Pergerakan Kemahasiswaan
Saturday, May 9, 2020
Edit
PERGERAKAN KEMAHASISWAAN
A. Pengantar
Kajian perihal dinamika pergerakan mahasiswa merupakan suatu kajian yang tidak akan terputus, insangat menarik. Mengapa demikian, pertanyaan sebagian diantara kita. Sungguh suatu kenyataan baik dari perspektif sejarah maupun dalam konteks realita bahwa dinamika pergerakan mahasiswa telah menawarkan fenomena yang yang berlangsung terus-menerus seolah tidak berujung. Ada saja yang ditunjukkan oleh pergerakan mahasiswa, yang tidak urung mengundang banyak sekali reaksi dan gejolak baik yang positif, maupun negatif. Semuanya itu telah mengundang banyak sekali kontroversi yang seolah juga tidak berujung. Mahasiswa tetap berjuang dengan banyak sekali atribut yang diembannya dan birokrat atau pihak-pihak yang berkepentingan tetap bertahan dengan banyak sekali keyakinannya. Hal inilah yang kadang tidak membawa penyelesaian yang produktif. Pertanyaan mendasar yang patut kita lontarkan yaitu “Mengapa mahasiswa bergerak? Apa sebabnya mahasiswa bergerak? Kok mau-maunya hal itu dilakukan. Serangkaian pertanyaan ini bukanlah sekedar pertanyaan klise, akan tetapi dibalik itu semua terkandung suatu makna yang sangat mendalam. Apa dan bagaimana jawabannya saya serahkan semuanya kepada anda, Mahasiswa, kaum intelek, kaum perubah, dan kaum yang senantiasa dinamis.
B. Bagaimana kita memandang pergerakan
Kesalahan cara memandang gerakan, yakni memandang gerakan hanya dari satu seginya saja, yakni segi yang negatif, bisa mengakibatkan hilangnya arah positif gerakan. Dan bila ini dibiarkan, akan mengakibatkan hancurnya semangat berjuang. Singkatnya: mengakibatkan hancurnya pergerakan itu sendiri. Adalah sungguh salah bila memandang gerakan dari satu seginya saja, apalagi bila bukan merupakan hasil dari kesimpulan dialektika sejarah. Harus dicamkan dalam-dalam, bahwa kenyataan/realitas apapun mempunyai dua sisi, sisi yang negatif dan sisi yang positif; di dunia ini, tidak ada satu hal ihwal pun yang bersegi satu, yakni hanya segi negatifnya saja. Dan gerak (motion) maju sejarah merupakan hasil pergulatan (contradictions) segi yang positif dengan segi yang negatif. Akhirnya, dalam pergerakan yang memilki semangat yang tinggi --militansi yang tinggi-- segi positif sekecil apa pun (apalagi bila besar) harus diusahakan semoga dikondisikan, dikonsolidasikan dan dimanfaatkan untuk mendorong maju pergerakan, merevolusionerkan pergerakan.
a. Kesalahan cara memandang ini disebabkan lantaran lemahnya alat analisa kaum pergerakan:
- tidak sanggup membedakan segi-segi yang positif dengan segi-segi yang negatif di dalam sejarah pergerakan;
- tidak mau mengakui bahwa tahap-tahap sejarah pergerakan merupakan gerak yang dihasilkan oleh pergulatan segi-segi yang positif dengan segi-segi yang negatif;
- terjerumus pada jebakan suatu tanda-tanda sesaat (snapshot), yang hanya dipandang segi negatifnya saja, tidak bisa dipandang segi positifnya;
- idealis-romantis-penyedih dalam memandang polarisasi, seakan-akan polarisasi dianggap sesuatu yang negatif, sesuatu yang dilarang terjadi. Padahal, harus diakui, bahwa polarisasi merupakan konsekwensi ideologi, garis politik dan keorganisasian pergerakan. Polarisasi terperinci menghasilkan unsur positif (unsur maju) dan unsur negatif (unsur konservatif dan reaksioner), itu pasti. Jadi, menangisi polarisasi, menangisi perpisahan, sama halnya dengan menangisi perginya unsur konservatif dan reaksioner. Atau mungkin takut, rendah diri, akan reaksi unsur konservatif dan reaksioner.
- tidak sanggup memanfaatkan --terutama konsolidasi-- unsur positif yang dihasilkan oleh sejarah pergerakan (salah satunya, yang dihasilkan oleh polarisasi) untuk mendorong maju gerakan mati kutu.
b. Garis Besar Sejarah Pergerakan Progeresif-Kerakyatan radikal Dekade 80-an
Setelah sadar, bahwa 'pergerakan" partai politik, "oposisi" sosdem (baik yang moderat maupun yang radikal), pergerakan mahasiswa dekade 70-an hingga awal 80-an, pergerakan kelompok studi, tidak berdaya dalam berhadapan dengan rejim orde baru, maka pergerakan mahasiswa-pemuda-rakyat yang radikal pada dekade 80-an (tepatnya sesudah 1985) telah berupaya dan berhasil membuka ruang demokrasi --walau masih terbatas-- yang kemudian menawarkan peluang bagi pergerakan Progresif- Kerakyatan-Radikal, dan juga bagi oposisi lainnya sekalipun, untuk tetap maju.
Setelah melewati tahun 1985, kebekuan merespon masyarakat terhadap kondisi ekonomi-politik budaya yang sangat negatif, berhasil dibuka, dikuakkan, oleh pergerakan mahasiswa-pemuda-rakyat yang radikal, yang mahasiswa-pemudanya kebanyakan berasal dari latar belakang sosial kelas menengah ke bawah. Pemanfaatan celah-celah kesempatan --yang merupakan segi yang positif bagi pergerakan, dan segi yang negatif (bumerang) bagi rejim orde gres --seperti kegiatan persdan tersebarnya media kampus, selebaran-selebaran gelap (terutama yang progresip kerakyatan), adanya unsur-unsur mahasiswa-pemuda yang berkonsolidasi kedaerah-daerah lain, kegiatan diskusi, aksi-aksi massa yang bertahap-tahap (dari yang rendah resikonya ke yang tinggi resikonya), dan lain sebagainya, benar-benar telah menawarkan pengalaman yang sangat berharga, baik dari segi pematangan pemahaman, penyatuan alam pikir dan aksi, pemihakan terhadap rakyat, maupun rekonsolidasi bagi proses, gerak, selanjutnya pergerakan kaum Progresif-Kerakyatan-Radikal.
c. Segi-segi Positif yang dihasilkan oleh Pergerakan Progresif-kerakyatan Radikal Dekade 80-an
Seperti Sebagaimana yang telah disebutkan diatas, pergerakan Progresif Kerakyatan Radikal dekade 80-an telah berhasil membuka ruang demokrasi -walaupun masih terbatas- yang sanggup dijadikan sebagai senjata (peluang) bagi proses, gerak, selanjutnya ke arah pergerakan revolusioner. Ruang demokrasi yang telah dihasilkan oleh pergerakan Progresif-Kerakyatan-Radikal tersebut adalah:
- Sentimen kerakyatan kini telah lebih populer, atau bermakna kembali di tengah-tengah massa. Kini lebih banyak orang dengan lebih gampang dan mencoba lebih mendalam berbicara soal rakyat-- bahkan rejim Orde Baru pun kini lebih ulet berdemagogi kerakyatan. Kata rakyat dan atmosfir kerakyatan mulai beraroma lagi;
- Baik pribadi maupun tidak langsung, tingkat agitasi dan propaganda mulai melebar ke segala sektor masyarakat. Yang terpenting, rakyat kini mulai lebih sadar akan bobroknya rezim orde gres dan mendambakan alternatif yang lain --inilah yang disebut kekosongan, kevakuman, ideologi yang harus diisi dengan segera oleh pergerakan;
- Tingkat mobilisasi, pengerahan, massa, dalam tingkat tertentu, sudah tidak bisa dikendalikan oleh rezim orde baru. Aksi massa, baik yang diorganisir maupun yang tidak, mulai banyak dilancarkan oleh banyak sekali sektor masyarakat;
- Tingkat militansi dan radikalisasi massa mulai meningkat. Berbagai tindakan penindasan oleh rezim orde gres terhadap pergerakan tidak sanggup menghentikan gerak maju, peningkatan isi dan cara tuntutan massa;.
- Pembentukan organisasi massa tandingan (alternatif), dalam tingkat tertentu, sudah sanggup dilaksanakan dan, dalam beberapa kasus, sudah tidak bisa dikendalikan lagi oleh rezim orde baru;
- unsur-unsur maju di kalangan kaum pergerakan --baik yang sudah menyatakan diri maupun yang masih bimbang-- merupakan mayoritas.
d. Polarisasi yang keliru Dipandang Negatif oleh Kaum Pergerakan Progresif Kerakyatan Radikal
Sesuatu yang harus dipandang masuk akal --bukannya dipandang negatif-- dalam gerak usaha pergerakan progresif-kerakyatan-radikal yaitu polarisasi. Karena polarisasi yaitu konsekuensi logis ideologi, garis politik, dan keorganisasian dari pergerakan. Konsekuensi logis tersebut yaitu polarisasi pergerakan menjadi berisi unsur maju dan unsur konservatif/reaksioner. Dan kita harus memadang unsur konservatif dan reaksioner tersebut sebagai bukan pergerakan, baik ideologinya, garis politiknya, dan keorganisasiannya. Apalagi bila polarisasi tersebut bukan merupakan hasil perbedaan, pertikaian politik --perbedaan ideologis, taktik dan taktik-- tapi hanya atas dasar intrik-ambisi pribadi borjuis kecil. Jadi, mengapa harus menolak polarisasi, menangisi polarisas, mengangisi perpisahan dengan unsur yang kini menjadi konservatif dan reaksioner. Biarkanlah yang menangis ditinggalkan revolusi yang sedang maju, yang konservatif dan reaksioner harus kita isolasi.
e. Tugas Kita, Kaum Pergerakan Progresif-Kerakyatan-Radikal
Tugas kita dalam merespon/menanggapi polarisasi yaitu memanfaatkan atau memaksimalkan enam hal positif mirip telah disebut di atas, dengan jalan mengkonsolidasikan unsur-unsur maju dalam wadah organisasi yang lebih solid. Tujuannya jelas: mengisolasi unsur-unsur konservatif dan reaksioner, serta meningkatkan kembali semangat unsur-unsur maju yang masih bimbang dan sedang menangisi polarisasi. Atau dengan kata lain: itulah apa yang dinamakan propaganda, cara memetik buah ranum sejarah pergerakan Progresif-kerakyatan-Radikal. Kita tidak membutuhkan unsur-unsur konservatif dan reaksioner. Kondisi objektif sejarah kita yang kemudian telah menandakan bahwa ruang demokrasi (lihat enam segi positif di atas) telah dan hanya berhasil dibuka --walaupun masih terbatas-- oleh unsur-unsur radikal-militan-pelopor. Bukti sejarah --lihat lagi enam segi positif di atas-- tidak bisa diingkari. Bahkan kini pun kita masih belum membutuhkan unsur-unsur moderat; Sekarang, tanpa unsur-unsur Radikal-Militan-Pelopor, kotak pandora pergerakan Rakyat-revolusioner sama sekali tidak akan bisa dibuka.
C. Pergerakan Mahasiswa dalam perpektif sejarah
GERAKAN MAHASISWA mulai memainkan peranan dalam sejarah sosial semenjak berdirinya universitas di Bologna, Paris dan Oxford pada masa Ke-12 dan masa Ke-13. Semboyan mereka ketika itu ialah Gaudeamus Igtiur, Juvenes Dum Sumus, artinya: "Kita bergembira, selagi kita muda.".
Sebenarnya sebuah jargon yang cukup lucu ketika ungkapan mirip di atas keluar dari seseorang yang berstatus sebagai seorang pemikir yang semestinya menjadi sebuah contoh, bagi masyarakat perihal bagaimana seharusnya seseorang berpikir, pun tidak dipungkiri mahasiswa yaitu seorang pembaharu yang membawa perubahan pada sebuah bangsa. Pada ketika berjuang biasanya mahasiswa mengusung kata “idealisme” sebagai poros perjuangannya. Mahasiswa tidak bisa menjadi biro perubahan dengan hanya berbekalkan idealisme dan semangat semata-mata tanpa kesadaran serta usaha-usaha untuk menguasai ilmu dan kemahiran yang sanggup direalisasikan dalam kehidupan bermasyarakat.
Perjuangan golongan terpelajar untuk melaksanakan perubahan secara berkesinambungan memerlukan kekuatan yang boleh diterjemahkan dalam bentuk penguasaan ilmu dan usaha-usaha melahirkan cerdik pintar di kalangan sendiri, dengan kata lain idealisme yaitu sebuah pengejawantahan dari kematangan proses berpikir, dan tanggung jawab implementasinya di masyarakat.
Immanuel Kant, pernah berkata bahwa sejarah bukanlah sesuatu yang terjadi, tapi sejarah yaitu sesuatu yang terjadi dan mempunyai arti. Maka dalam sejarah, gerakan mahasiswa telah menggoreskan tinta emasnya sebagai avant garde dalam setiap perubahan yang terjadi dalam badan bangsa ini. Topik mengenai gerakan mahasiswa seolah tak pernah habisnya untuk terus dikaji, begitu fenomenalnya gerakan mahasiswa sehingga diberikan label yang prestisius sebagai agent of change, agent of control dan banyak sekali label lainnya.
TAK berlebihan jika mahasiswa diidentikkan dengan banyak sekali label, di antaranya sebagai agent of change, iron stock, dan label-label lain yang kadangkala menuntut pertanggungjawaban kepada masyarakat dalam arti luas. Mahasiswa sebagai pecahan masyarakat terdidik mesti merespons apa bahwasanya yang sedang terjadi hangat di masyarakat.
Jika kita meneropong dengan kacamata sejarah, mahasiswa memang mempunyai romantisme sejarah yang kuat. Dan hal itu bisa menjadi sumber energi dan juga bisa menjadi beban. Pada setiap zamannya, mahasiswa mempunyai kiprah yang tidak bisa dianggap remeh.
Sejarah telah menandakan hal itu. Tengoklah contohnya pergerakan nasional tahun 1928 yang menghasilkan Sumpah Pemuda, semuanya tidak terlepas dari tokoh-tokoh mirip Muhammad Yamin, Sugondo Joyopuspito, dan mahasiswa-mahasiswa Indonesia lain yang sedang menuntut ilmu di GHS (Geeneskundige Hogere School) maupun di RHS (Recht Hogere School) yang kini melebur dan menjadi pecahan Universitas Indonesia.
Begitu pun pada pergerakan tahun 1945 dan 1966, mahasiswa kembali menorehkan tinta sejarahnya yang masing-masing menghasilkan kemerdekaan Indonesia dan munculnya Orde Baru. Yang paling selesai yaitu reformasi 1998 yang berhasil menjatuhkan rezim despotik Orde Baru yang telah "manggung" selama 32 tahun.
Untaian sejarah mahasiswa pada zamannya itu menawarkan indikasi bahwa mahasiswa mempunyai tanggung jawab yang lebih jika dibandingkan dengan elemen masyarakat lain. Dan itu membutuhkan satu kesadaran. Kesadaran yang tumbuh dari setiap mahasiswa bahwa ia tidak saja mesti menuntaskan tugas-tugas akademik di kampus, namun juga mesti bisa menuntaskan problem-problem sosial kemasyarakatan yang ternyata jauh lebih rumit ketimbang berguru teorinya dan baca buku di dalam kelas. Keseimbangan dua aspek tadi yakni teori dan praktik setidaknya akan membentuk pemahaman yang utuh. Teori saja tanpa praktik yaitu omong kosong, dan praktik tanpa teori dikhawatirkan akan caos.
Mahasiswa bisa diibaratkan yaitu sosok intelektual muda yang nantinya diharapkan bisa menjadi cendekiawan. Tentu tidak gampang menapaki jalan hidup ke sana, penuh liku dan jalan terjal yang mesti dilalui. Karena menjadi seorang cendekiawan yang konsisten kadangkala mesti berseberangan dengan penguasa yang bisa jadi jalan yang dipilihnya itu menyeret pada pengapnya "hotel prodeo" alias penjara.
Lagi-lagi kita mesti membuka lembaran sejarah mengenai hal ini. Soekarno, Hatta, Syahrir, Tan Malaka, Natsir, Hamka, dan yang lainnya yaitu sederet cendekiawan yang pernah mencicipi dinginnya tembok penjara lantaran tetap meneriakkan kebenaran ketika semua orang tiarap. Inilah risiko yang mesti ditanggung. Seorang cendekiawan yang lurus bisa dipastikan akan lebih banyak menemui topan ketimbang damai.
Seperti yang pernah ditulis oleh Julien Benda, seorang cendekiawan Prancis dalam bukunya yang cukup terkenal "La trahison des clercs" (1927) yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi "Pengkhianatan Kaum Cendekiawan" (hlm. 28-32) menyampaikan bahwa cendekiawan dilarang terikat oleh sekat-sekat budaya, ras, bahasa, bangsa, dan geografi.
Ia harus merasa sebagai unit komunitas global sejati. Dalam perang sekalipun, ia tidak harus membela dan berpihak pada bangsanya. Ia selalu berpihak pada kebenaran, keadilan, dan kemanusiaan. Adagium right or wrong is my country, tidak ada dalam kamus mereka.
Berbeda dengan sosok cendekiawan, berdasarkan Benda, semua jenis acara politik merupakan rezim militerisme dan jiwa kolektif dari realisme, materalisme, praktikalisme, dan aktivisme. Oleh lantaran itu cendekiawan dilarang terlibat dalam politik, militer dan diplomasi. Memasuki dunia itu berarti minimal terlibat-menyebarkan kebencian terhadap ras lain, faksi politik, dan sangat besar hati dengan nasionalisme.
Benda mencatat cendekiawan mirip Mommsen, Treitschke, Ostwald, Brunetiere, Barres, Lemaitre, Peguy, Maurras, d'Annuzio, dan Kipling yang cenderung praktis, haus dengan hasil yang sementara, semata-mata memikirkan tujuan dan bukan proses, masa kolot dengan argumentasi, overacting, suka menyebar kebencian dan mempunyai obsesi sebagai cendekiawan yang erat dengan dunia politik, militer, dan diplomasi.
Benda memuji-muji cendekiawan mirip Gerson, Spinoza, Zola, Duclaux, da Vinci, Malebranche, Goethe, Erasmus, Kant, Renan, dan sebagainya yang selalu mengecam pertikaian antara egoisme dan arogansi manusia. Dengan demikian bahwa spirit dari seorang cendekiawan yaitu menyuarakan kebenaran yang berpihak pada masyarakat bukan menjadi corong para penguasa. Persis ketika seorang Milan Kundera berseru bahwa usaha melawan kekuasaan yaitu usaha melawan lupa.
Dengan itulah kemudian sesungguhnya seorang mahasiswa mengemban kiprah seorang intelektual yang sungguh berat. Apalagi jika kita tahu bahwa biaya pendidikan kita (baca:mahasiswa) sebagian ditanggung oleh dana yang diserap dari masyarakat. Fenomena hari ini menjelaskan bahwa dari tahun ke tahun rasa kepedulian mahasiswa terhadap masyarakat agaknya mengalami penurunan yang cukup berarti, mereka telah dininabobokan oleh budaya hedonisme dan terjerat ke dalam kubangan kapitalisme. Dua budaya ini lamat-lamat memasuki relung kehidupan kita tanpa sadar.
Sederhana saja jika kita ingin melihat fenomena ini. Cobalah bandingkan lebih banyak mana mahasiswa yang mengidap --meminjam istilah sobat saya-- sindrom bulat setan yakni kosan, kuliah, nongkrong, dan begitu seterusnya tanpa mempunyai variasi kegiatan yang cukup bermakna dengan sebagian mahasiswa yang berkecimpung di unit-unit kegiatan mahasiswa di intra maupun di ekstra kampus.
Tentu kita akan lebih banyak menyaksikan yang pertama ketimbang yang kedua. Persoalannya tentu tidak sederhana. Mereka dikirim orang bau tanah untuk menuntut ilmu memang iya, namun yang mesti harus kita sadari bahwa menjadi mahasiswa yaitu sebuah pilihan, dan menentukan sesuatu akan meniscayakan sebuah konsekuensi yang mesti ditanggung oleh setiap personal.
Oleh lantaran itu sesungguhnya di samping keheroikan label mahasiswa yang begitu "gagah" di depan masyarakat, juga menuntut pembuktian atas hal itu. Jangan heran jika ada sebagian masyarakat yang menganggap bahwa mahasiswa itu bagai malaikat yang bisa menuntaskan apa pun, apalagi jika pergi ke kawasan pedesaan yang sumber daya manusianya masih kurang.
Merevolusi kesadaran. Itulah bahwasanya yang mesti kita benahi jika masih meyakini bahwa merekonstrusi perubahan ke arah yang lebih progresif yaitu pecahan dari salah satu kiprah intelektual mahasiswa. Kapan lagi kita bisa memunculkan Soe Hok Gie dan Ahmad Wahib yang "baru"?
Secara umum kita memahami gerakan mahasiswa sebagai komunitas sosial yang menjalankan acara dengan usaha untuk memainkan kiprahnya dalam proses politik, terlepas dari skala dan metode pengerahan massa yang dilakukannya. Terlepas dari keberhasilan ataupun kegagalan yang dilakukan dalam membuat perubahan, gerakan mahasiswa mempunyai posisi yang strategis dalam mempengaruhi proses politik.
Kondisi pemerintahan pasca reformasi belum juga menawarkan perubahan yang signifikan kearah yang lebih baik. Kecenderungan untuk kembali merajalelanya pola-pola orde gres terlihat dengan jelas, salah satu indikasinya yaitu semakin tingginya tingkat korupsi di negeri kita, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh PERC, yang diakibatkan lemahnya sistem aturan dinegara kita. Fungsi kontrol yang dijalankan oleh legislatif terkesan jauh dari hakekatnya sebagai pembawa aspirasi rakyat, justru yang lebih menonjol yaitu pembawa aspirasi golongannya.
Gerakan Mahasiswa Tahun 1966
Dikenal dengan istilah angkatan 66, gerakan ini awal kebangkitan gerakan mahasiswa secara nasional, dimana sebelumnya gerakan-gerakan mahasiswa masih bersifat kedaerahan. Tokoh-tokoh mahasiswa ketika itu yaitu mereka yang kini berada pada lingkar kekuasaan dan pernah pada lingkar kekuasaan, siapa yang tak kenal dengan Akbar Tanjung dan Cosmas Batubara. Apalagi Sebut saja Akbar Tanjung yang pernah menjabat sebagai Ketua dewan perwakilan rakyat (Dewan Perwakilan Rakyat) periode tahun 1999-2004.
Angkatan 66 mengangkat gosip Komunis sebagai ancaman laten Negara. Gerakan ini berhasil membangun kepercayaan masyarakat untuk mendukung mahasiswa menentang Komunis yang ditukangi oleh PKI (Partai Komunis Indonesia). Eksekutif pun beralih dan berpihak kepada rakayat, yaitu dengan dikeluarkannya SUPERSEMAR (surat perintah sebelas maret) dari Presiden Sukarno kepada peserta mandat Suharto. Peralihan ini menandai berakhirnya ORLA (orde lama) dan berpindah kepada ORBA (orde baru). Angkatan 66 pun menerima hadiah yaitu dengan banyaknya penggerak 66 yang duduk dalam kabibet pemerintahan ORBA.
Gerakan Mahasiswa Tahun 1972
Gerakan ini dikenal dengan terjadinya insiden MALARI (Malapetaka Lima Belas Januari). Tahun angkatan gerakan ini menolak produk Jepang dan sinisme terhadap warga keturunan. Dan Jakarta masih menjadi barometer pergerakan mahasiswa nasional, catat saja tokoh mahasiswa yang mencuat pada gerakan mahasiswa ini mirip Hariman Siregar, sedangkan mahasiswa yang gugur dari insiden ini yaitu Arif Rahman Hakim.
Gerakan Mahasiswa Tahun 1980 an
Gerakan pada era ini tidak popular, lantaran lebih terfokus pada perguruan tinggi besar saja. Puncaknya tahun 1985 ketika Mendagri (Menteri Dalam Negeri) Saat itu Rudini berkunjung ke ITB. Kedatangan Mendagri disambut dengan Demo Mahasiswa dan terjadi insiden pelemparan terhadap Mendagri. Buntutnya Pelaku pelemparan yaitu Jumhur Hidayat terkena hukuman DO (Droup Out) oleh pihak ITB (pada pemilu 2004 ia menjabat sebagai Sekjen Partai Serikat Indonesia / PSI).
Gerakan Mahasiswa Tahun 1990 an
Isu yang diangkat pada Gerakan era ini sudah mengkerucut, yaitu penolakan diberlakukannya terhadap NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus / Badan Kordinasi Kampus) yang membekukan Dewan Mahasiswa (DEMA/DM) dan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM).
Pemberlakuan NKK/BKK mengubah format organisasi kemahsiswaan dengan melarang Mahasiswa terjun ke dalam politik praktis, yaitu dengan SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 0457/0/1990 perihal Pola Pembinaan dan Pengembangan Kemahasiswaan di Perguruan Tinggi, dimana Organisasi Kemahasiswaan pada tingkat Perguruan Tinggi berjulukan SMPT (senat mahasiswa perguruan tinggi).
Organisasi kemahasiswaan mirip ini menjadikan penggerak mahasiswa dalam posisi mandul, lantaran pihak rektorat yang notabane nya perpanjangan pemerintah (penguasa) lebih leluasa dan dilegalkan untuk mencekal penggerak mahasiswa yang berbuat “over”, bahkan tidak segan-segan untuk men-DO-kan. Mahasiswa hanya dituntut kuliah dan kuliah tok.
Di kampus intel-intel berkeliaran, pergerakan mahasiswa dimata-matai. Maka jangan heran jika contohnya hari ini menyusun taktik demo, besoknya pegawapemerintah sudah siap siaga. Karena banyak mata-mata berkedok mahasiswa.
Pemerintah Orde Baru pun menggaungkan opini adanya pergerakan sekelompok orang yang berkeliaran di masyarakat dan mahasiswa dengan sebutan OTB (organisasi tanpa bentuk). Masyarakat pun tergoda dengan opini ini lantaran OTB ini identik dengan gerakan komunis.
Pemahaman ini penulis dapatkan ketika mengikuti ORPADNAS (orientasi kewaspadaan nasional) tingkat DKI Jakarta yang diikuti oleh seluruh Perguruan Tinggi di Jakarta pada tahun 1993. dan juga sebagai peserta pada kegiatan TARPADNAS (penataran kewaspadaan nasional) tingkat nasional yang diikuti oleh unsur cowok dan mahasiswa seluruh Indonesia tahun 1994..
Pemberlakuan NKK/BKK maupun opini OTB ataupun cara-cara lain yang dihadapkan berdasarkan versi penguasa ORBA, tidak membuat mahasiswa putus asa, lantaran disetiap event nasional dijadikan untuk memberikan penolakan dan pencabutan SK perihal pemberlakukan NKK/BKK, termasuk juga pada kegiatan TARPADNAS.
Sikap kritis mahasiswa terhadap pemerintah tidak berhenti pada diberlakukannya NKK/BKK, jalur usaha lain ditempuh oleh para penggerak mahasiswa dengan menggunakan kendaraan lain untuk menghindari sikap refresif Pemerintah, yaitu dengan meleburkan diri dan aktif di Organisasi kemahasiswaan ekstra kampus mirip HMI (himpunan mahasiswa islam), PMII (pergerakan mahasiswa islam Indonesia), GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia), PMKRI (Pergerakan Mahasiswa Nasrani Indoenesia) atau yang lebih dikenal dengan kelompok Cipayung. Ini juga dialami penulis yang menemukan titik kejenuhan jika hanya bergulat dengan ORMAWA intra kampus, lantaran mahasiswa menjadi kurang peka terhadap lingkungan sekitar, apalagi predikat mahasiswa yaitu sebagai agent of intelegence, agent of change, agent of social control, yaitu mahasiswa sebagai seorang kaum terdidik, sebagai pembaharu dan sebagai kontrol sosial.
Gerakan Mahasiswa Tahun 1998
Gerakan mahasiswa era sembilan puluhan mencuat dengan tumbangnya Orde Baru dengan ditandai lengsernya Soeharto dari kursi kepresidenan, tepatnya pada tanggal 12 mei 1998.
Gerakan mahasiswa tahun sembilan puluhan mencapai klimaksnya pada tahun 1998, di diawali dengan terjadi krisis moneter di pertengahan tahun 1997. harga-harga kebutuhan melambung tinggi, daya beli masyarakat pun berkurang. Mahasiswa pun mulai gerah dengan penguasa ORBA, tuntutan mundurnya Soeharto menjadi agenda nasional gerakan mahasiswa. Ibarat gayung bersambut, gerakan mahasiswa dengan agenda REFORMASI nya menerima simpati dan pertolongan yang luar biasa dari rakyat. Mahasiswa menjadi referensi rakyat dalam mengubah kondisi yang ada, kondisi dimana rakyat sudah bosan dengan pemerintahan yang terlalu lama 32 tahun ! politisi diluar kekuasaan pun menjadi tumpul lantaran terlalu kuatnya lingkar kekuasaan, dan dikenal dengan sebutan jalur ABG (ABRI, Birokrat, dan Golkar).
Simbol Rumah Rakyat yaitu Gedung DPR/MPR menjadi tujuan utama mahasiswa dari banyak sekali kota di Indonesia, seluruh komponen mahasiswa dengan banyak sekali atribut almamater dan kelompok semuanya tumpah ruah di Gedung Dewan ini, tercatat FKSMJ (Forum Komunikasi Senat Mahasiswa Jakarta), FORBES (Forum Bersama), KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) dan FORKOT (Forum Kota). Sungguh gila dan luar biasa, elemen mahasiswa yang berbeda paham dan pedoman sanggup bersatu dengan satu tujuan : Turunkan Soeharto.
Dua elemen mahasiswa yang mencuat yaitu FKSMJ dan FORKOT. Penulis mengenal betul abjad dua elemen mahasiswa ini. FKSMJ yang merupakan forumnya senat mahasiswa se Jakarta, lebih intens melaksanakan koordinasi dan terkesan hati-hati dalam menyikapi persolan yang muncul, dan lebih apik dalam beraksi lantaran menghindari gerakan mata-mata intel. Sedangkan FORKOT yang terdiri dari kelompok penggerak mahasiswa Pers Kampus lebih “radikal” dalam beraksi dan berani menentang arus, sehingga tak jarang harus berhadapan pribadi dengan aparat, dan bentrok fisik pun tak terelakan.
Perjuangan mahasiswa menuntut lengsernya sang Presiden memang tercapai, tapi usaha ini sangat mahal harganya lantaran harus dibayar dengan 4 nyawa mahasiswa Tri Sakti, mereka gugur sebagai Pahlawan Reformasi, serta harus dibayar dengan bencana Semangi 1 dan 2. Memang lengser nya Soeharto seolah menjadi tujuan utama pada gerakan mahasiswa sehingga ketika pemerintahan berganti, gosip utama kembali kepada kedaerahan masing-masing. FORKOT dan FKMSMJ pun kembali bersebrangan tujuan.
REFORMASI terus bergulir, usaha mahasiswa tidak akan pernah berhenti hingga disini. Perjuangan dari masa ke masa akan tumbuh jika Penguasa tidak berpihak kepada rakyat.
D. Karakteristik Mahasiswa
Tidak sanggup dipungkiri dalam kehidupan sehari-hari terdapat banyak sekali abjad mahasiswa, yang “menghiasi” kiprahnya dalam pergerakan mahasiswa itu sendiri.
Cenderung oportunis.
Jenis mahasiswa mirip ini cenderung menggambarkan bahwa organisasi dan pergerakan mahasiswa merupakan sebuah ladang bagi dirinya untuk meraih keuntungan. Entah itu laba materi, kekuasaan, atau pun status sosial.
Berpolitik praktis
Jenis mahasiswa ini biasanya tergabung ke dalam satu partai, dan mencoba untuk menggalang kekuatan masa untuk menduduki sebuah jabatan, atau untuk manggalang sebuah kekuatan opini. Yang lucunya, untuk sebagian mahasiswa cenderung meng’kulktus’ kan seorang tokoh , tanpa didasari oleh sebuah pemikiran-pemikiran kritis.
Bertaktik.
Jenis mahasiswa ini biasanya menggunakan taktik-taktik tertentu untuk sanggup membentuk opini orang lain, untuk kemudian mencoba membentuk opini tersebut menjadi sebuah persepsi yang benar, ada kalanya penggalangan kekuatan tidak hanya dilakukan dengan menggunakan otak, tapi juga otot
Bersikap hirau tak acuh
Ada dua alasannya yaitu mengapa mahasiswa menjadi hirau tak acuh. Pertama, dikarenakan tidak adanya rasa tanggung jawab dalam diri mahasiswa yang bersangkutan, dan mengidentikan bahwa seorang mahasiswa itu hanya bertugas untuk “belajar. Kedua, dikarenakan platform pergerakan mahasiwa yang tengah di usung tidak sesuai dengan pemikirannya, atau pun cara dia berjuang, bisa jadi orang-orang mirip ini mulai melihat bahwa organisasi mahasiwa yang bersangkutan berada pada jalur yang salah.
Berlandasan
Jenis mahasiswa ini biasanya mempunyai pemahaman-pemahaman, dan pola berpikir yang matang, sehingga segala sesuatu yang diperbuat atau di perjuangkannya mempunyai sebuah landasan yang real, dengan arti kata penolakan dan penerimaan didasarkan pada sebuah proses berpikir yang matang dengan pertimbangan landasan-landasan itu tadi. Mengapa mahasiwa ini bisa menjadi terkotak-kotak?, bisa jadi ada banyak sekali macam persepsi yang berbeda perihal arti kata idelisme itu tadi. Sekarang apa yang dimaksud dengan idealisme, kini mari kita ungkap lebih jauh.
Idealis
Idealisme yaitu sesuatu yang ideal, dengan kata lain menempatkan sesuatu pada tempatnya,bisa juga dikatakan harmonis atau selaras. Sebagai contoh, seorang mahasiswa dikatakan mempunyai idealisme yaitu ketika melaksanakan protes kepada seorang Dekan yang membuat sebuah keputusan dengan tidak mengindahkan aturan, untuk kembali kepada aturan yang sebenarnya, jadi idealisme disini yaitu mencoba untuk memperjuangkan sebuah aturan yang telah disepakati sebelumnya, teladan lainnya yaitu ketika seorang mahasiswa memperjuangkan kebutuhan orang-orang miskin, yang hak-hak nya tidak pernah diperhatikan oleh pemerintah. Makara idealisme itu timbul dikarenakan adanya sebuah pemikiran untuk menempatkan segala sesuatu pada tempatnya atau dengan kata lain berbuat adil. Landasan Mahasiswa dalam Pergerakan Mahasiswa. Secara garis besar ada dua andasan yang digunakan oeleh mahasiswa untuk memperjuangkan idealisme itu tadi, yaitu Hukum positif dan aturan Agama.
E. Mahasiswa Kehilangan fungsi kontrol
Kondisi pemerintahan pasca reformasi belum juga menawarkan perubahan yang signifikan kearah yang lebih baik. Kecenderungan untuk kembali merajalelanya pola-pola orde gres terlihat dengan jelas, salah satu indikasinya yaitu semakin tingginya tingkat korupsi di negeri kita, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh PERC, yang diakibatkan lemahnya sistem aturan dinegara kita. Fungsi kontrol yang dijalankan oleh legislatif terkesan jauh dari hakekatnya sebagai pembawa aspirasi rakyat, justru yang lebih menonjol yaitu pembawa aspirasi golongannya.
Kondisi legislatif teralienasi ini semakin diperparah dengan kurang responsifnya partai-partai politik terhadap isu-isu publik untuk pemberdayaan rakyat, pengentasan krisis, serta pencerdasan bangsa. Mereka lebih sibuk dengan isu-isu berdimensi aliran, uang serta pembagian kekuasaan. Kondisi yang akut ini menuntut gerakan mahasiswa untuk proaktif dalam mengkritisi kinerja pemerintahan yang kontraproduktif.
Akan tetapi, justru gerakan mahasiswa seolah kehilangan arah gerakannya pasca reformasi sehingga terpolarisasi kepada banyak kutub. Sebagian mahasiswa telah terlena dalam euforia reformasi sehingga cenderung lebih sering berkutat dengan dingklik kuliahnya dibandingkan ikut dalam mempengaruhi proses politik bangsa ini. Menurut Yozar Anwar, intinya gerakan mahasiswa merupakan gerakan budaya, lantaran ia mempunyai kemandirian dan berdampak politik yang sangat luas. Oleh lantaran itu mereka dilarang cepat puas dengan hasil yang dicapai. Gerakan mereka juga harus senantiasa menggunakan asas kebenaran politik dan pengungkapan kebenaran publik sekaligus. Maka, budaya Indonesia yang cenderung cepat puas dengan keadaan dan tidak peduli dengan perkembangan lantaran sibuk sendirian, tidaklah patut menjadi paradigma gerakan mahasiswa.
Ada pula yang terkooptasi oleh kepentingan politik sesaat, ataupun berhubungan kepada partai yang sudah ada, sehingga pola gerakan dan gosip yang dibangun sudah tereduksi oleh kepentingan golongannya. Ini merupakan tanda-tanda kemunduruan gerakan mahasiswa, lantaran stigma yang telah dikenakan kepada mahasiswa sebagai gerakan yang independen dan mengedepankan kepentingan rakyat, bukan golongannya. Ketidakpastian politik di negeri ini, pasca reformasi yang digulirkan oleh gerakan mahasiswa, menggugah banyak sekali elemen bangsa untuk kembali mempertanyakan eksistensi gerakan mahasiswa dalam perjalanan politik bangsa ini. Gerakan mahasiswa dituntut untuk kembali melaksanakan perubahan signifikan guna memperbaiki kerusakan yang terjadi di negeri ini.
Untuk itu dibutuhkan gosip sentral yang sanggup mempersatukan gerakan mahasiswa yang berserak ini (meminjam Istilah Ignas Kleden). Gagasan perihal revolusi sistemik cukup mendasar untuk dijadikan gosip sentral arah gres gerakan mahasiswa kini ini. Mengingat kondisi bangsa yang belum bisa terlepas dari efek kultur orde baru, maka kekuatan orde gres yang ada dalam sistem haruslah mundur ataupun dimundurkan sehingga sanggup digantikan dengan orang-orang gres yang cenderung lebih higienis dari efek dan kultur orde baru. Sejalan dengan gagasan Prof. Deliar Noer, kalau menginginkan reformasi total, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, mengingat pengalaman masa lalu. Konsistensi diharapkan dan pemerintahan dipegang oleh orang-orang yang tidak terlibat dalam masa sebelumnya. Konsesi apapun tidak sanggup dibenarkan untuk diberikan kepada pemerintah, kecuali dalam rangka reformasi.
Revolusi sistemik yang dimaksud diatas yaitu perubahan radikal (mendasar) secara menyeluruh terhadap sistem lama yang sudah lama dan digantikan oleh sistem gres yang akan memuat nilai-nilai gres yang lebih baik. Secara struktural revolusi sistemik mengarah kepada perubahan sistem politik yang merupakan kulminasi dari agenda reformasi. Sementara proses kultural yaitu tahapan antara yang menghantarkan kepada perubahan sistem politik. Proses perubahan secara struktural dan kultural dilalui semoga perubahan tidak hanya terjadi pada level suprastruktur tapi juga infrastruktur. Sebuah tuntutan yang harus digulirkan kepada gerakan mahasiswa, yaitu bagaimana mengembalikan ruh gerakan mahasiswa pada hakekatnya. Sebagai gerakan yang progresif, kritis dan independen, dengan begitu maka akan terwujud terbangun tatanan demokrasi yang kita idamkan.
F. Keruntuhan Idealisme
2. Efek Modernisasi
Harus diakui, arus modernisasi yang berjalan besar lengan berkuasa dan pesat, membuat dinamika kemahasiswaan berjalan sangat dinamis dengan tingkat kebebasan berpikir yang sangat tinggi. Melalui disiplin keilmuan yang diterimanya serta jaringan pergaulan dan informasi yang bisa diaksesnya, menjadikan mahasiswa hidup dalam dunia kebebasan yang sangat lebar. Modernisasi telah benar-benar menggeser dan meruntuhkan segala pranata yang sudah mapan, termasuk pranata moral keagamaan dan sosial.
Seorang ilmuan muslim Mesir kenamaan Hassan Hanafi, mensinyalir bahwa modernisasi bisa menyuguhkan sejuta opsi dalam satu hal kecil yang sangat terbatas sekalipun. Di sana tersedia sejumlah standar dan ukuran-ukuran. Siapa pun bebas menggunakan ukuran dan standar tersebut, bahkan juga berganti-ganti dari satu standar ke standar yang lain. Kebebasan menggunakan standar inilah yang kemudian meruntuhkan segala bangunan pranata sosial-keagamaan yang sudah mapan.
Lihatlah bagaimana generasi muda kampus melaksanakan seks bebas, obat-obatan terlarang, dan larut dalam tuntutan-tuntutan gaya hidup modern lainnya. Padahal, tidak sedikit dari mereka yang berlatarbelakang masyarakat desa dengan kultur yang sangat bertolak belakang. Alfin Tofler menyebut tanda-tanda ini dengan cultural shock, sebuah keterkejutan budaya yang tanpa disadari menyeretnya ke dalam arus kebudayaan gres yang tidak dikenal sebelumnya.
Modernisasi memang benar-benar menjadi satu problem tersendiri dalam kultur masyarakat praindustri, mirip Indonesia. Di dalamnya terjadi aneka pertentangan yang berjalan dalam satu irama perubahan pada dimensi kultural dan kesadaran manusia. Dalam jeratan kultur mirip inilah, lanjut Hassan Hanafi, setiap orang berkecenderungan kembali kepada nilai-nilai primordialnya atau membangun prosedur defensif dengan mengusung sebuah nilai-nilai mendasar yang sangat asasi. Biasanya, alternatif pengimbang terhadap modernisasi dipilihlah nilai-nilai keagamaan.
Tesis yang diajukan oleh Hanafi yaitu semakin deras arus modernisasi mengguncang sendi-sendi kultural sebuah masyarakat, maka kecenderungan untuk kembali kepada nilai-nilai primordialnya juga semakin kuat. Ini yang ditemukan Hanafi perihal perkembangan fundamentalisme kristen di zaman pencerahan Eropa, atau munculnya gerakan Islam puritan di negara-negara Islam Timur Tengah, termasuk berkembangnya gerakan Islam radikal di Pakistan, Mesir dan Turki, khususnya di zaman Kemal Attaturk.
Tampaknya, sinyalemen Hanafi tidak terlalu berlebihan untuk digunakan dalam meneropong fenomena perkembangan menguatnya gerakan Islam di banyak sekali kampus umum di Indonesia. Setidaknya, ada dua indikasi yang menguatkannya.
Pertama, gerakan Islam kampus ini berkembang di kota-kota besar dengan tingkat modernisasi yang cukup tinggi. Sebaliknya, di kota-kota yang derajat modernisasinya sangat kecil, kehadiran mereka sulit untuk diterima. Artinya, fenomena itu menjadi kekhasan masyarakat perkotaan.
Kedua, sebagai bentuk kecenderungannya yang sangat besar lengan berkuasa terhadap ornamen-ornamen keagamaan (Islam), nuansa puritanismenya ditonjolkan jauh lebih kental sehingga kontras dengan khazanah-khazanah lokal. Ini menjadi ciri yang paling tampak dari gerakan-gerakan Islam puritan. Biasanya mereka kesulitan membangun titik konvergensi antara tuntutan formalisme keagamaan dengan realitas konkret kebudayaan lokal yang sedang berkembang.
Mengapa modernisme, pada dimensinya yang lain, mendorong orang untuk kembali kepada nilai-nilai mendasar atau primordialismenya? Seorang ilmuan Donald Smith menengarai ada tiga sebab.
Pertama, modernisme sanggup mengakibatkan pemisahan politik dari ideologi-ideologi agama dan struktur eklesiastikal. Modernisme sanggup mengakibatkan ruang sosial pecah, tanpa terhubung antara satu dengan yang lain. Misalnya politik terpisah dari agama, ekonomi dijauhkan dari prinsip-prinsip keadilan dan lain sebagainya.
Kedua, perluasan politik merambah ke dalam semua segmen sosial dalam menjalankan semua fungsinya, sehingga agama kehilangan kiprah sosialnya.
Ketiga, terjadi transvaluasi kultur politik yang lebih mengutamakan pentingnya nilai-nilai yang rasional, pragmatis, profan dan non-transendental. Ketiga hal ini, lanjut Smith terjadi secara universal di semua lapisan masyarakat modern.
3. Agenda yang Belum Tuntas
Begitu kuatnya efek modernisme yang bisa meruntuhkan segala bangunan sistem nilai, termasuk nilai-nilai agama, maka dalam dunia Islam timbul polemik yang cukup serius, apakah modernisme sesuai dengan agama atau malah bertolak belakang.
Kelompok yang memahaminya bertolak belakang dari doktrin agama mengambil sikap resistensi dan konfrontasi, sehingga disebut sebagai kelompok fundamentalis. Ini muncul di beberapa negara mirip Iran, Sudan dan lain-lain. Mereka membangun sebuah antitesa dengan menampilkan Islam sebagai kekuatan tandingan. Di sini kesadaran keagamaan tidak semata-mata dipahami sebagai cara dan pola hidup, tetapi juga dipahami alternatif sistem yang harus diperlawankan dengan sistem mana pun juga.
Sementara kelompok yang menyetujui modernitas mengambil sikap afirmatif-kompromistik dan menganggapnya sebagai pecahan dari dimensi doktrinal keagamaan. Sederhananya, berdasarkan kelompok ini, bukankah agama sendiri menganjurkan kemajuan.
Bagaimana sebetulnya efek modernitas terhadap bangunan keagamaan?
Seorang cendekiawan muslim Indonesia Prof Dr Nurcholish Madjid menyampaikan bahwa esensi modernisasi bahwasanya yaitu rasionalisasi. Sebuah upaya penempatan formula-formula teologis kedalam bingkai ilmiah-teoritis. Dengan demikian, dalam konteks keagamaan, modernisme diperlawankan dengan dogmatisme. Karena dogmatisme sudah pasti irrasional. Itulah sebabnya, mengapa sang cendekiawan selalu mengkampanyekan keharusan modernisasi terhadap bangunan keagamaan semenjak tahun 70-an.
Tetapi rasionalisasi terhadap segala bangunan keagamaan, terutama pada anasir teo-ritualistiknya, mengakibatkan hilangnya dimensi spiritualitas agama yang mengakibatkan sikap dan praktik keagamaan itu sendiri menjadi kering dan gersang. (29)
G. Kesimpulan
Dari perjalanan gerakan mahasiswa dari masa ke masa ada persamaan ciri dari gerakan mahasiswa angkatan 98 dengan gerakan mahasiswa angkatan lainnya, yaitu :
- Sebagai Motor penggerak Pembaharuan
- Kepedulian dan Keberpihakan terhadap rakyat
Sedangkan perbedaan yang mencolok adalah, penyikapan gosip yang tidak sentral lagi, lantaran REFORMASI TOTAL belum tuntas dan penggerak angkatan 98 sudah melepas statusnya sebagai mahasiswa, serta mereka sudah tidak seidealis lagi ketika waktu masih menjadi mahasiswa di dalam menyikapi persolan bangsa, mereka kini sudah terjun kedalam dunia politik mudah dan tersebar di banyak partai pemilu 2004. Dulu mereka menggugat ORBA, tapi kini duduk dan bergabung dalam bulat ORBA. Inilah suatu realita perpolitikan di Indonesia. Mungkin juga anda yang kini sebagai penggerak akan mirip mereka, menjadi seorang Opurtunis ? hanya anda sendiri yang akan menentukan langkah selanjutnya.
Karakter yang menarik dari semua penggerak gerakan mahasiswa yaitu mereka yang memenuhi persyaratan
- Mempunyai prestasi akademik yang baik (IPK diatas rata-rata).
- Basic organisasi yang kuat, lantaran mengalami pengkaderan yang berjenjang dari tingkatannya, bukan penggerak instant yang hanya mengejar popularitas sesaat.
- Santun dalam bertingkah cerdas dalam berfikir (ahlakul kharimah), dan menjadi panutan mahasiswa lainnya.
- Mampu me-manage (mengatur) waktu, bukan waktu yang mengaturnya.
- Mampu menuangkan pokok pikiran dan ide-ide nya kedalam tulisan. Gerakan penyadaran tidak hanya dalam bentuk agresi jalanan melainkan dalam bentuk goresan pena juga.
Jika anda sebagai mahasiswa mempunyai semua kriteria mirip diatas, maka anda layak menyandang predikat sebagai penggerak mahasiswa sejati. Jika belum, maka baiknya Penulis sarankan anda banyak belajar, berguru dan belajar.
Daftar Pustaka
- Aminullah YunusMemahami Kebangkitan Gerakan Islam Kampus, http://www.suaramerdeka.com/harian/0410/08/opi4.h
- Asep Imaduddin A.R, Merevolusi Kesadaran Mahasiswa Indonesia, Pikiran Rakyat, Kamis, 30 September 2004
- Hovland, Carl I., 1953, Social Communication, dalam Bernard Berelson & Morris Janowitz, ed., Reader in Public Opinion and Communication, New York: The Free Press of Glencoe
- Madjid, (1992) Sejarah Memberikan Kesimpulan, Pergerakan Yang Merevolusionerkannya Dikutip dari majalah PROGRES No. 3, Jilid 2, 1992 hal. 59
- Mohammad Ilham B; Di Balik Fenomena Gerakan Mahasiswa; Mon, Oct 04, 04 | 3:23 pm
- Portal Berita Perpustakaan UPI, Mahasiswa, Idealisme Dan Salah Kaprah; Posted on Wednesday, October 06 @ 13:27:20 WIT by riki
- Rakhmat, Jalaludin, 1991, Psikologi Komunikasi, Bandung : PT Remaja Rosdakarya
- SUDARMA, (2005). Gerakan mahasiswa dari masa ke masa (sebuah refleksi terhadap gerakan mahasiswa era Reformasi & mengenang 7 Tahun Gerakan Mahasiswa 98)