Pengertian Filsafat Pancasila
Sunday, May 24, 2020
Edit
Pengertian Filsafat Pancasila
Filsafat berasal dari bahasa Yunani “philein “ yang berarti cinta dan “sophia“ yang berarti kebijaksanaan. Kaprikornus filsafat berdasarkan asal katanya berarti cinta akan kebijaksanaan, atau mengasihi kebenaran/pengetahuan. Cinta dalam hal ini mempunyai arti yang seluas-luasnya, yang sanggup dikemukakan sebagai keinginan yang menggebu dan sungguh-sungguh terhadap sesuatu, sedangkan kebijaksanaan sanggup diartikan sebagai kebenaran yang sejati. Kaprikornus filsafat secara sederhana sanggup diartikan sebagai keinginan yang sungguh-sungguh untuk mencari kebenaran yang sejati. Filsafat merupakan Induk Ilmu pengetahuan. Menurut J. Gredt dalam bukunya “Elementa Philosophiae” Bahwa filsafat sebagai “Ilmu pengetahuan yang timbul dari prinsip-prinsip mencari lantaran musababnya yang terdalam”.
- Filsafat Pancasila Menurut Ruslan Abdulgani, bahwa Pancasila merupakan filsafat negara yang lahir sebagai collectieve Ideologie (cita-cita bersama) dari seluruh bangsa Indonesia. Dikatakan sebagai filsafat, lantaran Pancasila merupakan hasil perenungan jiwa yang mendalam yang dilakukan oleh the founding father kita, kemudian dituangkan dalam suatu “sistem” yang tepat. Sedangkan berdasarkan Notonagoro, Filsafat Pancasila memberi pengetahuan dan pengertian ilmiah yaitu perihal hakekat dari Pancasila.
- Karakteristik Sistem Filsafat Pancasila Sebagai filsafat, Pancasila mempunyai karakteristik sistem filsafat tersendiri yang berbeda dengan filsafat lainnya, yaitu antara lain : Sila-sila Pancasila merupakan satu-kesatuan sistem yang bundar dan utuh (sebagai suatu totalitas). Dengan pengertian lain, apabila tidak bundar dan utuh atau satu sila dengan sila lainnya terpisah-pisah, maka itu bukan Pancasila. Susunan Pancasila dengan suatu sistem yang bundar dan utuh itu sanggup digambarkan sebagai berikut :
Sila 1, meliputi, mendasari dan menjiwai sila 2, 3, 4, 5
Sila 2, diliputi, didasari, dijiwai sila 1, dan mendasari dan menjiwai sila 3, 4, 5
Sila 3, diliputi, didasari, dijiwai sila 1, 2, dan mendasari dan menjiwai sila 4, 5
Sila 4, diliputi, didasari, dijiwai sila 1, 2, 3 dan mendasari dan menjiwai sila 5
Sila 5, diliputi, didasari, dijiwai sila 1, 2, 3, 4
Pancasila sebagai suatu substansi, artinya unsur asli/permanen/primer Pancasila sebagai suatu yang ada mandiri, yang unsur-unsurnya berasal dari dirinya sendiri.
Pancasila sebagai suatu realita, artinya ada dalam diri insan Indonesia dan masyarakatnya, sebagai suatu kenyataan hidup bangsa, yang tumbuh, hidup dan berkembang dalam kehidupan sehari-hari.
- Prinsip-prinsip Filsafat Pancasila Pancasila ditinjau dari kausal Aristoteles sanggup dijelaskan sebagai berikut :
- Kausa Materialis, maksudnya lantaran yang berafiliasi dengan materi/bahan, dalam hal ini Pancasila digali dari nilai-nilai sosial budaya yang ada dalam bangsa Indonesia sendiri.
- Kausa Formalis, maksudnya lantaran yang berafiliasi dengan bentuknya, Pancasila yang ada dalam pembukaan Undang-Undang Dasar ’45 memenuhi syarat formal (kebenaran formal)
- Kausa Efisiensi, maksudnya aktivitas BPUPKI dan PPKI dalam menyusun dan merumuskan Pancasila menjadi dasar negara Indonesia merdeka.
- Kausa Finalis, maksudnya berafiliasi dengan tujuannya, tujuan diusulkannya Pancasila sebagai dasar negara Indonesia merdeka.
Inti atau esensi sila-sila Pancasila mencakup :
- Tuhan, yaitu sebagai kausa prima
- Manusia, yaitu makhluk individu dan makhluk sosial
- Satu, yaitu kesatuan mempunyai kepribadian sendiri
- Rakyat, yaitu unsur mutlak negara, harus bekerja sama dan gotong royong
- Adil, yaitu menawarkan keadilan kepada diri sendiri dan orang lain yang menjadi haknya
- Hakikat Nilai-nilai Pancasila
Nilai yaitu suatu ide atau konsep perihal apa yang seseorang pikirkan merupakan hal yang penting dalam hidupnya. Nilai sanggup berada di dua daerah : kognitif dan afektif. Nilai yaitu ide, bisa dikatakan konsep dan bisa dikatakan abstraksi (Sidney Simon, 1986). Nilai merupakan hal yang terkandung dalam hati nurani insan yang lebih memberi dasar dan prinsip tabiat yang merupakan standar dari keindahan dan efisiensi atau keutuhan kata hati (potensi). Langkah-langkah awal dari “nilai” yaitu menyerupai halnya ide insan yang merupakan potensi pokok human being. Nilai tidaklah tampak dalam dunia pengalaman. Dia konkret dalam jiwa manusia. Dalam ungkapan lain ditegaskan oleh Sidney B. Simon (1986) bahwa sesungguhnya yang dimaksud dengan nilai yaitu tanggapan yang jujur tapi benar dari pertanyaan “what you are really, really, really, want.”
Studi perihal nilai termasuk dalam ruang lingkup estetika dan etika. Estetika cenderung kepada studi dan justifikasi yang menyangkut perihal insan memikirkan keindahan, atau apa yang mereka senangi. Misalnya mempersoalkan atau menceritakan si rambut panjang, laki-laki pemakai anting-anting, nyanyian-nyanyian bising dan bentuk-bentuk seni lain. Sedangkan etika cenderung kepada studi dan justifikasi perihal aturan atau bagaimana insan berperilaku. Ungkapan etika sering timbul dari pertanyaan-pertanyaan yang mempertentangkan antara benar salah, baik-buruk. Pada dasarnya studi perihal etika merupakan pelajaran perihal moral yang secara pribadi merupakan pemahaman perihal apa itu benar dan salah.
Bangsa Indonesia semenjak awal mendirikan negara, berkonsensus untuk memegang dan menganut Pancasila sebagai sumber inspirasi, nilai dan moral bangsa. Konsensus bahwa Pancasila sebagai anutan untuk pengembangan nilai dan moral bangsa ini secara ilmiah filosofis merupakan pemufakatan yang normatif. Secara epistemologikal bangsa Indonesia punya keyakinan bahwa nilai dan moral yang terpancar dari asas Pancasila ini sebagai suatu hasil sublimasi dan kritalisasi dari sistem nilai budaya bangsa dan agama yang kesemuanya bergerak vertikal dan horizontal serta dinamis dalam kehidupan masyarakat. Selanjutnya untuk mensinkronkan dasar filosofia-ideologi menjadi wujud jati diri bangsa yang konkret dan konsekuen secara aksiologikal bangsa dan negara Indonesia berkehendak untuk mengerti, menghayati, membudayakan dan melaksanakan Pancasila. Upaya ini dikembangkan melalui jalur keluarga, masyarakat dan sekolah.
