Bentuk-Bentuk Instruksi Etik
Saturday, June 15, 2019
Edit
Bentuk-bentuk instruksi etik
Dalam melaksanakan kegiatan jurnalistik media elektronik, wartawan penyiar tunduk pada instruksi etik jurnalistik dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Selama kurun ke-19, semakin banyak surat kabar dan majalah yang menyuarakan reformasi politik dan sosial sebagai metode menarik pembaca. Para wartawan terus bekerja sebagai penjaga mayarakat. Para wartawan yang mencakup perang Vietnam (1959 - 1975) yakin bahwa para pejabat pemerintah tidak memberitahukan kebenaran perihal keterlibatan Amerika Serikat disana. Mereka jadi sangat besar lengan berkuasa dalam memutar opini public dari mendukung menjadi penantang perang tersebut.
Adapun bentuk-bentuk instruksi etik dalam pers yaitu sebagai berikut:
Menghormati hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar
Menempuh tatacara yang etis untuk memperoleh dan menyiarkan informasi serta menunjukkan identitas kepada sumber informasi
Menghormati asas praduga tidak bersalah, tidak mencampuradukan fakta dengan opini, berimbang, dan selalu menliti kebenaran informasi serta tidak melaksanakan flagiat
Tidak menyiarkan informasi yang bersifat dusta, fitnah, sadis dan cabul, serta tidak menyebutkan identitas korban kejahatan asusila
Tidak mendapatkan uang suap dan tidak menyalahgunakan profesi
Memiliki hak tolak, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang dan off the record sesuai kesepakatan
Kode etik peliputan pemilu
Indoensia belum ada instruksi etik peliputan pemilu yang disepakati bersama, sehingga setiap menjelang pemilu sejumlah organisasi wartawan sibuk menciptakan rumusan instruksi etik. Dalam Lokakarya peliputan pemilu 2004 yang diadakan forum pers Dr. Soetomo di Cianjur 21-25 April 2003 muncul instruksi etik berikut :
Pola dan tujuan pemberitaan pemilu hendaknya direncang untuk membantu masyarakat
Media semoga membentuk tim peliputan pemilu sedini mungkin
Media pers mendorong partai-partai politik memakai media massa dalam taktik kampanye
C. Pers yang bebas dan bertanggung jawab
Selama ini banyak orang (terutama kaum awam) yang menduga, mengira atau menganggap (karena tidak tahu) bahwa pers yaitu forum yang bangun sendiri, tidak terkait dengan masyarakat. Dalam anggapan ibarat itu, seorang wartawan atau jurnalis hanyalah seorang buruh yang bekerja di perusahaan pers berdasarkan assignment atau penugasan redaksi. Tak ubahnya seorang tukang yang bekerja sekedar untuk mencari sesuap nasi – tanpa rasa tanggung jawab moral terhadap profesi dan masyarakat. Pastilah ia tidak mengerti hakikat kebebasan pers, atau bahkan mengira bahwa kebebasan pers merupakan “hak kebebasan bagi pers dan wartawan.”Padahal, media pers (cetak, radio, televisi, online – selanjutnya disebut media atau pers) sebetulnya merupakan kepanjangan tangan dari hak-hak sipil publik, masyarakat umum, atau dalam bahasa politik disebut rakyat.
Dalam sebuah negara yang demokratis, di mana kekuasaan berada di tangan rakyat, publik punya hak kontrol terhadap kekuasaan semoga tidak terjadi penyalah gunaan kekuasaan. Hal itu sebagaimana adagium dalam dunia politik yang sangat terkenal, yang diangkat dari kata-kata Lord Acton, sejarawan Inggris (1834 – 1902), “The power tends to corrupt, the absolute power tends to absolute corrupt” (Kekuasaan cenderung korup, kekuasaan yang mutlak cenderung korup secara mutlak). Sebagai konsekwensi dari hak kontrol tersebut, segala hal yang menyangkut hajat hidup orang banyak (publik, rakyat) harus sanggup diakses (diinformasikan, diketahui) secara terbuka dan bebas oleh publik, dalam hal ini pers.
Dalam kondisi ibarat itulah dibutuhkan pers yang secara bebas sanggup mewakili publik untuk mengakses informasi. Dari sinilah bermula apa yang disebut “pers bebas” (free press) atau “kebebasan pers” (freedom of the press) sebagai syarat mutlak bagi sebuah negara yang demokratis dan terbuka. Begitu pentingnya freedom of the press tersebut, sehingga Thomas Jefferson, presiden ketiga Amerika Serikat (1743 – 1826), pada tahun 1802 menulis, “Seandainya saya diminta tetapkan antara pemerintah tanpa pers, atau pers tanpa pemerintah, maka tanpa ragu sedikit pun saya akan menentukan yang kedua.” Padahal, selama memerintah ia tak jarang menerima perlakuan jelek dari pers AS. Mengapa kebebasan pers sangat penting dalam sebuah negara demokratis? Sebab, kebebasan pers sebetulnya merupakan sarana bagi publik untuk menerapkan hak-hak sipil sebagai potongan dari hak asasi manusia. Salah satu hak sipil itu ialah hak untuk mengetahui (the right to know) sebagai implementasi dari dua hak yang lain, yaitu kebebasan untuk berbicara atau beropini (freedom to speech) dan kebebasan untuk berekspresi (freedom to expression).
Dengan demikian, kebebasan pers bukanlah semata-mata kepentingan pers (sekali lagi: kebebasan pers bukanlah semata-mata kepentingan pers), melainkan kepentingan publik. Namun, alasannya yaitu publik mustahil mengakses informasi secara langsung, maka diperlukanlah pers sebagai “kepanjangan tangan” atau “penyambung lidah.”
Untuk pertama kalinya dalam sejarah pers Indonesia, kebebasan pers gres diakui secara konstitusional sesudah 54 tahun Indonesia merdeka secara politik, yaitu dalam UU Nomor 40/1999 perihal Pers. Meskipun demikian, pengertian kebebasan pers belum dimengerti secara merata oleh publik Indonesia. Bahkan para pejabat dan kalangan pers sendiri pun – yang mestinya lebih mengerti – masih ada yang kurang faham mengenai makna dan pengertrian kebebasan pers yang sesungguhnya.
Oleh alasannya yaitu mengemban kiprah luhur dan mulia itulah, pers yang bebas juga harus mempunyai tanggung jawab – yang dirumuskan dalam naskah Kode Etik Jurnalistik atau Kode Etik Wartawan Indonesia sebagai “bebas dan bertanggung jawab.” Belakangan, pengertian “bebas” menjadi kabur – terutama di zaman pemerintahan Presiden Soeharto — gara-gara perilaku pemerintah yang sangat represif, sementara pengertian “bertanggung jawab” dimaknai sebagai “bertanggung jawab kepada pemerintah.” Padahal, yang dimaksud dengan bebas ialah bebas dalam mengakses informasi yang terbuka; sementara yang dimaksud dengan bertanggung jawab ialah bertangung jawab kepada publik, kebenaran, hukum, common sense, logika sehat.
Jika posisi pers benar-benar ideal, yaitu “bebas dan bertanggung jawab” – sebuah rumusan ala Indonesia yang berdasarkan saya sangat sempurna – maka pers sanggup berposisi sebagai “anjing penjaga” (watch dog) sehingga hak-hak rakyat terlindungi, sementara pemerintah tidak menyalah-gunakan kekuasaan secara sewenang-wenang. Begitu penting dan idealnya posisi pers dalam sebuah negara yang demokratis, sehingga kedudukannya disamakan dengan the fourth estate (kekuasaan ke empat) yang dianggap sejajar dengan tiga pilar demokrasi yang lain yaitu forum eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Pers Indonesia lahir dari kancah pergerakan nasional untuk membebaskan rakyat dari penjajajahan. Ketika itulah pers pundak membahu dengan kaum pergerakan, bahkan mengambil kiprah penting dalam usaha politik. Pers pada periode itu disebut “pers perjuangan”. Ketika negeri ini memasuki era “demokrasi liberal” di tahun 1950-an, pers sebagai cerminan aspirasi masyarakat, tampil sebagai pers bebas. Ketika Presiden Soekarno mendekritkan “demokrasi terpimpin” (1962) pers Indonesia ikut pula terpimpin. Ketika Presiden Soeharto memperkenalkan “demokrasi pancasila” (1970) – yang hakikatnya sami mawon dengan “demokrasi terpimpin”, pers Indonesia kembali terkekang. Barulah di era reformasi (1989) pers Indonesia benar-benar bebas.
Ada pers yang bekerja serampangan, mulai dari praktik peliputan di lapangan, pengemasan berita, hingga pengelolaan manajemennya. Di lain pihak, publik yang menyadari akan hak-hak sipilnya mulai berani menyuarakan aspirasi mereka, termasuk memprotes, menggugat (dengan cara yang tidak semestinya – bahkan main hakim sendiri), bahkan meneror wartawan dan kantor media pers. Ini semua yaitu efek dari reformasi, saat (sebagian) masyarakat mulai terbuka dan menyadari akan hak-hak sipilnya.
Sebagai efek dari iklim reformasi yang “serba terbuka” itu, kebebasan pers memungkinkan lahirnya media pers yang benar-benar bebas. Apalagi untuk menerbitkan media tak lagi diharapkan izin dari pemerintah. Jumlah pers cetak saja, misalnya, mencapai ribuan. Belum lagi televisi dan radio. Kondisi ibarat itu di samping menggembirakan (karena publik bebas berekspresi) dan menghidupkan suasana persaingan, di lain pihak mengkhawatirkan alasannya yaitu cukup banyak media pers yang tidak memenuhi standar kualitas: tidak profesional, dengan integritas yang rendah, yang dikenal sebagai yellow paper, pers kuning, yakni pers yang lebih mengutamakan sensasi.
Dalam mengakses informasi ia harus obyektif, mendalaminya dari banyak sekali sudut yang memungkinkan, sehingga sanggup memperoleh atau menggambarkan sebuah kasus secara lengkap, akurat dan obyektif. Lepas dari apakah ia menerima honor besar atau kecil, wartawan yang baik seharusnya profesional, independen, mempunyai integritas yang tinggi. Cuma sayang sekali, banyak perusahaan pers yang “tidak sempat” menyelenggarakan inhouse pembinaan bagi wartawan dan redakturnya. Celakanya, ada juga (sebagian) wartawan yang tak bisa menulis informasi yang baik. Bahkan ada yang tak faham persyaratan informasi yang klasik: 5-W (who, what, when, where, why) dan 1-H (how).
Ia juga tak canggung menulis banyak sekali jenis berita, mulai dari straight news, breaking news hingga feature. Dengan kata lain, skill (kemampuan, keterampilan) maupun personal quality ataupun integritasnya benar-benar mumpuni. Lebih dari itu, ia punya the nose of news (kemampuan mengendus jenis berita), mana informasi yang biasa-biasa saja, dan mana informasi yang layak dimuat, atau bahkan eksklusif. Ia bisa melihat dengan jeli apa yang disebut news value – sebagaimana kata Charles A. Dana (1882) lebih seabad silam, “When a dog bite a man that is not a news, but when a man bites a dog that is a news” (Jika ada seokor anjing menggigit orang hal itu bukanlah berita, tapi jika ada orang menggigit anjing hal itu gres berita). Selain itu, ia bisa pula menembus sumber berita, tidak hanya melaksanakan wawancara yang lazim, melainkan juga bisa melaksanakan investigative reporting – kemudian menyajikannya sebagai feature yang mendalam, indeph reporting, indeph feature.
Bagaimana menghadapi wartawan sejenis itu? Gampang. Tolak, atau lebih tegas lagi: laporkan kepada polisi sebagai kasus pemerasan. Kalau memang Anda bersih, tidak punya malu yang merugikan publik, seharusnya tidak khawatir diancam akan dicemarkan oleh “wartawan gadungan” di yellow paper (”pers kuning”) atau pers yang sensasional.
Terakhir, jika ada yang bertanya, bagaimana mengukur impact sebuah berita, tentu saja hal itu bukan lagi garapan wartawan atau redaktur sebagai praktisi, melainkan lahan bagi pakar ilmu komunisi (yang niscaya bukan petugas humas, public relations) yang bisa berbicara mengenai “realitas media” dan “realitas sosial” dan kaitannya dengan kecenderungan framing di kalangan media.
Pemerintah sebagai sumber berita
Sumber aturan primer tentulah dari konsitusi. Tetapi para pendiri RI, kendati umumnya memakai pers sebagai sarana perjuangan, tidak secara eksplisit memasukkan hak warga negara untuk memberikan dan memperoleh informasi. Dasar aturan dari UUD 1945 yang dipakai untuk undangundang perihal Pers, sanggup dilihat dari konsiderans Undang-undang No. 21 Tahun 1982 perihal Perubahan Atas Undang-undang No 11 Tahun 1966 perihal Ketentuan-ketentuan Pokok Pers Sebagaimana Telah Diubah dengan Undang-undang No. 4 Tahun 1967. Disebutkan, mengingat: "Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 28 dan Pasal 33 UUD 1945".
SUMBER;
https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=4590033009607805970#editor/target=post;postID=4430241481426687251;onPublishedMenu=allposts;onClosedMenu=allposts;postNum=2;src=link
SUMBER;
https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=4590033009607805970#editor/target=post;postID=4430241481426687251;onPublishedMenu=allposts;onClosedMenu=allposts;postNum=2;src=link