Pengertian Absurditas Insan Modern
Saturday, June 8, 2019
Edit
Absurditas Manusia Modern
Sebuah Pengantar
Sejak zaman Renaisance di masa 17 lalu, insan memasuki “dunia baru”, dunia yang begitu berbeda dengan tatanan dunia sebelumnya. Alfin Tovler, futurolog yang membagi tiga tahapan perkembangan peradaban manusia, menyatakan bahwa insan dikala ini hidup di tengah periode masyarakat komunikasi yang berlangsung semenjak 1970 hingga sekarang. Dalam kehidupan di dunia gres ini insan mengalami proses transformasi – untuk tidak menyampaikan revolusi menyerupai yang diistilahkan oleh Franz Magnis – yang begitu cepat dan mencengangkan. Hasil olah sains dan teknologi canggih yang diciptakan insan menciptakan sesuatu menjadi mudah, tidak berjarak dan tidak tersekat oleh waktu dan tempat. Semuanya sanggup dilampaui oleh ilmu pengetahuan dan teknologi. Hikmat Budiman dengan sinis menyatakan, bahwa canggihnya kehidupan modern belum, bahkan tidak terjangkau oleh mimpi-mimpi paling liar sekalipun pada masyarakat primitif (1997).
Kecanggihan ilmu pengetahuan kini ini membuka ruang dan cakrawala gres dalam tatanan peradaban kehidupan manusia. Betapa tidak, sesuatu yang dahulunya dianggap tabu, misteri dan merupakan wilayah metafisis bahkan teologis, dengan ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi riil dan lumrah. Sebagai contoh, sebut saja wacana penjelajahan insan ke semesta lain, menyerupai perjalanan ke bulan dengan hanya memakai pesawat ulang alik baik yang berawak maupun yang tidak; rekayasa genetika; teknologi informasi, komunikasi dan transportasi. Akan tetapi, betapapun insan telah berhasil dan terus berhasrat melaksanakan eksplorasi dan menguak tabir misteri cosmic, termasuk dirinya, namun keberadaan insan itu sendiri tetap saja menjadi misteri yang hingga kini, bahkan entah hingga kapan perlu diuangkap.
Berbagai inovasi gres super canggih produk ratio telah bisa merubah tatanan dan pola hidup yang dilakonkan manusia, termasuk paradigma kehidupannya. Perubahan dimaksud sekaligus telah menjadi mengambarkan keberhasilan insan mengganti tugas alam yang awalnya hadir sebagai kawan dalam kehidupan di semeta ini kini menjadi objek eksploitasi hanya dengan mengedepankan dalih demi kelangsungan hidup insan dan demi kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Seiring dengan perjalanan waktu, insan semakin terpesona dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai produk kerja ratio. Bahkan ironisnya, hanya dikarenakan banyak sekali fasilitas dalam menjalankan acara kehidupan sebagai tawaran dari ilmu pengetahuan dan teknologi yang kian hari kian berkembang, insan telah berani meniscayakan “ratio” yang terbukti telah berhasil menghadirkan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga tanpa disadari seiring dengan itu pula ia telah mereduksi keniscayaan realitas lainnya termasuk agama dengan banyak sekali elemen spiritual yang terkandung di dalamnya.
Keterpesonaan akan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berakhir pada peniscayaan terhadap ratio menciptakan insan memandang dan menghadirkan dunia dengan segala persoalannya sebagai realitas yang sederhana. Oleh Yasraf Amir Pilliang dunia menyerupai itu diistilahkan dengan dunia yang telah dilipat (2004). Hal ini disebabkan oleh kenyataan betapa kehadiran ilmu pengetahuan dan teknologi telah menciptakan acara hidup insan semakin efektif dan efisien.
Dunia yang telah dilipat muncul sebagai konsekwensi dari kehadiran banyak sekali inovasi teknologi mutakhir terutama transportasi, telekomunikasi dan informasi, jarak-ruang semakin kecil dan semakin sedikit waktu yang diharapkan dalam pergerakan di dalamnya, inilah pelipatan ruang-waktu. Adalagi pelipatan waktu-tindakan, yakni pemadatan tindakan ke dalam satuan waktu tertentu dalam rangka memperpendek jarak dan durasi tindakan, dengan tujuan mencapai efisiensi waktu. Dahulu insan melaksanakan satu hal dalam satu waktu tertentu, menyerupai memasak, menyetir, membaca, menelepon dan lain-lain. Kini, insan sanggup melaksanakan banyak hal dalam satu waktu bersamaan, menyetir kendaraan beroda empat sambil menelepon, mendengar musik, makan dan sambil bicara.
Pada kepingan lain ada pula miniaturisasi ruang-waktu, dimana sesuatu dikerdilkan dalam banyak sekali dimensi, aspek, sifat dan bentuk lainnya. Realitas ditampilkan melalui media gambar, fotografi, televisi, film, video, dan internet. Sebagaimana yang dikatakan oleh Paul Virilio yang dikutip Yasraf Amir Pilliang, bahwa ruang dikala ini tidak lagi meluas, tetapi mengerut di dalam sebuah layar elektronik. Jika ingin mengetahui sesuatu yang riil, insan sanggup mencari dan menyaksikan melalui video, film, televisi. Ingin tahu mendetail wacana sang bintang idola, maka orang tinggal mengklik satu situs dalam internet, kemudian tampillah sang bintang dengan ragam wacana dirinya, dan seterusnya. Demikianlah di antara beberapa gambaran wacana pelipatan dunia oleh perkembangan teknologi mutakhir di bidang transportasi, komunikasi dan informasi.
Keniscayaan Modernitas
Modernisasi yaitu sebuah keniscayaan sejarah yang pasti ada menyambangi sebuah peradaban manusia, tak perduli apakah ia menghendakinya atau tidak. Menurut Franz Magnis, modernisasi yaitu satu revolusi kebudayaan paling dahsyat yang dialami insan setelah berguru bercocok tanam dan membangun rumah. Modernitas bagaikan air bah yang terus menerjang benteng-benteng kokoh mitologis masyarakat primitif dan menggantinya dengan bangunan gres yang lebih rasional, kritis dan liberal. Modernisasi merupakan suatu proses raksasa menyeluruh dan global. Tak ada bangsa atau masyarakat yang sanggup mengelak dari padanya.
Zaman Modern sendiri, masih berdasarkan Franz Magnis, diawali dengan ditemukannya 3 hal penting yaitu inovasi dan pemakaian bubuk mesiu, mesin cetak dan kompas pada masa ke-15 M di Eropa. Ketiga hal inilah yang menjadi pra-syarat terciptanya masyarakat modern berikutnya yang dimulai dari belahan dunia Eropa. Penemuan dan pemakain bubuk mesiu berarti titik tamat kekuasaan feodal yang dipusatkan dalam benteng-benteng feodalisme. Penemuan mesin cetak menandakan telah dimulainya proses transformasi ilmu pengetahuan sehingga sanggup dikonsumsi oleh khalayak ramai, sehingga pengetahuan dan interprtasi kebenaran tidak lagi menjadi hak monopoli satu golongan tertentu. Dengan mesin cetak, pengetahuan gres yang ditemukan dari hasil eksplorasi para saintis sanggup dipublikasikan secara lebih luas, dengan demikian pengetahuan menjadi inklusif lantaran sanggup diakses oleh siapa saja. Kondisi ini memungkinkan percepatan perubahan dalam satu komunitas peradaban alasannya yaitu sudah terjadi dinamisasi khususnya pada aspek peradaban intetektual. Di kepingan lain, inovasi kompas mengisyaratkan bahwa navigasi mulai aman, sehingga dimungkinkan melaksanakan perjalanan jauh guna menemukan, membuka dan menjelajah dunia baru.
Tiga inovasi inilah yang menjadi dasar bagi perkembangan peradaban insan selanjutnya menjadi semakin dahsyat juga liar. Karena tiga inovasi ini jugalah kemudian lahir tiga gerakan yang menjadi landasan pembuka jalan ke dunia modern. Ketiga gerakan itu yaitu gerakan kapitalisme dengan teknik modern yang memungkinkan industrialisasi, subjektivitas insan modern dan rasionalisme.
Dari ketiga gerakan di atas kemudian lahirlah modernisme sebagai anak dari karya intelektual manusia. Ia menggurita dalam tiap aspek kehidupan manusia. Banyak penemuan-penemuan ilmiah gres yang mencengangkan dan membelalakkan mata insan awam. Dimulai dari inovasi Nicolaus Copernicus (1473-1543), seorang ilmuan yang mengumandangkan teori bahwa matahari sebagai sentra tata surya (helio sentris), Johanes Kepler (1571-1630) yang menemukan aturan gerak planet, Galileo Galilei (1564-1626), dan sederet nama-nama lainnya. Sejak masa ini, dimulailah satu proyek besar ambisius oleh masyarakat barat, yaitu apa yang mereka sebut dengan modernisasi.
Menurut Lawrence, secara terminologi kemoderenan sanggup dipahami sebagai sebuah kondisi atau keadaan dimana muncul serangkaian perubahan dan peningkatan dalam kehidupan manusia, mulai dari sistem birokrasi, rasionalisasi, kemajuan dalam bidang teknis dan pertukaran global yang tidak pernah terpikirkan oleh insan era pra-modern. Lawrence berupaya mengambarkan modernisme sebagai “pencaharian otonomi individu, menekankan pada perubahan nilai secara kuantitas, efisiensi dalam produksi, dan kekuatan serta laba di atas simpati terhadap nilai-nilai tradisional atau lapangan pekerjaan dalam ruang publik maupun pribadi. Keberhasilan tersebut –technical capacities dan global exchange—merupakan konsekuensi material dari ideologi modernisme, yang kemudian memarginalisasikan tugas agama. Dari sini kemudian muncul perdebatan dimana orang banyak mendudukkan modernisasi vis-a-vis agama.
Anomali Modernitas
Adalah hal yang tak terbantahkan, bahwa sains dengan penemuan-penemuan spektakulernya membawa berkah bagi kehidupan insan berupa fasilitas dalam menjalankan acara kehidupan. Saat ini kita sanggup mencicipi bahwa hampir semua pekerjaan sanggup dikerjakan oleh mesin mulai dari yang paling berat, rumit dan sulit hingga yang paling sederhana, mudah dan mudah. Dalam tiap ritme kehidupan, kita selalu dikelilingi oleh mesin, seolah kita tidak bisa hidup tanpanya sebagaimana sebagai makhluk seorang makhluk sosial, kita tidak sanggup hidup tanpa insan lainnya di sekeliling. Demikian adanya bahwa mesin memudahkan, membuai dan memanjakan kehidupan kita. Tetapi sekali lagi kita mesti ingat bahwa modernitas yaitu produk ambigu insan yang menghadirkan dua sisi berhadap-hadapan.
Di satu sisi, modernitas menghadirkan dampak positif dalam hampir seluruh konstruk kehidupan manusia. Namun pada sisi lain, juga tidak sanggup ditampik bahwa modernitas punya sisi gelap yang menjadikan susukan negatif yang sangat bias. Dampak paling krusial dari modernitas berdasarkan Budi Munawar Rahman, yaitu terpinggirkannya insan dari lingkar keberadaan (Komarudin Hidayat & Wahyu Nafis,1995). Menurutnya, insan modern melihat segala sesuatu hanya berdasar pada sudut pandang pinggiran eksistensi. Sementara pandangan wacana spiritual atau sentra spritualitas dirinya, terpinggirkan. Makanya, meskipun secara material insan mengalami kemajuan yang spektakuler secara kuantitatif, namun secara kualitatatif dan keseluruhan tujuan hidupnya, insan mengalami krisis yang sangat menyedihkan. Dengan mengutip Schumacher dalam bukunya “A Guide for the perplexed”, insan kemudian disadarkan melalui wahana krisis lingkungan, materi bakar, bahaya terhadap materi pangan dan kemungkinan krisis kesehatan.
Awal mula krisis eksistensial ini sebagaimana yang pernah ditulis oleh Huston Smith dalam bukunya “Kebenaran yang Terlupakan” yaitu dikala seorang filsuf Perancis Rene Descartes (1596-1650) mempublikasikan karyanya yang berjudul “Discourse on Method of Rightly Conducting the Reason and Seeking the Truth in the Science“. Dalam karyanya ini Descartes dengan jargon Cogito ergo sum” (aku berpikir maka saya ada) ingin mengungkapkan bahwa alam yaitu sesuatu yang terpisah dari insan sebagai subjek berpikir. Tidak ada yang tidak sanggup diketahui insan jika ia mau memakai pikirannya. Menurut Hikmat Budiman, filsafat Descartes ini dipandang sebagai penghulu terjadinya cara berpikir dualisme, dimana ia telah menghadirkan sebuah distinksi atau perbedaan atau pemisahan antara subjek (res cogitant) sebagai yang berpikir dan objek (res extensa) yang berada di luar. Di antara keduanya dijembatani dengan ilmu pengetahuan alam atau wacana (ergo). Hal ini berkonsekuensi pada terjadinya superioritas subjek terhadap objek, sesuatu dikatakan ada atau tidak ada, tergantung pada dipikirkan atau tidak dipikirkannya oleh subjek. Jika sebelumnya alam dikaitkan dengan keberadaan kekuasaan Yang Maha Agung (Tuhan) yang kemudian termanifestasi dalam figur totem, taboo, animisme, dinamisme bahkan agama, maka metodologi eklektis Cartesian kemudian menjadikan kecerdikan sebagai avant-garde keberadaan insan di hadapan alamnya. Manusia dengan akalnya merasa bisa membedah alam, untuk kemudian menundukkannnya, sehingga alam hanya dijadikan sebagai objek yang dipikirkan (res extansa). Ini kemudiaan disebut oleh Imanuel Levinas, dijuluki sebagai egologi, yaitu ilmu pengetahuan yang berkutat dengan ego manusia.
Kerangka filosofis tersebut yang kemudian mendudukkan alam (nature) sebagai subordinasi dari insan atau inferior vis a vis insan (res cogitant). Supremasi ilmu pengetahuan alam dan semangat aufklarung ini yang kemudian memunculkan semangat kapitalisme dan kemudian imperialisme. Hal tersebut sanggup kita pahami melalui persfektif teori sistem dunia dan teori ketergantungan.
Pada masalah lain, secara ekstrem bekerjsama modernitas mengancam keberadaan kemanusiaan. Betapa tidak, dengan ditemukan dan dipakainya bubuk mesiu pada tamat masa ke-15 kemudian di Eropa, maka bermunculan senjata-senjata canggih pemusnah massal. Beberapa bencana dalam lintasan sejarah menyerupai pengeboman oleh tentara Amerika dengan bom atom di Nagashaki dan Hirosima, penggunaan gas sarin oleh sekte Aom Shinrikyu di stasiun kereta api bawah tanah yang menewaskan banyak orang, bencana WTC dan masih banyak lagi kejadian lainnya, ini yaitu ciri peperangan pada masa modern yaitu memusnahkan secara massal. Mungkin kita juga masih diingatkan dengan kejadian ledakan pabrik kimia di Bhopal, India, pada bulan September 1984, atau yang terjadi pada perusahaan nuklir di Chernobyl, di bekas Uni Soviet, pada bulan April 1986, semua menelan korban jiwa yang tidak sedikit.