Refleksi filsafat yang dikembangkan oleh Notonegoro untuk menggali nilai-nilai abstrak, hakikat nilai-nilai Pancasila, ternyata kemudian dijadikan pangkal tolak pelaksanaannya yang berujud konsep pengamalan yang bersifat subyektif dan obyektif. Pengamalan secara obyektif yaitu pengamalan di bidang kehidupan kenegaraan atau kemasyarakatan, yang penjelasannya berupa suatu perangkat ketentuan aturan yang secara hierarkhis berupa pasal-pasal UUD, Ketetapan MPR, Undang-undang Organik dan peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya. Pengamalan secara subyektif yaitu pengamalan yang dilakukan oleh insan individual, baik sebagai pribadi maupun sebagai warga masyarakat ataupun sebagai pemegang kekuasaan, yang penjelmaannya berupa tingkah laris dan sikap dalam hidup sehari-hari.
Nilai-nilai yang bersumber dari hakikat Tuhan, manusia, satu rakyat dan adil dijabarkan menjadi konsep Etika Pancasila, bahwa hakikat insan Indonesia yaitu untuk mempunyai sifat dan keadaan yang berperi Ketuhanan Yang Maha Esa, berperi Kemanusiaan, berperi Kebangsaan, berperi Kerakyatan dan berperi Keadilan Sosial. Konsep Filsafat Pancasila dijabarkan menjadi sistem Etika Pancasila yang bercorak normatif. Ciri atau karakteristik berpikir filsafat adalah:
- sistematis,
- mendalam,
- mendasar,
- analitik,
- komprehensif,
- spekulatif,
- representatif,
- evaluatif
Cabang-cabang filsafat meliputi:
- Epistemologi (filsafat pengetahuan)
- Etika (filsafat moral)
- Estetika (filsafat seni)
- Metafisika (membicarakan perihal segala sesuatu dibalik yang ada)
- Politik (filsafat pemerintahan)
- Filsafat Agama
- Filsafat Ilmu
- Filsafat Pendidikan
- Filsafat hukum
- Filsafat Sejarah
- Filsafat Matematika
- Kosmologi (membicarakan perihal segala sesuatu yang ada yang teratur)
Aliran Filsafat mencakup :
- Rationalisme
- Stoisme
- Materialisme
- Idealisme
- Marxisme
- Utilitarianisme
- Positivisme
- Realisme
- Spiritualisme
- Eksistensialisme
- Liberalisme
- Hedonisme
KAJIAN ONTOLOGIS
Secara ontologis kajian Pancasila sebagai filsafat dimaksudkan sebagai upaya untuk mengetahui hakekat dasar dari sila sila Pancasila. Menurut Notonagoro hakekat dasar ontologis Pancasila yaitu manusia. Mengapa ?, lantaran insan merupakan subyek aturan pokok dari sila sila Pancasila. Hal ini sanggup dijelaskan bahwa yang berkeuhanan Yang Maha Esa, berkemanusian yang adil dan beradab, berkesatuan indonesia, berkerakyatan yaang dipimpin oleh hikmad kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia pada hakekatnya yaitu insan (Kaelan, 2005).
Kaprikornus secara ontologis hakekat dasar keberadaan dari sila sila Pancasila yaitu manusia. Untuk hal ini Notonagoro lebih lanjut mengemukakan bahwa insan sebagai pendukung pokok sila sila Pancasila secara ontologi mempunyai hal-hal yang mutlak, yaitu terdiri atas susunan kodrat, raga dan jiwa, jasmani dan rohani. Juga sebagai makluk individu dan sosial serta kedudukan kodrat insan sebagai makluk pribadi dan sebagai makluk Tuhan Yang Maha Esa. Oleh lantaran itu, maka secara hierarkhis sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa mendasari dan menjiwai keempat sila sila Pancasila (Kaelan, 2005).
Selanjutnya Pancasila secagai dasar filsafat negara Republik Indonesia mempunyai susunan lima sila yang merupakan suatu persatuan dan kesatuan serta mempunyai sifat dasar kesatuan yang mutlak yaitu berupa sifat kodrat monodualis, sebagai makluk individu sekaligus juga sebagai makluk sosial, serta kedudukannya sebagai makluk pribadi yang berdiri sendiri juga sekaligus sebagai maakluk Tuhan. Konsekuensinya segala aspek dalam penyelenggaraan negara diliputi oleh nilai nilai Pancasila yang merupakan suatu kesatuan yang utuh yang mempunyai sifat dasar yang mutlak berupa sifat kodrat insan yang monodualis tersebut.
Kemudian seluruh nilai nilai Pancasila tersebut menjadi dasar rangka dan jiwa bagi bangsa Indonesia. Hal ini berarti bahwa dalam setiap aspek penyelenggaraan negara harus dijabarkan dan bersumberkan pada nilai nilai Pancasila, menyerupai bentuk negara, sifat negara, tujuan negara, kiprah dan kewajiban negara dan warga negara, sistem aturan negara, moral negara dan segala sapek penyelenggaraan negara lainnya.
KAJIAN EPISTIMOLOGI
Kajian epistimologi filsafat pancasila dimaksudkan sebagai upaya untuk mencari hakekat pancasila sebagai suatu sistem pengetahuan. Hal ini dimungkinkan lantaran epistimologi merupakan bidang filsafat yang membahas hakekat ilmu pengetahuan (ilmu perihal ilmu). Kajian epistimologi Pancasila tidak sanggup dipisahkan dengan dasar ontologisnya. Oleh lantaran itu dasar epistimologis Pancasila sangat berkaitan dekat dengan konsep dasarnya perihal hakekat manusia.
Menurut Titus(1984: 20) terdapat tiga duduk kasus yang mendasar dalam epistimologi yaitu :
- tentang sumber pengetahuan manusia;
- tentang teori kebenaran pengetahuan manusia;
- tentang tabiat pengetahuan manusia.
Epistimologi Pancasila sebagai suatu obyek kajian pengetahuan pada hakekatnya mencakup kasus sumber pengetahuan Pancasila dan susunan pengetahuan Pancasila. Tentang sumber pengetahuan Pancasila, sebagaimana telah dipahami bersama yaitu nilai-nilai yang ada pada bangsa Indonesia sendiri. Merujuk pada pemikiran filsafat Aristoteles, bahwa nilai-nilai tersebut sebagai kausa materialis Pancasila. Selanjutnya susunan Pancasila sebagai suatu sistem pengetahuan maka Pancasila mempunyai susunan yang bersifat formal logis, baik dalam arti susunan sila-sila Pancasila maupun isi arti dari dari sila-sila Pancasila itu. Susunan kesatuan sila-sila Pancasila yaitu bersifat hierarkhis dan berbentuk piramidal, dimana :
Sila pertama Pancasila mendasari dan menjiwai keempat sila lainnya
- Sila kedua didasari sila pertama serta mendasari dan menjiwai sila ketiga, keempat dan kelima
- Sila ketiga didasari dan dijiwai sila pertama, kedua serta mendasari dan menjiwai sila keempat dan kelima
- Sila keempat didasari dan dijiwai sila pertama, kedua dan ketiga, serta mendasari dan menjiwai sila kelima
- Sila kelima didasari dan dijiwai sila pertama, kedua, ketiga, dan keempat.
Demikianlah maka susunan Pancasila mempunyai sistem logis baik yang menyangkut kualitas maupun kuantitasnya. Dasar-dasar rasional logis Pancasila juga mennyangkut kualitas maupun kuantitasnya. Selain itu, dasar-dasar rasional logis Pancasila juga menyangkut isi arti sila-sila Pancasila tersebut. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa memberilandasan kebenaran pengetahuan insan yang bersumber pada intuisi. Manusia pada hakekatnya kedudukan dan kodratnya yaitu sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa, maka sesuai dengan sila pertama Pancasila, epistimologi Pancasila juga mengakui kebenaran wahyu yang bersifat mutlak. Hal ini sebagai tingkat kebenaran yang tertinggi. Selanjutnya kebenaran dan pengetahuan insan merupakan suatu sintesa yang serasi antara potensi-potensi kejiwaan insan yaitu akal, rasa, dan kehendak insan untuk mendapatkan kebenaran yang tertinggi.
Selain itu dalam sila ketiga, keempat dan kelinma, maka epistimologi Pancasila mengakui kebenaran konsensus terutama dalam kaitannya dengan hakekat sifat kodrat insan sebagai mahluk individu dan mahluk sosial. Sebagai suatu paham epistimologi, maka Pancasila mendasarkan pandangannya bahwa ilmu pengetahuan pada hakekatnya tidak bebas nilai lantaran harus diletakkan pada kerangka moralitas kodrat insan serta moralitas religius dalam upaya untuk mendapatkan suatu tingkatan pengetahuan dalam hidup manusia. Itulah sebabnya Pancasila secara epistimologis harus menjadi dasar moralitas bangsa dalam membangun perkembangan sains dan teknologi sampaumur ini.
KAJIAN AKSIOLOGI
Kajian aksiologi filsafat Pancasila pada hakekatnya membahas perihal nilai praksis atau manfaat suatu pengetahuan perihal Pancasila. Karena sila-sila Pancasila sebagai suatu sistem filsafat mempunyai satu kesatuan dasar aksiologis, sehingga nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila pada hakekatnya juga merupakan suatu kesatuan. Selanjutnya aksiologi Pancasila mengandung arti bahwa kita membahas perihal filsafat nilai Pancasila. Istilah nilai dalam kajian filsafat digunakan untuk merujuk pada ungkapan ajaib yang sanggup juga diartikan sebagai “keberhargaan” (worth) atau “kebaikan” (goodnes), dan kata kerja yang artinya sesuatu tindakan kejiwaan tertentu dalam menilai atau melaksanakan evaluasi ( Frankena, 229).
Di dalam Dictionary of sociology an related sciences dikemukakan bahwa nilai yaitu suatu kemampuan yang dipercayai yang ada pada suatu benda untuk memuaskan manusia. Sifat dari suatu benda yang mengakibatkan menarik minat seseorang atau kelompok. Kaprikornus nilai itu pada hakekatnya yaitu sifat atau kualitas yang menempel pada suatu objek. Sesuatu itu mengandung nilai, artinya ada sifat atau kualitas yang menempel pada sesuatu itu, misalnya; bunga itu indah, perbuatan itu baik. Indah dan baik yaitu sifat atau kualitas yang menempel pada bunga dan perbuatan. Dengan demikian maka nilai itu bahwasanya yaitu suatu kenyataan yang tersembunyi di balik kenyataan-kenyataan lainnya. Adanya nilai itu lantaran adanya kenyataan-kenyataan lain sebagai pembawa nilai.
Terdapat banyak sekali macam teori perihal nilai dan hal ini sangat tergantung pada titik tolak dan sudut pandangnya masing-masing dalam memilih pengertian nilai. Kalangan materialis memandang bahwa hakekat nilai yang tertinggi yaitu nilai material, sementara kalangan hedonis berpandangan bahwa nilai yang tertinggi yaitu nilai kenikmatan. Namun dari banyak sekali macam pandangan perihal nilai sanggup dikelompokan pada dua macam sudut pandang, yaitu bahwa sesuatu itu bernilai lantaran berkaitan dengan subjek pemberi nilai yaitu manusia. Hal ini bersifat subjektif, namun juga terdapat pandangan bahwa pada hakekatnya sesuatu itu menempel pada dirinya sendiri memang bernilai. Hal ini merupakan pandangan dari paham objektivisme.
Notonagoro merinci perihal nilai ada yang bersifat material dan nonmaterial. Dalam hubungan ini insan mempunyai orientasi nilai yang berbeda tergantung pada pandangan hidup dan filsafat hidup masing-masing. Ada yang mendasarkan pada orientasi nilai material, namun ada pula yang sebaliknya yaitu berorientasi pada nilai yang nonmaterial. Nilai material relatif lebih gampang diukur memakai panca indra maupun alat pengukur. Tetapi nilai yang bersifat rohaniah sulit diukur, tetapi sanggup juga dilakukan dengan hati nurani insan sebagai alat ukur yang dibantu oleh cipta, rasa, dan karsa serta keyakinan insan (Kaelan, 2005).
Menurut Notonagoro bahwa nilai-nilai Pancasila itu termasuk nilai kerohanian, tetapi nilai-nilai kerohanian yang mengakui nilai material dan nilai vital. Dengan demikian nilai-nilai Pancasila yang tergolong nilai kerokhanian itu juga mengandung nilai-nilai lain secara lengkap dan serasi menyerupai nilai material, nilai vital, nilai kebenaran, nilai keindahan atau estetis, nilai kebaikan atau nilai moral, maupun nilai kesucian yang secara keseluruhan bersifat sisttematik-hierarkhis, dimana sila pertama yaitu ketuhanan Yang Maha Esa menjadi basis dari semua sila-sila Pancasila (Darmodihardjo, 1978).
Secara aksiologis, bangsa Indonesia merupakan pendukung nilai-nilai Pancasila (subcriber of values Pancasila). Bangsa Indonesia yang berketuhanan, yang berkemanusiaan, yang berpersatuan, yang berkerakyatan dan yang berkeadilan sosial. Sebagai pendukung nilai, bangsa Indonesia itulah yang menghargai, mengakui, mendapatkan Pancasila sebagai sesuatu yang bernilai. Pengakuan, penghargaan, dan penerimaan Pancasila sebagai sesuatu yang bernilai itu akan tampak menggejala dalam sikap, tingkah laku, dan perbuatan bangsa Indonesia. Kalau pengakuan, penerimaan atau penghargaan itu telah menggejala dalam sikap, tingkah laris dan perbuatan menusia dan bangsa Indonesia, maka bangsa Indonesia dalam hal ini sekaligus yaitu pengembannya dalam sikap, tingkah laris dan perbuatan insan Indonesia.
FILSAFAT PANCASILA DALAM KONTEKS PKN
Pancasila sebagai dasar filsafat negara serta sebagai filsafat hidup bangsa Indonesia pada hakekatnya merupakan suatu nilai-nilai yang bersifat sistematis, mendasar dan menyeluruh. Untuk itu sila-sila Pancasila merupakan suatu nilai-nilai yang bersifat bundar dan utuh, hierarkhis dan sistematis. Dalam pengertian inilah maka sila-sila Pancasila merupakan suatu sistem filsafat. Konsekuensinya kelima sila bukan terpisah-pisah dan mempunyai makna sendiri-sendiri, melainkan mempunyai esensi serta makna yang utuh. Pancasila sebagai filsafat bangsa dan negara Republik Indonesia mengandung makna bahwa setiap aspek kehidupan kebangsaan, kemasyarakatan dan kenegaraan harus berdasarkan nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan. Pemikiran filsafat kenegaraan bertolak dari pandangan bahwa negara yaitu merupakan suatu komplotan hidup insan atau organisasi kemasyarakatan, yang merupakan masyarakat aturan (legal society).
Adapun negara yang didirikan oleh insan itu berdasarkan pada kodrat bahwa insan sebagai warga negara sebagai komplotan hidup yaitu berkedudukan kodrat insan sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa (hakikat sila pertama). Negara yang merupakan komplotan hidup insan sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa, pada hakikatnya bertujuan untuik mewujudkan harkat dan martabat insan sebagai mahluk yang berbudaya atau mahluk yang beradab (hakikat sila kedua). Untuk mewujudkan suatu negara sebagai suatu organisasi hidup insan harus membentuk suatu ikatan sebagai suatu bangsa (hakikat sila ketiga). Terwujudnya persatuan dan kesatuan akan melahirkan rakyat sebagai suatu bangsa yang hidup dalam suatu wilayah negara tertentu. Konsekuensinya dalam hidup kenegaraan itu haruslah mendasarkan pada nilai bahwa rakyat merupakan asal mula kekuasaan negara. Maka negara harus bersifat demokratis, hak serta kekuasaan rakyat harus dijamin, baik sebagai individu maupun secara bersama (hakikat sila keempat). Untuk mewujudkan tujuan negara sebagai tujuan bersama, maka dalam hidup kenegaraan harus mewujjudkan jaminan pertolongan bagi seluruh warga, sehingga untuk mewujudkan tujuan seluruh warganya harus dijamin berdasarkan suatu prinsip keadilan yang timbul dalam kehidupan bersama/kehidupan (hakikat sila kelima)
DATA DAN FAKTA
Proses perumusan Pancasila tidak bisa dilepaskan dari sidang-sidang yang terjadi di BPUPKI (29 Mei – 1 Juni 1945). Dalam sidang tersebut Mr. Muhammad Yamin mengusulkan dasar negara Indonesia merdeka yaitu:
- Peri Kebangsaan,
- Peri Kemanusiaan,
- Ke-Tuhanan,
- Peri-kerakyatan :Permusyawaratan, Perwakilan, kebijaksanaan), dan
- Kesejahteraan Rakyat (keadilan sosial).
Sedangkan Prof. Dr. Soepomo mengemukakan teori-teori negara sebagai berikut:
- Teori negara perseorangan (individualitis),
- Paham negara kelas (class theory), dan
- Paham negara integralistik.
Selanjutnya dalam kaitannya dengan falsafah negara Indonesia Soepomo mengusulkan :
- negara nasional yang bersatu,
- dianjurkan agar warga negara tunduk kepada Tuhan,
- dalam susunan pemerintahan negara Indonesia harus dibuat sistem tubuh permusyawaratan,
- ekonomi negara bersifat kekeluargaan, dan) mengenai hubungan antar bangsa menganjurkan upaya-upaya Indonesia bersifat negara Asia Timur Raya.
Ir. Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945 mengusulkan dasar negara dalam lima prinsip dasar, yaitu:
- nasionalisme (kebangsaan Indonesia),
- internasionalisme (peri-kemanusiaan),
- mufakat (demokrasi),
- kesejahteraan sosial.
- ketuhanan yang berkebudayaan
DAFTAR PUSTAKA
Darmodiharjo, Darji, 1996, Pokok-pokok Filsafat Hukum, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Fukuyama, F. 1989, The End of History, dalam National Interest, No. 16 (1989), dikutip dari Modernity and Its Future, H. 48, Polity Press, Cambridge.
Kaelan, 2005, Filsafat Pancasila sebagai Filasfat Bangsa Negara Indonesia, Makalah pada Kursus Calon Dosen Pendidikan Kewarganegaraan, Jakarta.
Notonagoro, 1971, Pengertian Dasar bagi Implementasi Pancasila untuk ABRI, Departemen Pertahanan dan Keamanan, Jakarta.
Poespowardoyo, Soeryanto, 1989, Filsafat Pancasila, Gramedia, Jakarta.
Pranarka, A.W.M., 1985, Sejarah Pemikiran tantang Pancasila, CSIS, Jakarta.
Suseno, Franz, Magnis, 1987, Etika Politik : Prinsip-prinsip Moral Dasar Modern, PT Gramedia, Jakarta.
Titus Harold, and Marilyn S., Smith, Richard T. Nolan, 1984, Living Issues Philosophy, diterjemahkan oleh Rasyidi, Penerbit