Pengertian Dan Sejarah Aturan Islam

Pengertian Hukum Islam, Syariah, Fikih, dan Ushul Fikih 
Sistem aturan di setiap masyarakat mempunyai sifat, karakter, dan ruang lingkupnya sendiri. Begitu juga halnya dengan sistem aturan dalam Islam. Islam mempunyai sistem aturan sendiri yang dikenal dengan sebutan aturan Islam. Ada beberapa istilah yang terkait dengan kajian aturan Islam, yaitu syariah, fikih, ushul fikih, dan aturan Islam sendiri.

Istilah syariah, fikih, dan aturan Islam sangat terkenal di kalangan para pengkaji aturan Islam di Indonesia. Namun demikian, ketiga istilah ini sering dipahami secara tidak tepat, sehingga ketiganya terkadang saling tertukar. Untuk itu, di bawah ini akan dijelaskan masing-masing dari ketiga istilah tersebut dan hubungan antarketiganya, terutama hubungan antara syariah dan fikih. Satu lagi istilah yang juga terkait dengan kajian aturan Islam ialah ushul fikih.

 Pada prinsipnya aturan Islam bersumber dari wahyu Ilahi, yakni alQuran, yang kemudian dijelaskan lebih rinci oleh Nabi Muhammad saw. melalui Sunnah dan hadisnya. Wahyu ini memilih norma-norma dan konsep-konsep dasar aturan Islam yang sekaligus merombak aturan atau norma yang sudah mentradisi di tengah-tengah masyarakat manusia. Namun demikian, aturan Islam juga mengakomodasi banyak sekali aturan dan tradisi yang tidak bertentangan dengan aturan-aturan dalam wahyu Ilahi tersebut.

Hukum Islam 
 Istilah aturan Islam berasal dari dua kata dasar, yaitu ‘hukum’ dan ‘Islam’. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata ‘hukum’ diartikan dengan:

  • Peraturan atau budbahasa yang secara resmi dianggap mengikat;
  • Undang-undang, peraturan, dsb untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat;
  • Patokan (kaidah, ketentuan) mengenai kejadian tertentu;
  • Keputusan (pertimbangan) yang ditetapkan oleh hakim (di pengadilan) atau vonis (Tim Penyusun Kamus, 2001: 410). 

Secara sederhana aturan sanggup dipahami sebagai peraturan-peraturan atau norma-norma yang mengatur tingkah laris insan dalam suatu masyarakat, baik peraturan atau norma itu berupa kenyataan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat maupun peraturan atau norma yang dibentuk dengan cara tertentu dan ditegakkan oleh penguasa (Muhammad Daud Ali, 1996: 38). Kata
aturan sebetulnya berasal dari bahasa Arab al-hukm yang merupakan isim mashdar dari fi’il (kata kerja) hakama-yahkumu yang berarti memimpin, memerintah, memutuskan, menetapkan, atau mengadili, sehingg kata alhukm berarti putusan, ketetapan, kekuasaan, atau pemerintahan (Munawwir, 1997: 286). Dalam ujudnya, aturan ada yang tertulis dalam bentuk undangundang ibarat aturan modern (hukum Barat) dan ada yang tidak tertulis ibarat aturan budbahasa dan aturan Islam.

Adapun kata yang kedua, yaitu ‘Islam’, oleh Mahmud Syaltout didefinisikan sebagai agama Allah yang diamanatkan kepada Nabi Muhammad saw. untuk mengajarkan dasar-dasar dan syariatnya dan juga mendakwahkannya kepada semua insan serta mengajak mereka untuk memeluknya (Mahmud Syaltout, 1966: 9). Dengan pengertian yang sederhana, Islam berarti agama Allah yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. kemudian disampaikan kepada umat insan untuk mencapai kesejahteraan hidupnya baik di dunia maupun di alam abadi kelak.

Dari campuran dua kata ‘hukum’ dan ‘Islam’ tersebut muncul istilah aturan Islam. Dengan memahami arti dari kedua kata yang ada dalam istilah aturan Islam ini, dapatlah dipahami bahwa aturan Islam merupakan seperangkat norma atau peraturan yang bersumber dari Allah SWT. dan Nabi Muhammad saw. untuk mengatur tingkah laris insan di tengahtengah masyarakatnya. Dengan kalimat yang lebih singkat, aturan Islam sanggup diartikan sebagai aturan yang bersumber dari anutan Islam.

Dalam khazanah literatur Islam (Arab), termasuk dalam al-Quran dan Sunnah, tidak dikenal istilah aturan Islam dalam satu rangkaian kata. Kedua kata ini secara terpisah sanggup ditemukan penggunaannya dalam literatur Arab, termasuk juga dalam al-Quran dan Sunnah. Dalam literatur Islam ditemukan dua istilah yang dipakai untuk menyebut aturan Islam, yaitu al-syari’ah al-Islamiyah (مية س ا ريعة الش) (Indonesia: syariah Islam) dan al-fiqh alIslami (مي س ا الفقه) (Indonesia: fikih Islam). Istilah aturan Islam yang menjadi terkenal dan dipakai sebagai istilah resmi di Indonesia berasal dari istilah Barat.

Hukum Islam merupakan terjemahan dari istilah Barat yang berbahasa Inggris, yaitu Islamic law. Kata Islamic law sering dipakai para penulis Barat (terutama para orientalis) dalam karya-karya mereka pada pertengahan masa ke-20 Masehi hingga sekarang. Sebagai teladan dari bukubuku mereka yang terkenal ialah Islamic Law in Modern World (1959) karya J.N.D. Anderson, An Introduction to Islamic Law (1965) karya Joseph Schacht, A History of Islamic Law (1964) karya N.J. Coulson, Crime and Punishment in Islamic Law: Theory and Practice from the Sixteenth to the Twenty-first Centuri 9 (2005) karya Rudolph Peters, An Introduction to Islamic Law (2009) kayra Wael B. Hallaq, dan Introduction in Islamic Law (2010) karya Ahmed Akgunduz. Para pakar aturan Islam yang menulis dengan bahasa Inggris juga memakai istilah itu dalam tulisan-tulisan mereka. Kata Islamic law sering dipakai untuk menunjuk istilah Arab fikih Islam. Ahmad Hasan memakai istilah Islamic law untuk fikih dalam karya-karyanya ibarat dalam buku The Early Development of Islamic Jurisprudence (1970) dan The Principles of Islamic Jurisprudence (1994). Istilah inilah yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi aturan Islam. Istilah ini kemudian banyak dipakai untuk istilah-istilah resmi ibarat dalam perundang-undangan, penamaan mata kuliah, jurusan, dan lain sebagainya. Adapun untuk padanan syariah, dalam literatur Barat, ditemukan kata shari’ah. Untuk padanan syariah terkadang juga dipakai Islamic law, di samping juga dipakai istilah lain ibarat the revealed law atau devine law (Ahmad Hasan, 1994: 396).

Istilah lain terkait dengan aturan Islam yang juga dipakai dalam literatur Barat ialah Islamic Jurisprudence. Istilah ini dipakai untuk padanan ushul fikih. Ada beberapa buku yang ditulis dalam bahasa Inggris terkait dengan istilah ini, di antaranya ialah dua buku goresan pena Ahmad Hasan ibarat di atas, The Origins of Muhammadan Jurisprudence (1950) karya Joseph Schacht, The Principles of Muhammadan Jurisprudence (1958) karya Abdur Rahim, dan juga dua karya Ahmad Hasan ibarat di atas, yakni The Early Development of Islamic Jurisprudence (1970) dan The Principles of Islamic Jurisprudence (1994), serta karya Norman Calder, Islamic Jurisprudence in the Classical Era yang diedit oleh Colin Imber (2010).

Dari klarifikasi di atas terlihat adanya ketidakpastian atau kekaburan makna dari Islamic law (hukum Islam) antara syariah dan fikih. Jadi, kata aturan Islam yang sering ditemukan pada literatur aturan yang berbahasa Indonesia secara umum meliputi syariah dan fikih, bahkan terkadang juga meliputi ushul fikih. Oleh alasannya itu, sering juga ditemukan dalam literatur tersebut kata syariah Islam dan fikih Islam untuk menghindari kekaburan penggunaan istilah aturan Islam untuk padanan dari kedua istilah tersebut.

Syariah 
Secara etimologis (lughawi) kata ‘syariah’ berasal dari kata berbahasa Arab al-syari’ah (ريعة الش) yang berarti ‘jalan ke sumber air’ atau jalan yang harus diikuti, yakni jalan ke arah sumber pokok bagi kehidupan (alFairuzabadiy, 1995: 659). Orang-orang Arab menerapkan istilah ini 10 khususnya pada jalan setapak menuju palung air yang tetap dan diberi tanda yang terang terlihat mata (Ahmad Hasan, 1984: 7). Syariah diartikan jalan air alasannya siapa saja yang mengikuti syariah akan mengalir dan higienis jiwanya. Allah menjadikan air sebagai penyebab kehidupan tumbuh-tumbuhan dan hewan sebagaimana Dia menjadikan syariah sebagai penyebab kehidupan jiwa insan (Amir Syarifuddin, 1997, I:1). Ada juga yang mengartikan syariah dengan apa yang disyariatkan Allah kepada hamba-Nya (Manna’ alQaththan, 2001: 13).

Al-Quran memakai dua istilah: syir’ah (Q.S. al-Maidah [5]: 48) dan syari’ah (Q.S. al-Jatsiyah [45]: 18) untuk menyebut agama (din) dalam arti jalan yang telah ditetapkan Tuhan bagi insan atau jalan yang terang yang ditunjukkan Tuhan kepada manusia. Istilah syarai’ (jamak dari syari’ah) dipakai pada masa Nabi Muhammad saw. untuk menyebut masalahmasalah pokok agama Islam ibarat shalat, zakat, puasa di bulan Ramadlan, dan haji (Ahmad Hasan, 1984: 7). Syariah disamakan dengan jalan air mengingat bahwa barang siapa yang mengikuti syariah, ia akan mengalir dan higienis jiwanya (Manna’ al-Qaththan, 2001: 13). Al-Quran dan Sunnah tidak memakai istilah al-syari’ah dan al-Islamiyyah dalam waktu yang bersamaan, namun dalam buku-buku berbahasa Arab kedua istilah yang bersamaan itu sering ditemukan, baik dalam buku-buku usang maupun buku-buku yang baru.

 Adapun istilah al-syari’ah al-Islamiyyah didefinisikan sebagai apa yang disyariatkan oleh Allah kepada hamba-Nya baik berupa akidah, ibadah, akhlak, muamalah, maupun aturan-aturan hidup insan dalam banyak sekali aspek kehidupannya untuk mengatur hubungan umat insan dengan Tuhan mereka dan mengatur hubungan mereka dengan sesama mereka serta untuk mewujudkan kebahagiaan mereka di dunia dan di akhirat. Sering kali kata syariah disambungkan dengan Allah sehingga menjadi syariah Allah (syari’atullah) yang berarti jalan kebenaran yang lurus yang menjaga insan dari penyimpangan dan penyelewengan, dan menjauhkan insan dari jalan yang mengarah pada keburukan dan ajakan-ajakan hawa nafsu (Manna’ al-Qaththan, 2001: 14). Kata syariah secara khusus dipakai untuk menyebut apa yang disyariatkan oleh Allah yang disampaikan oleh para Rasul-Nya kepada hamba-hamba-Nya. Karena itulah, Allah disebut al-Syari’ yang pertama dan hukum-hukum Allah disebut aturan syara’.

Fikih 
Secara etimologis kata ‘fikih’ berasal dari kata berbahasa Arab: alfiqh/ه الفق, yang berarti pemahaman atau pengetahuan perihal sesuatu (alFairuzabadiy, 1995: 1126). Dalam hal ini kata ‘fiqh’ identik dengan kata fahm 13 atau ‘ilm yang mempunyai makna sama (al-Zuhaili, 1985, I: 15). Kata fikih pada mulanya dipakai orang-orang Arab untuk seseorang yang hebat dalam mengawinkan onta, yang bisa membedakan onta betina yang sedang birahi dan onta betina yang sedang bunting. Dari ungkapan ini fikih kemudian diartikan ‘pengetahuan dan pemahaman yang mendalam perihal sesuatu hal’. Dalam buku al-Ta’rifat, sebuah buku semisal kamus karya alJarjani, dijelaskan, kata ‘fiqh’ berdasarkan bahasa ialah ungkapan dari pemahaman maksud pembicara dari perkataannya (al-Jarjani, 1988: 168). Kata fiqh semula dipakai untuk menyebut setiap ilmu perihal sesuatu, namun kemudian dikhususkan untuk ilmu perihal syariah.

Al-Quran memakai kata ‘fiqh’ atau yang berakar kepada kata ‘faqiha’ dalam 20 ayat. Kata ‘fiqh’ dalam pengertian ‘memahami secara umum’ lebih dari satu kawasan dalam al-Quran. Ungkapan ‘liyatafaqqahu fiddin’ (Q.S. al-Taubah [9]: 122) yang artinya ‘agar mereka melaksanakan pemahaman dalam agama’ menawarkan bahwa di masa Rasulullah istilah fikih tidak hanya dipakai dalam pengertian aturan saja, tetapi juga mempunyai arti yang lebih luas meliputi semua aspek dalam Islam, yaitu teologis, politis, ekonomis, dan aturan (Ahmad Hasan, 1984: 1). Perlu dicatat bahwa di masa-masa awal Islam, istilah ‘ilm’ dan ‘fiqh’ seringkali dipakai bagi pemahaman secara umum. Diceritakan bahwa Rasulullah telah mendoakan Ibnu ‘Abbas dengan menyampaikan ‘Allahumma faqqihhu fiddin’ yang artinya ya Allah berikan beliau pemahaman dalam agama. Dalam doa tersebut Rasulullah tidak memaksudkan pemahaman dalam aturan semata, tetapi pemahaman perihal Islam secara umum (Ahmad Hasan, 1984: 2).

 Seperti halnya syariah, fikih semula tidak dipisahkan dengan ilmu kalam hingga masa al-Ma’mun (meninggal 218 H.) dari Bani Abbasiah. Hingga masa II H. fikih meliputi masalah-masalah teologis maupun masalah-masalah hukum. Sebuah buku yang berjudul al-Fiqh al-Akbar, yang dinisbatkan kepada Abu Hanifah (meninggal 150 H.) dan yang menyanggah kepercayaan para pengikut aliran Qadariah, membahas prinsip-prinsip dasar Islam atau masalah-masalah teologis. Karenanya, judul buku ini menawarkan bahwa kajian ilmu kalam juga dicakup oleh istilah fikih pada masa-masa awal Islam (Ahmad Hasan, 1984: 3).

Adapun secara terminologis fikih didefinisikan sebagai ilmu perihal hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliyah yang digali dari dalil-dalil terperinci (Khallaf, 1978: 11; Abu Zahrah, 1958: 6; al-Zuhaili, 1985, I: 16; alJarjani, 1988: 168; dan Manna’ al-Qaththan, 2001: 183). Dari definisi ini sanggup diambil beberapa pengertian sebagai berikut:

  1. Fikih ialah ilmu perihal hukum-hukum syara’. Kata aturan di sini menjelaskan bahwa hal-hal yang tidak terkait dengan aturan ibarat zat tidak termasuk ke dalam pengertian fikih. Penggunaan kata syara’ (syar’i) dalam definisi tersebut menjelaskan bahwa fikih itu menyangkut ketentuan syara’, yaitu sesuatu yang berasal dari kehendak Allah. Kata syara’ ini juga menjelaskan bahwa sesuatu yang bersifat aqli ibarat ketentuan satu ditambah satu sama dengan dua, atau yang bersifat hissi ibarat ketentuan bahwa api itu panas bukanlah cakupan ilmu fikih. 
  2. Fikih hanya membicarakan hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliyah (praktis). Kata amaliyah menjelaskan bahwa fikih itu hanya menyangkut tindak-tanduk insan yang bersifat lahiriah. Karena itu, hal-hal yang bersifat bukan amaliyah ibarat keimanan (aqidah) tidak termasuk wilayah fikih. 
  3. Pemahaman perihal hukum-hukum syara’ tersebut didasarkan pada dalil-dalil terperinci, yakni al-Quran dan Sunnah. Kata terperinci (tafshili) menjelaskan dalil-dalil yang dipakai seorang mujtahid (ahli fikih) dalam penggalian dan penemuannya. Karena itu, ilmu yang diperoleh orang awam dari seorang mujtahid yang terlepas dari dalil tidak termasuk dalam pengertian fikih. 
  4. Fikih digali dan ditemukan melalui daypikir para mujtahid. Kata digali dan ditemukan mengandung arti bahwa fikih merupakan hasil penggalian dan inovasi perihal hukum. Fikih juga merupakan penggalian dan inovasi mujtahid dalam hal-hal yang tidak dijelaskan oleh dalil-dalil (nash) secara pasti. 
Adapun yang menjadi objek pembahasan ilmu fikih ialah perbuatan orang mukallaf. Atau dengan kata lain, target ilmu fikih ialah insan serta dinamika dan perkembangannya yang semuanya merupakan citra faktual dari perbuatan-perbuatan orang mukallaf yang ingin dipolakan dalam tata nilai yang menjamin tegaknya suatu kehidupan beragama dan bermasyarakat yang baik. Studi komprehensif yang dilakukan oleh para pakar ilmu fikih ibarat al-Qadli Husein, Imam al-Subki, Imam Ibn ‘Abd al-Salam, dan Imam al-Suyuthi merumuskan bahwa kerangka dasar dari fikih ialah zakerhijd atau kepastian, kemudahan, dan akad bersama yang sudah mantap. Dan pola umum dari fikih ialah kemaslahatan (i’tibar al-mashalih) (Ali Yafie, 1994: 108).

 Dengan demikian jelaslah bahwa pengertian fikih berbeda dengan syariah baik dari segi etimologis maupun terminologis. Syariah merupakan seperangkat aturan yang bersumber dari Allah SWT. dan Rasulullah saw. 15 untuk mengatur tingkah laris insan baik dalam rangka bekerjasama dengan Tuhannya (beribadah) maupun dalam rangka bekerjasama dengan sesamanya (bermuamalah). Sedangkan fikih merupakan pemahaman dan klarifikasi atau uraian yang lebih rinci dari apa yang sudah ditetapkan oleh syariah. Adapun sumber fikih ialah pemahaman atau pemikiran para ulama (mujtahid) terhadap syariah (al-Quran dan Sunnah).


Hubungan antara Hukum Islam, Syariah, dan Fikih Di atas telah dijelaskan bahwa aturan Islam merupakan istilah yang lahir sebagai terjemahan dari istilah berbahasa Inggris Islamic law. Namun, jikalau dikaji dari bentukan kata aturan Islam itu sendiri, yakni campuran dari kata ‘hukum’ dan kata ‘Islam’, maka sanggup dipahami bahwa aturan Islam itu merupakan aturan yang bersumber dari anutan Islam.

Istilah aturan Islam tidak ditemukan dalam al-Quran, Sunnah, maupun literatur Islam. Untuk itu perlu dicari padanan istilah aturan Islam ini dalam literatur Islam. Jika aturan Islam itu dipahami sebagai aturan yang bersumber dari anutan Islam, maka sulit dicari padanan yang dalam literatur Islam persis sama dengan istilah tersebut. Ada dua istilah yang sanggup dipadankan dengan istilah aturan Islam, yaitu syariah dan fikih. Dua istilah ini, sebagaimana sudah diuraikan di atas, merupakan dua istilah yang berbeda tetapi tidak bisa dipisahkan, alasannya keduanya sangat terkait erat. Dengan memahami kedua istilah ini dengan banyak sekali karakteristiknya masing-masing, dapatlah disimpulkan bahwa aturan Islam itu tidak sama persis dengan syariah dan sekaligus tidak sama persis dengan fikih. Tetapi juga tidak berarti bahwa aturan Islam itu berbeda sama sekali dengan syariah dan fikih. Yang sanggup dikatakan ialah pengertian aturan Islam itu meliputi pengertian syariah dan fikih, alasannya aturan Islam yang dipahami di Indonesia ini terkadang dalam bentuk syariah dan terkadang dalam bentuk fikih, sehingga jikalau seseorang menyampaikan aturan Islam, harus dicari dulu kepastian maksudnya, apakah yang berbentuk syariah ataukah yang berbentuk fikih. Hal inilah yang tidak dipahami oleh sebagian besar bangsa Indonesia, termasuk sebagian besar kaum Muslim, sehingga menimbulkan aturan Islam dipahami dengan kurang sempurna bahkan salah.

Hubungan antara syariah dan fikih sangat bersahabat dan tidak sanggup dipisahkan. Syariah merupakan sumber atau landasan fikih, sedangkan fikih merupakan pemahaman terhadap syariah. Pemakaian kedua istilah ini sering rancu, artinya dikala seseorang memakai istilah syariah terkadang maksudnya ialah fikih, dan sebaliknya dikala seseorang 16 memakai istilah fikih terkadang maksudnya ialah syariah. Hanya saja kemungkinan yang kedua ini sangat jarang.
Meskipun syariah dan fikih tidak sanggup dipisahkan, tetapi keduanya berbeda. Syariah diartikan dengan ketentuan atau aturan yang ditetapkan oleh Allah perihal tingkah laris insan di dunia dalam mencapai kehidupan yang baik di dunia dan akhirat. Ketentuan syariah terbatas dalam firman Allah dan penjelasannya melalui sabda Rasulullah. Semua tindakan insan di dunia dalam tujuannya mencapai kehidupan yang baik harus tunduk kepada kehendak Allah dan Rasulullah. Kehendak Allah dan Rasulullah itu sebagian telah terdapat secara tertulis dalam al-Quran dan Sunnah yang disebut syariah, sedang sebagian besar lainnya tersimpan di balik apa yang tertulis itu, atau yang tersirat.

Related:

     Untuk mengetahui keseluruhan apa yang dikehendaki Allah perihal tingkah laris insan itu harus ada pemahaman yang mendalam perihal syariah hingga secara amaliyah syariah itu sanggup diterapkan dalam kondisi dan situasi bagaimana pun. Hasil pemahaman itu dituangkan dalam bentuk ketentuan yang terperinci. Ketentuan terperinci perihal tingkah laris orang mukallaf yang diramu dan diformulasikan sebagai hasil pemahaman terhadap syariah itu disebut fikih.

    Pemahaman terhadap aturan syara’ atau formulasi fikih itu mengalami perubahan sesuai dengan perubahan situasi dan kondisi insan dan dinamika serta perkembangan zaman. Fikih biasanya dinisbatkan kepada para mujtahid yang memformulasikannya, ibarat Fikih Hanafi, Fikih Maliki, Fikih Syafi’i, Fikih Hanbali, Fikih Ja’fari (Fikih Syi’ah), dan lain sebagainya, sedangkan syariah selalu dinisbatkan kepada Allah dan Rasul-Nya.

    Jadi, secara umum syariah ialah aturan Islam yang bersumber dari al-Quran dan Sunnah yang belum dicampuri daya nalar (ijtihad), sedangkan fikih ialah aturan Islam yang bersumber dari pemahaman terhadap syariah atau pemahaman terhadap nash, baik al-Quran maupun Sunnah. Asaf A.A. Fyzee membedakan kedua istilah tersebut dengan menyampaikan bahwa syariah ialah sebuah bulat yang besar yang daerahnya meliputi semua sikap dan perbuatan manusia; sedang fikih ialah bulat kecil yang mengurusi apa yang umumnya dipahami sebagai 17 tindakan umum. Syariah selalu mengingatkan kita akan wahyu, ‘ilmu (pengetahuan) yang tidak akan pernah diperoleh seandainya tidak ada alQuran dan Sunnah; dalam fikih ditekankan daypikir dan deduksi yang dilandaskan pada ilmu terus-menerus dikutip dengan persetujuan. Jalan syariah digariskan oleh Allah dan Rasul-Nya; bangunan fikih ditegakkan oleh perjuangan manusia. Dalam fikih satu tindakan sanggup digolongkan pada sah atau tidak sah, yajuzu wa ma la yajuzu, boleh atau tidak boleh. Dalam syariah terdapat banyak sekali tingkat pembolehan atau pelarangan. Fikih ialah istilah yang dipakai bagi aturan sebagai suatu ilmu; sedang syariah bagi aturan sebagai jalan kesalehan yang dikaruniakan dari langit (Fyzee, 1974: 21). Dari uraian di atas sanggup disimpulkan mengenai perbedaan antara syariah dan fikih sebagai berikut:

    1. Syariah berasal dari Allah dan Rasul-Nya, sedang fikih berasal dari pemikiran manusia. 
    2. Syariah terdapat dalam al-Quran dan kitab-kitab hadis, sedang fikih terdapat dalam kitab-kitab fikih. 
    3. Syariah bersifat mendasar dan mempunyai cakupan yang lebih luas, alasannya oleh sebagian hebat dimasukkan juga aqidah dan akhlak, sedang fikih bersifat instrumental dan cakupannya terbatas pada aturan yang mengatur perbuatan manusia. 
    4. Syariah mempunyai kebenaran yang mutlak (absolut) dan berlaku abadi, sedang fikih mempunyai kebenaran yang relatif dan bersifat dinamis. 
    5. Syariah hanya satu, sedang fikih lebih dari satu, ibarat terlihat dalam mazhab-mazhab fikih. 
    6. Syariah menawarkan kesatuan dalam Islam, sedang fikih menawarkan keragaman dalam Islam.  

    Ushul 
    Fikih Istilah ushul fikih sebetulnya merupakan campuran (kata majemuk) dari kata ‘ushul’ dan kata ‘fikih’. Makna dari kata ‘fikih’ sudah diuraikan di atas baik secara etimologis maupun secara terminologis. Secara etimologis, fikih berarti paham, dan secara terminologis fikih berarti ilmu perihal hukum-hukum syara’ yang bersifat mudah yang digali dari dalil-dalil yang terperinci dari al-Quran dan Sunnah. Sedang kata ‘ushul’ berasal dari bahasa Arab al-ushul/ول ص ا yaitu isim jama’ (plural) dari kata dasar (mufrad) ‘alashl/ل ص ’ yang artinya pokok, sumber, asal, dasar, pangkal, dan lain sebagainya (Munawwir, 1997: 23). Dengan mengetahui makna kata ‘ushul’ dan ‘fikih’, dapatlah dipahami makna ushul fikih yang sebetulnya tidak jauh 18 dari makna kedua kata yang menjadi unsur-unsurnya, yakni dasar atau pokok fikih.

    Dalam beberapa buku sanggup ditemukan variasi definisi perihal ushul fikih, meskipun maksudnya sama. Dalam buku al-Ta’rifat, al-Jarjani mendefinisikan ushul fikih sebagai ilmu perihal kaidah-kaidah untuk memahami fikih (al-Jarjani, 1988: 28). Abdul Wahhab Khallaf mendefinisikan ushul fikih sebagai ilmu perihal kaidah-kaidah dan pembahasanpembahasan untuk menghasilkan hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliyah yang digali dari dalil-dalil yang terperinci (Khallaf, 1978: 12). Sementara itu, Wahbah al-Zuhaili menyebutkan dua pengertian perihal ushul fikih, satu pengertian dari golongan Syafi’iyah dan satu pengertian dari golongan Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanabilah. Golongan Syafi’iyah mengartikan ushul fikih dengan pengetahuan perihal dalil-dalil fikih secara global (ijmali), cara-cara menggunakannya, serta kondisi penggunanya. Sedang golongan Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanabilah mengartikan ushul fikih dengan kaidah-kaidah yang mengantarkan pada pembahasan perihal istinbath aturan dari dalil-dalilnya yang terperinci atau ilmu perihal kaidah-kaidah ini (al-Zuhaili, 1985, I: 23-24). Dari beberapa definisi tersebut sanggup dipahami bahwa ushul fikih merupakan suatu ilmu yang mendasari ilmu fikih. Dengan ushul fikih inilah sanggup dipahami proses terbentuknya aturan fikih (hukum-hukum mengenai perbuatan manusia). Secara sederhana, perbedaan fikih dengan ushul fikih adalah, jikalau fikih itu ilmu perihal aturan syara’, sedang ushul fikih ilmu perihal cara-cara mengeluarkan atau menemukan hukum-hukum syara’ tersebut.

    Untuk mengetahui perbedaan antara fikih dan ushul fikih sanggup disimak ilustrasi teladan berikut. Dalam kitab-kitab fikih sanggup ditemukan bahwa shalat hukumnya wajib. Wajibnya shalat ini merupakan aturan syara’. Al-Quran dan Sunnah tidak pernah mengungkapkan secara tegas bahwa shalat itu wajib. Wajibnya shalat ini dalam al-Quran hanya ditunjukkan dengan ayat yang berbunyi: ‘aqimu al-shalah’ (dirikanlah shalat) (misalnya Q.S. al-Baqarah [2]: 43). Ayat al-Quran yang mengandung perintah untuk mengerjakan shalat ini disebut dalil syara’. Untuk menemukan aturan syara’, dalil-dalil syara’ itu harus berpedoman pada aturan-aturan atau kaidah yang sudah ada, umpamanya setiap perintah itu menawarkan wajib. Jadi, dari bentuk perintah dalam dalil syara’ ibarat ‘dirikanlah shalat’ sanggup diketahui aturan syara’ bahwa shalat itu wajib dilakukan. Pengetahuan perihal kaidah-kaidah yang menjelaskan cara-cara mengeluarkan aturan dari dalil-dalil syara’ tersebut disebut ushul fikih.

     Adapun tujuan yang ingin dicapai dari ilmu ushul fikih ialah untuk sanggup menerapkan kaidah-kaidah terhadap dalil-dalil syara’ yang terperinci semoga hingga kepada hukum-hukum syara’ yang bersifat ‘amali (praktis) yang ditunjuk oleh dalil-dalil itu. Dengan kaidah-kaidah ushul ini sanggup dipahami nash-nash syara’ dan aturan yang terkandung di dalamnya. Demikian pula sanggup dipahami secara baik dan sempurna apa-apa yang dirumuskan para ulama (mujtahid) dan bagaimana mereka hingga kepada rumusan itu (Amir Syarifuddin, 1997, I: 41). Pokok bahasan ushul fikih sangat berbeda dengan fikih. Pokok bahasan ushul fikih berkisar pada tiga hal, yaitu (1) dalil-dalil atau sumber aturan Islam; (2) hukum-hukum syara’ yang terkandung dalam dalil-dalil itu; dan (3) kaidah-kaidah perihal perjuangan dan cara mengeluarkan aturan syara’ dari dalil atau sumber yang mengandung aturan tersebut (Amir Syarifuddin, 1997, I: 41; al-Zuhaili, 1985, I: 27).

    Related Posts

    Iklan Atas Artikel

    Iklan Tengah Artikel 1

    Iklan Tengah Artikel 2

    Iklan Bawah Artikel