Pada aspek lingkungan, kita juga mencatat betapa teknologi sangat tidak dekat dan mempunyai konstribusi signifikan terhadap kerusakan lingkungan. Lapisan ozon yang telah menipis akhir imbas dari banyaknya rumah beling dan polusi udara yang dihasilkan oleh pabrik serta kendaraan bermotor, hutan yang gundul, pantai yang mengalami abrasi, air sungai yang tercemar dan lain sebagainya yaitu akhir logis dari modernitas. Pada ranah ini, tidak hanya keberadaan insan yang terancam tetapi juga alam secara makro. Sederhananya bahwa alam telah terekploitasi sedemikian bejadnya oleh interest rakus para individu penjelajah impian dengan mengatasnamakan kepentingan kemanusiaan. Eksploitasi yang tidak logis dan berimbangan ini sejatinya telah merusak korelasi cendekia antara meta cosmic, makro cosmic dan mikro kosmic yang dahulunya saling berdialektika dalam satu korelasi interdependensi.
Lain lagi berdasarkan Erich From dalam bukunya “The Revolution of Hop” bahwa dalam kehidupan insan modern di tengah-tengahnya ada “hantu”. Terma hantu yang digunakan dan dimaksudkannya di sini yaitu gambaran terhadap pola masyarakat yang dimesinkan secara total, insan yaitu mesin yang mekanis. Totalitas kehidupannya dicurahkan untuk meningkatkan produksi dan konsumsi material, yang dalam prosesnya -lebih ironis- bahwa ia diarahkan oleh komputer-komputer (baca: mesin). Manusia tidak lagi berfungsi sebagai insan yang utuh. Dalam proses sosial semacam ini insan menjadi kepingan dari mesin, diberi makan dan hiburan yang cukup, tetapi pasif, tidak hidup dan nyaris tanpa perasaan. Semua masalah dalam konteks ini ditinjau dari perspektif material, padahal berdasarkan Plato, seorang filosof Yunani, insan yaitu konfigurasi dari dua realitas tak terpisahkan yakni fisik yang mengambil bentuk material dan psikis yang mengambil bentuk jiwa atau spirit. Artinya, mengabaikan atau memprioritaskan salah satunya sama artinya dengan menjadikan insan bukan insan sebenarnya.
Hal lain yang juga telah menjadi huruf insan modern yang materialistik oriented yaitu budaya pragmatisme dan hedonisme. Pragmatisme1 yaitu cara pandang yang melihat sesuatu dari nilai manfaat yang sanggup dihasil dari sesuatu. Jika ia bermanfaat secara simpel material, maka ia dianggap kebenaran yang bernilai. Demikian juga dengan budaya hedonisme2, totalitas kehidupan semuanya diorientasikan untuk sebuah kenikmatan. Kebahagiaan tertinggi yaitu lantaran akumulasi yang banyak dari kenikmatan material, dan sebaliknya kesengsaraan yaitu disebabkan insan tidak menemukan kenikmatan. Motto yang paling populer dari kaum hedonis yaitu “hidup untuk hari ini”. Dari sini sanggup diasumsikan bahwa apa saja menjadi legal dan pantas demi sebuah kenikmatan. Pada proses selanjutnya sanggup dipastikan bahwa akan terjadi peminggiran terhadap beberapa sisi dari kemanusian itu sendiri, terutama masalah moralitas juga etika.
Dalam ranah empiris kemudian sanggup kita temukan betapa banyak hari ini penyakit-penyakit sosial yang terjadi di masyarakat, mulai dari pelecehan seksual, pemerkosaan, pengkonsumsian obat-obat terlarang, minuman keras, aborsi, sikap sadisme dan perilaku-perilaku kriminal lainnya yang kesemuanya menghiasi wajah gelap modernitas. Itulah di antara beberapa anomali yang include dalam modernitas itu sendiri dimana kesemuanya ternyata sangat potensial untuk memberangus sisi-sisi eksistensial kemanusiaan. Sebagai kesimpulan sementara sanggup dikatakan, bahwa kemajuan secara kuantitatif material yang dicapai oleh modernitas, tidak diiringi dengan kemajuan kualitatif. Modernitas dengan sederet anomalinya tersebut sedikit banyak telah mengabsurdkan beberapa sisi sejati dari insan pemujanya. Absurditas[3] inilah yang selanjutnya menimbulkan insan modern salah orientasi dalam memaknai hakikat hidup yang ia jalani.
Relevansi Spiritualitas Agama
Modernitas senyatanya tidak hanya menghadirkan dampak positif, tapi juga dampak negatif. Terhadap dampak negatif ini, pertanyaan kita selanjutnya yaitu apa yang seyogyanya kita lakukan, sementara modernitas dengan pasti terus bergerak dengan tanpa memperdulikan apakah di balik gerakannya terdapat bias negatif. Modernitas yang merupakan kristalisasi budi daya insan yaitu keharusan sejarah yang tak terbantahkan, dengan demikian satu-satunya yang sanggup kita lakukan yaitu menjadi partisipan aktif dalam arus perubahan modernitas, sekaligus menciptakan perlindungan dari susukan negatif yang akan dimunculkan. John Naisbitt dan Patricia Aburdene dalam “Megatrends 2000“ menyampaikan bahwa dalam kondisi menyerupai ini, maka agama merupakan satu tawaran dalam kegersangan dan kehampaan spiritualitas insan modern. Dalam tesisnya ia menyampaikan bahwa era milenium menyerupai kini merupakan era kebangkitan agama dan nilai-nilai esoteric. Bagi insan modern, akses-akses negatif yang ditimbulkan oleh modernisasi akan bisa di perlindungan oleh kearifan esoteric sebuah relegiusitas. Tetapi yang menarik dari fenomena ini yaitu bahwa kecendrungan sikap dan pilihan beragama kaum modernis yaitu model beragama yang mengedepankan spirit relegiusitas ketimbang formalitas agama konvensional. Slogan mereka yang cukup populer itu yaitu “Spirituality yes, organized relegion no” (Naisbitt,1990). Hal ini jika kita simak secara mendalam lebih disebabkan oleh adanya dampak dari karakteristik modernisasi yang mengdepankan rasio dan daya kritis terhadap sebuah kebenaran.
Terdapat alasan ontologis-teologis mengapa sisi spiritualitas tetap menjadi kebutuhan perenial manusia; seprimitif dan semoderen apapun dia. Ia menganalogikan kebutuhan perenial itu dengan memetaforakan menyerupai sebuah kisah film (Yasraf Amir Pilliang, 2004). Bila di dalam segala sesuatu telah diketahui sebelumnya, artinya tidak ada lagi misteri dan pertanyaan yang perlu dijawab, enigma yang harus diselesaikan dan lain-lain, maka tidak ada makna gres yang penting dicari lantaran semuanya telah terbuka dan tersibak. Apa yang menarik dari sebuah film tersebut untuk kita tonton hingga menghabiskan waktu berjam-jam, toh kita telah tahu semuanya, menyerupai apa ending dari ceritanya. Film gres akan menarik manakala ia menghadirkan rasa penasaran, lantaran ia menyimpan misteri, pertanyaan dan enigma sehingga ia akan menghadirkan pengalaman gres bagi penontonnnya.
Demikian pula kehidupan ini, manakala dikala kita berada di atas dunia semuanya telah menjadi nyata, semua membentangkan realitas sebenarnya, tidak ada lagi ruang suci tak tersentuh yang kemudian menjadikan kita tidak lagi mempunyai pekerjaan untuk memimpikan, mengilusikan, menghayalkan, dan menafsirkan, sesungguhnya tidak ada lagi yang namanya kehidupan di dunia. Dunia akan hidup manakala masih ada realitas tak tersentuh yang kemudian menghadirkan energi bagi insan untuk berikhtiar mengungkapnya baik melalui penalaran, perenungan, pengembaraan jiwa dan lain-lain. Yang terperinci bahwa Realitas Tak Tersentuh ini sebagai sesuatu yang berada di luar kekuasaan manusia, di luar pengalaman insan dan mungkin di luar kemampuan kecerdikan insan pula. Oleh manusia, Ia disebut secara beragam: Penggerak yang Tak Tergerak (Un-moved mover), Transendental, Tuhan dan lain-lain. Maka, selama Realitas Tak Tersentuh Yang Tak Terbatas ini masih ada, maka masih ada kekuatan lain yang berada di atas kekuatan insan dan di sinilah spiritualitas menemukan ruangnya.
Prof. Zakiah Darajat, dalam bukunya “Peranan Agama Dalam Kesehatan Mental”, menyatakan bahwa fungsi agama yaitu :
- Agama menawarkan bimbingan bagi insan dalam mengendalikan dorongan-dorongan sebagai konsekwensi dari pertumbuhan fisik dan psikis seseorang.
- Agama sanggup menawarkan terapi mental bagi insan dalam menghadapi kesukaran-kesukaran dalam hidup. Seperti pada dikala menghadapi kekecewaan-kekecewaan yang kadang sanggup menggelisahkan bathin dan sanggup menciptakan orang putus asa. Disini agama berperan mengembalikan kesadaran kepada sang pencipta.
- Agama sebagai pengendali moral, terutama pada masyarakat yang mengahadapi problematika etis, menyerupai prilaku sex bebas (untuk konteks kini Narkoba dan yang paling mutakhir syndrom politic, ekonomi dan budaya, Pen) (Lih. Zakiah Deradjat : 1982)
Zakiah lebih menekankan fungsi psikis dari agama, sedangkan Nico Syukur Dister disamping mengemukakan fungsi emotif-afektif dan fungsi sosio-moral dari agama, juga menambahkan fungsi intelektual-kognitif, yaitu Agama sebagai sarana untuk memuaskan intelek insan manakala insan diliputi pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya fundamental. Sebagai misal, ketika insan bertanya wacana hakikat penciptaan dan tujuan keberadaan mereka di muka bumi ini. Nico menjelaskan ada dua sumber kepuasan sanggup ditemukan dalam agama oleh intelek, yaitu : pertama, agama sanggup menyajikan pengetahuan yang sifatnya rahasia; Kedua, menawarkan kepuasan dalam pertanyaan-pertanyaan etis.
Dalam konteks ini, perkiraan awal yang sanggup kita berikan bahwa semoderen apapun sebuah komunitas, agama tetap akan eksis, dibutuhkan dan tetap sanggup menjadi tawaran solutif terhadap penyakit sebagai darivasi dari peradaban yang dimunculkan. Agama diharapkan guna menjelaskan makna dan tujuan hidup manusia. Agamalah yang mengisi sisi spiritual insan yang tidak mungkin dipenuhi oleh rasionalitas dan ilmu pengetahuan. Bahkan berdasarkan William James, agama akan selalu ada selagi insan mempunyai rasa cemas.
Robert N. Bellah di dalam Beyond Belief, memerikan bahwa lebih banyak didominasi masyarakat Amerika – masyarakat yang biasanya diidentikkan dengan masyarakat sekular – ternyata masih membutuhkan keyakinan akan Tuhan, agama atau spiritualitas, meskipun interpretasi dari Tuhan dan agama ini sangat berbeda dari pengertian Tuhan dan agama sebagaimana yang ada pada agama konvensional. Bellah mengistilahkan spiritualitas menyerupai ini dengan agama civil (civil relegion), lantaran para penganutnya memasukkan kesadaran spiritualitasnya ke dalam ruang yang lebih umum, konsep Tuhan digeneralisir, dalam pengertian bahwa meskipun orang berbeda agama, akan tetapi mereka sanggup mempunyai konsep Tuhan yang sama.
Dalam pengungkapan berbeda, George M. Marsden menyatakan bahwa agama bagi sebagian masyarakat modern telah kehilangan semangat komunalnya. Agama menjadi sangat pribadi dan individualistik. Kearifan nilai agama ditafsirkan secara subjektif sesuai dengan kepentingan masing-masing. Termasuk interpretasi wacana konsep ke-Tuhan-an, walau mereka yakin mempunyai Tuhan yang sama tetapi mereka ingin Tuhan yang mereka yakini itu yaitu sebagaimana yang mereka interpretasikan.
Namun demikian tidak semua agama sanggup menjawab masalah kemanusiaan. Hanya agama yang menjamin pemenuhan spritualitas dan tidak bertentangan dengan sains dan teknologilah yang sanggup bertahan. Selain itu pendekatan beragama yang cenderung ekslusif juga tidaklah cocok untuk ditawarkan pada hari ini dan masa yang akan tiba lantaran pada masyarakat yang terbuka semacam ini agama semacam itu cenderung menyulut konflik. Agama masa depan yang akan muncul yaitu agama yang menekankan dan menghargai persamaan nilai-nilai luhur pada setiap agama. Teologi agama masa depan lebih konsen pada masalah lingkungan hidup, etika sosial, dan masa depan kemanusiaan, dengan mengandalkan pada kekuatan ilmu pengetahuan empiris dan kesadaran spiritual yang bersifat mistis (Komarudin Hidayat & Nafis,1995).
Secara epistemologis, agama masa depan menolak paham absolutisme dan akan menentukan apa yang oleh Swidler disebut deabsolutizing truth atau yang oleh Seyyed Hossein Nasr diistilahkan sebagai relatively absolute. Dikatakan otoriter lantaran setiap agama mempunyai klaim dan orientasi keilahian, tetapi semua itu relatif lantaran klaim dan keyakinan agama itu tumbuh dan terbentuk dalam sejarah. Tetapi tidak pula kita lantas setuju dengan kecendrungan spiritualitas sekular dimana insan menuhankan sesuatu yang populer diseluruh dunia (worldly), khususnya objek kasatmata maupun abstrak. Spiritualitas semacam ini yaitu spiritualitas penuh paradoks, yang didalamnya insan menuhankan sesuatu yang sama derajatnya dengan insan itu sendiri. Karena objek-objek tersebut yaitu ciptaannya sendiri atau setidaknya hasil proyeksi hayalnya, maka sangat tidak layak ia dituhankan. Sesuatu pantas dianggap Tuhan apabila sesuatu itu yaitu yang benar-benar melampaui dirinya sebagai Yang Tak Terbatas, Tak Berhingga dan Tak Terjangkau.
Penutup
Sebagai tamat dari bentangan ini, penulis mencoba merefleksikan apa yang pernah ditawarkan oleh seorang filsuf berkebangsaan Swiss Jean Jacques Rousseau (1712-1778) dikala ia menjawab sebuah pertanyaan “Apakah kemajuan seni dan ilmu pengetahuan menawarkan konstribusi terhadap pemurnian moralitas manusia?” Pertanyaan dalam sebuah sayembara ini ternyata bagi Rousseau membukakan kesadaran nalarnya bahwa terlalu banyak abnormalitas yang terjadi dalam tata kehidupan masyarakat pada waktu itu. Hasil perenungannya di bawah pohon ternyata sangat mengejutkan banyak pihak. Ia katakan bahwa kemajuan dalam bidang seni juga ilmu pengetahuan sesungguhnya tidak menciptakan insan semakin beradab alias tidak menciptakan moralitas insan semakin murni (Russel,2004). Justru sebaliknya, bahwa kemajuan peradaban penalaran semakin menciptakan kehidupan insan tercerabut dari keharmonisan yang sungguh merupakan tabiat awalnya. Dalam goresan pena panjangnya ia mengatakan, bahwa klaim kemajuan peradaban bangsa Prancis dikala itu semu belaka lantaran hanya kemajuan pada ranah material kuantitatif yang terjadi, tetapi tidak pada ranah kualitatif. Di antara indikatornya yaitu bahwa raja (penguasa) semakin bar-bar melaksanakan eksploitasi pada rakyat dengan melaksanakan penarikan pajak secara semena-mena, sementara kalangan mereka sendiri terbebas dari beban tersebut. Wal hasil, kemajuan hanya sanggup dinikmati segelintir kelompok saja yakni bagi mereka yang mempunyai susukan kekuasaan juga kekayaan. Kesimpulannya bahwa kemajuan hanya menciptakan insan semakin terperosok dalam keterasingan akan diri mereka yang sebenarnya.
Menurutnya, sebelum insan membentuk komunitas dengan perangkat-perangkat yang terlembaga, kehidupan insan berjalan sangat harmoni. Terjadi korelasi yang saling ketergantungan antara manusia, alam dan Yang Kuasa. Pada dasarnya tabiat insan secara alamiah yaitu baik. Ia mempunyai sifat-sifat yang lugu, jujur, toleran dan bersahaja sebagai sifat yang tidak dibuat-buat. Tetapi kemudian lantaran muncul pelembagaan, mulailah secara perlahan klaim-klaim. Klaim hak milik, klaim kelompok paling benar, paling superior dan seterusnya. Di sinilah kemajuan menjadi tersangka sebagai biangkerok tercerabutnya sifat alamiah insan yang adi luhung. Sebagai tawarannya, Rousseau mengajak untuk kembali ke alam (retoyr a la nature).
Dalam konteks kenestapaan insan modern terhadap absurditas yang mereka rasakan, rasanya masih sangat relevan apa yang ditawarkan oleh Rousseau tersebut. Hanya saja, jika 257 tahun yang kemudian Rousseau mengajak kembali ke alam, maka tawaran biar insan berubah dalam rangka mengembalikan gambaran kemanusiaanya melalui kearifan nilai relegiusitas (spiritual) yaitu konteks tawaran yang sempurna terhadap masalah keterpinggiran insan moderen dalam bulat eksistensinya. Kembali kepada spiritualitas di tengah kepongahan modernitas yaitu mengembalikan rasa kehadiran Yang Suci di tengah-tengah moralitas insan yang sejatinya memang telah dititipkan oleh Yang Suci pada tiap diri manusia. Spiritualitas yaitu infinite idea yang inheren dalam totalitas kemanusiaan manusia. Mengingkarinya berarti mengingkari kedirian sebagai seorang manusia.
Sejarah membuktikan wacana hal ini, bahwa insan tidak mungkin hidup tanpa nilai spiritual yang ia akui sebagai Yang Maha Agung, dan yang sanggup memenuhi kebutuhan spiritual insan itu hanya agama. Sistem ideologi apapun yang ditegakkan oleh insan seraya menafikan kenyataan bahwa insan tidak melulu materi pasti akan mengalami krisis bahkan kehancuran. Manusia mungkin sanggup hidup dalam sistem yang baru, namun jiwanya tetap dikendalikan oleh fitrah-fitrah yang tidak sanggup dijelaskan dan dipuaskan secara materialistik. Hanya agamalah yang sanggup menjelaskan dan memuaskannya. Alih-alih berkehendak untuk tidak bertuhan dan tidak mengakui nilai-nilai metafisik, justru hal ini akan memunculkan satu sistem agama gres dimana sang pencetus menjadikan diri dan konsepnya sebagai tuhan. Tentu kita berpikir betapa primitif dan tidak jelasnnya inspirasi ketuhan menyerupai ini. Tetapi seprimitif dan tidak terperinci bagaimanapun inspirasi tersebut, bahwa insan tidak sanggup menghindar dari inspirasi wacana Tuhan.
Namun tidak semua agama relevan untuk ditawarkan pada masyarakat modern, hal ini disebabkan lantaran insan modern yang sangat mengagungkan hasil pengembaraan intelektual tidak akan mudah mendapatkan begitu saja suatu sistem kepercayaan. Hanya agama yang tidak menafikan tugas rasiolah yang akan bertahan disamping kemampuannya memenuhi kebutuhan spiritualitas yang tidak diberikan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi. Di samping itu tabiat masyarakat modern yang tanpa batas mengharuskan sebuah sistem ideologi – termasuk agama – yang sanggup bertahan hanyalah yang sanggup menghargai banyak sekali sistem ideologi lain yang berbeda. Inilah barangkali model keberagamaan masa akan tiba yang menghadirkan sisi spiritualitas lebih dalam. Spiritualitas menyerupai inilah yang sejatinya menawarkan bingkai secara idiologis kejatidirian insan dari serangan kehampaan dan keterasingan yang ditawarkan oleh nilai modernitas. Tetapi insan modern mesti hati-hati dan arif, lantaran tidak semua tawaran spiritualitas gres memuarakan pada puncak spiritualitas sebenarnya. Spiritualitas sekular misalnya, spiritualitas ini mengandung kesalahkaprahan lantaran menyandarkan rasa spiritual kepada sesuatu yang tidak pantas menawarkan sandaran. Sesuatu yang Tak Terbatas, Tak Berhingga, Tak Terjangkau, Transenden, Wajah Suci dan lain sebagainya yaitu beberapa simbol yang bekerjsama layak untuk itu.
Menghadirkan yang Transenden yaitu kemestian di dikala kenestapaan sedang kita alami. Persoalannya kemudian yaitu apakah kita mau jujur menghadirkan spirit yang Transenden tersebut, lantaran ia sungguh telah hadir dengan sendirinya disaat bersaman kita menjadi manusia. Wallahu’alam bi al-sawab.
DAFTAR PUSTAKA;
- Franz Magnis Suseno, 1995, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, Cet. IV, Yogyakarta : Kanisius.
- FROMM, Erich, 1996, The Revolution of Hope, terj. Kamdani, Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
- Hikmat Budiman, 1997, “Pembunuhan yang selalu gagal”, Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
- Komaruddin Hidayat & Wahyuni Nafis, 1995, “Agama Masa Depan, perspektif filsafat perennial”, Jakarta : Paramadina.
- Listiyono Santoso, dkk., 2003, Epistimologi Kiri, Yogyakarta : Ar-Ruzz.
- NAISBITT, John, Patricia Aburdene, 1990, “Megatrends 2000 (Ten new directions for the 1990’s)”, New York Avon book.
- Nurcholish Madjid, 1995, Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta : Paramdina.
- RUSSELL, Bertrand, 2004, Sejarah Filsafat Barat; Kaitannya Dengan Kondisi Sosio-politik Zaman Kuno Hingga Sekarang, terj. Sigit Jatmiko dkk., Yogyakarta : Pustka Pelajar.
- SMITH, Huston, 2001, Kebenaran yang Terlupakan Kiritik atas Sains dan Modernitas, terj. Inyiak Ridwan Muzir, Yogyakarta : IRCiSoD.
- TITUS, Harold H., etc., 1984, Persoalan-persoalan Filsafat, terj. Rasidi, Jakarta : Bulan Bintang.
- Yasraf Amir Pilliang, 2004, Dunia yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-batas Kebudayaan, Yogyakarta : Jalasutra.
- Zakiyah Darajad, 1976, Membina Nilai-nilai Moral di Indonesia, Jakarta : Bulan Bintang.
* Makalah dibentangkan dalam program Annual Conference di Grand Hotel Lembang Jawa Barat pada tanggal 26 - 30 Nopember 2006.
** Penulis yaitu Dosen pada Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Pontianak.
1 Pragmatisme sangat menempel dengan tokoh William James, seorang tokoh filsafat berkebangsaan Amerika. Pragmatisme sendiri sebagai sebuah fatwa dan ideology menerima tempatnya di Amerika dan sangat berkembang subur disana. Hal ini dimungkinkan lantaran Amerika sangat modern dalam tatanan kehidupan, dengan demikian pragmatisme hanya sebagai fatwa yang melegitimasi saja. Lihat lebih lanjut dalam Harold H. Titus dkk, Persoalan-persoalan Filsafat, Jakarta: Bulan Bintang, 1984.
2 Hedonisme yaitu istilah yang berasal dari bahasa Yunani Hedone yang artinya kenikmatan. Sikap hidup hedonis sendiri sebagai sebuah etika telah mulai ada semenjak zaman Yunani Kuno terutama etika yang dikembangkan oleh Aris Thippus, seorang yang mengaku murid Socrates. Dalam etikanya ia membuatkan sikap hidup yang berlandaskan akumulasi kenikmatan, terutama kenikmatan material.
[3] Absurditas yaitu istilah yang sangat menempel pada sosok Albert Camus. Ia memakai istilah ini untuk mengambarkan suatu keadaan insan modern yang tengah mengalami keputusasaan yang disebabkan adanya pemisahan antara dirinya dengan apa yang dilakonkannya.