Teori Peradapan

MEMBACA TIANG PERADABAN
Tonggak kemajuan peradaban dibangun dari tiga tiang utama. Membaca sebagai tiang pertama, menulis tiang kedua dan tiang ketiga yaitu tradisi dialog. Ketiga tiang ini merupakan penyangga dalam membangun tahapan peradaban masa depan. Ujian ketangguhan seseorang dalam membentuk peradaban dari waktu ke waktu, sangat ditentukan ketepatan menempatkan ketiga tiang ini secara sinergis. Kemampuan menegakkan tiang ini dalam pelbagai dimensi kehidupan menjadi membuktikan memilih untuk melahirkan karya-karya peradaban bermakna. Tiang demi tiang, jika ditegakkan dalam pencarian makna hidup melalui perjalanan waktu dengan proses berkesinambungan dan saling mendukung, akan memberi ilham bagi kehidupan peradaban yang terus bergerak dinamis. Aktivitas membaca sebagai tiang pertama memilih kokohnya kegiatan menulis dan mantapnya melaksanakan tradisi dialog. Bila kegiatan membacanya lemah dengan kadar yang rendah, maka akan terjadi reaksi berantai redupnya produktivitas penulisan, stagnannya obrolan dan robohnya kesadaran atas makna kehidupan yang dalam sebagai esensi peradaban.

Kegiatan membaca sebagai instrumen pencerdasan kecendekiawanan, perlu didukung oleh dosis intelegensi; materi bacaan terpilih dari segala segi ideologi dan tehnik penulisan bermutu, pengungkapan bunyi kesadaran terdalam dari simpul-simpul ruang kehidupan dan pemikiran; serta membutuhkan kesadaran, harapan dan motivasi berpengaruh melalui suatu kebangkitan minat baca tinggi. Kegiatan membaca yaitu mirip sumber ilham yang membuat atau mendorong orang terus merindukan kebaruan makna peradaban. Seseorang yang berhenti membaca akan berhenti berpikir, dan peradaban tidak lagi berkibar maju ( Nadeak, 2005).

Ayat pertama yang turun di Gua Hira, memberikan muatan pesan semoga setiap pribadi bisa menangkap dan merangkaikan segala informasi sehingga mempunyai makna melalui kegiatan membaca; kemudian membuat kesimpulan dari hasil perenungan. Pemahaman terhadap iqra yang terambil dari kata qara’a mempunyai arti mengumpulkan atau menghimpun sesuatu sehingga mempunyai arti dan tujuan serta melahirkan satu dimensi pengertian yang sangat luas. Membaca meliputi proses pengumpulan fakta dan analisis, membaca situasi dan kondisi, dan sekaligus perintah untuk segera mengemban misi menjadikan hidup penuh arti (Tasmara, 2001). 

Budaya membaca merupakan sesuatu yang berharga dalam mencapai kemajuan penghidupan dan ketinggian budaya sesorang. Untuk melihat apakah seseorang mempunyai pengetahuan luas dan peradaban tinggi, sedang atau primitif sanggup dilihat dari aktifitas literasi (baca-tulis) yang dilakukannya. Semakin tinggi aktifitas membacanya, maka sanggup diduga semakin tinggi pula tingkat penguasaan pengetahuannya. Roijakers (1980), salah seorang pakar pendidikan, mengaitkan peranan literasi dengan pengembangan karier sesorang. Menurutnya, hanya melalui kegiatan membaca orang sanggup membuatkan diri dalam bidangnya masing-masing secara maksimal serta sanggup mengikuti perkembangan gres yang terjadi. Dengan perkataan lain, kedudukan kemahiran membaca pada kala informasi merupakan modal utama bagi siapa saja yang berkehendak meningkatkan kemampuannya (Holida dan Sulistianingsih,1998). Maka bacalah dan bacalah; serta buku dan kemampuan membaca merupakan wahana dan sarana untuk maju berkembang menyikapi tanda-tanda jaman membangun peradaban.

