakim sementara yang hanya ikut bersidang untuk suatu masalah tertentu dan yang ditunjuk khusus untuk masalah tersebut. Tugasnya berakhir sesudah selesai masalah yang beliau tangani.

ii. Prosedur Mahkamah Internasional
  1. prosedur tertulis dan perdebatan liasn diatur sedemikian rupa untuk menjamin sepenuhnya masing-masing pihak mengemukakan pendapatnya
  2. sidang-sidang Mahkamah terbuka untuk umum, sedangkan sidang-sidang arbitrase tertutup untuk umum.
iii. Wewenang Hakim
yaitu Mahkamah sanggup mengambil tindakan sementara dalam bentuk ordonansi. Tindakan sementara yaitu tindakan yang diambil Mahkamah untuk melindungi hak-hak dan kepentingan pihak-pihak yang bersengketa sambil menunggu keputusan dasar ataua penyelesaian lainnya yang akan ditentukan Mahkamah secara definitif.

iv. Keputusan Mahkamah
Keputusan Mahkamah diambil dengan bunyi lebih banyak didominasi dari hakim-hakim yang hadir, bila suaranya seimbang maka suaru ketua atau wakilnya yang menentukan.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel