Teori Lokalitas, Nasionalitas Dan Globalitas Pada Kebudayaan
Saturday, June 1, 2019
Edit
* Lokalitas, Nasionalitas dan Globalitas
Integrasi dan Disintegrasi
- Pengalaman dalam proses mengindonesia diwarnai dinamika integrasi dan disintegrasi bangsa. Dominasi pada taktik politik dan ekonomi menghasilkan pemerintahan yang diktatorial dan sentralistik telah mengakibatkan konflik yang disintegratif.
- Perlu pengindonesiaan secara terus menerus dengan sebuah “strategi baru” yang menekankan nasion (bukan nasionalisme) dan berwawasan kebudayaan yang tercerahkan.
- Solidaritas sosiologis yang muncul pada budaya terkenal ialah wacana potensi multikultural dalam ruang-ruang keluarga Indonesia. Pada sisi lain, potensi multikultur itu berada pada banyak sekali konflik etnik, yang menuntut adanya transformasi. Baik melalui pengelolaan konflik dan institusionalisasi konflik secara demokratis. Upaya ini sanggup mengurangi menjalarnya kekerasan maupun etnosentrisme.
Identitas dan Krisis Budaya
1. Transisi Identitas
- Kearifan lokal hendaknya menjadi perhatian pemerintah pusat dan Pemerintah daerah, serta menjadi landasan moral berbangsa. Untuk membangun kembali huruf bangsa, perlu dilakukan tindakan bersama, menyeluruh dan berkesinambungan. (Kasus-kasus perlakuan diskriminatif terhadap suku Dayak, Papua dan Aceh misalnya, dalam penguasaan penggarapan hutan, dan pengelolaan sumber daya hendaknya memperhatikan hak-hak dasar masyarakat tempatan).
- Masyarakat beragam akan berhadapan dengan feodalisme dan konformisme kebudayaan dominan, pelanggaran moral, merosotnya kewibawaan hukum, hancurnya otoritas dan legitimasi kepemimpinan
- Transisi perubahan kebudayaan melahirkan krisis identitas dan situasi heteronomi. Aspek konservatif dan progresif dalam kebudayaan akan mencari keseimbangannya, untuk menjadi pola bersama. Pengelolaan krisis pada masa transisi sanggup dilakukan melalui pendekatan integratif.
- Agama dan nilai gotong royong, pada pengalaman bermasyarakat, tidak terbukti dipakai sebagai dasar pembentukan masyarakat budaya plural. Perpecahan dalam agama sering terjadi dan bersama-sama hanya efektif dalam budaya agraris, namun tidak tahan berhadapan dengan kebutuhan ekonomi
2. Konflik dan Kekerasan
- aSuku-suku bangsa tertentu mempunyai keterikatan yang sangat besar lengan berkuasa kepada tanah dan hutan, religi dan adat serta kebersamaan, namun tersingkir dan terpinggirkan.
- Potensi konflik budaya sanggup dicairkan lewat pendekatan interaktif dan transformatif
Perubahan dan Pemberdayaan
1. Hukum dan Produktivitas
- Pengakuan atas hak intelektual menghindari eksploitasi ekonomi dan moral bagi pemegang hak.
- Mengkaji dan mempertahankan perangkat aturan yang terkait dengan kepentingan umum dalam bidang kebudayaan dan pengetahuan lokal (indigenous knowledge). Undang-undang yang terkait dengan HaKI, tanah, adat dan lingkungan hendaknya mengakomodasi perkembangan dan kepentingan kolektif.
- Kebijakan dalam pelestarian dan proteksi bentang-pandang budaya (cultural landscape) dikembangkan dalam prinsip: masyarakat sebagai pusat pengelolaan, terciptanya prosedur kelembagaan yang bisa menyerap apresiasi dan agresi bersama, adanya pertolongan legal, serta bersifat berkelanjutan.
- Diperlukan pertolongan aturan terhadap politik pengembangan kesenian dan industri budaya.
2. Pendidikan
- Mencerdaskan kehidupan bangsa berarti membuat bangsa siap hidup dalam budaya modern dan wahana yang perlu disiapkan ialah satu sistem pendidikan nasional yang berwawasan budaya
- Pendidikan di sekolah perlu, sebab tidak semua sanggup diajarkan di rumah, maka sekolah pun perlu diperbaiki sehingga benar-benar membuat siswa sanggup mengalami ‘the joy of discovery’ dan tidak lagi menjadi tempat korupsi (tawar-menawar) rundingan perihal nilai
- Terabaikannya kewajiban membaca buku dan bimbingan mengarang di dunia pendidikan kita selama 60 tahun berakibat lulusan kita tetap ‘rabun membaca dan pincang mengarang.
- Kongres Kebudayaan hendaknya menghasilkan suatu rencana agresi yang antara lain berkenaan dengan sistem persekolahan dan pembelajaran sosial.
Butir-butir tersebut di atas yang menyangkut sub tema: A. Konsep, Lokalitas, Nasionalitas dan Globalitas, B. Identitas dan Krisis Budaya, C. Perubahan dan Pemberdayaan telah terangkum dan disimpulkan sebagai berikut:
Perihal Konsep Kebudayaan:
Konsep kebudayaan Indonesia sebagai budaya nasional masih dipertanyakan, bahkan puncak-puncak kebudayaan kawasan dalam kaitan dengan budaya nasional perlu diberi relevansi baru. Reformasi memberi impian terjadinya demokratisasi budaya tetapi yang lebih sering terjadi ialah konflik antara kelompok budaya bukan dalam identitas budaya utuh masing-masing, tetapi dalam variasi unsur-unsur yang terbuka, baik secara lintas budaya maupun lintas generasi.
Perihal Kebijakan Kebudayaan:
Membangun masyarakat multikultur merupakan keniscayaan – namun tak bisa begitu saja diterima dan tidak dilaksanakan secara otoriter. Kebijakan tersebut diupayakan secara sistematis, programatis, terpadu dan berkesinambungan. Tindakan ini sanggup melalui pendidikan multikultur, lewat lembaga-lembaga mediasi interkultural dan kebijakan-kebijakan progresif yang berpihak (affirmative action).
Perihal Strategi Kebudayaan:
Demokratisasi budaya diupayakan terwujud melalui dekonstruksi budaya dominan, menyerupai feodalisme, otoritarianisme dan konformisme. Adalah suatu ironi bahwa di satu pihak dirasakan kerinduan terhadap integritas budaya etik, tetapi di lain pihak dirasakan pula keterpasungan lewat adat dan tradisi, sehingga diharapkan reinterpretasi dan reposisi.
Rekomendasi:Dalam penyelenggaraan Prakongres Kebudayaan V di Denpasar belum tercakup beberapa wilayah dan tema-tema yang cukup penting dan perlu diikutsertakan mengingat relevansinya dalam kebudayaan. Rangkaian tema tersebut adalah: ekonomi rakyat, industri budaya (perbukuan, seni terkenal dll.), religi dan spiritualitas, kesetaraan gender, ilmu pengetahuan dan teknologi, bahasa dan simbol serta lingkungan hidup.
SOAL POSISI KEBUDAYAAN DALAM ORGANISASI PEMERINTAHAN
KETIKA sektor kebudayaan yang telah 55 tahun tenang bersatu dengan sektor pendidikan dipindahkan guna bergabung dengan pariwisata menjadi Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (2000), salah satu rujukannya ialah susunan kabinet di Malaysia. Di sana keduanya disatukan dalam Kementerian Kebudayaan, Kesenian, dan Pelancongan.
RUJUKAN itu kini berubah. Dalam susunan kabinet Malaysia yang gres (27/3/04), kebudayaan dan kesenian dipisahkan dari pelancongan atau pariwisata menjadi Kementerian Kebudayaan, Kesenian, dan Warisan dipimpin oleh Datuk Rais Yatim, sementara Kementerian Pelancongan diterajui oleh Datuk Leo Michel Toyad.
Pemisahan itu disebut sebagai masa gres kebudayaan dan pelancongan serta disambut bangga oleh kalangan budayawan dan seniman Malaysia. Mereka berpendapat, kebudayaan mempunyai kegiatan yang sama sekali tidak selari (selaras?) dengan pelancongan yang menjual produk untuk tujuan komersial. "Apabila kebudayaan dan pelancongan yang pertentangan ini berada dalam satu kementerian, yang kita lihat ialah pelancongan," demikian mereka menyimpulkan. Dengan pemisahan itu, berdasarkan mereka, "pertindihan kebudayaan dan pelancongan telah berakhir".
Posisi kebudayaan
Dalam lima tahun terakhir, posisi kebudayaan dalam tata organisasi pemerintahan mengalami masa gonjang-ganjing. Dalam tempo sesingkat itu, di samping harus pindah rumah, juga mengalami empat kali "bongkar-pasang" organisasi. Ketidakstabilan itu mulai muncul semenjak tahun 1998. Ketika itu, dibuat Departemen Pariwisata, Seni, dan Budaya (Deparsenibud), sementara nama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan masih tetap ada. Ini berarti ada dua forum pemerintah yang menangani bidang yang sama. Agar misinya tidak tumpang tindih, disepakati Direktorat Jenderal Kebudayaan menangani hal-hal yang berkaitan dengan pembinaan, pengembangan, perlindungan, dan pemanfaatan kebudayaan (bagian hulu), sedangkan Deparsenibud menangani hal-hal yang berkaitan dengan pemanfaatan kebudayaan untuk pariwisata (bagian hilir). Meskipun demikian, tumpang tindih pengelolaan kebudayaan tidak terelakkan.
Belum ada satu tahun organisasi gres itu berjalan, terjadi perubahan lagi. Nama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan bermetamorfosis Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). Tugas pokoknya mengalami perubahan pula. Kata "kebudayaan" tidak tercantum lagi dalam uraian kiprah pokok Depdiknas. Usaha mempertahankan biar posisi kebudayaan tetap bersatu dengan pendidikan berhasil. Presiden menyetujui dalam kiprah pokok Depdiknas ditambahkan kata "termasuk kebudayaan" menjadi: "melaksanakan sebagian kiprah pemerintahan dan pembangunan di bidang pendidikan, termasuk kebudayaan". Hanya berjalan beberapa bulan saja, upaya mempertahankan posisi itu kesudahannya pupus. Bidang kebudayaan resmi pindah dari Depdiknas bergabung dengan pariwisata menjadi Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (Depbudpar).
Belum mencapai usia satu tahun, status Depbudpar berubah lagi menjadi Kementerian Negara Kebudayaan dan Pariwisata (Menneg Budpar). Perubahan status itu membawa konsekuensi kiprah pokoknya menjadi terbatas pada penyusunan kebijakan saja. Lalu, siapa yang akan menangani pelaksanaan kebijakan di bidang kebudayaan? Untuk mengatasi hal itu dibentuklah Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata (BP Budpar). Nasib forum ini pun tidak terlalu baik. Karena adanya mosi tidak percaya dan sejumlah Asosiasi Industri Pariwisata terhadap kinerja BP Budpar, forum yang gres berusia 1,5 tahun itu pun dibubarkan. Pokok permasalahan kericuhan terletak pada pariwisata. Tetapi, sebagai konsekuensinya bidang kebudayaan harus ikut menanggung. Suatu realitas yang sangat tidak menguntungkan kinerja bidang kebudayaan.
Setelah penggabungan
Sejak awal duduk kasus penggabungan, kebudayaan dan pariwisata telah banyak mendapat reaksi. Di samping misi antara keduanya berbeda, alasan penggabungan dinilai tidak transparan. Jika penggabungan itu didasarkan atas kemudahan dalam pemanfaatan kebudayaan bagi pariwisata, bukanlah yang dijadikan daya tarik wisatawan tidak hanya kebudayaan? Bukankah pusaka alam dan pusaka saujana (gabungan alam dan budaya dalam kesatuan ruang dan waktu) Indonesia mempunyai daya tarik yang luar biasa?
Reaksi itu semakin memuncak ketika BP Budpar dibubarkan kemudian digabungkan ke dalam Menneg Budpar. Langkah itu dinilai tidak membuat suasana kerja yang sejuk, tetapi sebaliknya. Sebagai sebuah kementerian negara yang tugasnya terbatas pada "penyusunan kebijakan", ternyata juga menampung kiprah "pelaksanaan kebijakan". Di samping misinya yang rancu, nomenklatur satuan-satuan organisasi bidang kebudayaan juga membingungkan.
Salah satu perubahan nomenklatur yang mendapat sorotan ialah perubahan satuan organisasi Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslitarkenas) menjadi Asisten Deputi Arkeologi Nasional. Dalam rincian tugasnya yang gres tertulis "melaksanakan penyimpangan dan penyusunan kebijakan, pemantauan, analisis, korelasi kerja, penilaian serta penyusunan laporan di bidang arkeologi nasional". Tidak tercantum kiprah pelaksanaan kegiatan penelitian. Tugas gres itu dinilai tidak mencerminkan misinya yang amat penting, yaitu melaksanakan penelitian untuk mengungkap sejarah awal kehidupan insan atau menyingkap misteri sangkan paraning dumadi, menyerupai yang dikatakan oleh Prof Dr Daoed Joesoef pada "Seminar Kebudayaan, Makna, dan Pengelolaannya", tanggal 15 Januari 2004. Di samping itu, nomenklatur deputi pun mengakibatkan pertanyaan sebab di samping terdapat Deputi Pelestarian dan Pengembangan Kebudayaan juga terdapat Deputi Sejarah dan Purbakala serta Deputi Seni dan Film. Bukankah sejarah dan purbakala serta seni dan film merupakan unsur dari kebudayaan?
Kondisi demikian itu mengakibatkan keprihatinan sejumlah pemerhati kebudayaan. Sebagai salah satu bentuk keprihatinan itu, penerima Kongres Kebudayaan 2003 yang terdiri atas para budayawan, seniman, cendekiawan, pemangku adat, dan tokoh masyarakat kembali memberikan rekomendasi kepada pemerintah biar dalam kabinet yang akan tiba dibuat kementerian kebudayaan tersendiri. Usul itu memang bukan hal baru. Sebuah keinginan yang masuk akal dan ikhlas itu telah dilontarkan semenjak 4,5 bulan sesudah Indonesia merdeka. Dalam Musyawarah Kebudayaan tanggal 31 Desember 1945 di Sukabumi, para penerima setuju memberikan desakan kepada pemerintah biar segera dibuat kementerian kebudayaan. Meskipun undangan tersebut telah dibahas dan disampaikan lagi pada Kongres Kebudayaan 1948, 1951, 1954, 1991, dan Kongres Kesenian 1995, hingga kini belum mendapat tanggapan.
Bentuk keprihatinan yang lain juga disampaikan 16 hebat arkeologi dan kebudayaan serta 8 wakil organisasi profesi di bidang kebudayaan dengan memberikan petisi kepada presiden pada pertengahan Desember 2003. Dalam petisi tersebut disampaikan dua permohonan. Pertama, biar pemerintah kembali mengaktifkan unit-unit organisasi pemerintah yang sebelum restrukturisasi telah menangani penelitian arkeologi pada khususnya dan kebudayaan pada umumnya. Kedua, biar pemerintah tidak menggabungkan urusan training kebudayaan dengan pengembangan pariwisata.
Kinilah saatnya
Secara rahasia (tidak melalui kongres atau petisi) Malaysia telah mengambil langkah strategis, memisahkan kebudayaan dan pelancongan. Langkah ini menambah jumlah deretan "acungan jempol" bagi Negeri Jiran dalam keberanian dan kejelian membaca perkembangan. Tujuan pemisahan itu sangat cantik, yaitu untuk memartabatkan kebudayaan dengan memberi tanggung jawab kepada sebuah kementerian yang khusus memartabatkan peradaban bangsa dalam memasuki pergaulan global.
Bagaimana halnya dengan Indonesia? Masalah kebudayaan di Indonesia mempunyai dimensi yang lebih kompleks dibandingkan dengan Malaysia. Indonesia yang terdiri atas hampir 500 suku bangsa mempunyai agama, bahasa, dan budaya yang berbeda. Oleh sebab itu, duduk kasus yang dihadapi tidak hanya terkait dengan benda cagar budaya, kesenian, dan bahasa saja, tetapi juga duduk kasus jati diri bangsa, persatuan bangsa, peradaban Indonesia, serta pengenalan kebudayaan di luar negeri sebagai salah satu upaya mengangkat derajat dan martabat kita sebagai bangsa. Untuk kesemuanya itu diharapkan perhatian yang khusus.
Kinilah saatnya untuk menempatkan posisi dan misi kebudayaan dalam sistem pemerintahan secara tepat. Meskipun dalam kampanye pemilu pertama tidak tampak calon presiden atau wakil presiden yang secara lugas memperlihatkan platform pembangunan kebudayaan, kinilah saatnya berani mengambil kebijakan membentuk organisasi kebudayaan tersendiri. Adapun bentuknya bisa departemen, kementerian, atau LPND. Siapa pun yang akan menjadi pemimpin bangsa.
Sumber;
https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=4590033009607805970#editor/target=post;postID=2507451846163469865;onPublishedMenu=allposts;onClosedMenu=allposts;postNum=0;src=link
Sumber;
https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=4590033009607805970#editor/target=post;postID=2507451846163469865;onPublishedMenu=allposts;onClosedMenu=allposts;postNum=0;src=link