Membaca untuk Membangun Peradaban
Membaca bukan sekedar sebuah keterampilan. Lebih dari itu, membaca berdasarkan Nadeak (2005) yaitu sebuah kegiatan kreatif. Saat membaca, seseorang berdialog dengan dirinya sendiri; dengan tokoh-tokoh yang terkandung di dalam bacaan, saling mengasah intelek dengan pengarang dalam bayang-bayang rasa ingin tahu, terciptanya sanggahan kritis untuk meluruskan kegelisahan dan menjaring gagasan baru.

Dengan membaca seseorang secara intelektual berguru kepada warisan pengarang masa lampau untuk membentuk dunianya pada masa mendatang, dengan ungkapan-ungkapan yang gres sejiwa dengan perkembangan zaman. Membaca yaitu sebuah kegiatan menafsir makna dari kata yang tidak hanya konvensional, tetapi juga yang belum terkatakan, sesuatu yang tersirat. Sejumlah tanda-tanda pemahaman diperlukan, sebagai sarana untuk menggali makna yang mengintai, yang pada gilirannya melahirkan pemahaman gres dan menandai simpul-simpul pemikiran.

Berkat membaca, suatu pengertian lebih mendalam ihwal suatu tanda-tanda yang terjadi dan berlangsung dengan rumit dan kompleks sanggup ditangkap maknanya, sanggup menganalisis aspek‑aspek yang dibaca dengan menguak tabir kegelapan, serta sanggup mengaitkan dengan banyak sekali tanda-tanda lain yang mengurai kusutnya kehidupan. Secara singkat dengan membaca akan diperoleh hasil, baik informasi, pengertian, pengetahuan, keterampilan, motivasi, maupun fakta mirip yang disajikan oleh materi bacaan ( Depdiknas, 2003). 

Dari hasil membaca sanggup memanfaatkan hal‑hal yang telah dibaca, baik bagi pembangunan diri si pembaca, keluarga, masyarakat dan jadinya terbentuk budaya baca masyarakat. Selain itu, membaca sanggup membina perilaku mental, menghargai waktu, perilaku objektif dalam membahas suatu masalah, mementingkan fakta atau informasi; sebagai modal besar dalam membangun peradaban. Tak akan tumbuh peradaban dengan subur tanpa dipupuk oleh semangat membaca. Membaca pintu gerbang meningkatkan wawasan; membaca modal dasar bernalar dan berkreasi; membaca kunci pembuka pintu kearifan; dan membaca tiang pancang peradaban.

Membangun Minat dan Kemampuan Membaca
Minat baca modal besar membangun kemampuan membaca. Minat baca tinggi umumnya frekuensi membacanya pun sangat tinggi dan waktu yang dipergunakannya sangat tinggi pula. Seseorang yang mempunyai minat baca tinggi, akan melaksanakan banyak kegiatan membaca, dan secara sedikit demi sedikit meningkatkan kemampuan membaca seseorang. Orang yang mempunyai minat baca yang baik umumnya melahap aneka bacaan atau bacaannya sangat variatif. 

Ajip Rosidi (1987) menjelaskan bahwa minat baca bukanlah sesuatu yang tumbuh secara otomatis. Melainkan, minat baca ditanamkan, ditumbuhkan serta dipupuk dan dibina semenjak belum dewasa masih dini. Dalam membangun minat baca diharapkan pinjaman serta partisipasi aktif dari seluruh komponen masyarakat mulai lingkungan sekolah (guru), lingkungan masyarakat, pemerintah, dan paling utama yaitu dukungan dari pihak keluarga.

Berdasarkan hasil penelitian Thorndike ( 1987) yang dilakukan di lima belas negara termasuk di dalamnya negara-negara berkembang, imbas keluarga sangat tinggi kontribusinya dalam mempengaruhi terbentuknya minat serta kemahiran membaca pada anak-anak. Bahkan, Thorndike menyatakan bahwa tidak terdapat indikasi bahwa belum dewasa yang mempunyai minat serta kemahiran membaca unggul sebagai jawaban eksklusif (pengaruh) dari pengajaran membaca yang diselenggarakan di sekolah-sekolah. 

Bahwa anak harus didekatkan pada buku semenjak masih kecil untuk membentuk menjadi insan berwatak, pandai berwawasan dan berinteligensia tinggi di kemudian hari merupakan langkah strategis. Minat dan kecintaan seorang anak untuk gemar membaca ditanamkan dan dimulai oleh ibu dan bapak. Ibu dan bapak sanggup memberi teladan kepada anak-anaknya. Bagi ibu dan bapak yang gemar membaca; dan sanggup memperlihatkan pada anak bahwa buku yaitu sebuah objek yang sanggup dinikmati, memberi kesenangan dan informasi berguna, akan memberi ilham pada anak untuk menirunya.

Menurut DN. Norton (1989), seorang pakar membaca dari Universitas Texas menyampaikan bahu-membahu merupakan sebuah persepsi yang salah jika banyak orang renta yang menyampaikan bahwa belum dewasa itu tidak mempunyai kesenangan membaca buku. Menurut kesimpulan hasil penelitian yang dilakukan, intinya semua anak bahagia melaksanakan kegiatan membaca dengan syarat pihak orang renta mau menyediakan buku-buku bacaan yang memang cocok dengan kondisi mereka, baik dari segi isi maupun bahasanya. Menanamkan kebiasaan membaca pada anak-anak, dengan cara menyediakan bacaan yang disukai, niscaya belum dewasa dengan penuh suka cita akan melakukannya. Meskipun, mengupayakan semoga belum dewasa gemar dan mahir membaca, memang bukanlah sebuah pekerjaan yang gampang dan murah, alasannya yaitu faktor-faktor yang turut mempengaruhi minat serta kemahiran membaca pada diri seseorang itu tidaklah tunggal, tetapi cukup kompleks, dan juga kemampuan membaca bukanlah kemampuan bawaan (innate), melainkan sesuatu yang harus diupayakan oleh semua pihak dengan penciptaan kondisi yang kondusif.

Dalam rangka membangun kemampuan membaca, Yap (1978) menegaskan bahwa kemampuan membaca seseorang ditentukan oleh kualitas membacanya; dan kemampuan membaca seseorang sangat ditentukan oleh lamanya seseorang melaksanakan kegiatan membaca. Untuk menguatkan pendapatnya itu, Yap melaporkan hasil penelitiannya, bahwa 65% ditentukan oleh banyaknya waktu yang dipakai untuk membaca, 25% oleh faktor IQ, dan 10% oleh faktor-faktor lain berupa lingkungan sosial, emosional, lingkungan fisik dan sejenisnya. Dengan demikian, berdasarkan Yap jika berniat untuk meningkatkan kualitas kemampuan membaca seseorang, perbanyaklah melaksanakan kegiatan membaca. Dengan demikian, Yap termasuk seorang pakar membaca beraliran behavioristik, suatu aliran yang menyatakan bahwa pemerolehan kemampuan membaca seseorang itu sebagian besar dipengaruhi oleh frekuensi (keseringan) waktu yang dipakai oleh seseorang untuk membaca. 

Motivasi membaca juga merupakan modal penting dalam menumbuhkan kemampuan membaca. Motivasi membaca yaitu pendorong, pencetus dan pemberi semangat untuk terciptanya kegiatan membaca seseorang melalui bahasa sebagai lambang-lambang tertulis. Dengan jalan melihat, memahami dan melisankan dalam hati melalui suatu bacaan yang dilihat untuk menangkap makna kata dan kumpulan kata yang tersirat dan tersurat guna memperoleh pengetahuan, pengalaman, keterampilan dan sikap. Motivasi membaca merupakan hasrat untuk membaca dari seorang individu. Seseorang sanggup membaca secara lebih efisien apabila ia berusaha untuk membaca maksimal, artinya seseorang memotivasi dirinya sendiri untuk membaca. Pada individu yang membaca, terjadilah suatu keadaan peningkatan kesiap-siagaan, ketajaman perhatian, dan ketegangan otot (Holida dan Sulistianingsih,1998) .

Motivasi membaca sanggup tiba dari dalam diri seseorang; dan motivasi yang timbul dalam diri seorang individu lebih stabil dan mantap apabila dibandingkan dengan motivasi yang berasal dari imbas lingkungan. Dengan berubahnya lingkungan yang menjadikan motivasi ini, maka motivasi membaca juga akan mengalami perubahan. Motivasi dalam diri seorang individu untuk membaca sanggup dibangkitkan, ditingkatkan, dan dipelihara oleh kondisi-kondisi luar. Sikap, pribadi, dan kepemimpinan guru mempunyai imbas yang sangat besar terhadap motivasi siswanya. Kepribadian guru yang menyenangkan, perilaku terbuka dalam menerapkan pelajaran, dan memperlihatkan perhatian yang masuk akal kepada siswa cenderung sanggup menjadikan dan memupuk motivasi untuk mencar ilmu secara efisien. Cara-cara memperlihatkan pelajaran yang dilakukan oleh guru juga cukup berpengaruh pengaruhnya terhadap motivasi membaca siswa.

Guru merupakan motivatori siswa semoga aktif membaca, terlibat, dan berperan serta dalam setiap pelaksanaan proses belajar-mengajar membaca di kelas. Karena itu, guru perlu memikirkan sebaik-baiknya usaha-usaha yang patut dilakukan untuk membangkitkan motivasi membaca siswa semoga kegiatan belajarnya aktif mengalami. Perencanaan pengajaran, pengorganisasian kelas, penataan ruang, evaluasi, dan sebagainya juga memilih motivasi di dalam proses belajar-mengajar, dan sanggup membangun gairah dalam membaca siswa.

Guru bahasa sanggup mengembangkan, meningkatkan dan memotivasi keterampilan-keterampilan siswa yang di butuhkan dalam membaca. Guru dituntut memperluas pengalaman pelajar sehingga sanggup memahami keadaan dan seluk–beluk kebudayaan; mengajarkan bunyi-bunyi (bahasa) dan makna-makna kata-kata baru; mengajarkan kekerabatan bunyi bahasa dan lambang simbol; membantu para pelajar memahami struktur-struktur (termasuk struktur kalimat yang biasanya tidak begitu gampang bagi pelajar bahasa);mengajarkan ketrampilan-ketrampilan pemahaman (comprehension skills) kepada para pelajar; dan membantu para pelajar untuk meningkatkan kecepatan dalam membaca.

Untuk menjaga semoga motivasi atau dorongan membaca selalu besar, maka pengajaran yang dilakukan oleh guru berjalan dalam dua arus yang sejajar: Pertama:guru membantu para pelajar membaca bahan-bahan yang menarik serta bermanfaat secepat mungkin; Kedua, guru secara sistematis mengajarkan korespondensi atau hubungan-hubungan bunyi dan lambang yang diharapkan oleh para pelajar untuk memahami serta mendorong mereka membaca sendiri. Agar seimbang dan tidak berat sebelah, maka hendaknya lebih banyak waktu dipergunakan untuk membaca secara konkret bahan-bahan yang sesuai dengan tingkat kematangan para pelajar (Finocchiaro and Bonomo dalam Tarigan,1990).

Dalam meningkatkan kemampuan membaca dibutuhkan keteraturan, kedisiplinan, dan konsentrasi. Pokok pangkal pertama dari cara membaca yang baik ialah keteraturan. Hanya dengan membaca secara teratur seseorang akan memperoleh hasil yang baik. Kalau sifat keteraturan dalam membaca ini telah benar-benar dihayati sehingga menjadi kebiasaan seseorang dalam perbuatannya, maka sifat ini akan mempengaruhi pula jalan pikirannya. Asas keteraturan dalam membaca itu senantiasa berkembang menjadi dalam tindakan-tindakan pembelajar setiap harinya. Bahan-bahan mencar ilmu setiap hari dipelajari, dibaca sekurang-kurangnya sekali. Buku-buku pelajaran dipelajari secara tertentu setiap hari. Asas lain dalam cara membaca yang baik sebagai faktor keberhasilan membaca ialah disiplin. Dengan jalan berdisiplin untuk melaksanakan pedoman-pedoman yang baik di dalam usaha membaca, barulah seseorang mungkin mempunyai cara mencar ilmu yang baik. Berkonsentrasi dalam membaca juga menjadi faktor penting keberhasilan membaca (The Liang Gie, 1985).

Untuk menjadi seorang pembaca yang baik di samping menguasai metodenya, kebiasaan-kebiasaan yang baik dibutuhkan misalnya: membaca harus mempunyai tujuan, bukan membaca asal membaca; ada planning dan persiapan untuk membaca, menyiapkan alat tulis sewaktu membaca untuk memberi tanda-tanda atau catatan-catatan lain dari yang dibaca, cahaya penerangan tiba dari arah belakang, buku dipegang oleh tangan dan tidak terletak mendatar di atas meja, jarak mata dengan buku kira-kira 25-30 cm. Membaca tidak dengan tidur; dan tiap membaca 1-2 jam istirahat 5-10 menit (Ahmadi, 1991).

Hal penting lain dalam meningkatkan motivasi membaca ke arah kemampuan membaca, yaitu dengan menyediakan perpustakaan dan membuat suasana perpustakaan yang nyaman dan hening yang mencirikan suatu ruangan untuk belum dewasa dan remaja, baik itu pada perpustakaan umum maupun sekolah. Ruang yang bersih, terasa lega dan buku-buku disusun secara rapi dan teratur serta terawat higienis dengan sendirinya menjadi pembelajaran pada anak untuk menyayangi dan menyukai memasuki suatu ruangan perpustakaan sebagai tempat menimba ilmu dan mencari ilham yang positif. 

Hal ini menuntut aktifnya seorang pustakawan membuat jadwal untuk menarik anak tiba ke perpustakaan; sekaligus secara tak eksklusif memberitahukan pada masyarakat sekitar adanya perpustakaan di tempat tempat mereka tinggal. Program yang bisa dilaksanakan, mirip menyelenggarakan kelas melukis: bazar lukisan dan lomba melukis, musik, tari, drama dan nyanyi; menyelenggarakan kelas pekerjaan tangan : membuat banyak sekali prakarya; kelas permainan : catur, kuis, congklak; permutaran film/video untuk anak dan remaja; membacakan cerita; membedah buku/berdiskusi sehabis jadwal mendongeng; mengadakan kegiatan penelitian kecil-kecilan untuk meningkatkan rasa ingin tahu; mengundang penulis dan ilustrator untuk bertatap muka dengan anak-anak; menerbitkan majalah perpustakaan yang berisi hasil karya belum dewasa yang menjadi anggota perpustakaan; mengundang hebat untuk berceramah pada anak-anak; dan mengadakan bazar buku ( Bunanta, 2004). 

Pemimpin Tak Membaca= Kecelakaan Peradaban
Seorang pemimpin yaitu orang yang melihat lebih banyak daripada yang dilihat orang lain, melihat lebih jauh daripada yang dilihat orang lain, dan melihat sebelum orang lain melihat (Leroy Eims). Seorang pemimpin sebagai pencetus utama perubahan dituntut lebih banyak pengetahuan daripada orang lain yang semestinya untuk diberi pengetahuan, lebih mahir dalam mengantisipasi apa yang akan terjadi; dan lebih paham memilih seni administrasi dalam mencari solusi permasalahan. Singkatnya, seorang pemimpin harus lebih banyak mempunyai kecerdasan intelegensia, emosional, sosial dan spiritual daripada orang lain.

Perjuangan seorang pemimpin dalam mengawal perjalanan kehidupan selalu dimulai dari kerja wacana. Tanpa kata, usaha kehilangan arah. Hal ini menyiratkan pesan penting, bahwa membaca, diteruskan menulis dan membuatkan obrolan yaitu kerja wacana; serta mencipta dan mencipta selalu memasyaratkan membaca. Kian ba­nyak mencipta, kian banyak membaca; kian banyak bacaan, kian kaya hasil penciptaan ( Latif,2005). Dengan demikian, jelas, bahwa tanpa membaca bagi seorang pemimpin bersiaplah bukan sekedar akan gagal dalam memimpin, melainkan bersiaplah digilas deru kemajuan peradaban. 

Melling dalam Rohman (2005) mengatakan, rakyat sanggup mengukur seberapa jauh pemikiran universalnya dan seberapa jauh seseorang pemimpin mempunyai kekuatan besar untuk menempa serta membentuk tabiat rakyatnya, sanggup diukur dari karya instrumental yang dihasilkan bukan semata-mata merupakan objek perhatian esetika, melainkan pula semua yang penuh makna dengan seperangkat ide inovatif, nilai fondamental dan instrumental; dan emosi kepribadian yang berkarakter. 

Suatu keprihatinan tampil kepermukaan, kini mulai langka menemukan kecerdasan pikiran sebagai figur utama kebijakan dan tindakan untuk memilih bobot pemimipin. Kemunduran terbesar ketika ini yaitu pada kemunduran dalam menghargai pikiran. Padahal, untuk menjadi pemimpin, Plato memperlihatkan syarat utama yaitu kualitas pemimpin yang disandarkan pada nafs atau kebijaksanaan insan dan tidak pada “jasad” manusia. Sebab, kebijaksanaan inilah yang nantinya menuntun pemimpin dalam empat kebajikan pokok sepanjang masa terus dibutuhkan rakyat, yakni mempunyai pengendalian diri, keberanian disertai wawasan, kearifan, dan keadilan.

Di sinilah letak pentingnya pemimpin inspiratif. Posisinya sebagai inspirator “hanya” memperlihatkan ilham rakyat sehingga bisa melaksanakan tugasnya kepemimpinannya sebagai juru penuntun membawa selamat dan produktif pada dahsyadnya kemajuan dan kompetesi masa depan. Selain itu, pemimpin inspiratif sangat dibutuhkan untuk membuatkan budaya berpikir positif di tengah menguatnya jelek sangka. Menurut budayawan Nirwan A Ar-suka (2004), menuntut masyarakat semoga membuatkan budaya berfikir positif harus diimbangi dengan pemimpin itu sendiri, dengan memperlihatkan teladan hidup yang baik kepada masyarakat sebagai sosok pemimpin. Pemimpin bertipe inspiratif dalam konteks masa depan sangat dibutuhkan, mengingat kini rakyat sudah jenuh dengan pemimpin yang lebih banyak agresi otoritarisme sebagai bungkus ketidakmampuan wawasan dan lemahnya kesadaran peradaban.

Bermula dari tanda, sejarah pemikiran dan peradaban tercipta. Lantas, tanda apakah yang diciptakan pada awal kala ini bagi seorang pemimpin? Ada tanda‑tanda bahwa pikiran yang terasah dengan membaca tak lagi menjadi ukuran kehormatan. Banyak orang yang dipercaya menjadi memimpin berhenti membaca dan mencipta, dan lebih banyak memerintah dengan topeng kekuasaan alasannya yaitu kepintaran kembali dihinakan oleh simbul gres (kroni dan kemewahan sebagai refleksi kerakusan pemimpin). 

DAFTAR PUSTAKA;
  • Ahmad, Kholilul Rohman. 2005. “Dicari, Pemimpin yang Siap Dipimpin”. Harian Kompas.
  • A., Kholid Harras dan Lilis Sulistianingsih, 1997. Materi Pokok Membaca 1. Jakarta: Universitas Terbuka.
  • Bunata, Murti. 2004. Buku, Mendongeng dan Minat Membaca. Jakarta: Pustaka Tangga.
  • Depdiknas. 2003. Pembinaan Minat Baca. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama.
  • Latif, Yudi. 2005. “Memuliakan Kembali Pikiran”. Harian Kompas. 
  • Nadeak, Wilson. 2005. “Membaca, Menulis dan Tradisi”. Harian Kompas.
  • Tarigan, Henry Guntur. 1990. Membaca sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa.
  • Tasmara, Toto. 2001. Kecerdasan Ruhaniah. Jakarta: Gema Insani.
  • The Liang Gie. 1995. Cara Belajar Yang Efesien. Yogyakarta: Pusat Kemajuan Studi

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel