Teori Dan Defenisi Korupsi

A. BAB II
POKOK BAHASAN
A. PEMBAHASAN
Ihwal terjadinya korupsi kerap kali beriringan dengan terjadinya kongkalikong dan nepotisme. Oleh alasannya ialah itu, memberantas korupsi juga harus memutus rantai kongkalikong dan nepotisme. Indonesia ketika ini merupakan negara yang terkenal korup di dunia, suka tidak suka, bahagia tidak bahagia kita harus mengakuinya, lantaran jika kita mau jujur sikap KKN memang sudah menyatu dalam kehidupan sehari-hari kita, dan bahkan telah membudaya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Umumnya yang menjadi permasalahan dalam pemberantasan KKN di indonesia ialah sebagai berikut :
  • Komitmen pemerintah yang kurang kuat dalam pemberantasan KKN
  • Penegakan aturan yang masih lemah
  • Sistem Penggajian yang tidak sesuai
  • Sistem Pendidikan yang terimbas KKN
1. Komitmen pemerintah yang kurang kuat dalam pemberantasan KKN
Bila kita mau belajar, bolehlah kita menengok kepada beberapa negara tetangga kita, mirip Singapura, Australia, dan Cina. Negara-negara tersebut merupakan pola sukses dari negara yang pemerintahnya bisa menghapuskan prilaku KKN dari bad governance menjadi good governance. Untuk tindakan berani dalam pemberantasan korupsi, kongkalikong dan nepotisme dibutuhkan suatu komitmen dan dukungan yang kuat dari pemerintah. Hal ini sangat dibutuhkan supaya tindak pemberantasan korupsi, kongkalikong dan nepotisme mempunyai legitimasi di mata masyarakat, serta menimbulkan keberanian bagi setiap individu atau instistusi yang concern dan intens terhadap pemberantasan KKN.

Indonesia semenjak zaman orde gres hingga orde reformasi, dari pemerintahan presiden soeharto hinga pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono telah mengalami pasang surut dalam pemberantasan KKN, beberapa institusi yang turut meramaikan kancah pemberantasan KKN di indonesia ialah sebagai berikut :

Terakhir pada masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarno Putri, pemberantasan KKN masih terlihat setengah hati, untuk itu diharapkan pada pemerintahan yang kini ini proses pemberantasan terhadap KKN di Indonesia memasuki babak gres dengan komitmen yang sungguh-sungguh.

2. Penegakan aturan yang masih lemah
Berbicara mengenai aturan di Indonesia, maka yang terjadi ialah suatu kemirisan. Betapa suatu proses aturan sanggup di manipulasi, yang benar sanggup menjadi salah, dan yang salah bisa menjadi yang paling benar. Satu hal yang diinginkan oleh para pencari keadilan dalam berhukum ialah supaya tegaknya supremasi aturan di indonesia. Kalau berbicara perihal korupsi, seringkali respon dari kebanyakan masyarakat hanya datar – datar saja, bahkan ada yang menganggap biasa, lain halnya kalau kita berbicara perihal seorang pencopet atau maling ayam yang tertangkap, maka hujatan dan sumpah serapah atau bahkan penghakiman secara massa terhadap pencopet dan maling sial tersebut akan berhamburan. 

Dalam pemberantasan KKN payung aturan merupakan legalitas formal dalam pelaksanaanya. Tanpa adanya suatu aturan yang mengatur pemberantasan tindakan KKN, maka perjuangan tersebut hanya sia-sia dan buang-buang waktu saja. Tidak hanya sebatas penerbitan peraturan atau kebijakan yang mengatur masalah pemberantasan KKN saja yang harus dilakukan, melainkan juga pelaksanaan serta pengawasan dari pelaksanaan peraturan tersebut, mulai dari aparatur hukum, pengadilan hingga Mahkamah Agung.


Seringkali kita mendengar istillah cecunguk peradilan, plesetan Hakim (Hampiri saya kalau ingin menang), dan jual beli hukum. Hal tersebut merupakan hal yang lumrah bagi sebagian orang, juga menyiratkan bahwa aturan kita bermasalah, lembaga penegak aturan kita bermasalah, bahkan sistem aturan kita pun bermasalah. Kesulitan dalam penegakkan aturan ditemui apabila para penegak hukum, mirip jaksa, hakim, polisi, tidak bertindak tegas. Dengan demikian tidak akan terjadi perubahan apa-apa. Terlebih lagi apabila para penegak aturan sanggup disuap, maka para pelaku korupsi malah bebas dan berkembang biak. Dalam situasi penegak aturan tidak tegas dan tidak berani berbuat apa-apa, dan policy pimpinan tidak tegas, serta sistem yang tidak berjalan dengan baik, maka gerakan pemberantasan KKN tidak akan berjalan.

3. Sistem Penggajian yang tidak sesuai
Menurut Undang-undang Nomor 43 tahun 1999 Gaji ialah sebagai balas jasa dan penghargaan atas prestasi kerja Pegawai Negeri yang bersangkutan. Pada umumnya sistem penggajian sanggup digolongkan dalam 2 (dua) sistem, yaitu sistem skala tunggal dan sistem skala ganda. Sistem skala tunggal ialah sistem penggajian yang memperlihatkan honor yang sama kepada pegawai yang berpangkat sama dengan tidak atau kurang memperhatikan sifat pekerjaan yang dilakukan dan beratnya tanggung jawab pekerjaannya. Sistem skala ganda ialah sistem penggajian yang menentukan besarnya honor bukan saja didasarkan pada pangkat, tetapi juga didasarkan pada sifat pekerjaan yang dilakukan, prestasi kerja yang dicapai, dan beratnya tanggung jawab pekerjaannya.

Selain kedua sistem penggajian tersebut dikenal juga sistem penggajian ketiga yang disebut sistem skala gabungan, yang merupakan perpaduan antara sistem skala tunggal dan sistem skala ganda. Dalam sistem skala gabungan, honor pokok ditentukan sama bagi Pegawai Negeri yang berpangkat sama, di samping itu diberikan tunjangan kepada Pegawai Negeri yang memikul tanggung jawab yang lebih berat, prestasi yang tinggi atau melaksanakan pekerjaan tertentu yang sifatnya memerlukan pemusatan perhatian dan pengerahan tenaga secara terus menerus.

Aparatur negara merupakan subjek pelaku dalam pelaksanaan pembangunan di negara ini. Merekalah yang mempunyai jalan masuk terhadap fasilitas yang disediakan oleh negara, mereka yang menentukan kegiatan dalam suatu unit organisasi. Dalam upaya pemberantasan KKN Tak sanggup dimungkiri, mereka ialah golongan yang harus di kedepankan, lantaran tindakan KKN kerap terjadi pada kelompok ini. 

Secara faktual, tingkat pendapatan pegawai negeri sipil di Indonesia jauh dari kebutuhan minimum yang layak dan manusiawi. Itu pun ditambah dengan minimnya alokasi anggaran untuk kegiatan operasional instansi pemerintah, khususnya pegawanegeri penegak hukum, yang menjadikan terkendalanya upaya penegakan hukum, termasuk tindak pidana korupsi. Setidaknya hal itulah yang selalu menjadi keluhan pegawanegeri kepolisian dan kejaksaan jika masyarakat menagih keseriusan mereka untuk menuntaskan masalah korupsi. Robert Klitgaard dalam bukunya “Membasmi Korupsi” menyatakan bahwa korupsi akan selalu terjadi jika hasil dari korupsi yang dilakukan jauh lebih tinggi dari insentif yang diterima sebagai pegawai birokrasi. Untuk itu suatu pemberian imbalan yang layak terhadap aparatur negara nerupakan suatu hal yang masuk akal dilakukan untuk memberantas KKN

4. Sistem Pendidikan yang tidak mengajarkan kotornya KKN
Mengutip goresan pena yang dimuat di Kompas Online pada tanggal 11 Maret 2003 bertajuk Memberantas Budaya Korupsi Lewat Pendidikan? yang disusun oleh Paul Suparno seorang dosen di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, dimana berdasarkan dia praktik korupsi di Indonesia sudah menjamur. Tidak ada bidang kehidupan yang tak terkontaminasi virus korupsi, baik yang kecil maupun besar. Bidang pendidikan pun sudah terkena efek korupsi. Bentuk-bentuk korupsi dalam bidang pendidikan antara lain ialah korupsi waktu para pengajar dalam mengajar, pengkatrolan nilai siswa atau mahasiswa, korupsi nilai, yayasan sekolah dan penyelenggara sekolah memungut dana pemanis untuk keperluan lain di luar sekolah. 

Bagaimana hendak memberantas KKN jika generasi-generasi penerus bangsa di masa depan telah terbiasa dengan pola hidup, pola pendidikan yang berbau KKN, oleh lantaran itu muncul inspirasi supaya budaya korupsi itu secara perlahan dihilangkan lewat pendidikan (Kompas, 8/2/2003). Walaupun nampaknya pendidikan tidak akan berdampak apa pun bagi mereka yang sudah telanjur korupsi dan sudah terbiasa menjalankan korupsi, namun akan bedampak bagi generasi penerus kelak.

Komitmen pemerintah yang kurang kuat dalam pemberantasan KKN
solusi yang berkaitan dengan komitmen pemerintah yang kurang kuat dalam pemberantasan KKN sebagai berikut :
  1. Pemerintah memperlihatkan dukungan moral dan materil kepada pegawanegeri penegak hukum
  2. Pemerintah menjadi leader dalam pemberantasan korupsi dan terjun pribadi dalam perjuangan pemberantasan KKN
  3. Pemerintah tidak pandang bulu dalam menuntaskan masalah KKN
  4. Pemerintah mengefektifkan lembaga-lembaga yang telah dibuat dalam perjuangan pemberantasan KKN, lantaran selama ini pemerintah dinilai setengah-setengah dalam misi memberantas KKN
Penegakan aturan yang masih lemah
Untuk menghilangkan gambaran rendahnya supremasi aturan di indonesia dalam pemberantasan KKN, maka perlu diambil langkah-langkah sebagai berikut :
  1. Pengembalian kembali gambaran aparatur hukum, mirip Peradilan, Kejaksaan dan Mahkamah Agung dengan mengambil tindakan-tindakan yang sesuai dengan aturan itu sendiri
  2. Pemecatan atau bahkan penangkapan terhadap aparatur aturan yang terbukti melaksanakan pelanggaran, serta terlibat dalam korupsi, kongkalikong dan nepotisme
  3. Mengangkat serta menugaskan orang-orang yang higienis KKN serta mempunyai perhatian lebih terhadap pemberantasan KKN
  4. Penyusunan peraturan perundangan atau kebijakan lain yang mengarah kepada pemberantasan KKN
  5. Aparat aturan harus bisa menjerat pelaku-pelaku tindakan KKN yang telah terindikasi terlibat.
  6. Aparat aturan harus bisa membuktikan dan menjebloskan pelaku KKN serta mengembalikan apa yang seharusnya menjadi hak negara.
  7. Menjatuhkan hukuman seberat-beratnya kepada pelaku KKN, dengan cita-cita hukuman yang berat membuat pelaku KKN berpikir dua kali untuk bertindak.
Sistem Penggajian yang tidak sesuai
Memberantas KKN melalui perubahan sistem penggajian sanggup ditempuh melalui :
  1. Penerbitan Undang-undang yang mengatur pemberian imbalan yang sesuai terhadap pegawai
  2. Penerapan Konsep Carrot and Stick atau Kecukupan dan Hukuman dalam penggajian aparatur pemerintah. Carrot ialah pendapatan higienis (net take home pay) untuk pegawai negeri, baik sipil maupun Tentara Nasional Indonesia dan POLRI yang terang mencukupi untuk hidup dengan standar yang sesuai dengan pendidikan, pengetahuan, tanggung jawab, kepemimpinan, pangkat dan martabatnya. Kalau perlu pendapatan ini dibuat demikian tingginya, sehingga tidak saja cukup untuk hidup layak, tetapi cukup untuk hidup dengan gaya yang “gagah”. Tidak berlebihan, tetapi tidak kalah dibandingkan dengan tingkat pendapatan orang yang sama dengan kwalifikasi pendidikan dan kemampuan serta kepemimpinan yang sama di sektor swasta. Stick atau arti harfiahnya pentung ialah hukuman yang dikenakan kalau kesemuanya ini sudah dipenuhi dan masih berani korupsi.
Sistem Pendidikan yang tidak mengajarkan kotornya KKN
Salah satu cara untuk memberantas KKN melalui sistem pendidikan antara lain sebagai berikut :
  1. Secara langsung, mungkin pendidikan tidak menyentuh esensi pemberantasan KKN, namun kalau dilihat proses kedepannya, maka sistem pendidikan merupakan jalur yang tepat untuk memberantas KKN
  2. Perancangan kurikulum pendidikan mulai tingkat SLTP, yang menanamkan kepada anak didik perihal hak dan kewajiban warga negara atas negaranya, juga menanamkan rasa mempunyai negara ini, dengan mengajarkan apa sebetulnya yang dimaksud dengan korupsi, akibatnya, dan rasa kebenciannya terhadap korupsi, 
  3. Pembersihan pranata pendidikan dari unsur-unsur KKN, baik dari kalangan akademisi maupun birokratnya. 
B. KERANGKA TEORITIS
Perilaku kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN) ialah sikap yang buruk. Perilaku KKN hidup di zaman rezim Orde Baru dan berlangsung cukup usang sehingga menjadikan krisis multidimensional di negeri Indonesia. Kolusi, korupsi dan nepotisme pada hakikatnya merugikan bangsa dan negara.
  • Kolusi
Kolusi artinya kerjasama atau perekongkolan secara belakang layar untuk maksud tidak terpuji. Konsekuensi dari perbuatan ini antara lain, sbb:
  • Dapat menimbulkan banyak fitnah
  • Dapat memasung tumbuhnya budaya demokrasi dan transparasi
  • Mengganggu hak-hak asasi manusia
  • Pelakunya dan pihak-pihak yang terkait patut mendapatkan hukuman hukuman yang berat.
  • Menimbulkan kerugian bagi semua pihak, yakni sanggup menimbulkan kepentingan umum, bangsa dan negara.
  • Dapat memerosotkan nama baik bangsa dan negara
  • Pemerintah banyak menanggung kerugian, yang menimbulkan krisis multidimensi.
  • Korupsi 
Korupsi artinya penyelewengan atau penggelapan harta milik negara atau perusahaan. Konsekuensi sikap korupsi antara lain, sbb:
  • Negara mengalami krisis moneter dan menjadi miskin
  • Perusahaan menjadi melarat dan pailit
  • Perekonomian negara menjadi terseok-seok
  • Cita-cita masyarakat yang adil dan makmur menjadi terhambat
  • Menimbulkan kekacauan, stabilitas ketertiban dan keamanan terganggu
  • Dapat menimbulkan kerawanan sosial.
  • Nepotisme
Nepotisme artinya tindakan menentukan kerabat sendiri, teman atau teman untuk menjabat pemerintahan; atau, kecendrungan untuk mengutamakan sanak saudara atau teman dalam menduduki jabatan dalam suatu perusahaan atau pemerintahan. Akibat negatif dari kecendrungan mengutamakan sanak saudara atau teman dalam menduduki jabatan dalam suatu perusahaan atau pemerintahan antara lain, sbb:
  • Menjadi lemahnya kegiatan demokrasi di lembaga itu
  • Jabatan strategis di lembaga itu selalu di isi oleh koleganya atau sanak keluarganya
  • Dapat merusak sendi-sendi demokrasi yang selama ini di bangun
Lembaga itu menjadi semi monarki, artinya jabatan dipegang secara turun menurun 

BAB III
PENUTUP
Dari makalah yang di paparkan diatas, maka sanggup di tarik kesimpulan yaitu bahwa Landasan yuridis pemberantasan korupsi dalam bingkai Undang-Undang Dasar 1945 seharusnya sanggup menjamin dan memelihara keseimbangan proteksi terhadap hak asasi tersangka dan terdakwa serta terpidana korupsi dan korban (individual dan kolektif) sesuai dengan bunyi ketentuan Pasal 28 D ayat (1) dan Pasal 28 J Undang-Undang Dasar 1945. Diperlukannya Kitab UU Hukum Pidana (lege generali) dan UU PK (lex specialis) serta UU administratif yang diperkuat dengan ketentuan pidana( lex specialis systematic) dalam menuntaskan masalah Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (PTPK) . Di samping itu dibutuhkan kesamaan persepsi penegak aturan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. 

Selama ini ternyata masih ada beberapa masalah aturan yang dihadapi penegak aturan dalam menangani kasus-kasus tindak pidana korupsi, khususnya menyangkut perbankan. Apalagi setelah ada putusan Mahkamah Konstitusi pada Juli 2006 atas pengajuan uji material beberapa pasal dalam UU No 31 tahun 1999 jo UU No 20 tahun 2001 perihal Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK) dan UU No 30 tahun 2002 perihal Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK). Salah satu amar putusannya menyatakan bahwa pengertian unsur 'melawan hukum' hanya sanggup ditafsirkan dalam pengertian formil, maka akan semakin menambah kesulitan bagi penegak aturan dalam membasmi korupsi di Indonesia.

KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan mengenai permasalahan dalam Pemberantasan KKN di Indonesia sanggup disimpulkan beberapa hal sebagai berikut : 
  • Korupsi, kongkalikong dan nepotisme yang terjadi Indonesia ketika ini sudah dalam posisi yang sangat parah dan begitu mengakar dalam setiap sendi kehidupan 
  • Praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme tidak hanya dilakukan antar Penyelenggara Negara melainkan juga antara Penyelenggara Negara dengan pihak lain yang sanggup merusak sendi2 kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara serta membahayakan eksistensi negara, sehingga dibutuhkan landasan aturan untuk pencegahannya 
  • Good Governance merupakan suatu keharusan yang harus ditempuh dalam pelaksanaan kehidupan berbangsa dan bernegara. 
  • Dalam pelaksanaan pemberantasan KKN di Indonesia ditemukan beberapa masalah yakni, Komitmen pemerintah yang kurang kuat dalam pemberantasan KKN, Penegakan aturan yang masih lemah, Sistem Penggajian yang tidak sesuai, Sistem Pendidikan yang terimbas KKN
SARAN
Berdasarkan uraian mengenai kesulitan pemberantasan KKN di Indonesia sanggup penulis kemukakan beberapa saran sebagai berikut :
  1. Kejahatan korupsi, kongkalikong dan nepotisme tidak akan pernah sanggup diberantas jika tidak ada kemauan dari seluruh pihak untuk memberantasnya
  2. Pemerintah harus memperlihatkan komitmen dalam pemberantasan KKN serta menjadi soko guru dalam perjuangan pemberantasan selanjutnya
  3. Perbaikan sistem nasional secara menyeluruh secara sedikit demi sedikit yang menekankan kepada prioritas penegakan hukum, perbaikan sistem penggajian aparatur pemerintah, serta sistem pendidikan.
  4. Mulailah dari ketika ini, mulai dari hal-hal kecil, mulai dari diri sendiri untuk memberantas KKN di Indonesia
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Istilah KKN (Kulosi Korupsi Nepotisme) mulai marak menjadi milik masyarakat kala berhembusnya angin perubahan di negeri ini yang berjulukan reformasi sekitar tahun 1998. Menurut kamus besar bahasa Indonesia, Korupsi merupakan penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahan dsb) untuk laba pribadi atau orang lain, atau penggunaan waktu dinas (bekerja) untuk urusan pribadi. Definisi korupsi berasal dari kata Latin, corruptio dari kata kerja corrumpere = busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok). 

Menurut Transparency International korupsi ialah sikap pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak masuk akal dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang erat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka. Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis ialah penyalahgunaan jabatan resmi untuk laba pribadi. Semua bentuk pemerintahan rentan korupsi dalam prakteknya. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan imbas dan dukungan untuk memberi dan mendapatkan pertolongan, hingga dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya. Titik ujung korupsi ialah kleptokrasi, yang arti harafiahnya pemerintahan oleh para pencuri, di mana akal-akalan bertindak jujur pun tidak ada sama sekali. Kolusi ialah kolaborasi rahasia untuk maksud tidak terpuji, persekongkolan antara pejabat dan pengusaha. Nepotisme ialah kecenderungan untuk mengutamakan (menguntungkan) sanak saudara sendiri, terutama dalam jabatan, pangkat di lingkungan pemerintah.

B. TUJUAN PENULISAN
Adapun tujuan penulisan makalah ini, yakni: 
  • Memenuhi kiprah yang di berikan oleh Guru mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan. 
  • Untuk memeberikan pengajaran dan pelajaran bagi para pembaca. 
  • Untuk menambah wawasan bagi para pembaca khususnya penulis. 
C. MANFAAT PENULISAN
Manfaat dari penulisan makalah ini yaitu untuk memperlihatkan pengajaran dan pelajaran untuk para pembaca, terutama bagi kalangan pelajar Sekolah Menengan Atas supaya sanggup mengaplikasikan dari materi yang dibahas pada makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA;
  • Undang-undang No. 28 tahun 1999 perihal Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan bebas KKN
  • Undang-undang No. 30 tahun 2002 perihal Komisi Pemberantas tindak Pidana Korupsi
  • Kwik Kian Gie, Pemberantasan Korupsi untuk Meraih Kemandirian, Kemakmuran, Kesejahteraan, dan Keadilan, tanpa penerbit tanpa tahun
  • Klitgard, Robert , 1998. Membasmi Korupsi, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia 
  • Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Tim Pemberantasan Korupsi antara cita-cita dan kekhawatiran online diakses 18 Agustus 2005 (http://www.pemantauperadilan.com)
  • https://sewakarya.blogspot.com//search?q=mewaspadai-bahaya-korupsi

B ll. JURNALISME DAN PEMBERANTASAN KORUPSI
Mukadimah
“Cap sebagai negara terkorup belum juga menjauh dari Indonesia. Padahal perang total terhadap korupsi di negeri ini terus saja dikumandangkan. Toh korupsi tetap saja menggurita. Persepsi perihal negara terkorup pun tidak kunjung terkikis dari benak para pelaku bisnis internasional. Hasil survei terbaru Political and Economic Risk Consultancy (PERC) awal pekan ini menegaskan hal itu hal itu. PERC menempatkan Indonesia sebagai negara terkorup dari 16 negara se-Asia Pasifik. Indonesia terkorup dengan skor 8,32 atau lebih jelek dibandingkan Thailand (7,63). Negara yang paling higienis dari korupsi ialah Singapura dengan skor 1,07. Fakta itu terang bakal menambah suram wajah investasi di negeri ini. Suram lantaran survei sebelumnya yang dilakukan Bank Dunia dan International Financial Corporation (IFC) memperlihatkan posisi Indonesia dalam hal kemudahan berinvestasi tergolong paling rendah di Asia Tenggara” (Editorial Harian Media Indonesia, 12 Maret 2010).

Petikan deskripsi wajah korupsi di Indonesia di atas penulis sarikan dari Tajuk Rencana atau Editorial Harian Media Indonesia, 12 Maret 2010 No.10617 Tahun XLI. Sekilas, benang merah yang sanggup dikonklusikan dari fakta data dan sikap opini Media Indonesia di atas ialah korupsi di Indonesia masih tergolong parah. Bagaimana tidak, sebagai negara besar berdaulat kita kalah prestasi positif (indeks korupsi dan investasi ekonomi) dengan negara sekecil Singapura. Sementara di satu sisi, gaung pemberantasan korupsi termasuk melalui media massa tak kalah gencarnya namun predikat Indonesia sebagai negara sarat korupsi belum beranjak juga menuju titik nadir. Kaprikornus apanya yang salah ?

Sejak reformasi bergulir di Indonesia tahun 1998, kran demokratisasi di segala lini terbuka lebar. Tak terkecuali nafas kehidupan media massa mendapatkan angin segar setelah mengalami pergumulan panjang pada kurun sebelumnya. Media massa melalui tenda besar jurnalisme mendapatkan momentumnya untuk mengeksplorasi dirinya termasuk menjadi salah satu penyambung pengecap rakyat dalam memperjuangkan tegaknya kebenaran. Melalui ketajaman penanya, media massa diharapkan menjadi anjing penjaga (watchdog) terhadap banyak sekali praksis sosial termasuk upaya pemberantasan korupsi. Sebagai pilar kelima demokrasi kontemporer, media massa diharapkan terus dan makin bertaring dalam pemberantasan tindak pidana korupsi di negeri ini.

Kebenaran sebagai Kewajiban Jurnalisme
Kewajiban pertama jurnalisme ialah kebenaran. Demikian tegas Bill Kovach dan Tom Rosentiel dalam bukunya yang terkenal “Sembilan Elemen Jurnalisme” (New York, 2001). Kebenaran di sini tidak sekadar tidak berat sebelah (fairness), keseimbangan (balance), akurasi (accurate) dan verifikasi (verification) dalam pemberitaan atas fakta informasi di lapangan. Kebenaran juga meliputi komitmen terhadap warga (citizen). Derajatnya lebih tinggi dari sekadar egoisme profesionalitas. Tersirat di dalamnya perjanjian dengan publik. Loyalitas pertama jurnalisme ialah kepada publik secara independensi. Bebas dari semua kewajiban kecuali kesetiaan terhadap kepentingan publik ialah vital (Freedom from all obligations except of fidelity to the public interest is vital).

Jika dikaitkan dengan upaya pemberantasan korupsi, tentu hal ini masuk rating tinggi bahkan tertinggi sebagai kewajiban jurnalisme. Bukan sekadar korupsi diharamkan dari sudut pandang regulasi agama dan negara, korupsi dengan koroninya, kongkalikong dan nepotisme (KKN) telah menjadi musuh bersama kemanusiaan. Telah terang akhir dari penyakit sosial ini yang merugikan bangunan sebagai umat Tuhan secara meluas. Dari perspektif religi, makna kewajiban di sini apabila ditinggalkan ialah berdosa lantaran bisa dan semakin menimbulkan kemadharatan luar biasa bagi masyarakat.

Kewajiban ini tidak hanya berlaku bagi jurnalis, melainkan juga jajaran elit media khususnya pemilik (owner). Korporasi media jangan menjadi parasit bagi pelaksanaan kewajiban ini hanya lantaran mengejar kepentingannya (interest) terutama terkait aspek bisnis dengan mengabaikan kewajiban moral pada publik. Para praktisi jurnalisme terutama jurnalis harus diperbolehkan mengikuti hati nurani mereka. Jurnalis punya tanggung jawab pada nuraninya. Setiap jurnalis – dari redaksi hingga dewan redaksi – harus punya rasa etika dan tanggung jawab personal sebagai sebuah panduan moral. Itulah pentingnya keterbukaan redaksi.

Dalam kaitan dengan pemberantasan korupsi, kewajiban jurnalisme inilah yang oleh Lasswell dan Wright (dalam McQuail, 1987) disebut fungsi pengawasan sosial (surveillance), yakni upaya distribusi informasi dan interpretasi obyektif perihal banyak sekali insiden yang terjadi di dalam dan di luar lingkungan sosial dengan tujuan kontrol sosial supaya tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Dalam konteks pemberantasan korupsi, media berkewajiban melaksanakan pemantauan sosial supaya tindak korupsi sanggup dicegah jika belum terjadi atau dibongkar jika telah/sedang terjadi. 

Pemantauan sosial ini dilakukan melalui ketepatan dalam implementasi acara setting dan acara framing media. Agenda setting ialah pengagendaan isu tertentu oleh media dari sekian isu yang beredar di publik. Agenda framing ialah pemberian bobot tertentu atas acara isu yang diangkat media sehingga memperlihatkan warna kuat atas acara isu-isu terkait. Agenda setting dan acara framing sanggup dilakukan melalui pewarnaan pada dua kelompok utama produk jurnalistik yaitu kelompok gosip (news group) dan kelompok opini (opinion group). 

Kelompok gosip sanggup dimanifestasikan melalui ragam penulisan gosip yaitu gosip pribadi (straight news), gosip ringan (soft news), gosip kisah (feature news) dan gosip laporan (report news). Berita laporan terdiri atas dua jenis yaitu gosip mendalam (indepth news) dan gosip pemeriksaan (investigation news). Sementara kelompok opini sanggup divisualisasikan dalam beberapa jenisnya mirip editorial/tajuk rencana, pojok, kolom, gagasan, surat pembaca, esai, karikatural dan resensi. Dua kelompok produk jurnalistik sanggup dioptimalkan insan media dalam ikut serta berpartisipasi dalam acara bersama ‘ganyang korupsi’ lantaran imbas pada pembentukan opini publik.

Jurnalisme Investigatif
Diantara metode yang dinilai efektif untuk mengakselerasi pemberantasan korupsi termasuk di Indonesia ialah jurnalisme investigatif. Sejak tahun 2000-an istilah jurnalisme pemeriksaan sebetulnya mulai terkenal di Indonesia. Banyak media atau wartawan menyatakan diri melaksanakan investigasi. Namun, istilah tersebut telah banyak dipakai secara salah kaprah untuk hal-hal yang sifatnya privat dan mestinya tidak perlu masuk ke ruang publik. Tayangan infotainment di televisi sebagai salah satu pola penempatan istilah jurnalisme pemeriksaan yang tidak tepat yang hanya cenderung mengendus kehidupan para selebriti dimana tidak memperlihatkan dampak bagi perbaikan kehidupan publik.

Akibat dari salah kaprah tersebut, istilah pemeriksaan dalam dunia jurnalisme mengalami degradasi nilai. Padahal, pada tahun 1970-an istilah tersebut mempunyai makna yang sangat terhormat. Saat itu, dua wartawan muda Washington Post, Bob Woodward & Carl Bernstein, berkat laporan investigasinya berhasil mengungkap skandal Watergate yang berakhir dengan mundurnya presiden Amerika Serikat (AS) ketika itu, Richard Nixon. Jurnalisme pemeriksaan tidak sekadar melaksanakan peliputan dan membuat berita, namun lebih dari itu juga melaksanakan analisis mendalam, membuat terobosan fakta progresif secara profesional atas masalah tertentu demi katarsis (pencerahan) publik. 

Jurnalisme pemeriksaan ialah metode dan produk tertinggi dari karya praksis jurnalisme sebagai tanggung jawab moral demi tegaknya kebenaran dan keadilan. Jurnalisme pemeriksaan bukan hanya memberikan dugaan adanya masalah pelanggaran, namun juga tindakan memproduksi pembuktian konklusif dan melaporkan secara terang dan simpel. Meminjam istilah Melvin Mencer dalam New Reporting and Writing (1997), ini ialah jenis pekerjaan berbahaya (dangerous project). Para wartawannya berhadapan dengan kesengajaan pihak-pihak yang tidak mau urusannya diselidiki, dinilai dan dilaporkan kepada masyarakat. Keberhati-hatian sangat dibutuhkan untuk keselamatan jiwa.

Jurnalisme investigatif bukan jurnalisme omong-omong (talking news) sebagaimana yang terjadi pada sebagian media massa di Indonesia. News paper kemudian berubah rupa menjadi view paper, lantaran lebih banyak menyajikan persepsi, ketimbang memetakan realitas sosial. Seterusnya, fakta yang diberitakan ialah fakta yang telah terkonstruksikan, dan bukan fakta suci sebagaimana sudah terjadi (Kleden, 2008). Akibatnya, pemberantasan korupsi di Indonesia belum bisa berjalan sesuai cita-cita bersama. Memang pemberantasan korupsi ialah kerja bersama terutama oleh pegawanegeri penegak hukum, namun kita harus berharap kepada siapa kalau tidak kepada pers ketika hasil pemberantasan korupsi oleh negara masih jauh dari panggang. Media sebagai institusi publik terpenting yang paling maju di Indonesia – sekurang-kurangnya berdasarkan peneliti Anneli Strom Leijel dalam The New Press Law in Indonesia (2002) – keterlaluan sekali kalau tak mengambil belahan di garis depan dalam perang total pemberantasan korupsi ini.

Tujuan jurnalisme investigatif ialah memberi tahu kepada masyarakat adanya pihak-pihak yang berbohong dan menutup-nutupi kebenaran. Masyarakat diharapkan waspada terhadap pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan banyak sekali pihak setelah mendapatkan bukti-bukti yang dilaporkan. Bukti-bukti itu ditemukan melalui pencarian dari banyak sekali sumber dan tipe informasi, penelaahan terhadap dokumen-dokumen signifikan dan pemahaman terhadap data-data statistik (Santana K, 2003 : 100). Motivasi moral ialah pendorongnya, the desire to correct an injustice, to right a wrong, and to persuade the public to change the situation by to describe, to explain and to persuade.

Praksis jurnalisme investigatif sangat cocok diterapkan di Indonesia termasuk dalam upaya pemberantasan korupsi. Laporan-laporan perihal dugaan korupsi tidak hanya dipublikasikan kepada publik namun ditelusuri lebih mendalam berdasar fakta-fakta akurat yang digali di lapangan. Penggalian fakta informasi sanggup melalui dua sumber utama yaitu menginvestigasi dokumen-dokumen publik (the paper trails) dan invetsigasi terhadap subyek-subyek individu yang terkait dengan permasalahan (people trails). Karena termasuk kerja intelektual, jurnalisme pemeriksaan memerlukan tim jurnalis tangguh, tajam analisis, pantang menyerah, konsisten dan tidak tergesa-gesa untuk memperoleh kebenaran demi publik atas kabut asap masalah yang sedang diinvestigasi.

Selain itu, dibutuhkan konsistensi penegakan aturan jaminan proteksi dari negara atas kerja para pelaku jurnalisme investigatif. Tanpa ada payung aturan yang terang dan tegas, kerja-kerja jurnalisme investigatif bisa kandas di tengah jalan lantaran akan selalu berhadapan dengan pihak-pihak yang berlawanan kepentingan. Akhirnya upaya penegakan aturan hanya mirip anjing menggonggong di siang hari. Selain itu, tidak ada salahnya perlunya penghargaan (reward) kepada para pekerja jurnalisme investigatif atas kerja keras mereka. Di tingkat internasional, banyak lembaga mirip The Kurt Schork Awards in International Journalism, Euromed Heritage Journalistic Award, IWMF Courage in Journalism Awards, serta puluhan lembaga sejenis lainnya, yang secara reguler setiap tahun menyediakan dana untuk memperlihatkan penghargaan bagi para wartawan yang menjalankan profesinya dengan penuh pengabdian dan integritas. Hanya saja, tradisi semacam itu belum melembaga di Indonesia. Yang ada selama ini gres berupa sayembara tertentu bagi para wartawan untuk menulis tema-tema tertentu (yang biasanya diubahsuaikan dengan kepentingan sponsor pemberi hadiah).

Media Literacy
Upaya secara makro yang bisa disumbangkan jurnalisme kepada publik ialah menjadi belahan pencerdasan masyarakat atau lazim diistilahkan media literacy (pendidikan cerdas media). Media literacy ialah kemampuan untuk memilah, mengakses, dan menganalisis isi media sehingga khalayak diharapkan hanya memanfaatkan isi media sesuai dengan kepentingannya. Media literacy penting lantaran faktanya tidak semua isi media massa bermanfaat bagi khalayak. Publik dicoba digiring supaya bisa melaksanakan selektivitas atas isi media yang diaksesnya yang berkhasiat bagi dirinya maupun orang lain secara luas. Maka di sini sangat pentingnya politik acara setting dan acara framing media untuk melaksanakan penggiringan opini ini melalui contents campaign of corruption eradication (isi media perihal kampanye pemberantasan korupsi). 

Art Silverblatt dalam Media Literacy : Keys to Interpreting Media Message (dalam Ibrahim dan Romli, 2007) mengidentifikasi paling tidak terdapat lima (5) unsur mendasar dalam media literacy, yaitu :
  1. Kesadaran terhadap dampak media.
  2. Pemahaman terhadap proses komunikasi massa.
  3. Strategi menganalisis dan mendiskusikan pesan-pesan media.
  4. Pemahaman terhadap isi media sebagai teks yang menyajikan pandangan bagi kehidupan dan budaya masyarakat.
  5. Kesanggupan untuk menikmati, memahami dan mengapresiasi isi media.
Media literacy tidak hanya diimprovisasi melalui laporan-laporan pemberitaan hasil fungsi pengawasan (surveillance) media, namun juga melalui fungsi relasi (correlation) dan fungsi sosialisasi (sosialization). Fungsi relasi pada upaya pemberian interpretasi dan informasi yang menghubungkan satu kelompok sosial dengan kelompok sosial lainnya atau satu pandangan dengan pandangan lainnya dengan tujuan mencapai konsensus. Fungsi sosialisasi merujuk pada upaya pewarisan nilai-nilai dari satu generasi ke generasi lain atau satu kelompok ke kelompok lainnya (transmission of the social heritage) (McQuail dalam Sendjaja, 2007).

Dalam masalah pemberantasan korupsi, fungsi relasi sanggup dimaknai media sebagai piranti jurnalisme menjadi jembatan penghubung antarkomponen masyarakat untuk melaksanakan pemberantasan korupsi secara massif dan sinergis. Melalui kekuatan penanya, media bisa mengarahkan terwujudnya konsensus nasional secara praksis di semua lini kehidupan masyarakat.

Sementara fungsi sosiaslisasi sanggup dimaknai media memberikan informasi, nilai dan norma antargenerasi yang dalam konteks ini ialah budaya antikorupsi. Fungsi ini lebih menekankan pendekatan budaya (cultural approach). Dalam konteks pemberantasan korupsi, fungsi ini perlu didorong lebih intensif dan massif lantaran melibatkan masyarakat secara makro. Pemberantasan korupsi di Indonesia tidak bisa hanya mengandalkan pendekatan struktural (structural approach) namun juga dengan pendekatan kultural. Jika di masyarakat sudah tertanam jiwa-jiwa antikorupsi (termasuk kongkalikong dan nepotisme), maka dengan sendirinya fakta korupsi di negeri ini akan sirna meredup. 

Media hendaknya menjadi lembaga publik bagi masyarakat dalam menyambung aspirasinya. Media harus bekerja sama dengan banyak sekali pihak yang peduli terhadap upaya-upaya pemberantasan korupsi baik struktural maupu suprastruktural; baik struktural maupun kultural. Dengan demikian media menjalankan kewajiban moralnya bahwa loyalitasnya ialah kepada masyarakat. Hal ini selaras dengan sistem tanggung jawab sosial (social responbility system) yang dianut pers di Indonesia. Bahwa media harus mengemban kiprah dan tanggung jawab sosial dan bila tidak suatu pihak harus memaksanya (Severin dan Tankard, 2005). Ini sanggup dimaknai keterlibatan kalangan media dalam pemberantasan korupsi sudah merupakan tanggung jawab sosialnya kepada masyarakat.

Penutup
Jurnalisme ialah praksis (teori dan praktik) perihal media massa. Jurnalisme semakin mengukuhkan jati dirinya sebagai salah satu pendulum demokrasi kontemporer. Media massa sebagai piranti jurnalisme menempati posisi sangat strategis di masyarakat. Bukan hanya sebagai anjing penjaga (watchdog) atau pengawas sosial, namun juga sebagai media relasi dan sosialisasi sosial. Media juga dianggap mempunyai imbas kuat hingga batas tertentu terhadap pembentukan opini publik. Dengan kekuatan modal, ketajaman pena, profesionalitas personel dan jaringan luas, maka tak heran jika media massa diharapkan sebagai salah satu motor pelopor pemberantasan korupsi di Indonesia.

Keterlibatan media dalam upaya pemberantasan korupsi bukan sekadar tuntutan profesionalitas kerja. Lebih dari itu ialah suatu kewajiban moral kepada masyarakat. Loyalitas pertama jurnalisme ialah kepada masyarakat. Bahkan keterlibatan jurnalisme pada pemberantasan korupsi ialah wujud penghambaan kepada Tuhan lantaran didalamnya ada ikhtiar menegakkan kebenaran dan menggulung kebatilan. Pendek kata, merupakan dosa apabila jurnalisme dengan segala penggeraknya berdiam diri atas penyakit kronis ini.

DAFTAR PUSTAKA;
  • Santana K, Septiawan. 2004. Jurnalisme Investigasi. Cetakan Kedua. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
  • Tankard, James W, dan Severin, Werner J. 2005. Teori Komunikasi : Sejarah, Metode, dan Terapan di dalam Media Massa. Edisi Kelima. Jakarta : Prenada Media.
  • Kovach, Bill dan Rosenstiel, Tom. 2001. Sembilan Elemen Jurnalisme : Apa yang Seharusnya diketahui Wartawan dan diharapkan Publik. Edisi Ketiga. Jakarta : Yayasan Pantau bekerja sama dengan Institut Studi Arus Informasi (ISAI) dan Kedutaan Besar Amerika Serikat. 
  • Ibrahim, Idi dan Romli, Asep SM. 2007. Amerika, Terorisme dan Islamophobia : Fakta dan Imajinasi Jaringan Kaum Radikal. Bandung : Penerbit Nuansa.
  • Silverblatt, A. 1995. Media Literacy : Keys to Interpreting Media Messages. Wesport dan London : Praeger.
  • Sendjaja, Sasa. D. (2003). Prinsip Dasar Penyajian Informasi Media Massa. Jakarta : Program Pascasarjana Universitas Indonesia.
*) Sri Herwindya Baskara Wijaya, S.Sos., M.Si. – Staf pengajar di Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo. Pernah mengajar di beberapa perguruan tinggi di Semarang, Salatiga, Boyolali dan Solo. Mantan jurnalis SOLOPOS (2004-2008) dan Warta Universitas Semarang (USM) (2009). Mahasiswa Teladan UNS 2003, alumnus Pelayaran Kebangsaan (PK) III (2003), trainer jurnalistik dan penulis opini di media massa. Alumnus S1 dan S2 Ilmu Komunikasi UNS Solo berpredikat Cumlaude. Hp.081548649454. alamat email dan facebook : r_windya@yahoo.com.

Kata Pengantar
Assalamu Alaikum Warohmatullahi Wabarokatuhu,
Alhamdulillah, Dengan segala puji dan rahmat Allah SWT, maka kami sanggup menyusun dan menuntaskan goresan pena ini.
Dalam rangka memenuhi kiprah mata kuliah aturan Tindak Pidana Korupsi, Semester VI Fakultas Hukum – Universitas Islam Asyafiiyah, maka disusunlah permasalahan yang akan dibahas dalam goresan pena ini sebagaimana yang ditugaskan oleh Dosen, ialah sebagai berikut :
  1. Celah-celah aturan apa sajakah yang mengakibatkan pemberan¬tasan korupsi di Indonesia belum maksimal?
  2. Langkah-langkah apa sajakah yang sanggup dilakukan untuk menekan tindak pidana korupsi di Indonesia?
Tulisan ini lebih kepada kompilasi dari beberapa hasil penelitian dan pendapat-pendapat para jago yang kami susun secara sitematis, supaya memudahkan pengertian dan pemahaman bagi para pembacanya, sehingga diharapkan akan lebih bermanfaat.

Demikianlah kami berharap dibukakannya pintu maaf yang sebesar-besarnya atas segala kekurangan ataupun kelebihannya serta hal lainnya yang berkaitan dengan goresan pena kami.
Jakarta, 25 September 2011
Penyusun,

Rully Sofyan
Nim: 12.2008.0061

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tindakan korupsi telah usang dianggap sebagai suatu tindakan yang sangat merugikan perekonomian suatu negara. Istilah korupsi berasal dari bahasa Latin, corruptio atau corruptus yang berasal dari kata corrumpere (Webster Student Dictionary : 1960). Arti harfiah dari kata tersebut ialah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, sanggup disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah.(The Lexicon Webster Dictionary 1978). Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia menyatakan ”Korupsi ialah perbuatan yang jelek mirip penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya”.

Pengertian tindak pidana korupsi berdasarkan UU Nomor 31 Tahun 1999 dan UU Nomor 20 Tahun 2001, itu sanggup dibedakan dari 2 segi, yaitu korupsi aktif dan korupsi pasif. Adapun yang dimaksud dengan korupsi aktif ialah : (1) secara melawan aturan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang sanggup merugikan keuangan atau perekonomian Negara, (2) dengan tujuan, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana lantaran jabatn atau kedudukannya, (3) member hadiah atau janji dengan mengingat kekuasaan atau wewenang pada jabatan atau kedudukannya, (4) percobaan, pembantuan atau permufakatan jahat, (5) memberi atau menjanjikan sesuatu dengan maksud supaya berbuat atau tidak berbuat, (6) member sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya, (7) member janji, (8) sengaja membiarkan perbuatan curang, (9) sengaja menggelapkan uang atau surat berharga. Sedangkan korupsi pasif, antara lain : (a) mendapatkan pemberian atau janji lantaran berbuat atau tidak berbuat, (b) mendapatkan penyerahan atau keperluan dengan membiarkan perbuatan curang, (c) mendapatkan pemberian hadiah atau janji, (d) adanya hadiah atau janji diberikan untuk menggerakkan supaya melaksanakan sesuatu, (e) mendapatkan gratifikasi yang diberikan bekerjasama dengan jabatannya. Selain itu juga, dalam prakteknya jenis korupsi itu sendiri sanggup dikelompokkan kedalam 2 bentuk, yaitu : (1) Administrative Corruption, dimana segala sesuatu yang dijalankan ialah sesuai dengan huum/peraturan yang berlaku. Akan tetapi individu-individu tertentu memperkaya diri sendirinya (contoh; penerimaan CPNS) dan (2) Against the Rule Corruption, artinya korupsi yang dilakukan ialah sepenuhnya bertentangan dengan aturan (seperti; penyuapan, penyalahgunaan jabatan, pemberian dan lain-lain).

Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Un¬dang Nomor 20 Tahun 2001 perihal Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, ada 30 jenis tindak pidana korupsi. Ke-30 jenis tindak pidana korupsi tersebut pada dasarnya sanggup dikelompok¬kan menjadi tujuh, yaitu: i) kerugian keuangan Negara; ii) suap-menyuap; iii) penggelapan dalam jabatan; iv) pemerasan; v) per¬buatan curang; vi) benturan kepentingan dalam pengadaan; dan vii) gratifikasi.

B. Syariat Islam
Sangat jelas, perbuatan korupsi tidak boleh oleh syari’at, baik dalam Al-Qur`an maupun hadits shahih, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
Di dalam Al-Qur’an, di antaranya ialah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

”Tidak mungkin seorang nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, Maka pada hari final zaman ia akan tiba membawa apa yang dikhianatkannya itu, Kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan perihal apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya”. [Ali Imran: 161].

Dalam ayat tersebut Allah Subhanahu wa Ta'ala mengeluarkan pernyataan bahwa, semua Nabi Allah terbebas dari sifat khianat, di antaranya dalam urusan rampasan perang.

Ibnu Katsir menambahkan, pernyataan dalam ayat tersebut merupakan pensucian diri Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dari segala bentuk khianat dalam penunaian amanah, pembagian rampasan perang, maupun dalam urusan lainnya [7]. Hal itu, lantaran berkhianat dalam urusan apapun merupakan perbuatan dosa besar. Semua nabi Allah ma’shum (terjaga) dari perbuatan mirip itu.

Mengenai besarnya dosa perbuatan ini, sanggup kita pahami dari ancaman yang terdapat dalam ayat di atas, yaitu ketika Allah menyampaikan : “Barangsiapa yang berkhianat (dalam urusan rampasan perang itu), maka pada hari Kiamat ia akan tiba membawa apa yang dikhianatkannya itu …”

Ibnu Katsir mengatakan," Di dalamnya terdapat ancaman yang amat keras.” Selain itu, perbuatan korupsi (ghulul) ini termasuk dalam kategori memakan harta insan dengan cara batil yang diharamkan Allah Subhanahu wa Ta'ala, sebagaimana dalam firmanNya :
وَلا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقاً مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْأِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
"Dan janganlah sebagian kau memakan harta sebagian yang lain di antara kau dengan jalan yang batil, dan janganlah kau membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kau sanggup memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kau mengetahui" [al Baqarah/2:188]

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kau saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil…" [an Nisaa`/4 : 29].
Tidaklah Allah melarang sesuatu, melainkan di balik itu terkandung keburukan dan mudharat (bahaya) bagi pelakunya. Begitu pula dengan perbuatan korupsi (ghulul), tidak luput dari keburukan dan mudharat tersebut. Diantaranya :
1. Pelaku ghulul (korupsi) akan dibelenggu, atau ia akan membawa hasil korupsinya pada hari Kiamat, sebagaimana ditunjukkan dalam ayat ke-161 surat Ali Imran dan hadits ‘Adiy bin ‘Amirah Radhiyallahu 'anhu di atas. Dan dalam hadits Abu Humaid as Sa’idi Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

((... وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا يَأْخُذُ أَحَدٌ مِنْهُ شَيْئًا إِلَّا جَاءَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَحْمِلُهُ عَلَى رَقَبَتِهِ إِنْ كَانَ بَعِيرًا لَهُ رُغَاءٌ أَوْ بَقَرَةً لَهَا خُوَارٌ أَوْ شَاةً تَيْعَرُ ...))
"Demi (Allah), yang jiwaku berada di tanganNya. Tidaklah seseorang mengambil sesuatu daripadanya (harta zakat), melainkan dia akan tiba pada hari Kiamat membawanya di lehernya. Jjika (yang dia ambil) seekor unta, maka (unta itu) bersuara. Jika (yang dia ambil) seekor sapi, maka (sapi itu pun) bersuara. Atau jika (yang dia ambil) seekor kambing, maka (kambing itu pun) bersuara …”

2. Perbuatan korupsi menjadi penyebab kehinaan dan siksa api neraka pada hari Kiamat.
Dalam hadits Ubadah bin ash Shamit Radhiyallahu 'anhu, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
((... فَإِنَّ الْغُلُولَ عَارٌ عَلَى أَهْلِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَشَنَارٌ وَنَارٌ))

"…(karena) sesungguhnya ghulul (korupsi) itu ialah kehinaan, malu dan api neraka bagi pelakunya".

3. Orang yang mati dalam keadaan membawa harta ghulul (korupsi), ia tidak menerima jaminan atau terhalang masuk surga. Hal itu sanggup dipahami dari sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam

((مَنْ فَارَقَ الرُّوحُ الْجَسَدَ وَهُوَ بَرِيءٌ مِنْ ثَلَاثٍ دَخَلَ الْجَنَّةَ مِنْ الْكِبْرِ وَالْغُلُولِ وَالدَّيْنِ))

"Barangsiapa berpisah ruh dari jasadnya (mati) dalam keadaan terbebas dari tiga perkara, maka ia (dijamin) masuk surga. Yaitu kesombongan, ghulul (korupsi) dan hutang".

4. Allah tidak mendapatkan shadaqah seseorang dari harta ghulul (korupsi), sebagaimana dalam sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :

((لَا تُقْبَلُ صَلَاةٌ بِغَيْرِ طُهُورٍ وَلَا صَدَقَةٌ مِنْ غُلُولٍ))

"Shalat tidak akan diterima tanpa bersuci, dan shadaqah tidak diterima dari harta ghulul (korupsi)".

5. Harta hasil korupsi ialah haram, sehingga ia menjadi salah satu penyebab yang sanggup menghalangi terkabulnya do’a, sebagaimana dipahami dari sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :

((أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لَا يَقْبَلُ إِلَّا طَيِّبًا وَإِنَّ اللَّهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِينَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِينَ فَقَالَ يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنْ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ وَقَالَ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ يَا رَبِّ يَا رَبِّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِيَ بِالْحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ))

"Wahai manusia, sesungguhnya Allah itu baik, tidak mendapatkan kecuali yang baik. Dan sesungguhnya Allah memerintahkan orang-orang yang beriman dengan apa yang Allah perintahkan kepada para rasul. Allah berfirman,"Wahai para rasul, makanlah dari yang baik-baik dan kerjakanlah amal shalih. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan". Dia (Allah) juga berfirman: "Wahai orang-orang yang beriman, makanlah yang baik-baik dari yang Kami rizkikan kepada kamu," kemudian dia (Rasulullah) Shallallahu 'alaihi wa sallam menceritakan seseorang yang usang bersafar, berpakaian kusut dan berdebu. Dia menengadahkan tangannya ke langit (seraya berdo’a): "Ya Rabb…, ya Rabb…," tetapi makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram dan dirinya dipenuhi dengan sesuatu yang haram. Maka, bagaimana do’anya akan dikabulkan?".

C. Meningkatnya Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia
Di Indonesia angka korupsi memperlihatkan grafik peningkatan dari tahun ke tahun, sebagai sebuah 'prestasi' yg patut didisesalkan. Bila uang negara yang hilang pada tahun 2004 mencapai Rp 4,3 triliun, dan naik menjadi Rp 5,3 triliun pada tahun 2005, maka pada tahun 2006 kemudian melonjak drastis hingga mencapai Rp 14,4 triliun (Media Indonesia/24/1). Bahkan ketika ini belum lagi terang masalah BLBI, Nazarudin Cs dan Bank Century, yang merugikan negara sekitar Rp. 6,5 triliun.

Tidaklah berlebihan bila dikatakan bahwa korupsi di Indonesia bukan merupakan kejahatan biasa (ordinary crimes) melainkan sudah merupakan kejahatan yang sangat luar biasa (extra – ordinary crimes), maka upaya pemberantasannya tidak lagi sanggup dilakukan secara biasa, tetapi harus dilakukan dengan cara-cara yang luar biasa pula. Akan tetapi tercatat dalam sejarah aturan Indonesia, inilah pertama kalinya Presiden R.I (SBY) memperlihatkan pengampunan hukuman kepada seorang terpidana korupsi (Syaukani)

Strategi penghukuman yang keras sangat diperlukan, lantaran korupsi bukan merupakan penyimpangan sikap (deviant behavior). Korupsi ialah tindakan yang direncanakan penuh perhitungan untung rugi (benefit-cost ratio) oleh pelanggar aturan yang justru mempunyai status terhormat. Mereka tidak saja pintar menghindari jeratan aturan dengan jalan memanfaatkan kelemahan-kelemahan atau celah-celah yang ada dalam sistem aturan itu sendiri bahkan mereka memang orang-orang yang bisa membuat aturan itu menjadi lemah. Sehingga orang lain hanya bisa mencicipi aroma korupsinya saja, namun tidak berdaya bila harus membuktikan hal tersebut.

Pada tahun 2004 hasil survey yang dilakukan oleh Political & Economic Risk Consultancy Ltd (PERC), sebuah lembaga survey yang cukup prestisius, memperlihatkan bahwa Indonesia berada pada posisi negara terkorup di Asia. Bahkan, Indonesia masih dinilai tetap lebih jelek dari India, Vietnam, Filipina, dan Thailand. Sejalan dengan hasil survey tersebut, Transparancy International (TI) menempatkan Indonesia pada urutan Negara paling korup ke-135 dari 145 negara yang disurvey atau berada pada urutan ke-10 dari bawah dengan nilai Corruption Perception Index (CPI) 2.0.

Kalau sebelumnya korupsi hanya terjadi secara terpusat dalam struktur eksekutif, setelah reformasi, terutama di kurun otonomi daerah, praktik korupsi justru menyebar ke lembaga legislatif dan ke tempat - daerah.

Korupsi Daerah Versi KPK
Modus DPRD
Modus Pejabat Daerah
  • Pengadaan Barang dana Jasa Pemerintah dengan mark up harga dan merubah spesifikasi barang
  • Penggunaan sisa dana tanpa dipertanggungjawabkan & tanpa prosedur
  • Penyimpangan mekanisme pengajuan & pencairan dana kas daerah
  • Manipulasi sisa APBD
  • Manipulasi dalam proses pengadaan/perijinan/konsensi hutan
  • Gratifikasi dari BPD penampung dana daerah
  • Bantuan Sosial tidak sesuai peruntukannya
  • Menggunakan APBD untuk keperluan Keluarganya dan koleganya
  • Menerbitkan Peraturan Daerah untuk upah pungut pajak;
  • Ruislag/tukar guling tanah dengan mark down harga
  • Penerimaan Fee Bank
Korupsi Daerah Versi BPK
  • Penggelembungan dana program
  • Program fiktif
  • Investasi dana tempat ke lembaga keuangan yang tak pruden
Dalam relasi itu, korupsi tidak hanya mengandung pengertian penyalahgunaan kekuasaan atau pun kewenangan yang menjadikan kerugian keuangan dan asset negara, tetapi juga setiap kebijakan dan tindakan yang menimbulkan depresiasi nilai publik, baik tidak sengaja atau pun terpaksa. Fenomena korupsi yang terjadi di Indonesia sudah menjadi penyakit yang kronis dan sulit disembuhkan; korupsi telah menjadi sesuatu yang sistemik; sudah menjadi suatu sistem yang menyatu dengan penyelenggaraan pemerintahan negara dan bahkan dikatakan bahwa pemerintahan justru akan hancur apabila korupsi diberantas.

Struktur pemerintahan yang dibangun dengan latar belakang korupsi akan menjadi struktur yang korup dan akan hancur manakala korupsi tersebut dihilangkan. Dengan fenomena demikian, sanggup dikatakan bahwa korupsi di Indonesia telah menjadi suatu budaya, sehingga tindakan tersebut, sudah merupakan suatu tindakan yang dianggap masuk akal oleh para pelakunya.

BAB II
UPAYA PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA
Upaya pemberantasan korupsi di Indonesia sudah dimulai semenjak tahun 1950-an. Kejaksaan Agung dibawah pimpinan Jaksa Agung Soeprapto sudah melaksanakan banyak sekali tindakan pemberantasan korupsi yang berakhir dengan penuntutan terhadap beberapa orang menteri.

Selanjutnya, lantaran kerasnya tuntutan masyarakat dalam memberantas korupsi, kemudian timbulah gerakan pemberantasan korupsi yang dipimpin Kolonel Zulkifli Lubis dan Kolonel Kawilarang, dan pada ketika itu beberapa tokoh koruptor berhasil ditangkap dan diadili mirip Lie Hok Thai dan Piet De Quelyu. Di kurun tahun 1960-an, berdasarkan aturan darurat muncul kembali Tim Pemberantasan Korupsi yang dipimpin Jenderal A.H. Nasution dan Sekretaris Kolonel Muktiyo. Akan tetapi tim ini terpaksa dibubarkan mengingat tekanan politik kurun Orde Lama. Selanjutnya, di kurun tahun 1970-an, Pemerintah Orde Baru membentuk Tim Pemberantasan Korupsi, namun juga tidak berjalan efektif. Hal ini disebabkan terlalu besarnya campur tangan kekuasaan terhadap proses pemeriksaan yang sedang dilakukan Tim Pemberantasan Korupsi.

Berbagai peraturan perundang-undangan berkaitan dengan upaya pemberantasan KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) sanggup dicatat antara lain :
  1. Peraturan pemberantasan korupsi yang pertama ialah Peraturan Penguasa Militer tanggal 9 April 1957 Nomor : Prt/PM/06/1957, tanggal 27 Mei 1957 Nomor Prt/PM/03/1957 dan tanggal 1 Juli 1957 Nomor : Prt/PM/011/1957.
  2. Undang-Undang Nomor : 24/Prp/1960 perihal Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi.
  3. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 perihal Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
  4. Ketetapan MPR No. XI/MPR/1998 perihal Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN;
  5. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 perihal Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN;
  6. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 perihal Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
  7. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 perihal Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 perihal Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
  8. UU No 15 Tahun 2002 perihal Tindak Pidana Pencucian Uang Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang No 25 Tahun 2003.
  9. UU RI No. 30 Tahun 2002 perihal Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
  10. UU RI No 24 Tahun 2003 perihal Mahkamah Konstitusi.
  11. UU RI No 25 Tahun 2003 perihal Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
  12. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 perihal Kekuasaan Kehakiman
  13. UU RI No. 15 Tahun 2004 perihal Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.
  14. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 perihal Kejaksaan Republik Indonesia
  15. UU RI No. 22 Tahun 2004 perihal Komisi Yudisial.
  16. UU RI No. 32 Tahun 2004 perihal Pemerintahan Daerah.
  17. Penjelasan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 perihal Pemerintahan Daerah.
  18. UU RI No. 33 Tahun 2004 perihal Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
  19. Penjelasan UU RI No. Nomor 33 Tahun 2004 perihal Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
  20. UU RI No. 1 Tahun 2006 perihal Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana.
  21. UU RI No. 7 Tahun 2006 perihal Pengesahan United Nations Convention Against Corruption, 2003.
  22. UU RI No. 13 Tahun 2006 perihal Perlindungan Saksi dan Korban.
  23. UU RI No. 46 Tahun 2009 perihal Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 perihal Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi maka penyidikan terhadap tindak pidana korupsi dilaksanakan oleh 3 (tiga) instansi penegak aturan yaitu :
  1. Kejaksaan Agung Republik Indonesia;
  2. Kepolisian Republik Indonesia; dan
  3. Komisi Pemberantasan Korupsi.
Sedangkan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi dilakukan oleh 2 (dua) instansi penegak aturan yaitu Kejaksaan Agung RI dan Komisi Pemberantasan Korupsi yang masing-masing independen satu dengan lainnya.

Selain lembaga-lembaga tersebut, dalam upaya meningkatkan kemampuan dalam penanggulangan korupsi, telah pula dibuat beberapa lembaga gres mirip Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).

Selain lembaga-lembaga tersebut, lembaga yang juga terkait kiprah dan wewenangnya dalam melaksanakan penanggulangan korupsi ialah BPKP dan BPK serta Inspektorat Jenderal tiap-tiap Departemen/LPND atau BAWASDA di tiap-tiap Propinsi, Kabupaten dan Kota.
1. Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi.

KPK sesuai ketentuan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 ialah merupakan lembaga negara yang dalam melaksanakan kiprah dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari imbas kekuasaan manapun baik pihak eksekutif, yudikatif, legislatif dan pihak-pihak lain yang terkait dengan kasus tindak pidana korupsi atau keadaan dan situasi ataupun dengan alasan apapun. KPK dibuat dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Tugas KPK tidaklah hanya bersifat penindakan (represif) terhadap tindak pidana korupsi tetapi juga yang bersifat pencegahan korupsi (preventif). Tugas-tugas KPK ialah :
  • koordinasi dengan instansi yang berwenang melaksanakan pemberantasan tindak pidana korupsi;
  • supervisi terhadap instansi yang berwenang melaksanakan pemberantasan tindak pidana korupsi;
  • melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi; dan
  • melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintah¬an negara.
Butir a dan b, merupakan fungsi KPK sebagai trigger mechanism atau pendorong terhadap optimalisasi kiprah dan fungsi Kepolisian dan Kejaksaan di bidang pemberantasan tindak pidana korupsi dengan melaksanakan koordinasi dan supervisi. Dalam kaitannya dengan kiprah koordinasi, KPK berwenang antara lain untuk mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi. Selain itu, dalam melaksanakan kiprah supervisi, KPK mempunyai kewenangan khusus yaitu sanggup mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap masalah tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh Kepolisian atau Kejaksaan dengan alasan antara lain :
  • laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak ditindaklanjuti;
  • proses penanganan tindak pidana korupsi secara berlarut¬larut atau tertunda-tunda tanpa alasan yang sanggup dipertangung-jawabkan;
  • penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku tindak pidana korupsi yang sesungguhnya; dan
  • penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur korupsi. Kewenangan KPK dalam melaksanakan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi, meliputi tindak pidana korupsi yang:
  1. melibatkan pegawanegeri penegak hukum, penyelenggaran negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pegawanegeri penegak aturan atau penyelenggara negara;
  2. mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau
  3. menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp 1.000.000.000,-(satu milyar rupiah).
2. Peranan Kejaksaan Republik Indonesia dalam penang-gulangan tindak pidana korupsi.
Sebelum terbentuknya lembaga atau komisi yang mempunyai kiprah dalam pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia, kejaksaan sudah menjalankan fungsi tersebut semenjak berlakunya undang-undang nomor 3 tahun 1971 atau UU No. 24 Prp 1960 dan Peraturan Penguasa Perang Pusat Angkatan Darat Nomor : Prt/PERPU/013/1958.

Sebagai pelaksanaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 perihal Kejaksaan telah dikeluarkan Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1991 perihal Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia. Sesuai Pasal 2 Keppres tersebut, disebutkan bahwa kiprah pokok kejaksaan ialah melaksanakan kekuasaan Negara di bidang penuntutan dan tugas-tugas lain berdasarkan peraturan perundang-undangan serta turut serta menyelenggarakan sebagian kiprah umum pemerintahan dan pembangunan di bidang hukum.

Fungsi Kejaksaan sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Keppres 55 Tahun 1991 ialah :
  • merumuskan kebijaksanaan pelaksanaan dan kebijaksanaan teknis, pemberian bimbingan dan training serta pemberian perizinan sesuai dengan bidang tugasnya berdasarkan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan umum yang ditetapkan oleh Presiden;
  • menyelenggarakan dan melaksanakan pembangunan sarana prasarana, training manajemen, administrasi, organisasi dan ketatalaksanaan serta pengelolaan atas milik Negara yang menjadi tanggung jawabnya;
  • melakukan kegiatan pelaksanaan penegakan aturan baik preventif maupun represif yang berintikan keadilan di bidang pidana, melaksanakan dan/atau turut menyelenggarakan intelijen yustisial di bidang ketertiban dan ketenteraman umum, memperlihatkan bantuan, pertimbangan pelayanan dan penegakan aturan di bidang Perdata dan Tata Usaha Negara serta tindakan aturan dan kiprah lain, untuk menjamin kepastian hukum, kewibawaan pemerintah menyelamatkan kekayaan negara, berdasarkan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan umum yang ditetapkan oleh Presiden;
  • Menetapkan seorang tersangka atau terdakwa di rumah sakit atau tempat perawatan jiwa atau tempat lain yang layak berdasarkan penetapan hakim lantaran tidak bisa berdiri sendiri atau disebabkan hal-hal yang sanggup membahayakan orang lain, lingkungan atau dirinya sendiri;
  • memberikan pertimbangan aturan kepada instansi pemerintah di pusat dan di tempat dan turut menyusun peraturan perundang-undangan serta meningkatkan kesadaran aturan masyarakat;
  • Menyelenggarakan koordinasi, bimbingan dan petunjuk teknis serta pengawasan baik ke dalam maupun dengan instansi terkait atas pelaksanaan kiprah pokoknyaberdasarkan peraturan perundang-undangan dan kebijaksaan umum yang ditetapkan oleh Presiden.
Kejaksaan merumuskan acara strategis dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, yaitu melalui langkah-langkah pencegahan dan penindakan :

1. Upaya-upaya pencegahan.
  • membuka jalan masuk bagi masyarakat atas informasi penyelesaian pengaduan secara transparan, baik berupa proses maupun dokumen yang berkaitan dengan kasus tersebut;
  • pelayanan pengaduan (public complain) warga masyarakat atas sikap dan sikap personil kejaksaan;
  • cakses masyarakat untuk memberikan banyak sekali informasi mengenai gratifikasi;
  • penyempurnaan sistem manajemen keuangan negara dan manajemen SDM dan training aparatur negara;
  • peningkatan kesadaran dan partisipasi masyarakat.
2. Upaya penindakan
a. Percepatan penyelesaian dan hukuman tindak pidana korupsi, ditempuh dengan beberapa seni manajemen : 
  1. Menentukan sektor prioritas pemberantasan korupsi untuk menyelamatkan uang negara. Prioritas pemberantasan korupsi pada 5 (lima) besar lembaga pemerintah dengan APBN terbesar; 
  2. Percepatan penyelesaian kasus-kasus korupsi yang sudah ada; 
  3. Mempercepat pembekuan dan pengelolaan aset¬aset hasil penyitaan negara; 
  4. Melakukan penghapusan terhadap banyak sekali SP3 perkara-perkara korupsi yang secara aturan masih sanggup diproses kembali berupa diaktifkan¬nya kembali penyelesaian kasus-kasus korupsi kontroversial; 
  5. Mempercepat proses aturan terhadap tersangka/ terdakwa tindak pidana korupsi di pusat dan tempat yang melibatkan anggota DPR/DPRD, Kepala Daerah dan Pejabat lainnya; 
  6. Mempercepat proses aturan terhadap penye¬lewengan anggaran temuan BPK dan BPKP yang berindikasi tindak pidana korupsi; 
  7. Melakukan hukuman terhadap kasus-kasus korupsi yang telah berkekuatan aturan tetap (in kracht van gewijsde) berupa pelaksanaan hukuman terhadap terpidana korupsi.
b. Dukungan terhadap Lembaga Penegak Hukum, dilakukan dengan cara :
  1. Membentuk satuan kiprah (Task Force) yang terdiri dari para ahli/profesional yang bekerjasama dengan tindak pidana korupsi;
  2. Meningkatkan koordinasi dan persamaan persepsi antara lembaga penegak audit internal dan eksternal pemerintah dengan kejaksaan;
  3. Peningkatan kapasitas aparatur penegak hukum; 
  4. Pengembangan sistem pengawasan lembaga penegak hukum.
Pada prinsipnya, kiprah Kejaksaan di banyak sekali negara dikelompokkan dalam 2 (dua) sistem, pertama, disebut mandatory prosecutorial system, dan kedua, disebut discretionary prosecutorial system. Kejaksaan RI atau lazim disebut Korps Adhyaksa masuk ke dalam kedua kelompok tersebut, baik mandatory prosecutorial system di dalam penanganan kasus tindak pidana umum, dan discretionary prosecutorial system khusus di dalam penanganan tindak pidana korupsi, mengacu pada pasal 284 ayat 2 KUHAP jo Pasal 26 Undang-Undang No 31/1999 jo Undang-Undang No 20/2001 perihal Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 44 ayat 4 serta Pasal 50 ayat 1,2,3 dan 4 Undang-Undang No 30/2002 perihal Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 30 aksara d Undang-Undang No 16/2004 perihal Kejaksaan RI, sedangkan berkaitan dengan pelanggaran hak asasi insan mengacu kepada Pasal 21 ayat (1) UU Nomor 26 Tahun 2000 perihal Peradilan Hak Asasi Manusia.

Perkara penyelesaian korupsi yang diselesaikan dari tahun 2003 -Maret 2006.
Tahun Sisa Masuk Tahun Laporan Jumlah Diselesai kan Sisa Presentase Tingkat Penyelesaian

2003 71 553 624 584 40 93%
2004 40 577 617 586 31 95%
2005 31 689 729 700 29 96%
2006 29 162 191 161 30 84%

3. Peranan Kepolisian Republik Indonesia (NCB-Interpol Indonesia) dalam penanggulangan tindak pidana korupsi.
Mengingat kejahatan terus berkembang terutama dalam tindak pidana korupsi sementara kewenangan pegawanegeri penegak aturan mempunyai yurisdiksi terbatas dalam wilayah negaranya, maka setiap negara menyadari perlunya kerjasama antar negara dalam melaksanakan pencegahan dan pemberantasan kejahatan dengan melaksanakan tukar menukar informasi dan saling membantu dalam penyelidikan, penyidikan, penuntutan, perampasan hasil kejahatan, ekstradisi serta pemindahan narapidana.

Dalam Chapter IV Konvensi Anti Korupsi 2003 disebutkan bentuk-bentuk kerjasama Internasional dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi yakni :
  • ekstradisi;
  • pemindahan narapidana;
  • bantuan timbal balik dalam masalah pidana;
  • transfer of criminal proceeding;
  • kerjasama penegak hukum;
  • penyidikan bersama;
  • teknik-teknik penyidikan khusus (pembuntutan);
  • asset recovery (penyitaan dan pengembalian asset).
Kerjasama ini dilakukan melalui International Criminal Police Organization (ICPO – Interpol). ICPO-Interpol ialah organisasi internasional yang bertujuan untuk mencegah dan memerangi semua bentuk kejahatan dengan membuat dan membangun kerjasama kepolisian melalui National Central Bureau (NCB-Interpol) Negara-negara anggota. Indonesia berkaitan dengan hal ini telah membentuk NCB-Interpol Indonesia. Kepala NCB – Interpol Indonesia ialah Kepala Kepolisian Republik Indonesia.

Namun perlu dijelaskan bahwa kiprah NCB-Interpol Indonesia hanyalah sebatas pemberi sumber informasi criminal, sebagai fasilitator untuk terselenggaranya kerjasama antar penegak aturan Indonesia dan Negara lain dan melayani, memproses dan mengkoordinasikan dengan pihak berwenang dalam memenuhi permintaan dukungan penyelidikan dan penyidikan dari dalam dan luar negeri.

4. Peran Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam pembera-tasan tindak pidana korupsi.
Badan Pemeriksa Keuangan Negara dibuat berdasarkan amanat Pasal 23E Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK meliputi tiga kriteria yaitu pemeriksaan keuangan; pemeriksaan kinerja; dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu.
a. Pemeriksaan keuangan.
Pemeriksaan ini dilakukan oleh BPK dalam rangka memperlihatkan pernyataan opini perihal tingkat kewajaran informasi yang disajikan dalam laporan keuangan pemerintah (pemerintah pusat dan pemerintah daerah).

b. Pemeriksaan kinerja.
Pemeriksaan ini dilakukan BPK atas aspek ekonomi dan efisiensi serta atas aspek efektifitas yang lazim dilakukan bagi kepentingan manajerial oleh APIP.

c. Pemeriksaan dengan tujuan tertentu. Pemeriksaan ini dilakukan BPK dengan tujuan khusus. Termasuk pemeriksaan dengan tujuan tertentu ini ialah pemeriksaan atas hal-hal yang berkaitan dengan keuangan dan pemeriksaan investigatif, yang tujuannya antara lain guna mengungkap adanya indikasi kerugian negara serta adanya unsur pidana.

BPK diberi kewenangan untuk mendapatkan data, dokumen, dan keterangan dari pihak yang diperiksa; kesempatan untuk mengusut secara fisik setiap aset yang berada dalam pengurusan pejabat instansi yang diperiksa; termasuk melaksanakan penyegelan untuk mengamankan uang, barang, dan/atau dokumen pengelolaan keuangan negara pada ketika pemeriksaan berlangsung.

Hasil pemeriksaan BPK disampaikan kepada DPR/DPD/DPRD sesuai dengan kewenangannya, antara lain dengan membahasnya bersama pihak terkait. Selain itu, hasil pemeriksaan tersebut juga disampaikan kepada pihak pemerintah untuk dilakukan koreksi dan menanggapi temuan yang ada. Apabila dalam pemeriksaan ditemukan adanya unsur pidana, maka BPK wajib melaporkannya kepada instansi yang berwenang sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 13 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004, disebutkan bahwa BPK sanggup melaksanakan audit investigative guna mengungkap kerugian Negara/daerah. Sedangkan dalam Pasal 11 ayat 3 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2006 perihal BPK, disebutkan bahwa BPK sanggup memperlihatkan keterangan jago dalam proses persidangan yang menyangkut keuangan negara/daerah,

BAB III
Celah-Celah Hukum Yang Menyebabkan Pemberantasan Korupsi Di Indonesia Belum Maksimal
Kesadaran akan ancaman tindak pidana korupsi telah merata di setiap negara, dan di setiap negara mengkategorikannya sebagai kejahatan yang sangat luar biasa (extra ordinary crime). Upaya pemberantasan korupsi di setiap negara demikian gencar, tetapi nyatanya tindak pidana korupsi tetap berkibar demikian pula halnya di Indonesia dimana belakangan ini terdapat sederetan pejabat tinggi negara yang diduga dan yang terbukti melaksanakan tindak pidana korupsi. Bahkan banyak diantara pelaku tindak pidana korupsi itu ialah orang-orang yang seharusnya sangat paham aturan dan seharusnya menjadi panutan masyarakat. Di sinilah pokok permasalahan utama perihal kenapa tindak pidana korupsi mempunyai banyak sekali hambatan dalam penyelesaiannya.

Penyelesaian tindak pidana korupsi sanggup ditinjau dari banyak sekali aspek yaitu;
A. Peraturan Perundang-undangan
1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Aturan aturan yang mengatur perihal tindak pidana korupsi telah ada jauh sebelum kemerdekaan, hal ini sanggup dilihat dari sederetan pasal dalam kitab undang-undang hukum pidana yang mengancam hukuman pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu pasal 209; 210; 387; 388 dan pasal 416; 417; 418; 435 KUHP. Kaidah aturan yang tercantum di dalam pasal-pasal tersebut sebetulnya cukup representative sebagai tindakan represif bagi perbuatan korupsi, asalkan kaidah-kaidah tersebut betul-betul ditegakkan. Tetapi timbul permasalahan dalam hal penegakannya, sehingga pasal-pasal tersebut dianggap ketinggalan jaman dan tidak actual lagi untuk dijadikan instrumen pencegahan dan pemberantasan korupsi.

2. Aturan Hukum di luar KUHP
Pada tahun 1958 di tengah merajalelanya praktek korupsi ketika itu pemerintah RIS membuat aturan khusus di luar kitab undang-undang hukum pidana yaitu Peraturan Penguasa Perang Nomor : Prt/Perpu/031/1958 tanggal 16 April 1958, yang tujuan utamanya untuk lebih berfungsinya aturan aturan untuk pemberantasan korupsi. Peraturan ini disertai dengan kaidah atau norma yang tujuannya untuk menjaring koruptor dari jalur pemidanaan dan dari jalur keperdataan, serta dilengkapi dengan upaya disediakannya daftar harta kekayaan pejabat sebagai instrumen preventifnya. Dengan seni manajemen yang bersifat sporadic tersebut maka diharapkan aturan akan lebih efektif dalam pencegahan dan penanggulangan korupsi. Secara teoritik tentunya untuk efektifitas aturan aturan tersebut tetap sangat membutuhkan dukungan kemampuan kinerja para penegak aturan dan dukungan masyarakat.

Selanjutnya, pada tahun 1960 pemerintah Republik Indonesia mengundangkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1960 perihal Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. Undang-undang ini berlaku pada jaman pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru. Undang-undang ini tidak lebih baik dari Peraturan Penguasa Perang Tahun 1958, dan hal ini sanggup dijadikan salah satu indicator dari melemahnya aturan aturan dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi.

Berkaitan dengan Peraturan Penguasa Perang, Andi Hamzah menjelaskan kelebihannya perihal : “adanya sistem registrasi harta benda pejabat oleh Badan Pemilik Harta Benda dan peraturan perihal pengajuan somasi perdata berdasarkan perbuatan melanggar aturan (onrechtmatige daad) bagi orang yang mempunyai harta benda yang tidak seimbang dengan pendapatan, tetapi tidak sanggup dibuktikan secara pidana, juga disertai dengan sistem preventif, yaitu registrasi harta benda pejabat” .

Aturan perihal somasi perdata dimaksudkan ialah pribadi ke pengadilan tinggi, dengan demikian sanggup memotong salah satu mata rantai peradilan, yaitu pengadilan negeri. Kaidah aturan Peraturan Penguasa Perang mirip secara yuridis tentunya akan lebih efektif untuk pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Undang-Undang No. 24 Th 1960 menghilangkan jalur preventif, berupa registrasi harta pejabat, dan hal ini merupakan salah satu hal yang menyulitkan penyelesaian tindak pidana korupsi. Berarti pula suatu peluang untuk lebih semaraknya tindak pidana korupsi.

Selanjutnya, pada tahun 1971 Pemerintah Republik Indonesia mengundangkan Undang-Undang No. 3 Thn 1971 perihal Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pembentuk undang-undang beropini bahwa untuk tindakan represif bagi pemberantasan tindak pidana korupsi perlu memperberat hukuman pidananya, untuk itu undang-undang ini menghadiahkan penjara maksimal seumur hidup bagi semua delik yang dikategorikan sebagai korupsi, baik yang kecil, sedang maupun besar, dan ditambah dengan dan/atau denda maksimal 30 juta rupiah (pada ketika harga emas 1 gram Rp 3000,-).

Tahun 1999 Pemerintah Republik Indonesia mengundangkan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 perihal Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-undang ini juga bermaksud untuk lebih menekankan pemberian hukuman berat bagi pelaku tindak pidana korupsi, yaitu dengan pidana seumur hidup. Tetapi dalam relasi dengan evakuasi kekayaan negara ada kelemahan untuk penegak hukum, jika dibandingkan dengan apa yang diatur dalam Undang-Undang No. 3 Th 1971. Pasal 6 dan 11 Undang-Undang No. 3 Th 1971 menentukan : “sejak tahap dimulainya penyidikan jaksa wajib melaksanakan penyitaan terhadap harta benda tersangka, isteri/suami, anak dan setiap orang atau tubuh yang mempunyai relasi dengan kasus tersangka dan minta kepada hakim (tahap penuntutan) untuk merampas barang-barang tersebut sebagai jaminan pembayaran uang pengganti”. Sedangkan berdasarkan UU No. 31 Th 1999 jo UU No. 20 Th 2001 pada penyidikan hanya wajib memperlihatkan keterangan perihal seluruh harta bendanya baik kepunyaan suami/isteri, anak atau setiap orang atau korporasi yang mempunyai relasi dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan tersangka. Rumusan tersebut terang menyulitkan jaksa atau penyidik lainnya dalam menyelamatkan asset negara yang dikorupsi, sebaliknya memudahkan bagi tersangka untuk menyembunyikan atau memindahtangankan kekayaan hasil korupsi kepada pihak ketiga.

Kemudian dengan diundangkannya Undang-Undang No. 20 Th 2001 perihal Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 perihal Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang tujuannya untuk lebih memantapkan kaidah-kaidah pemberantasan tindak pidana korupsi. Juga dengan diundangkannya Undang-undang No, 30 Tahun 2002 perihal Komisi Pemberantasan Korupsi, yang tujuan utamanya untuk lebih memperkuat struktur yang berfungsi untuk pemberantasan tindak pidana korupsi, walaupun dilengkapi banyak sekali kewenangan ekstra lebih dibanding penegak aturan lain, tapi di dalam pelaksanaannya masih dihadapkan pada banyak sekali problematik.

B. Aparat Penegak Hukum
Usaha melaksanakan pemberantasan antara lain dengan dikeluarkannya Instruksi Presiden No. 5 Thn 2004 perihal Percepatan Pemberantasan Korupsi. Inpres ini menginstruksikan secara leluasa kepada Jaksa Agung untuk ”mengoptimalkan upaya-upaya penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi untuk menghukum pelaku dan menyelamatkan uang negara”.

Berkaitan dengan telah diberlakukannya UU No. 30 Th 2002 perihal Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi maka kemampuan dalam penyidikan yang dilaksanakan oleh 3 (tiga) instansi penegak aturan yaitu Kejaksaan Agung RI, Kepolisian RI dan Komisi Pemberantasan Korupsi perlu lebih ditingkatkan.

Selanjutnya, pegawanegeri NCB-Interpol Indonesia perlu pula meningkatkan bentuk-bentuk kerjasama dengan pihak anggota lainnya lantaran banyak pelaku tindak pidana korupsi yang melarikan diri ke luar negeri. Bentuk-bentuk kerjasama yang perlu ditingkatkan meliputi :
  1. Tukar menukar informasi kriminal dan intelijen.
  2. Penyelidikan
  3. Penyidikan
  4. Pencarian dan penangkapan pelaku kejahatan
Menurut Romli Atmasasmita, keberhasilan kerjasama internasional (bilateral atau multilateral) sangat ditentukan oleh seni manajemen dan teknik diplomasi para pejabat kementrian luar negeri Indonesia atau relasi timbal balik antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah negara lain

C. Kendala Yang Dihadapi Oleh Aparat Penegak Hukum
A.1. Mekanisme Perlindungan Pelapor dan atau Saksi.
Banyak pihak telah mengungkapkan bahwa mekanisme pemberian proteksi terhadap pelapor dan atau saksi pada kasus Tipikor (Tindak Pidana Korupsi) belum atau tidak tersosialisasi sebagaimana yang dikehendaki dalam UU RI No. 13 Tahun 2006 perihal Perlindungan Saksi dan Korban.

Di dalam KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana), ditentukan bahwa laporan ialah pemberitahuan yang disampaikan oleh seseorang lantaran hak atau kewajiban berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang perihal telah atau sedang atau diduga akan terjadinya insiden pidana (vide pasal 1 angka 24 KUHAP). Seseorang yang memberikan laporan tersebut biasanya dalam proses selanjutnya dimintai keterangan sebagai saksi dan statusnya menjadi saksi. Menurut pasal 1 angka 26 KUHAP, saksi ialah orang yang sanggup memperlihatkan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan perihal suatu kasus pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri. Batasan di dalam pasal 1 angka 26 KUHAP mengenai keharusan “mendengar – melihat – atau mengalami sendiri” apabila dikaitkan dengan saksi pelapor pada kasus tindak pidana korupsi, sanggup menimbulkan kesulitan, mengingat sanggup membatasi kemungkinan seseorang untuk menjadi saksi pelapor lantaran tindak “mendengar – melihat – atau mengalami sendiri”. Hal ini terkait dengan sifat tindak pidana korupsi yang seringkali tidak “menghadirkan” korban yang dirugikan secara pribadi oleh perbuatan koruptif tersebut. Bahkan seringkali terdapat kesulitan untuk membuktikan mengenai siapa yang menjadi korban dari tindak pidana korupsi.

Untuk mengatasi kesulitan tersebut, sebaiknya dilakukan perubahan terhadap ketentuan Pasal 1 angka 24 KUHAP juncto angka 26 KUHAP sehingga terjadi ekspansi makna yang memungkinkan orang-orang yang tidak “mendengar – melihat – atau mengalami sendiri” suatu perbuatan korupsi, sanggup menjadi saksi pelapor atas perbuatan korupsi yang dimaksud. Dalam kaitannya dengan pelaporan yang demikian, perubahan ketentuan pasal 1 angka 24 KUHAP juncto angka 26 KUHAP perlu diikuti oleh perumusan gres supaya menjamin bahwa penyampaian laporan yang dimaksud, benar-benar dilandasi oleh motivasi atau itikad baik pelapor dan terhindar dari cara¬cara penyampaian laporan yang menjadikan timbulnya tindak pidana lain mirip fitnah, pencemaran nama baik, dan atau perbuatan tidak menyenangkan.

Perubahan tersebut di atas harus segera diikuti dengan perubahan terhadap ketentuan dalam Bab V Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 (tentang kiprah serta masyarakat dalam pemberantasan korupsi) juncto PP Nomor 71 tahun 2000 perihal Tata Cara pelaksanaan kiprah serta masyarakat dan pemberian penghargaan dalam pencegahan dan pemberantasan Tipikor, dan perubahan pada perundang-undangan terkait lainnya.

Dalam konteks perubahan sebagaimana tersebut di atas, perlu pula diperhatikan dan atau diakomodir ketentuan article 32 dan 33 United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) Tahun 2003, yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia dengan UU Nomor 07 Tahun 2006, yang memuat ketentuan¬ketentuan yang pada dasarnya sebagai berikut :
  • Negara peserta konvensi wajib mengambil tindakan yang dibutuhkan untuk memperlihatkan proteksi yang efektif dari kemungkinan pembalasan atau ancaman/intimidasi terhadap para saksi dan para saksi ahli, dan sejauh diperlukan, juga bagi keluarganya;
  • Negara peserta konvensi sanggup menentukan mekanisme proteksi fisik melalui relokasi tempat tinggal dan atau pembatasan penyingkapan identitas;
  • Negara peserta konvensi dimungkinkan membuat aturan pembuktian yang membolehkan saksi memperlihatkan kesaksian dengan cara-cara yang menjamin keselamatannya.
Pemberitaan oleh media massa dan atau hasil analisa dari seorang pakar, tentu saja sanggup diberi kualifikasi sebagai laporan yang memenuhi syarat, lantaran hal tersebut berupa opini pribadi yang subjektif.

A.2. Akses Terhadap Informasi Perbankan.
Salah satu sifat kejahatan korupsi ialah kemampuan para pelakunya untuk memanfaatkan kemajuan teknologi di bidang perbankan lantaran transaksinya yang bersifat rahasia, cepat, gampang dan tidak memerlukan uang kartal. Dalam konteks demikian, gampang dipahami bahwa kemudahan mengakses informasi perbankan milik pelaku tindak pidana korupsi oleh pegawanegeri penegak aturan akan sangat signifikan membantu kelancaran pengungkapan dan atau pemberantasan Tipikor.

Maka perlu dibuatkan aturan yang lebih rinci mengenai batasan-batasan informasi yang sanggup diakses oleh pegawanegeri penegak aturan beserta mekanisme detailnya. Kecepatan jalan masuk terhadap informasi perbankan, juga harus diperhatikan, sebaiknya Timtastipikor (Tim pemberantasan tindak pidana korupsi) sanggup menjadi wadah koordinasi dan atau konsultasi dengan pihak perbankan untuk merumuskan aturan dan mekanisme yang lebih rinci.

Sebaiknya motivasi pegawanegeri penegak aturan dan pihak perbankan selalu berlandaskan pada article 40 UNCAC Tahun 2003, yang merumuskan bahwa setiap Negara peserta konvensi wajib memastikan bahwa, dalam hal penyelidikan perihal terjadinya kejahatan domestik sebagaimana ditetapkan dalam konvensi ini, terdapat mekanisme yang memadai dalam system aturan nasional untuk mengatasi hambatan-hambatan yang mungkin timbul dari penerapan undang-undang perihal kerahasiaan bank. Perizinan dalam rangka penerobosan rahasia bank, berdasarkan hemat penulis, perlu disederhanakan dan tidak perlu hingga pada Gubernur BI, tetapi cukup meminta izin pada Direksi Perbankan yang dituju, serta permohonan tersebut sanggup pribadi diajukan oleh penyidik kasus korupsi yang bersangkutan dengan tembusan sebagai pemberitahuan pada ketua KPK.

Perlu juga dirumuskan secara tegas bahwa pihak perbankan wajib menjawab permohonan pegawanegeri penegak aturan dalam waktu yang terbatas. Hal ini penting untuk menghindari adanya jawaban dari pihak perbankan yang berlarut-larut sementara tersangka pelaku sudah berkesempatan menghilangkan dan atau mengaburkan barang bukti atau alat bukti.

A.3. Birokrasi Izin Pemeriksaan Pejabat Publik.
Dalam rangka mempermudah dan atau mempercepat pemberian izin pemeriksaan terhadap pejabat publik yang diduga melaksanakan tindak pidana korupsi, perlu juga dilakukan amandemen atau revisi terhadap undang-undang perihal pemerintahan daerah. Sebagai contoh, izin pemeriksaan terhadap gubernur, harus dimohonkan kepada Presiden. Dalam hal inipun penyidik tidak sanggup pribadi mengajukan permohonan izin kepada Presiden, tetapi harus melalui kepolisian di tingkat Polres, Polda, dan Kapolri. Demikian juga, izin pemeriksaan terhadap pejabat perbankan, harus dimohonkan kepada Gubernur Bank Indonesia.

Dalam rangka percepatan pemberian izin pemeriksaan sebagaimana tersebut di atas, selain urgensi perubahan undang¬-undang pemerintahan daerah, juga perlu dilakukan perubahan sikap mental pegawanegeri Sekretariat Negara dan pegawanegeri Sekretariat Gubernur BI. Meskipun aturannya belum direvisi, tetapi apabila ada itikad baik pada diri pegawanegeri Negara untuk membantu pengungkapan tindak pidana korupsi, penulis beropini bahwa akan ada percepatan pemberian izin pemeriksaan terhadap pejabat public yang terindikasi korupsi.

A.4. Sanksi Yang Tegas Bagi Penyelenggara Negara Yang Tidak Melaporkan Harta Kekayaannya.
Laporan harta kekayaan penyelenggara Negara sangat diharapkan sanggup merupakan salah satu sarana yang efektif untuk memonitor perolehan kekayaan penyelenggara Negara. Praktis dipahami bahwa apabila terdapat fakta bahwa terjadi penambahan kekayaan pada penyelenggara Negara yang cukup besar tetapi tidak sanggup dijelaskan secara masuk nalar perihal asal usul penambahan kekayaan tersebut, maka mungkin hal tersebut merupakan indikasi korupsi. Banyak kalangan telah mengungkapkan bahwa mekanisme pelaporan kekayaan penyelenggara Negara sebagaimana tersebut di atas, selama ini belum berjalan secara efektif. Penyebabnya ialah lantaran tidak adanya hukuman yang tegas apabila penyelenggara Negara tersebut tidak melaporkan kekayaannya sebelum, selama, dan setelah menjabat penyelenggara Negara.

Dalam rangka mengatasi problematika atau kelemahan tersebut, perlu dilakukan amandemen terhadap UU Nomor 28 tahun 1999 perihal Penyelengga Negara Yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, khususnya pada belahan VIII yang memuat perihal hukuman bagi penyelenggara Negara yang tidak melaksanakan kewajiban pelaporan kekayaannya. Tim beropini bahwa hukuman administrative sebagaimana tercantum dalam pasal 20 ayat (1) UU Nomor 28 tahun 1999, ialah terlalu ringan dan tidak aman bagi perjuangan pengungkapan perbuatan-perbuatan yang terindikasi korupsi.

Dalam rangka amandemen terhadap belahan VIII Nomor 28 Tahun 1999 tersebut di atas, penulis beropini supaya dipedomani article 8, chapter II dari UNCAC Tahun 2003, yang mengatur perihal Preventive Measure (tindakan-tindakan pencegahan), yang menentukan perlunya negara-negara peserta konvensi memutuskan standar sikap pejabat publiknya untuk menjamin supaya fungsi-fungsi public sanggup terealisasi secara terhormat dan pantas, termasuk di dalamnya mengenai kewajiban pejabat public membuat pernyataan-pernyataan pada otoritas-otoritas yang tepat mengenai kegiatan-kegiatan pejabat public diluar pemerintahan, investasi-investasi dan asset-aset dan hadiah-hadiah.

Beberapa masalah lainnya dalam koordinasi penanggulangan korupsi di Indonesia antara lain :
  1. Belum adanya aturan yang terang perihal kewenangan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan antara KPK, Kepolisian dan Kejaksaan. Walaupun ketentuan dalam UU perihal Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah mengatur perihal kewenangan KPK, tapi di lapangan masih terjadi tumpang tindih penanganan. Hal ini terjadi lantaran lembaga Kejaksaan maupun Kepolisian masih mempunyai pijakan aturan untuk bertindak, disamping adanya arogansi lembaga dan kurang adanya kepercayaan di antara lembaga penegak hukum.
  2. Tidak padunya banyak sekali ketentuan yang ada sanggup mengakibatkan tidak efektifnya penegakan hukum. Kehadiran Timtastipikor justru semakin membingungkan, selain koordinasinya belum terang (hanya kebutuhan sesaat tidak bersifat sistemik) juga banyak mengurangi kewenangan yang dimiliki KPK.
  3. Pengadilan khusus korupsi sanggup membuat fragmentasi dalam pemberantasan korupsi. Kehadiran lembaga ini membuat pengkotakan-pengkotakan gres dalam penanggulangan korupsi, bukan saja di antara lembaga yang ada, juga diantara para hakim, (antara hakim adhoc dan hakim karir).
  4. Ketua KPK diusulkan Presiden selaku kepala pemerintahan dan melaporkan hasil kerjanya kepada Presiden, sehingga terjadi conflict of interest bila harus mengusut pembantu-pembantu Presiden. Kondisi ini kemungkinan kuat pada ijin pemeriksaan terhadap pejabat yang diduga korupsi.
  5. Belum adanya aturan yang terang perihal kerjasama antara lembaga-lembaga penegak aturan dengan lembaga-lembaga lain mirip BPK, BI, PPATK dan sebagainya. Lembaga-lembaga kawan kerja ini diharapkan mendukung penegak aturan mengungkap korupsi.
  6. Sistem pengawasan yang tidak jelas, siapa pengawasnya dan bagaimana bentuk pengawasannya. Kalau dalam KUHAP sanggup dilihat Polisi yang bertindak sebagai penyidik di bawah pengawasan Jaksa Penuntut Umum, jaksa penuntut umum dikontrol oleh pengadilan.
  7. Ketertutupan informasi perihal perkembangan penanganan kasus. Informasi selain dibutuhkan oleh masyarakat untuk mengontrol proses penegakan aturan juga sangat dibutuhkan oleh penegak aturan yang lainnya. Keterbukaan ini sanggup menghapus kesan adanya KKN dalam penegakan hukum.
  8. Tingginya cita-cita masyarakat membuat KPK kebanjiran kasus, tapi tidak bisa ditindaklanjuti. Dalam hal inilah perlu kerjasama diantara lembaga penegak hukum.
  9. Belum maksimalnya kerjasama internasional, baik di bidang ekstradisi maupun dukungan aturan timbal balik dan kerjasama dengan Interpol. Perjanjian ekstradisi sangat dibutuhkan dengan negara-negara tempat dimana koruptor-koruptor sering melarikan diri. Bantuan aturan dibutuhkan baik untuk kepentingan represif maupun preventif.
Untuk mengatasi tumpang tindih kewenangan sudah seharusnya kita memperhatikan KUHAP yang menghendaki adanya relasi fungsional di antara lembaga penegak hukum. Dalam KUHAP sudah diatur siapa yang bertindak sebagai penyidik maupun penuntut umum, bagaimana bentuk pengawasannya dan sebagainya.

Sedangkan beberapa hambatan yang sering dijumpai dalam kerjasama internasional yang selama ini dilaksanakan oleh NCB Interpol Indonesia, antara lain :
  1. Dalam kerjasama dengan NCB Interpol negara lain, NCB Interpol Indonesia mendapatkan Berita Acara Pemeriksaan Saksi/Tersangka tanpa ada Berita Acara Penyumpahan dan barang bukti yang tidak ada Berita Acara Penyitaan. Hal tersebut mengundang keraguan dan banyak pendapat mengenai keabsahannya.
  2. Menghadirkan saksi yang berada di luar negeri dihapadan penyidik atau di sidang pengadilan sering diminta dukungan NCB Interpol Indonesia. Biaya perjalanan, fasilitas dan uang saku saksi selama berada di Indonesia tidak terang siapa yang harus menanggungnya.
  3. Jika dalam suatu masalah yang dalam penanganannya memerlukan kerjasama internasional yang memakan waktu yang cukup lama, sering terjadi permasalahan lantaran keterbatasan waktu penahanan sehingga pelaku harus dilepas. Dalam hal ini penyidik akan menghadapi masalah apalagi pelakunya orang asing.
  4. Dalam permintaan ekstradisi atas tersangka, sesuai aturan suatu negara, permintaan ekstradisi harus dilampiri Surat Keterangan dari Kejaksaan Agung yang menyatakan bahwa tersangka telah cukup bukti melaksanakan tindak pidana yang disangkakan sesuai pasal. Hal tersebut tidak diatur dalam KUHAP.
  5. Banyak negara diminta mengharuskan adanya Surat Perintah Pengadilan untuk penggeledahan dan penyitaan sedangkan dalam KUHAP, pengadilan hanya mengeluarkan Surat Ijin Penggeledahan dan atau penyitaan.
  6. Pengajuan permintaan dukungan timbal balik, pencarian dan penangkapan dan ekstradisi dari Kejaksaan dan Polisi Republik Indonesia sering tidak memenuhi syarat dan permintaan penangkapan dan penahanan dari negara lain tidak dilaksanakan dengan alasan yang bersangkutan tidak melaksanakan tindak pidana di Indonesia.
  7. Banyak permintaan-permintaan pemindahan narapidana kepada Indonesia untuk warga negara abnormal dan WNI namun Indonesia belum sanggup memperlihatkan pertimbangan atas permintaan tersebut lantaran belum ada undang-undang yang mengaturnya.
  8. Kerjasama dengan negara lain sering menjadi hambatan lantaran belum ada perjanjian ekstradisi atau perjanjian dukungan timbal balik antara Indonesia dengan yang yang diminta bantuan.
Selain itu, berkaitan dengan mekanisme atau aturan acara penanganan kasus korupsi, ada beberapa hal yang selama ini dinilai sebagai kelemahan atau bahkan menjadi hambatan dalam penyelesaian kasus korupsi mulai tingkat penyelidikan, penyidikan, proses persidangan hingga pelaksanaan hukuman yaitu :

Pertama, Dalam Pasal 38 ayat 1 KUHAP disebutkan : ”penyitaan hanya sanggup dilakukan oleh Penyidik dengan surat izin Ketua Pengadilan setempat”. Dengan demikian, tanpa adanya surat izin tersebut maka pihak penyidik tidak sanggup melaksanakan penyitaan terhadap barang-barang milik tersangka meskipun sudah terdapat bukti yang kuat bahwa barang tersebut merupakan hasil tindak pidana korupsi. Prosedur ini penting untuk ditinjau kembali, selain lantaran masalah birokrasi, juga sangat tergantung pada subyektifitas hakim, dan sanggup menjadi celah bagi tersangka untuk mengalihkan kepada pihak ketiga atau untuk menghilangkan barang bukti. Tidak menutup pula kemungkinan terjadinya kongkalikong antara Ketua Pengadilan setempat dengan pihak yang barang/asetnya akan disita.

Kedua, Pelaksanaan putusan Pengadilan oleh Kejaksaan. Pasal 270 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) secara garis besar menyebutkan bahwa pelaksanaan putusan pengadilan yang telah inkracht gres sanggup dilaksanakan, setelah kejaksaan mendapatkan salinan putusan dari panitera Pengadilan. Syarat adanya salinan putusan Pengadilan pada prakteknya seringkali menjadi hambatan dalam penanganan kasus korupsi. Walau sudah diputus pengadilan, tanpa adanya salinan resmi dari Pengadilan, pihak Kejaksaan sanggup beralasan untuk tidak melaksanakan eksekusi. Persoalan ini disebabkan lantaran proses minutasi (penyusunan salinan putusan) pada prakteknya gres selesai beberapa bulan atau bahkan beberapa tahun setelah putusan dibacakan. Selain masalah lemahnya manajemen dan SDM di Mahkamah Agung, ada indikasi bahwa lambannya salinan atau petikan putusan dari Mahkamah Agung dikirimkan ke Pengadilan Negeri memang disengaja oleh pihak-pihak tertentu untuk memberi celah bagi para terpidana masalah korupsi untuk melarikan diri. Hal ini diperparah lantaran dalam aturan acara tidak disebutkan adanya limitasi atau batasan waktu berapa usang Kejaksaan harus menjalankan hukuman putusan pengadilan yang telah inkracht dan tidak ada konsekuensi aturan apabila jaksa telat atau tidak segera melaksanakan hukuman walaupun petikan putusan telah diterima oleh pihak Kejaksaan.

Ketiga, Penahanan terhadap tersangka atau terdakwa korupsi. Pasal 197 KUHAP menyebutkan mengenai formalitas yang harus terdapat dalam putusan yang salah satunya ialah perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan. Dalam KUHAP disebutkan alasan penahanan ialah ”adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana”. Namun dalam kasus korupsi, tidak ada kewajiban bagi penegak aturan untuk menahan pelaku korupsi kecuali dilakukan hanya dalam putusan yang inkracht . Karena kelemahan ini, banyak pelaku korupsi yang tetap bebas meskipun sudah dinyatakan bersalah oleh Pengadilan tingkat pertama atau tingkat banding. Hal ini sangat mungkin terjadi lantaran adanya bargaining antara terdakwa dengan hakim atau upaya mencari jalan aman bagi hakim. Kondisi ini menjadikan tidak adanya efek jera bagi para pelaku korupsi.

D. Pengawasan Dan Koordinasi Antar Aparat Penegak Hukum Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Memperhatikan praktek-praktek korupsi yang terjadi dan usaha-¬usaha pemerintah dalam melaksanakan pencegahan dan pemberantasan korupsi terutama yang berkaitan dengan masalah pengawasan dan koordinasi antar pegawanegeri penegak hukum, maka penanganan tindak pidana korupsi selama ini menghadapi banyak sekali hambatan serius yang sanggup dikelompokkan ke dalam lebih kurang 4 (empat) kelompok, antara lain :
  1. Hambatan Struktural, yaitu hambatan yang telah berlangsung usang yang bersumber dari praktek-praktek penyelenggaraan Negara dan pemerintahan yang membuat penanganan tindak pidana korupsi tidak berjalan sebagaimana mestinya. Hambatan struktural diantaranya meliputi : perbedaan yang terlalu besar “gaji formal” diantara sesama pegawanegeri penegak aturan korupsi; egoisme sektoral dan institusional yang menjurus pada pengajuan dana sebanyak-banyaknya untuk sektor dan instansinya tanpa memperhatikan kebutuhan nasional secara keseluruhan serta berupaya menutup-nutupi penyimpangan-penyimpangan yang terdapat di sektor dan instansi yang bersangkutan; belum berfungsinya fungsi pengawasan secara efektif, lemahnya koordinasi antara pegawanegeri pengawasan dan pegawanegeri penegak aturan yang semakin banyak, mirip polisi, jaksa, KPK, Tim Tastipikor, sehingga hal ini menimbulkan kesulitan dalam melaksanakan kontrol/pengawasan; Aparat penegak aturan tidak mempunyai pandangan yang sama dalam hal menafsirkan peraturan perundang-undangan dalam pemberantasan korupsi; serta lemahnya system pengendalian intern yang mempunyai relasi positif dengan banyak sekali penyimpangan dan efisiensi dalam pengelolaan kekayaan Negara dan rendahnya kualitas pelayanan publik.
  2. Hambatan Kultural, yaitu hambatan yang bersumber dari kebiasaan negatif yang berkembang di masyarakat yang membuat penangan tindak pidana korupsi tidak berjalan sebagaimana mestinya. Yang termasuk dalam kelompok ini diantaranya meliputi : masih adanya “sikap sungkan” diantara aparatur pemerintah yang sanggup menghambat penangan tindak pidana korupsi; kurang terbukanya pimpinan instansi sehingga sering terkesan melindungi pelaku korupsi, campur tangan eksekutif, legislative dan yudikatif dalam penanganan korupsi, rendahnya komitmen untuk menangani korupsi secara tegas dan tuntas, serta sikap permisif (masa bodoh) sebagian besar masyarakat terhadap upaya pemberantasan korupsi.
  3. Hambatan Instrumental, yaitu hambatan yang bersumber dari kurangnya instrument pendukung dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang membuat penanganan tindak pidana korupsi tidak berjalan sebagaimana mestinya. Yang termasuk dalam kelompok ini diantaranya meliputi: masih banyaknya peraturan perundang-undangan yang tumpang tindih sehingga menimbulkan tindakan koruptif berupa penggelembungan dana di lingkungan instansi pemerintah; belum adanya “single identification number” atau suatu identifikasi yang berlaku untuk semua keperluan masyarakat (SIM, pajak, bank, dll) yang bisa mengurangi peluang penyalahgunaan oleh setiap anggota masyarakat: lemahnya penegakan aturan penangan korupsi; belum adanya hukuman yang tegas bagi pegawanegeri pengawasan dan pegawanegeri penegak hukum; sulitnya pembuktian terhadap tindak pidana korupsi, serta lambatnya proses penanganan korupsi hingga dengan penjatuhan hukuman. Berdasarkan Kajian dan inventarisasi Peraturan perundang-undangan yang berpeluang KKN periode 1999 hingga dengan 2003 oleh Kementrian PAN disimpulkan bahwa peraturan perundang-undangan yang mengandung celah KKN ialah yang rumusan pasal-pasalnya ambivalen dan multi-interprataasi serta tidak adanya hukuman yang tegas (multi-interpretasi) serta tidak adanya hukuman yang tegas (multi-interpratasi) terhadap pelanggar peraturan perundang¬undangan.
  4. Hambatan Manajemen, yaitu hambatan yang bersumber dari diabaikannya atau tidak diterapkannya prinsip-prinsip manajemen yang baik yang membuat penanganan tindak pidana korupsi tidak berjalan sebagaimana mestinya. Yang termasuk dalam kelompok ini diantaranya meliputi: kurang komitmennya manajemen (Pemerintah) dalam menindak lanjuti hasil pengawasan; lemahnya koordinasi baik diantara pegawanegeri pengawasan maupun antara pegawanegeri pengawasan dan pegawanegeri penegak hukum; kurangnya dukungan teknologi informasi dalam penyelenggaraan pemerintahan; tidak independennya organisasi pengawasan; serta kurang adanya dukungan system dan mekanisme pengawasan dalam penangan korupsi. Di samping hal tersebut di atas, hambatan pegawanegeri penegak aturan dalam pemberantasan korupsi, juga diperburuk oleh :
1. Sistem Manajemen.
Lemahnya sistem manajemen khususnya manajemen sumber daya insan dari penyelenggara pemerintahan, mulai dari system rekrutmen, karir dan promosi dan penilaian kinerja hingga kepada renumerasinya. Yang merupakan bibit korupsi yang berkembang dalam setiap lini pemerintahan hingga dengan ketika ini.

2. Pendidikan.
Sistem pendidikan yang kurang menggugah kesadaran dan tanggung jawab untuk tidak berbuat atau melawan korupsi, serta kurang menanamkan kepada anak didik perihal hak dan kewajiban warga Negara atas negaranya yang mengakibatkan ketidak percayaan masyarakat terhadap legitimasi pemerintah. Rendahnya pendidikan masyarakat tersebut mengakibatkan masyarakat seringkali menjadi sasaran empuk birokrasi Negara dalam memanipulasi sejumlah fasilitas dan pelayanan public.

Dengan diratifikasinya konvensi PBB perihal pemberantasan korupsi ini yang merupakan komitmen nasional untuk meningkatkan gambaran bagi bangsa Indonesia dalam percaturan politik internasional, maka perlu meningkatkan kerjasama internasional khususnya dalam melacak, membekukan, menyita, dan mengembalikan asset-aset hasil tindak pidana korupsi yang ditempatkan di luar negeri; mendorong terjalinnya kerjasama teknik pertukaran informasi dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi di bawah paying kerjasama pembangunan ekonomi dan dukungan teknis pada lingkup bilateral, regional dan multilateral.

E. Analisa Peraturan Perundang-undangan
Usaha pemberantasan korupsi sebetulnya telah dilakukan baik pada masa Orde lama, Orde Baru, maupun kurun Reformasi. Berbagai peraturan perundang-undangan berkaitan dengan perjuangan pemberantasan korupsi, telah dibuat oleh pemerintah, baik sendiri maupun gotong royong dengan DPR. Berikut ini ialah banyak sekali peraturan perundang-undangan di bidang pemberantasan korupsi :
  1. Ketetapan MPR No. XI/MPR/1998 perihal Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN;
  2. Undang-undang Nomor : 24/Prp/1960 perihal Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi;
  3. Peraturan Penguasa Perang Nomor : Prt/Perpu/013/1958 tanggal 16 April 1958;
  4. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 perihal Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
  5. Undang-undang Nomor : 28 Tahun 1999 perihal Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN;
  6. Undang-undang Nomor : 31 Tahun 1999 perihal Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
  7. Undang-undang Nomor : 20 Tahun 2001 perihal Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 perihal Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
  8. Undang-undang Nomor : 30 Tahun 2002 perihal Komisi Pemberantasan Korupsi;
  9. Undang-undang Nomor 07 Tahun 2006 perihal Ratifikasi terhadap Konvensi Menentang Korupsi (United Nations Convention Against Corruption);
  10. Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 127 Tahun 1999 perihal Komisi Pemeriksa Kekayaan Pejabat Negara;
  11. UU RI No. 13 Tahun 2006 perihal Perlindungan Saksi dan Korban.
  12. UU RI No. 46 Tahun 2009 perihal Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
  13. Dan lain-lain.
Dalam konteks ini, pegangan utama dari pegawanegeri penegak aturan dalam mengaplikasikan banyak sekali peraturan perundang-undangan sebagaimana tersebut di atas ialah niat baik (good will) dalam mewujudkan perbaikan bangsa dan Negara melalui pemberantasan korupsi. Dalam konteks aplikasi peraturan perundang-undangan, niat baik tersebut sebaiknya juga dimiliki oleh pegawanegeri penyelenggara Negara lainnya yang sangat mungkin berpotensi menjadi tersangka atau terdakwa pelaku tindak pidana korupsi.

Uang Pengganti
Salah satu kelemahan yang masih ada dalam Undang-undang No. 3 Tahun 1971 jo UU No. 31 Tahun 1999 dan UU No. 21 Tahun 2001 ialah perihal minimnya pengaturan mengenai Pidana Uang Pengganti. Dalam setiap putusan pengadilan tindak pidana korupsi, pada umumnya selalu tertera penerapan pidana uang pengganti. Masalah yang masih dirasakan ada berkaitan dengan pidana uang pengganti lantaran minimnya pengaturan dalam peraturan perundang¬-undangan ialah perihal mekanisme pengawasannya.

Konsep pidana uang pengganti, bisa jadi dimaksudkan untuk menghukum koruptor seberat mungkin sehingga para koruptor menjadi jera. Bagaimana tidak, hukuman bagi koruptor, sesuai UU No. 3 Tahun 1971 perihal Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, selain pidana pokok berupa pidana penjara dan denda, pun diganjar pidana pemanis berupa uang pengganti (pasal 34 aksara c). Konsep yang kurang lebih sama dengan sedikit modifikasi dianut oleh UU penggantinya yakni UU No. 31 Tahun 1999 yang kemudian direvisi lagi menjadi UU No. 20 Tahun 2001.

Di samping itu, latar belakang munculnya konsep pidana uang pengganti ialah dalam rangka mengembalikan uang Negara yang raib akhir suatu tindakan korupsi. Sedangkan salah satu unsur tindak pidana korupsi ialah adanya tindakan yang “merugikan keuangan Negara”. Sekalipun demikian, sayangnya pengaturan mengenai pidana uang pengganti masih minim. Coba saja buka UU No. 3 Tahun 1971, mudah hanya mengatur mengenai uang pengganti dalam satu pasal yakni pasal 34 aksara c. Kondisi yang sama juga tergambar pada UU penggantinya, UU No. 31 Tahun 1999 serta perubahannya UU No. 20 Tahun 2001.

Karena minimnya pengaturan mengenai uang pengganti, tentu bakal memunculkan sejumlah masalah dalam penerapannya. Salah satunya ialah dalam hal menentukan berapa jumlah pidana uang pengganti yang sanggup dikenakan kepada terdakwa.

Pasal 34 aksara c UU No. 3 tahun 1971 hanya memutuskan besarnya uang pengganti ialah sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari korupsi. Rumusan yang sama juga terdapat dalam pasal 18 UU No. 3 tahun 1999. Dari rumusan yang ala kadarnya itu, menjadi masalah kemudian: bagaimana memilah antara harta atau asset yang diperoleh dari hasil korupsi dan yang bukan. Lantas, bagaimana jika uang hasil korupsi itu sudah dibelikan tanah atau property, terlebih lagi jika property itu berada di luar negeri? Bagaimana mengkonvensikannya dikaitkan dengan uang yang diperoleh dari korupsi? Jika hal itu terjadi, tak pelak hakim harus putar nalar memilah¬milah harta sang koruptor. Begitu pula jaksa harus cermat dalam dakwaannya menentukan berapa besarnya uang yang dikorup dikaitkan dengan penetapan uang pengganti.

Karena itu, agaknya bakal lebih gampang jika penetapan uang pengganti itu disamakan saja dengan kerugian Negara yang ditimbulkan. Jadi, lebih logis dan sederhana. Cuma, masalah lainnya, siapa yang berwenang menghitung kerugian uang Negara? Mengingat, kini ini tidak ada aturan aturan yang secara spesifik mengatur mengenai siapa yang ditugasi untuk menghitung kerugian Negara. Umumnya BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) yang memperlihatkan laporan. Tapi, ujung-ujungnya jaksa penuntut umum (JPU) juga menentukan dan dituangkan dalam dakwaan. Bahkan kerap terjadi perbedaan penghitungan kerugian Negara antara BPK dan JPU.

Kelemahan lainnya ialah tak pernah ada transparansi mengenai laporan berapa sebetulnya yang telah berhasil ditarik. Padahal, begitu pentingnya Negara mengejar uang pengganti dari para koruptor. Setidaknya, sanggup dipakai untuk menambah pundi-pundi kas Negara yang sedang kepayahan ini. Sekedar informasi, berdasarkan data Kejaksaan RI per September 2005 ada sekitar Rp 5.317 triliun uang pengganti yang belum dieksekusi Kejaksaan yang tersebar di 18 Kejaksaan Tinggi meliputi 227 perkara.

Produk Hukum
Sudah sering kita amati, tatkala terdakwa diadili dalam kasus korupsi, pada kenyataannya memperlihatkan adanya ketidak pastian mengenai berapa jumlah kerugian Negara dikaitkan dengan perbuatan secara melawan aturan yang didakwakan kepada terdakwa.

Hakim pun akhirnya memvonis tanpa ada kepastian mengenai kerugian Negara yang dimaksud. Bahkan tidak hanya itu, pengadilan seringkali menjadi “lembaga sandera” bagi terdakwa, lantaran pengajuan kasus oleh jaksa penuntut umum ternyata alat bukti masih bersifat abu-abu dalam menentukan kerugian Negara.

Pengadilan menerima stigma negatif, padahal pengadilan telah menjalankan tugasnya dan telah menempatkan diri sebagai pengawal keadilan sebagaimana menjadi simbol bagi pencari keadilan. Kenyataannya, pengadilan menjadi tidak independent. Ada kesan hakim-hakim ketakutan mengambil putusan yang adil sesuai dengan fakta di persidangan. Itu semata-mata bagi masalah korupsi, tidak ada pilihan apabila diajukan ke pengadilan terdakwanya harus dihukum. Hakim yang memutus bebas menjadi popular lantaran disorot publik, kemudian diperiksa instansi yang berkompeten, dan pribadi hakim yang dimaksud dikuliti.

BAB IV
Langkah-langkah Yang Dapat Dilakukan Untuk Menekan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia
Belum maksimalnya penanganan kasus korupsi selain faktor lemahnya SDM dari pegawanegeri penegak hukum, juga disebabkan lantaran secara substansi peraturan perundang-undangan mengenai tindak pidana korupsi yang ada masih terdapat beberapa kelemahan. Hal ini seringkali menjadi celah aturan yang disatu sisi menghambat upaya pemberantasan korupsi dan disisi lain menguntungkan para pelaku korupsi.

Indonesia seharusnya sanggup mencontoh beberapa negara yang telah berhasil menekan tindakan korupsi mirip Malaysia, Singapura, Hongkong dan China. Negara-negara tersebut secara tegas memperlihatkan hukuman yang berat terhadap para pelaku korupsi yang terbukti melaksanakan perbuatan tersebut. Sementara, di Indonesia, ancaman maksimum terhadap pelaku korupsi hanya memutuskan ancaman maksimum seumur hidup dan denda maksimum 30 juta rupiah, dan biasanya vonis final masih tergantung pada pembelaan pengacara terdakwa, sehingga sanggup dikatakan bahwa Indonesia memang sangat ramah terhadap para koruptor.

A. Produk Hukum
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 perihal Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, merupakan satu langkah maju yang keberadaanya diharapkan oleh masyarakat.

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang dibuat berdasarkan ketentuan Pasal 53 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 perihal Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 012-016-019/PUU-IV/2006 tanggal 19 Desember 2006 dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut pada dasarnya sejalan dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 perihal Kekuasaan Kehakiman, yang menentukan bahwa pengadilan khusus hanya sanggup dibuat dalam salah satu lingkungan peradilan umum yang dibuat dengan undang-undang tersendiri.

B. Kebijakan Untuk Percepatan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sebagaimana disampaikan oleh Muladi, penegakan aturan dalam penanggulangan korupsi tergantung pada tahap formulasi, tahap aplikasi dan tahap eksekusi. Tahap aplikasi penegakan aturan pidana merupakan suatu proses yang kompleks, lantaran tersangkut banyak pihak (kepolisian, kejaksaan, pengadilan, lembaga pemasyarakatan dan penasehat hukum) yang masing-masing mempunyai pandangan-¬pandangan yang berbeda dalam mencapai tujuan bersama. Tahap-¬tahap tersebut telah memadai baik dari formulasi, sistem pertanggungjawabannya maupun sistem beracara dan aturan pelaksanaan pidananya.

Kebijakan Pemerintah Indonesia dalam rangka mempercepat pemberantasan korupsi, ditandai dengan dikeluarkannya Instruksi Presiden (Inpres) Nomor. 5 Tahun 2004 perihal Percepatan Pemberantasan Korupsi, Instruksi Presiden tersebut berlaku efektif tanggal 09 Desember 2004. Berikut kesebelas diktum yang merupakan inti dari Instruksi Presiden tersebut :

Pertama: Kepada seluruh Pejabat Pemerintah yang termasuk dalam katagori Penyelenggara Negara sesuai Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme yang belum melaporkan harta kekayaannya untuk segera melaporkannya kepada Komisi Pemberan¬tasan Korupsi.

Kedua: Membantu Komisi Pemberantasan Korupsi dalam rangka penyelenggaran pelaporan, pendaftaran, pengumuman dan pemeriksaan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara di lingkungannya.

Ketiga: Membuat penetapan kinerja dengan Pejabat di bawahnya secara berjenjang, yang bertujuan untuk mewujudkan suatu capaian kinerja tertentu dengan sumber daya tertentu, melalui penetapan sasaran kinerja serta indikator kinerja yang menggambarkan keberhasilan pencapaiannya baik berupa hasil maupun manfaat.

Keempat: Meningkatkan kualitas pelayanan kepada publik baik dalam bentuk jasa ataupun perijinan melalui transparansi dan standarisasi pelayanan yang meliputi persyaratanpersyaratan, sasaran waktu penyelesaian, dan tarif biaya yang harus dibayar oleh masyarakat untuk mendapatkan pelayanan tersebut sesuai peraturan perundang-undangan dan menghapuskan pengutan-pungutan liar.

Kelima: Menetapkan acara dan wilayah yang menjadi lingkup tugas, wewenang dan tanggung jawabnya sebagai acara dan wilayah bebas korupsi.

Keenam: Melaksanakan Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah secara konsisten untuk mencegah banyak sekali macam kebocoran dan pemborosan penggunaan keuangan Negara baik yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara maupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

Ketujuh: Menerapkan Kesederhanaan baik dalam Kedinasan maupun dalam kehidupan pribadi serta penghematan pada penyelenggaraan kegiatan yang berdampak pribadi pada keuangan Negara.

Kedelapan: Memberikan dukungan maksimal terhadap upaya-upaya penindakan korupsi yang dilakukan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan Republik Indonesia dan Komisi Pemberantasan Korupsi dengan cara mempercepat pemberian ijin pemeriksaan terhadap saksi/tersangka.

Kesembilan: Melakukan kolaborasi dengan Komisi pemberantasan Korupsi untuk melaksanakan penelaahan dan pengkajian terhadap system-sistem yang berpotensi menimbulkan tindak pidana korupsi dalam ruang lingkup kiprah wewenang dan tanggung jawab masing-masing.

Kesepuluh: Meningkatkan upaya pengawasan dan training aparatur untuk meniadakan sikap koruptif di lingkungannya.

Kesebelas: Khusus kepada :
1. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Menteri Keuangan, dan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepada BAPPENAS melaksanakan kajian dan uji coba untuk pelaksanaan system E-Procurement yang sanggup dipergunakan bersama oleh Instansi Pemerintah.
2. Menteri Keuangan melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan ketentuan perpajakan, kepabeanan dan cukai, penerimaan bukan pajak dan anggaran untuk menghilangkan kebocoran dalam penerimaan keuangan Negara, serta mengkaji banyak sekali peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan keuangan Negara yang sanggup membuka peluang terjadinya praktek korupsi, dan sekaligus menyiapkan rancangan peraturan perundang¬undangan penyempurnaannya.
3. Menteri Negara Perncanaan Pembangunan Nasional/Kepala BAPPENAS menyusun Rencana Aksi Nasional (RAN) Pemberantas Korupsi Tahun 2004 – 2009 berkoordinasi dengan Menteri/Kepala Lembaga Pemerintah Non Departemen terkait dan unsur masyarakat serta Komisi Pemberantasan Korupsi.
4. Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara
  • Menyiapkan rumusan kebijakan dalam upaya peningkatan kualitas pelayanan publik.
  • Menyiapkan rumusan kebijakan dalam rangka penyusunan penetapan kinerja dari para pejabat pemerintahan.
  • Menyiapkan rumusan kebijakan untuk pe¬nerapan prinsip-prinsip tata kepemerintahan yang baik pada Pemerintahan Daerah, Lembaga Pemerintah Non Departemen, dan Departemen.
  • Melakukan pengkajian bagi perbaikan system kepegawaian Negara.
  • Mengkoordinasikan, memonitor dan meng¬evaluasi pelaksanaan Instruksi Presiden ini.
5. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.
  • Menyiapkan rumusan amandemen undang¬undang dalam rangka sinkronisasi dan optimalisasi upaya pemberantasan korupsi.
  • Menyiapkan rancangan peraturan perundang¬undangan yang dibutuhkan untuk pelaksanaan undang-undang yang terkait dengan pemberantasan tindak pidana korupsi.
6. Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara memperlihatkan petunjuk dan mengimplementasikan penerapan prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik pada tubuh perjuangan milik Negara.
7. Menteri Pendidikan Nasional menyelenggarakan pendidikan yang berisikan substansi penanaman semangat dan sikap anti korupsi pada setiap jenjang pendidikan baik formal dan non formal.
8. Menteri Negara Komunikasi dan Informasi menggerakkan dan mensosialisasikan pendidikan anti korupsi dan kampanye anti korupsi kepada masyarakat.
9. Jaksa Agung Republik Indonesia
  • Mengoptimalkan upaya-upaya penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi untuk menghukum pelaku dan menyelamat¬kan uang Negara.
  • Mencegah dan memperlihatkan hukuman tegas terhadap penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh jaksa/Penuntut Umum dalam rangka penegakan hukum.
  • Meningkatkan kerjasama dengan Kepolisian Negara republik Indonesia, Badan pengawas Keuangan dan Pembangunan, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi keuangan, dan Institusi Negara yang terkait dengan upaya penegakan aturan dan pengembalian kerugian keuangan Negara akhir tindak pidana korupsi.
10. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.
  • Mengoptimalkan upaya-upaya penyidikan terhadap tindak pidana korupsi untuk menghukum pelaku dan menyelamatkan uang Negara.
  • Mencegah dan memperlihatkan hukuman tegas tehadap penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam rangka penegakan hukum.
  • Meningkatkan kerjasama dengan Kejaksaan Republik Indonesia, Badan pengawas Keuangan dan Pembangunan, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, dan Institusi Negara yang terkait dengan upaya penegakan aturan dan pengembalian kerugian keuangan Negara akhir tindak pidana korupsi.
11. Gubernur dan Bupati/Walikota
  • Menerapkan prinsip-prinsip tata kepemerin¬tahan yang baik di lingkungan pemerintah daerah.
  • Meningkatkan pelayanan publik dan meniada¬kan pungutan liar dalam pelaksanaannya.
  • Bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah melaksanakan pencegahan terhadap kemungkinan terjadi kebocoran keuangan Negara baik yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara maupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
Pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) berdasarkan UU Nomor 30 Tahun 2002 dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) berdasarkan UU Nomor 30 Tahun 2002 , merupakan cita-cita masyarakat supaya kedua lembaga tersebut sanggup mempercepat penanganan dan mengeksekusi kasus-kasus korupsi yang melibatkan tersangka korupsi.

Langkah kedua yang akan dilakukan ialah pemeriksaan dalam pengadaan barang di semua lembaga Negara termasuk di departemen-¬departemen, dewan perwakilan rakyat dan lembaga lainnya. Selama ini, pengadaan barang merupakan ajang korupsi yang paling gampang dilakukan, tidak hanya di lembaga Negara tapi juga tumbuh subur di lingkungan swasta. Modusnya dengan me-mark up harga barang dan juga meminta potongan harga kepada pemasok.

C. Koordinasi Antar Aparat Penegak Hukum
Konsideran aksara b dari Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 perihal Komisi Pemberantasan Tindak Pidan Korupsi mencantumkan bahwa lembaga pemerintah yang menangani kasus tindak pidana korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi. Konsideran tersebut sanggup dianggap sebagai suatu pernyataan kejujuran pemerintah yang mengakui bahwa kegiatan pemberantasan korupsi belum berjalan secara efektif dan efisien. Berdasarkan pada kejujuran tersebut, ialah logis apabila pemerintah melaksanakan upaya-upaya “baru” lainnya dalam pemberantasan tindak pidana korupsi supaya kegiatan pemberantasan tersebut meningkat daya guna dan hasil gunanya. Salah satu upaya yang perlu ditempuh ialah dengan jalan meningkatkan koordinasi antar pegawanegeri penegak aturan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi. Dalam rangka meningkatkan daya guna dan hasil guna kegiatan pemberantasan korupsi, pemerintah telah membentuk KOmisi

Pemberantasan Korupsi yang mempunyai kiprah antara lain menjalankan koordinasi dengan instansi yang berwenang dalam melaksanakan kegiatan pemberantasan korupsi. Yang dimaksud instansi berwenang termasuk Badan Pemeriksa Keuangan, Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan, Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara, Inspektorat pada Departemen atau Lembaga Pemerintah Non Departemen (pasal 6 aksara a jo klarifikasi pasal 6 UU No. 30/2002)

Dalam rangka melaksanakan kiprah koordinasi sebagaimana tersebut di atas, Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai wewenang (pasal 7 UU No. 30/2002) :
  • mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi;
  • menetapkan system pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi;
  • meminta informasi perihal kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi yang terkait;
  • melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang melaksanakan pemberantasan tindak pidana korupsi; dan
  • meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi.
Merujuk pada wewenang nomor a sebagaimana tersebut di atas, sanggup disimpulkan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi juga harus berkoordinasi dengan instansi yang melaksanakan kegiatan pemberantasan korupsi dalam level tindakan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi. Mengingat bahwa level tindakan tersebut mustahil dilaksanakan oleh instansi berwenang sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 aksara a jo klarifikasi pasal 6 UU no. 30/2002, maka koordinasi yang harus dijalankan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi pastilah meliputi juga koordinasi dengan pegawanegeri kepolisian, dan kejaksaan.

Dalam kaitannya dengan koordinasi tersbut, perlu diingat ketentuan KUHAP yang mengatur perihal koordinasi pegawanegeri penyidikan yang terdapat dalam pasal 7 ayat (2), yang menentukan bahwa penyidik sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (1) aksara b mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik tersebut dalam Pasal 6 ayat (10) aksara a. Adapun yang dimaksud dengan penyidik sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (1) aksara a ialah pejabat polisi Negara Republik Indonesia, sedangkan yang dimaksud oleh aksara b ialah pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang.

Dalam konteks koordinasi pemberantasan tindak pidana korupsi antar aparat, perlu diberi perhatian khusus perihal pengalaman Komisi Pemberantasan Korupsi yang sulit mendapatkan jalan masuk terhadap informasi perbankan. Hal ini memberi kontribusi yang bersifat hambatan dalam upaya pemberantasan korupsi lantaran salah satu sifat kejahatan korupsi ialah kemampuan para pelakunya untuk memanfaatkan kemajuan teknologi di bidang perbankan, lantaran transaksinya yang bersifat rahasia, cepat, dan gampang serta tidak memerlukan uang kartal, untuk menyembunyikan uang atau kekayaan hasil korupsi. Sayangnya, dalam Keppres perihal pembentukan Timtastipikor, unsure perbankan tidak dimasukkan sebagai salah satu anggotanya. Untuk menutup kelemahan ini, disarankan supaya dijalin kerjasama khusus dengan dunia perbankan, baik itu Bank Indonesia, maupun dengan Perbanas (Perhimpunan Bank Swasta Nasional).

D. Peran Aktif Masyarakat
Menurut Mochtar Lubis, korupsi akan selalu ada dalam budaya masyarakat yang tidak memisahkan secara tajam antara hak milik pribadi dan hak milik umum. Pengaburan hak milik masyarakat dan hak milik individu secara gampang hanya sanggup dilakukan oleh para penguasa. Para penguasa di banyak sekali belahan dunia oleh etika istiadat, patut untuk meminta upeti, sewa dan sebagainya pada masyarakat, lantaran secara turun temurun semua tanah dianggap sebagai milik mereka. Kaprikornus korupsi berakar dari masa tersebut ketika kekuasaan bertumpu pada ’birokrasi patrimonial” yang berkembang dalam kerangka kekuasaan feodal. DalamSaat ini, masyarakat sudah demikian skeptis dan bersikap sinis terhadap setiap perjuangan pemberantasan kasus-kasus korupsi yang dilakukan pemerintah. Kenyataan dalam perjuangan pemberantasan korupsi di Indonesia selama ini memperlihatkan bahwa kegagalan demi kegagalan lebih sering terjadi, terutama dalam mengadili koruptor kelas kakap dibandingkan dengan koruptor kelas teri. Kegagalan tersebut memperlihatkan bahwa masyarakat pada strata rendah selalu menjadi korban dari ketidakadilan dalam setiap tindakan aturan terhadap masalah korupsi.

Harapan masyarakat supaya para pelaku tindak pidana korupsi menerima ganjaran hukuman yang setimpal telah banyak dilontarkan. Dalam musyawarah alim ulama Nadhatul Ulama (NU) se Indonesia di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta, Agustus 2002 telah dirumuskan fatwa-fatwa keras mengenai tindak pidana korupsi, antara lain : mengkriminalisasikan korupsi sama dengan pencurian dan perampokan; pelakunya sanggup dikenai pidana maksimal berupa potong tangan, dan kalau meninggal dianjurkan tidak perlu disholati. Kedua, memutus stelsel dan mekanisme korupsi yang sudah berurat berakar. Pelaksanaan hukuman secara maksimal (lama) diharapkan sanggup memotong jalur-jalur korupsi yang telah terbangun bersama tokoh-tokoh yang dikenai pidana itu.

Pemberantasan tindak pidana korupsi ialah serangkaian tindakan untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi melalui upaya koordinasi, supervise, monitor, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, dengan kiprah serta masyarakat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dalam melaksanakan perjuangan pemberantasan tindak pidana korupsi yang efisien dan efektif sanggup dilakukan dengan 4 (empat) pendekatan atau seni manajemen yaitu:
  1. Pendekatan hukum;
  2. Pendekatan budaya
  3. Pendekatan ekonomi
  4. Pendekatan sumber daya insan dan sumber daya keuangan.
Melalui pendekatan hukum, pemerintah telah menggulirkan banyak sekali peraturan perundang-undangan sebagai dasar pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia. Untuk itu, yang perlu dilakukan ialah memaksimalkan hal-hal yang telah dicantumkan dalam banyak sekali ketentuan yang ada tersebut, serta melaksanakan penilaian terhadap aturan-aturan yang ada guna meningkatkan keberhasilan tujuan yang diharapkan. Pendapat bahwa korupsi disebabkan antara lain oleh peraturan yang jelek telah ada semenjak dahulu kala. Sebagaimana dikemukakan oleh Syed Hussein Alatas, bahwa seorang pembaru Cina yang berjulukan Wang An Shih (1021 – 1086) terkesan oleh dua sumber korupsi yaitu bad laws and bad man. Namun, bad man terkesan lebih besar pengaruhnya dibandingkan dengan bad law, Buktinya, peraturan-peraturan perihal pemberantasan korupsi silih berganti dibuat, tetapi korupsi dalam segala bentuknya dirasakan masih tetap mengganas. Itulah sebabnya, perbaikan atau penyempurnaan aturan aturan di bidang korupsi tetap dilakukan untuk makin mempersempit celah aturan yang ada.

Melalui pendekatan budaya, seni manajemen pemberantasan korupsi harus diarahkan pada pemberdayaan dan kesadaran masyarakat mengenai ancaman dan dampak korupsi terhadap tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Melalui pendekatan ekonomi, diharapkan terwujudnya peningkatan kemampuan ekonomi terutama masyarakat lapisan bawah. Hal ini disebabkan lantaran perkembangan ekonomi nasional tidak hanya ditentukan oleh keberhasilan konglomerasi dan kalangan menengah, akan tetapi justru yang paling utama ditentukan secara signifikan oleh kemampuan golongan ekonomi lemah. Pendekatan untuk meningkatkan kemampuan sektor riil akan meningkatkan perkembangan ekonomi makro.

Melalui pendekatan sumber daya, baik sumber daya insan maupun sumber daya keuangan, memperlihatkan dengan terang bahwa kelemahan mendasar dalam sektor ini sangat menentukan pelaksanaan seni manajemen pemberantasan korupsi selama ini dan terutama sekali untuk masa-masa mendatang.

E. Upaya-Upaya Lainnya
Kebijakan pemberantasan korupsi harus juga ditunjang dengan prinsip-prinsip pemerintahan yang baik (good governance) dan prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Hal tersebut sanggup dilakukan melalui langkah-langkah atau syarat-syarat :
  1. ada cek terhadap kekuasaan direktur dan legislatif serta yudikatif.
  2. ada garis terang akuntabilitas antara pemimpin politik, birokrasi dan rakyat.
  3. Sistem politik yang terbuka yang melibatkan masyarakat sipil yang aktif
  4. Sistem aturan yang tidak memihak, peradilan pidana dan ketertiban umum yang menjunjung hak-hak politik dan sipil yang fundamental, melindungi keamanan pribadi dan menyediakan aturan yang konsisten, transparan untuk transaksi yang dibutuhkan dalam pembangunan ekonomi dan sosial yang modern.
  • Pelayanan publik yang profesional, kompeten, kapabel dan jujur yang bekerja dalam kerangka yang akuntabel dan memerintah dengan aturan dan dalam prinsip merit dan mengutamakan kepentingan publik.
  • Kapasitas untuk melaksanakan planning fiskal, pengeluaran, manajemen ekonomi, sistem akuntabilitas finansial dan penilaian kegiatan sektor publik.
  • Perhatian bukan saja kepada lembaga-lembaga dan proses pemerintah pusat tetapi juga kepada atribut dan kapasitas sub nasional dan penguasa pemerintah lokal dan soal-soal transfer politik dan desentralisasi administratif; dan
  • Setiap seni manajemen anti korupsi yang efektif harus mengakui relasi antara korupsi, etika, pemerintahan yang baik dan pembangunan berkesinambungan.
Salah satu upaya yang sanggup dilakukan untuk menekan tindakan korupsi ialah :
  • menaikkan honor pegawai rendahan dan menengah;
  • menaikkan moral pegawai tinggi;
  • legalisasi pungutan liar menjadi pendapatan resmi atau legal.
Selain itu, untuk mencegah terjadinya korupsi besar-besaran, bagi pejabat yang menduduki jabatan yang rawan korupsi mirip bidang pelayanan publik, pendapatan negara, pengelola keuangan negara, penegak hukum, dan pembuat kebijaksanaan sebelum menduduki jabatan harus didaftar kekayaannya sehingga gampang diperiksa pertambahan kekayaannya dibandingkan dengan pendapatannya yang resmi. Melalui mekanisme ini, pegawai negeri atau pejabat yang tidak sanggup membuktikan asal usul kekayaannya yang tidak seimbang dengan pendapatannya yang resmi sanggup digugat pribadi secara perdata oleh penuntut umum berdasarkan perbuatan melanggar aturan dan dirampas untuk negara.

BAB V
P E N U T U P
  1. berbagai kebijakan (policy) yang diambil oleh pemerintah selama ini dalam memberantas korupsi banyak yang tidak berjalan secara efektif. Sebagai pola di antaranya ialah Instruksi Presiden (Inpres) No. 5 Tahun 2004 perihal Percepatan Pemberantasan Korupsi dan Keputusan Presiden (Keppres) No. 11 Tahun 2005 perihal Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Timtastipikor) yang hanya menjadi kebijakan yang jeudaih dalam tataran konseptual namun tidak aplikatif untuk dioperasionalkan dalam memberantas korupsi.
  2. produk aturan yang dipakai sebagai pijakan yuridis dalam melaksanakan pemberantasan korupsi, masih mempunyai banyak celah aturan sehingga sering dimanfaatkan para koruptor untuk menghindar dari jerat hukum. Bahkan bukan hanya itu, banyaknya celah aturan dalam UU Tipikor dan KPK justru sering dipakai sebagai “senjata” oleh para koruptor dalam melaksanakan serangan balik (corruptor fight back). Kesuksesan koruptor mendobrak daya “gedor” UU Tipikor dan UU KPK tercermin dalam putusan MK Nomor 003/PUU-IV/2006 mengenai uji materiil UU No. 31/1999 jo UU No. 20/2001 perihal Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. MK dalam putusannya menyatakan bahwa klarifikasi Pasal 2 ayat 1 UU No. 31/1999 junto UU No. 20/2001 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, lantaran klarifikasi pasal tersebut dianggap telah memperluas kategori unsur melawan aturan materiil dengan merujuk pada aturan tidak tertulis serta bertentangan dengan prinsip kepastian aturan (rechtzakerheid) dan prinsip keadilan (rechtvaardigheid).
  3. institusi yang berfungsi sebagai garda terdepan dalam melaksanakan pemberantasan korupsi mirip KPK belum bisa berperan secara optimal dalam membasmi dan mencegah terjadinya korupsi. Belum optimalnya kinerja KPK disebabkan oleh begitu kuatnya intervensi kekuatan politik terhadap lembaga tersebut. Akibatnya, praktek diskriminasi atau “tebang pilih” dalam pemberantasan korupsi tak sanggup dihindari untuk dilakukan, demi menjaga relasi baik dengan banyak sekali pihak yang berkuasa.
  4. mandeknya proses reformasi birokrasi yang selama ini dicanangkan oleh pemerintah. Hingga ketika ini, Birokrasi belum sanggup secara maksimal menangkal terjadinya banyak sekali praktik-praktik korupsi. Birokrasi justru tetap dengan wajah lamanya yang korup.
A. KESIMPULAN
  1. Pentingnya supremasi hukum, mengingat sulitnya penegakan aturan kalau hanya dilakukan secara parsial, maka dipandang perlu untuk meningkatkan penegakan aturan disegala bidang.
  2. Penegakan aturan yang konsisten dan seni manajemen penghukuman yang keras sangat diperlukan, selain merampas dan menyita harta koruptor, perlu juga memperlihatkan hukuman sosial dan penegakan aturan yang maksimal, yaitu hukuman seumur hidup bagi koruptor yang diatur dalam Pasal 2 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah disempurnakan menjadi UU No 20 Tahun 2001 perihal Tindak Pidana Korupsi, belum pernah dilakukan, padahal, hukuman berat itu penting untuk memperlihatkan efek jera. Langkah lainnya ialah mempersulit pemberian remisi, bahkan jika memungkinkan kebijakan tersebut dihapus kemudian mengaryakan narapidana korupsi, menjelang final masa penahanan, contohnya dengan mempekerjakan mereka sebagai buruh perkebunan, penyapu jalan, dan semacamnya.
  3. Tindak pidana korupsi di Indonesia hingga ketika ini masih menjadi salah satu penyebab terpuruknya sistem perekonomian bangsa. Hal ini disebabkan lantaran korupsi di Indonesia terjadi secara sistemik dan meluas sehingga bukan saja merugikan kondisi keuangan negara, tetapi juga telah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas. Untuk itu pemberantasan tindak pidana korupsi tersebut harus dilakukan dengan cara luar biasa dengan memakai cara-cara khusus
  4. Sulitnya pemberantasan tindak pidana korupsi, dikarenakan permasalahan korupsi bukan hanya terjadi dan terdapat di lingkungan birokrasi baik di lembaga eksekutif, yudikatif dan legislatif, tetapi juga telah berjangkit dan terjadi pula pada sektor swasta, dunia perjuangan dan lembaga-lembaga dalam masyarakat pada umumnya.
  5. Usaha pemberantasan korupsi tidak semata-mata merupakan masalah hukum, tetapi juga merupakan masalah sosial, ekonomi dan politik, sehingga upaya pemberantasannya pun harus bersifat komprehensif dan multidisipliner.
  6. Mengingat korupsi merupakan suatu tindak kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime), maka upaya pemberantasannya pun tidak sanggup dilakukan secara biasa, tetapi harus dilakukan dengan cara-cara yang luar biasa pula; yakni melalui 4 pendekatan yakni pendekatan hukum; pendekatan budaya; pendekatan ekonomi; dan pendekatan sumber daya insan dan sumber daya keuangan.
  7. Salah satu langkah yang harus diambil dalam rangka mendorong percepatan pemberantasan korupsi di Indonesia ialah meninjau kembali peraturan perundang-undangan perihal korupsi yang telah ada termasuk di dalamnya mekanisme dalam penanganan kasus korupsi secara keseluruhan.
B. SARAN
  1. melakukan kaji ulang (review) terhadap banyak sekali kebijakan yang pernah dikeluarkan oleh pemerintah, khususnya yang berkaitan dengan pemberantasan korupsi dan ditindaklanjuti mengeluarkan kebijakan gres untuk menganti kebijakan-kebijakan yang tidak sanggup berjalan secara efektif.
  2. menutup banyak sekali celah aturan yang terdapat di dalam UU Tipikor dan UU KPK dengan cara segera melaksanakan penyempurnaan (revisi) terhadap kedua UU tersebut serta mempercepat proses legislasi RUU perihal Pengadilan adhoc Tipikor yang ketika ini sedang dalam proses pembahasan di DPR.
  3. memperkuat kelembagaan KPK dengan memfasilitasi infrastruktur, memperlihatkan anggaran yang memadai, mengharuskan semua jajaran birokrasi, kepolisian, kejaksaan untuk mendukung eksistensi kedua lembaga tersebut serta menghentikan banyak sekali bentuk intervensi politik terhadap KPK.
  4. segera melaksanakan restrukturisasi terhadap birokrasi secara menyeluruh dengan mempercepat proses reformasi terhadap birokrasi melalui implementasi prinsip tata pemerintahan yang baik (good governance) ke dalam sistem birokrasi di Indonesia baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah.
  5. Korupsi dengan pengertian yang lebih luas lagi, terbina/terjadi di lingkungan kita, misalnya:
  • Mah, minta uang dong untuk bayar praktikum 500 ribu,” padahal total biaya praktikum hanya 300 ribu.
  • Anak-anak, meskipun masih ada waktu setengah jam lagi, mari kita sudahi perkuliahan ini,” Korupsi waktu sering dilakukan oleh guru jika sedang malas mengajar. Meskipun tidak satupun siswa yang protes, termasuk saya.
  • Pasar tradisional juga merupakan tempat korupsi, dimana terdapat pedagang yang mencurangi timbangannya supaya menerima untung yang lebih.
  • Yang mengerikan ialah korupsi bahan-bahan konstruksi bangunan. Yang seharusnya perbandingan semennya 1:3, supaya untung diubah jadi 1:8. Yang seharusnya tiang pondasi digali hingga kedalaman 10 meter, hanya digali 5 meter, pengurangan lebar aspal untuk jalan, dan lain lain.
  • Cara memberantas korupsi yang baik berdasarkan Aa Gym, ialah dengan 3M :
  1. Mulai dari diri sendiri
  2. Mulai dari hal-hal kecil, dan
  3. Mulai dari ketika ini
DAFTAR PUSTAKA;
  • Power Point Tindak Pidana Korupsi, oleh Basuni SH, MH
  • Penelitian perihal Aspek Hukum Pemberantasan Korupsi di Indonesia dilaksanakan oleh Tim, diketuai oleh DR. Rudy Satriyo Mukantardjo, SH, MH 
  • Firdaus Arifin, S.H. Analis Hukum Tata Negara, Sedang Studi di Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran Bandung
  • http://www.equator-news.com/utama/awas-bpkp-celah-koruptor
  • https://sewakarya.blogspot.com//search?q=mewaspadai-bahaya-korupsi
  • http://www.kpk.go.id/modules/news/article.php?storyid=2067

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel