Pengertian,Dampak Dan Penyebab Kemiskinan
Thursday, May 28, 2020
Edit
DIAGNOSIS KEMISKINAN
2.1. Konsep Kemiskinan
Dalam konteks taktik penanggulangan kemiskinan ini, kemiskinan didefinisikan sebagai kondisi di mana seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, tidak terpenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan menyebarkan kehidupan yang bermartabat. Definisi kemiskinan ini beranjak dari pendekatan berbasis hak yang mengakui bahwa masyarakat miskin, baik laki-laki maupun perempuan, mempunyai hak-hak dasar yang sama dengan anggota masyarakat lainnya. Kemiskinan tidak lagi dipahami hanya sebatas ketidakmampuan ekonomi, tetapi juga kegagalan pemenuhan hak-hak dasar dan perbedaan perlakuan bagi seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, dalam menjalani kehidupan secara bermartabat.
Hak-hak dasar secara umum terdiri dari antara lain terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam dan lingkungan hidup, rasa kondusif dari perlakuan atau bahaya tindak kekerasan, dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik, baik bagi perempuan maupun laki-laki. Hak-hak dasar tidak berdiri sendiri tetapi saling mempengaruhi satu sama lain sehingga tidak terpenuhinya satu hak sanggup mempengaruhi pemenuhan hak lainnya.
Dengan diakuinya konsep kemiskinan berbasis hak, maka kemiskinan dipandang sebagai suatu kejadian penolakan atau pelanggaran hak dan tidak terpenuhinya hak. Kemiskinan juga dipandang sebagai proses perampasan atas daya rakyat miskin. Konsep ini memperlihatkan legalisasi bahwa orang miskin terpaksa menjalani kemiskinan dan seringkali mengalami pelanggaran hak yang sanggup merendahkan martabatnya sebagai manusia. Oleh lantaran itu, konsep ini memperlihatkan penegasan terhadap kewajiban negara untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak dasar masyarakat miskin.
Kemiskinan merupakan fenomena yang kompleks, bersifat multidimensi dan tidak sanggup secara gampang dilihat dari suatu angka absolut. Luasnya wilayah dan sangat beragamnya budaya masyarakat mengakibatkan kondisi dan permasalahan kemiskinan di Indonesia menjadi sangat bermacam-macam dengan sifat-sifat lokal yang kuat dan pengalaman kemiskinan yang berbeda antara perempuan dan laki-laki. Kondisi dan permasalahan kemiskinan secara tidak pribadi tergambar dari fakta yang diungkapkan berdasarkan persepsi dan pendapat masyarakat miskin itu sendiri, berdasarkan temuan dari banyak sekali kajian, dan indikator sosial dan ekonomi yang dikumpulkan dari kegiatan sensus dan survai.
2.2. Gambaran Umum
Kabupaten Lombok Tengah menghadapi masalah kemiskinan yang antara lain ditandai oleh jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan dan yang rentan jatuh ke bawah garis kemiskinan. Hasil SUSENAS tahun 2005 yang dilakukan oleh BPS memperkirakan sekitar 224.484 jiwa atau 27,31 % (56.121 RT) dari jumlah rumah tangga secara keseluruhan. Jumlah penduduk tersebut hidup dengan pengeluaran sebulan lebih rendah dari garis kemiskinan, yaitu jumlah rupiah yang diharapkan untuk membayar masakan setara dengan 2.100 kkal sehari dan pengeluaran minimal untuk perumahan, pendidikan, pemeliharaan kesehatan, dan transportasi.
Masalah kemiskinan juga ditandai oleh rendahnya mutu kehidupan masyarakat. Berbagai indikator pembangunan insan dan banyak sekali indikator kemiskinan insan memperlihatkan ketertinggalan Kabupaten Lombok Tengah dengan beberapa daerah lain. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kabupaten Lombok Tengah pada tahun 2005 merupakan indeks komposit yang dihitung sebagai nilai rata-rata dari 3 (tiga) indeks yaitu: indeks kesehatan, indeks pendidikan dan indeks daya beli. IPM tersebut yakni sebagai berikut:
IPM komposit Kabupaten Lombok Tengah memperlihatkan masih rendah. Beberapa pembentuk komponen IPM tersebut yakni sebagai berikut:
- Rata-rata usang sekolah penduduk Kabupaten Lombok Tengah gres mencapai 5,1 tahun pada tahun 2005, angka ini masih jauh dari angka ideal wajib mencar ilmu 9 tahun.
- Angka Melek Huruf (AMH) yang gres mencapai 69,5 % pada tahun 2005, angka ideal 100% penduduk diatas 15 tahun yang bisa membaca dan menulis.
- Usia Harapan Hidup (UHH) mencapai angka 58,50 tahun pada tahun 2005, idealnya berada di atas rata-rata UHH NTB yaitu 61,90 Tahun.
- Indeks Daya Beli (IDB) penduduk yang diformulasikan sebagai turunan dari pengeluaran konsumsi perkapita Rp.607.200,- pada tahun 2004, angka ini tergolong rendah relatif dengan angka Propinsi NTB sebesar Rp.611.000,-
Masalah kemiskinan di Kabupaten Lombok Tengah masih didominasi kemiskinan di daerah perdesaan. Data Susenas 2004 memperlihatkan bahwa penduduk miskin di perdesaan diperkirakan 69 % lebih, dan sebagian besar bekerja di sektor pertanian. Jumlah petani gurem dengan penguasaan lahan kurang dari 0,5 ha dipekirakan sekitar 83.798 atau 38,41 % (Sensus Pertanian, 2003). Tingkat kedalaman dan keparahan kemiskinan di perdesaan cenderung lebih tinggi dari perkotaan. Masyarakat miskin perdesaan dihadapkan pada masalah rendahnya mutu sumberdaya manusia, terbatasnya pemilikan lahan, banyaknya rumahtangga yang tidak mempunyai asset, terbatasnya alternatif lapangan kerja, belum tercukupinya pelayanan publik, degradasi sumber daya alam dan lingkungan hidup, lemahnya kelembagaan dan organisasi masyarakat, dan ketidakberdayaan dalam memilih harga produk yang dihasilkan.
Di sisi lain, masalah kemiskinan di daerah perkotaan juga perlu menerima perhatian. Krisis ekonomi tahun 1997 memperlihatkan masyarakat kota masih rentan untuk jatuh ke bawah garis kemiskinan. Persentase penduduk miskin di perkotaan juga cenderung untuk terus meningkat. Pada umumnya masyarakat miskin perkotaan menjalani pengalaman kemiskinan yang berbeda dengan penduduk miskin perdesaan. Mereka lebih sering mengalami keterisolasian dan perbedaan perlakuan dalam upaya memperoleh dan memanfaatkan ruang berusaha, pelayanan manajemen kependudukan, air higienis dan sanitasi, pelayanan pendidikan dan kesehatan, serta rasa kondusif dari tindak kekerasan. Pada umumnya masyarakat miskin di perkotaan bekerja sebagai buruh dan sektor informal yang tinggal di pemukiman yang tidak sehat dan rentan terhadap penggusuran.
Masyarakat miskin di daerah pesisir dan daerah tertinggal menghadapi permasalahan yang sangat khusus. Penduduk di daerah pesisir umumnya menggantungkan hidup dari pemanfaatan sumberdaya maritim dan pantai yang membutuhkan investasi besar, sangat bergantung musim, dan rentan terhadap polusi dan perusakan lingkungan pesisir. Menurut BPS, 2005 jumlah penduduk miskin dipesisir sekitar 4,50 % atau sekitar 37.071 RT. Mereka hanya bisa bekerja sebagai nelayan kecil, buruh nelayan, pengolah ikan skala kecil dan pedagang kecil lantaran mempunyai kemampuan investasi yang sangat kecil. Nelayan kecil hanya bisa memanfaatkan sumberdaya di daerah pesisir dengan hasil tangkapan yang cenderung terus menurun jawaban persaingan dengan kapal besar dan penurunan mutu sumberdaya pantai. Hasil tangkapan juga gampang rusak sehingga melemahkan posisi tawar mereka dalam transaksi penjualan.
Masalah kemiskinan juga menyangkut dimensi gender. Laki-laki dan perempuan mempunyai peranan dan tanggungjawab yang berbeda dalam rumahtangga dan masyarakat, sehingga kemiskinan yang dialami juga berbeda. Permasalahan yang terjadi selama ini yakni rendahnya partisipasi dan terbatasnya kanal perempuan untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, baik dalam keluarga maupun masyarakat. Masalah fundamental lainnya yakni kesenjangan partisipasi politik kaum perempuan yang bersumber dari ketimpangan struktur sosio-kulutral masyarakat. Selain itu, masalah ketidakadilan gender ditunjukkan oleh rendahnya kualitas hidup dan kiprah perempuan dan tingginya tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak.
2.3 Permasalahan kemiskinan
Sejalan dengan definisi kemiskinan yang berbasis pada hak-hak dasar, permasalahan kemiskinan perlu dilihat dari pendapat atau persepsi yang dikemukakan oleh masyarakat miskin itu sendiri dan diperkuat dengan data statistik. Permasalahan kemiskinan akan dilihat dari aspek pemenuhan hak dasar, beban kependudukan, serta ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender.
2.3.1 Kegagalan Pemenuhan Hak Dasar
2.3.1.1. Terbatasnya Kecukupan dan Mutu Pangan
Pemenuhan kebutuhan pangan yang layak dan memenuhi persyaratan gizi masih menjadi masalah bagi masyarakat miskin. Terbatasnya kecukupan dan kelayakan mutu pangan berkaitan dengan rendahnya daya beli, ketersediaan pangan yang tidak merata, ketergantungan tinggi terhadap beras dan terbatasnya diversifikasi pangan. Di sisi lain, masalah yang dihadapi oleh petani penghasil pangan yakni terbatasnya dukungan produksi pangan, tata niaga yang tidak efisien, rendahnya penerimaan perjuangan tani pangan dan maraknya penyelundupan.
Permasalahan kecukupan pangan antara lain terlihat dari rendahnya asupan kalori penduduk miskin dan buruknya status gizi bayi, anak balita dan ibu. Masalah kecukupan pangan dipengaruhi oleh contoh konsumsi yang bertumpu pada beras sebagai materi pangan pokok. Pola konsumsi menyerupai itu mengakibatkan ketergantungan masyarakat pada beras dan peralihan konsumsi pangan dari bukan beras menjadi beras. Perbedaan perlakuan dalam pengaturan dan pembagian makan antar anggota keluarga juga besar lengan berkuasa terhadap pemenuhan kecukupan pangan. Pembagian masakan masih dipengaruhi oleh sikap dan budaya masyarakat yang mengutamakan bapak dan anak laki-laki kemudian anak perempuan, dan terakhir ibu. Pola pengaturan makan menyerupai itu juga berdampak pada buruknya kondisi gizi ibu hamil, dan sanggup menjadikan ajal ibu pada waktu melahirkan dan sehabis melahirkan.
Data BPS Lombok Tengah memperlihatkan bahwa, kekurangan gizi pada balita dan perempuan usia subur terjadi di beberapa daerah. Sekitar 33-39% dari jumlah anak balita terutama di daerah perdesaan diperkirakan mempunyai berat tubuh kurang.
Masalah kecukupan pangan juga dialami oleh petani penghasil pangan termasuk petani padi. Penyebab utamanya yakni fluktuasi harga yang terjadi pada dikala animo panen dan animo paceklik yang tidak menguntungkan mereka. Impor beras yang dilakukan untuk menutup kebutuhan beras dan menjaga stabilitas harga seringkali tidak sempurna waktu sehingga merugikan petani penghasil beras. Berdasarkan observasi Badan Bimas Ketahanan Pangan pada bulan Agustus 2003 di 486 lokasi yang tersebar di 15 provinsi, harga gabah terendah ditingkat petani mencapai Rp.900/kg lebih rendah dari harga dasar yang ditetapkan oleh pemerintah. Selain itu, terdapat 54,9% kasus harga di tingkat petani dan 38,9% kasus harga di tingkat penggilingan yang lebih rendah dari harga dasar pembelian yang ditetapkan.
Masalah lain yang juga mempengaruhi ketahanan masyarakat dalam menghadapi masalah kerawanan pangan yakni kemampuan menyediakan cadangan pangan untuk mengatasi animo paceklik. Saat ini, sebagian besar lumbung pangan milik masyarakat tidak berfungsi lantaran tidak dikelola dengan baik dan lemahnya dukungan dari pemerintah daerah.
Berbagai permasalahan tersebut menyiratkan pentingnya penilaian terhadap sistem ketahanan pangan yang sanggup mendukung pemenuhan hak masyarakat atas pangan yang cukup dan bermutu.
2.3.1.2 Terbatasnya Akses dan Rendahnya Mutu Layanan Kesehatan
Masyarakat miskin menghadapi masalah keterbatasan kanal layanan kesehatan dan rendahnya status kesehatan yang berdampak pada rendahnya daya tahan mereka untuk bekerja dan mencari nafkah, terbatasnya kemampuan anak dari keluarga untuk tumbuh dan berkembang, dan rendahnya derajat kesehatan ibu. Penyebab utama dari rendahnya derajat kesehatan masyarakat miskin, selain kecukupan pangan yakni keterbatasan kanal terhadap layanan kesehatan dasar, rendahnya mutu layanan kesehatan dasar, kurangnya pemahaman terhadap sikap hidup sehat, dan kurangnya layanan kesehatan reproduksi.
Salah satu indikator dari terbatasnya kanal layanan kesehatan dasar yakni angka ajal bayi. Data BPS 2005 memperlihatkan bahwa AKB untuk tahun 2002 sebesar 34,22 %, dan 60,91% pada tahun 2004. Angka ini berada di atas rata-rata Angka Kelahiran Bayi di NTB.
Status kesehatan masyarakat miskin diperburuk dengan masih tingginya penyakit menular menyerupai malaria, dan tuberkulosis paru. Rendahnya tingkat kesehatan masyarakat miskin juga disebabkan oleh sikap hidup mereka yang tidak sehat. Sekitar 62,2% laki-laki berusia 15 tahun atau lebih merokok, dan persentase di perdesaan lebih besar, yaitu sekitar 67%. Pengeluaran rumah tangga untuk tembakau diperkirakan sekitar 4% dengan tingkat konsumsi yang meningkat sejalan dengan tingkat pendapatan. Kebiasaan merokok mengakibatkan meningkatnya beban biaya pengobatan kronis untuk orang yang menderita kanker paru-paru dan penyakit lain yang berafiliasi dengan tembakau, dan menurunkan tingkat produktivitas pekerja. Secara umum, penyakit tidak menular menyerupai kencing manis, penyakit jantung, dan lain-lain memperlihatkan kecenderungan meningkat. Hampir sepertiga penyebab ajal di Lombok Tengah disebabkan oleh penyakit jantung dan pembuluh darah, di samping itu beban jawaban penyakit ini juga diperhitungkan sangat besar.
Masalah lain yakni rendahnya mutu layanan kesehatan dasar yang disebabkan oleh terbatasnya tenaga kesehatan, kurangnya peralatan, dan kurangnya sarana kesehatan. Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kabupaten Lombok Tengah ketersediaan banyak sekali akomodasi kesehatan dan sarana kesehatan periode 2000-2003 yakni sebagai berikut:
Pemanfaatan layanan kesehatan oleh kelompok masyarakat miskin umumnya jauh lebih rendah dibanding kelompok kaya. Bagi 20 % masyarakat berpenghasilan terendah, layanan kesehatan yang sering dipakai yakni praktek petugas kesehatan (34,3%) dan praktek dokter (19,7%). Praktek petugas kesehatan yang paling sering dimanfaatkan oleh masyarakat miskin yakni bidan dan mantri yang lokasinya terdekat dari tempat tinggal mereka.
Salah satu keluhan utama masyarakat miskin yakni mahalnya biaya pengobatan dan perawatan. Hal ini disebabkan oleh jauhnya tempat pelayanan kesehatan dan rendahnya jaminan kesehatan. Data BPS, 2005 memperlihatkan hanya sekitar 20,6% penduduk yang mempunyai salah satu bentuk jaminan kesehatan. Pada kelompok termiskin, hanya sekitar 15% mempunyai Kartu Sehat (KS) dan pemanfaatan pelayanan kesehatan oleh pemegang KS masih rendah. Penyebab utama rendahnya pemanfaatan tersebut yakni ketidaktahuan perihal proses pembuatan KS dan kurang jelasnya pelayanan terhadap pemegang KS. Sedangkan untuk pemanfaatan tenaga kesehatan oleh kelompok terkaya jauh lebih tinggi (sekitar 82%) dibanding pemanfaatan oleh kelompok miskin yang hanya sekitar 40%.
Masalah lain dalam ekspansi kanal layanan kesehatan bagi masyarakat miskin yakni rendahnya anggaran yang tersedia bagi pembangunan dan pelayanan kesehatan. Menurut asumsi Komisi Makroekonomi dan Kesehatan-WHO, kebutuhan pelayanan kesehatan perorang yakni sebesar US $30–40, sedangkan di Indonesia diperkirakan hanya sebesar US $3 pada tahun 2001.
2.3.1.3 Terbatasnya Akses dan Rendahnya Mutu Layanan Pendidikan
Masyarakat miskin mempunyai kanal yang rendah terhadap pendidikan formal dan non formal. Hal ini disebabkan oleh tingginya biaya pendidikan, terbatasnya jumlah dan mutu prasarana dan sarana pendidikan, terbatasnya jumlah dan guru bermutu di daerah dan komunitas miskin, terbatasnya jumlah sekolah yang layak untuk proses belajar-mengajar, terbatasnya jumlah SLTP di daerah perdesaan, daerah terpencil dan kantong-kantong kemiskinan, serta terbatasnya jumlah, sebaran dan mutu kegiatan kesetaraan pendidikan dasar melalui pendidikan non formal.
Rendahnya kanal masyarakat terhadap pendidikan terjadi mulai dari pendidikan anak usia dini. APS Kabupaten Lombok Tengah relatif Kecil yaitu sebesar 56,1 pada tahun 2002 dan menjadi 57,7% pada tahun 2004. Jika dilihat dari jenis kelamin, persentase perempuan yang berpendidikan rendah (SD dan SMP) relatif lebih tinggi dibanding laki-laki. namun, persentase perempuan berpendidikan menengah dan tinggi lebih rendah dibanding laki-laki. Angka putus sekolah, secara diktatorial masih cukup tinggi
Berdasarkan pada kelompok umur 7-12 tahun terlihat presentasenya relatif kecil , akan tetapi semakin tingginya tingkat pendidikan yang ditempuh maka semakin tinggi pula angka putus sekolah yang terjadi, kenyataan ini tidak terlepas dari kanal Ke sekolah semakin jauh sehingga diharapkan biaya yang cukup tinggi untuk transportasi ke sekolah. (Suplemen, LTH, 2002). Hal ini disebabkan oleh alasan ekonomi, yaitu tidak adanya biaya dan keharusan untuk mencari nafkah.
Tingginya biaya pendidikan mengakibatkan kanal masyarakat miskin terhadap pendidikan menjadi terbatas. Sesuai dengan ketentuan, biaya SPP untuk jenjang SD/MI telah secara resmi dihapuskan. Namun, kenyataan memperlihatkan bahwa masyarakat tetap harus membayar banyak sekali iuran sekolah menyerupai pembelian buku, alat tulis, pakaian seragam, sepatu seragam, biaya transportasi, dan uang saku. Berbagai iuran tersebut menjadi penghambat bagi masyarakat miskin untuk menyekolahkan anaknya. Masalah lain yang dialami oleh siswa SD/MI terutama di daerah perdesaan yakni kekurangan kalori dan kekurangan gizi yang menjadikan rendahnya daya tahan mencar ilmu dan semangat mencar ilmu siswa. Dalam jangka panjang, hal ini besar lengan berkuasa terhadap kemungkinan anak untuk putus belajar, mengulang kelas dan tidak mau sekolah.
Berbagai masalah dalam layanan pendidikan menyiratkan perlunya peninjauan kembali terhadap banyak sekali kebijakan untuk memperluas kanal dan meningkatkan mutu layanan pendidikan menyerupai penurunan beban biaya pendidikan, peningkatan jumlah dan mutu prasarana dan sarana pendidikan, penambahan jumlah dan guru bermutu di daerah dan komunitas miskin, dan peningkatan prasarana pendidikan berupa gedung sekolah yang layak untuk proses belajar-mengajar.
2.3.1.4 Terbatasnya Kesempatan Kerja dan Berusaha
Masyarakat miskin umumnya menghadapi permasalahan terbatasnya kesempatan kerja dan berusaha. Terbatasnya lapangan pekerjaan yang tersedia dikala ini seringkali mengakibatkan mereka terpaksa melaksanakan pekerjaan yang beresiko tinggi dengan imbalan yang kurang memadai dan tidak ada kepastian akan keberlanjutannya.
Belum berhasil diatasinya masalah ketenagakerjaan yang terpuruk ketika krisis dan kurangnya ekspansi kesempatan kerja sanggup dilihat dari kondisi ketenagakerjaan pada tahun 2003 yang memperlihatkan belum adanya perbaikan. Selama 5 tahun terakhir indikator keberhasilan pembangunan memperlihatkan adanya perubahan kearah yang lebih baik, namun demikian masih menghadapi permasalahan dibidang ketenagakerjaan yaitu tidak seimbangnya pertumbuhan lapangan pekerjaan dengan peningkatan jumlah tenaga kerja yang tersedia. Oleh karenanya tantangan yang dihadapi dikala ini yakni bagaimana membina dan mendayagunakan tenaga kerja yang ada biar menjadi modal dasar yang efektif dalam pembangunan. Sebagai ilustrasi berikut ditampilkan presentasi penduduk usia 15 tahun ke atas sebagai berikut :
Dari tabel di atas sanggup lihat bahwa Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) memperlihatkan angka yang relatif besar kecuali 2 kecamatan yaitu Praya Tengah dan Praya masing-masing 66.18 % dan 65.31 %. Hal ini berarti bahwa 2 kecamatan tersebut tingkat penganggurannya relatif lebih besar dibandingkan dengan kecamatan lain.
Jika dilihat dari jumlah penduduk yang bekerja berdasarkan lapangan pekerjaan maka sektor pertanian masih memperlihatkan kontribusi paling besar dalam menyerap tenaga kerja.
Menurut status pekerja, terlihat posisi angkatan kerja sebagai pengelola/pengusaha masih menempati urutan pertama dengan persentase 44.08 % dan sebagai karyawan 29.59 % dan yang terakhir berstatus sebagai pekerja tidak dibayar mencapai 26.33 %
Tingginya jumlah pekerja yang bekerja di sektor kurang produktif berakibat pada rendahnya pendapatan sehingga tergolong miskin atau tergolong pada pekerja dengan pendapatan yang rentan menjadi miskin (near poor). Penduduk miskin yang umumnya berpendidikan rendah harus bekerja apa saja untuk mempertahankan hidupnya. Kondisi tersebut mengakibatkan lemahnya posisi tawar masyarakat miskin dan tingginya kerentanan terhadap perlakuan yang merugikan. Masyarakat miskin juga harus mendapatkan pekerjaan dengan imbalan yang terlalu rendah, tanpa sistem kontrak atau dengan sistem kontrak yang sangat rentan terhadap kepastian relasi kerja yang berkelanjutan. Ketidakjelasan mengenai hak-hak mereka dalam bekerja mengakibatkan kurangnya proteksi terhadap keselamatan dan kesejahteraan mereka di lingkungan kerja.
Masyarakat miskin juga mempunyai kanal yang terbatas untuk memulai dan menyebarkan koperasi dan usaha, mikro dan kecil (KUMK). Permasalahan yang dihadapi antara lain sulitnya mengakses modal dengan suku bunga rendah, kendala untuk memperoleh ijin usaha, kurangnya proteksi dari kegiatan usaha, rendahnya kapasitas kewirausahaan dan terbatasnya kanal terhadap informasi, pasar, materi baku, serta sulitnya memanfaatkan bantuan-teknis dan teknologi. Ketersediaan modal dengan tingkat suku bunga pasar, masih sulit diakses oleh pengusaha kecil dan mikro yang sebagian besar masih lemah dalam kapasitas SDM. Selain kesulitan mengakses modal tersebut, tidak adanya forum resmi yang sanggup memberi modal dengan persyaratan yang sanggup dipenuhi kapasitas masyarakat miskin. Kenyataan ini tidak memberi pilihan lain untuk memperoleh modal dengan cara meminjam dari rentenir dengan tingkat bunga yang sangat tinggi. Masyarakat miskin juga menghadapi masalah lemahnya proteksi terhadap aset usaha, terutama proteksi terhadap hak cipta industri tradisional, dan hilangnya aset perjuangan jawaban penggusuran. Usaha koperasi juga seringkali menghadapi kesulitan untuk menjadi tubuh aturan lantaran persyaratan yang sangat rumit, menyerupai batas modal, anggota, dan kegiatan usaha. Dengan tidak menjadi tubuh aturan koperasi menjadi sulit berkembang dan kehilangan kesempatan untuk meningkatkan kapasitas melalui training yang diselenggarakan oleh pemerintah. Masalah lain yang dihadapi dalam pengembangan KUMK yakni lemahnya proteksi terhadap perjuangan yang dikembangkan oleh masyarakat, sehingga koperasi sulit berkembang dan kehilangan kesempatan kesempatan untuk meningkatkan kesempatan untuk meningkat kapasitas melalui training yang diselenggarakan oleh pemerintah.
Data BPS (2005), memperlihatkan bahwa terjadi perkembangan jumlah koperasi yang aktif yaitu sebanyak 263 pada tahun 2004, kemudian meningkat menjadi 302 pada tahun 2005. Berdasarkan data tersebut, berarti terjadi peningkatan perjuangan khususnya dalam bidang perkoperasian, tetapi ditinjau dari kondisi dikala ini masih perlu di kembangkan melalui keterlibatan pemerintah dan banyak sekali pihak menyerupai swasta.
2.3.1.5 Terbatasnya Akses Layanan Perumahan
Tempat tinggal yang sehat dan layak merupakan kebutuhan yang masih sulit dijangkau oleh masyarakat miskin. Secara umum, masalah utama yang dihadapi masyarakat miskin yakni terbatasnya kanal terhadap perumahan yang sehat dan layak, rendahnya mutu lingkungan permukiman dan lemahnya proteksi atas pemilikan perumahan.
Masalah perumahan yang dihadapi oleh masyarakat miskin di perkotaan berbeda dengan masyarakat miskin yang berada di perdesaan. Di perkotaan keluarga miskin sebagian besar tinggal di perkampungan yang berada di balik gedung-gedung pertokoan dan perkantoran, dalam petak-petak kecil, saling berhimpit, tidak sehat dan seringkali dalam satu rumah ditinggali lebih dari satu keluarga. Kondisi permukiman mereka juga seringkali tidak dilengkapi dengan lingkungan permukiman yang memadai. Untuk mendapatkan tempat bermukim yang sehat dan layak, mereka tidak bisa membayar biaya awal untuk mendapatkan perumahan sangat sederhana dengan harga murah. Perumahan yang diperuntukkan bagi golongan berpenghasilan rendah terletak jauh dari pusat kota tempat mereka bekerja sehingga beban biaya transportasi akan mengurangi kemampuan mereka untuk menenuhi kebutuhan hidup lain yang lebih mendesak.
Masyarakat miskin yang tinggal di daerah nelayan, pinggiran hutan, dan pertanian lahan kering juga mengeluhkan kesulitan memperoleh perumahan dan lingkungan permukiman yang sehat dan layak. Kesulitan perumahan dan permukiman masyarakat miskin di daerah perdesaan umumnya disiasati dengan menumpang pada anggota keluarga lainnya. Dalam satu rumah seringkali dijumpai lebih dari dari satu keluarga dengan akomodasi sanitasi yang kurang memadai.
Karekteristik tempat tinggal di Kabupaten Lombok Tengah menyerupai terlihat pada tabel 2.7.
Dari data terjadi perkembangan kondisi perumahan tahun 2000 dengan tahun 2003. Namun perkembangan tersebut sangat kecil, oleh lantaran itu diharapkan kebijakan perumahan dan pemukiman yang lebih menyentuh masyarakat miskin, sehingga mereka bisa hidup dengan layak dan sehat.
2.3.1.5 Terbatasnya Akses Terhadap Air Bersih dan Aman, serta Sanitasi.
Air higienis merupakan salah satu kebutuhan pokok untuk memenuhi standar kehidupan insan secara sehat. Air higienis didefinisikan sebagai air yang dipakai untuk keperluan sehari-hari yang memenuhi syarat kesehatan dan sanggup diminum apabila telah dimasak. Masyarakat miskin seringkali menghadapi kesulitan untuk mendapatkan air higienis dan aman. Hal ini disebabkan oleh terbatasnya penguasaan sumber air, belum terjangkau oleh jaringan distribusi, menurunnya mutu sumber air, serta kurangnya kesadaran akan pentingnya air higienis dan sanitasi untuk kesehatan. Kesulitan memperoleh air higienis dan kondusif umumnya dihadapi oleh sekitar 44,8% penduduk terutama rumah tangga yang tinggal di daerah yang sulit air. Menurut data BPS 2005, rumahtangga yang belum bisa mengakses air higienis masih cukup besar. Pada tahun 2001 jumlah Rumah Tangga yang memakai air higienis sebanyak 83,81 % dari seluruh Penduduk, dan pada tahun 2003 jumlah tersebut menjadi 40,07%.
Persentase masyarakat miskin yang mempunyai ketergantungan suplai air dari pemerintah daerah didominasi oleh wilayah : Kecamatan Pujut , Kecamatan Praya Barat, Praya Tengah dan Praya Barat Daya. Pada dikala animo kemarau, mereka terpaksa harus membeli air minum yang cukup mahal. Bagi masyarakat miskin yang tidak bisa membeli, mereka terpaksa mengambil air dari sungai. Kesulitan air higienis juga dialami oleh masyarakat petani lahan kering. Untuk mengatasi masalah ini telah diupayakan layanan PDAM dan dinas Kimpraswil.
Masyarakat miskin juga menghadapi masalah buruknya sanitasi dan lingkungan permukiman terutama yang tinggal di daerah kumuh. Kondisi sanitasi dan lingkungan yang jelek besar lengan berkuasa terhadap perkembangan kesehatan mereka terutama belum dewasa dan ibu. Selain itu, masyarakat miskin juga kurang memahami pengelolaan sanitasi dan lingkungan hidup sebagai pecahan dari sikap hidup sehat.
Kesulitan dalam mengakses air higienis dan aman, dan sanitasi akan menjadi beban berat bagi masyarakat miskin. Upaya pemenuhan hak dasar atas air higienis dan kondusif perlu menjadi perhatian terutama dalam penyediaan dan distribusi air bersih, terbangunnya prosedur subsidi penyediaan air higienis dan sanitasi bagi masyarakat miskin, serta peningkatan pengetahuan dan pemahaman masyarakat miskin terhadap pentingnya air higienis dan sanitasi.
2.3.1.7 Lemahnya Kepastian Kepemilikan dan Penguasaan Tanah
Masyarakat miskin menghadapi masalah ketimpangan struktur penguasaan dan pemilikan tanah, serta ketidakpastian dalam penguasaan dan pemilikan lahan pertanian. Masalah tersebut sangat dirasakan oleh petani penggarap yang sering tidak bisa memenuhi kebutuhan subsisten.
Kehidupan rumahtangga petani sangat dipengaruhi oleh aspek penguasaan tanah dan kemampuan memobilisasi anggota keluarganya untuk bekerja di atas tanah pertanian. Tingkat pendapatan rumahtangga petani ditentukan oleh luas tanah pertanian yang secara faktual dikuasai. Oleh lantaran itu, meningkatnya jumlah petani gurem dan petani tunakisma mencerminkan kemiskinan di perdesaan. Penguasaan tanah cenderung makin menyempit. Jumlah rumahtangga petani gurem dengan pemilikan lahan kurang dari 0,2 ha pada tahun 2003 sebanyak 126.654 rumah tangga. Yang terdiri dari Rumah Tangga Pertanian pengguna lahan sebanyak 123.870 dan Rumah tangga petani gurem sebanyak 83.758. Masalah tersebut bertambah jelek dengan struktur penguasaan lahan yang timpang lantaran sebagian besar petani gurem tidak secara formal menguasai lahan sebagai hak milik.
2.3.1.8 Memburuknya Kondisi Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup
Kemiskinan mempunyai kaitan erat dengan masalah sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Masyarakat miskin sangat rentan terhadap perubahan contoh pemanfaatan sumberdaya alam dan perubahan lingkungan. Masyarakat miskin yang tinggal di daerah perdesaan, daerah pinggiran hutan, daerah pesisir, dan daerah pertambangan sangat tergantung pada sumberdaya alam sebagai sumber penghasilan. Sedangkan masyarakat miskin di perkotaan umumnya tinggal di lingkungan permukiman yang jelek dan tidak sehat, contohnya di daerah rawan banjir dan daerah yang tercemar.
Proses pemiskinan juga terjadi dengan menyempitnya dan hilangnya sumber mata pencaharian masyarakat miskin jawaban penurunan mutu lingkungan hidup terutama hutan, laut, dan daerah pertambangan. Penyusutan ini disebabkan oleh penebangan hutan yang tidak terkendali, penjarahan hutan, kebakaran,dan konversi untuk kegiatan lain menyerupai pertambangan, pembangunan jalan, dan permukiman Dampak lanjutan dari kerusakan ini yakni terjadinya degradasi lahan yang disebabkan oleh erosi. Selain itu, kerusakan hutan juga berdampak bagi masyarakat miskin dalam bentuk menyusutnya lahan yang menjadi sumber penghidupan, dan terjadinya abrasi dan tanah longsor yang mengakibatkan semakin berat beban yang mereka tanggung.
Masyarakat miskin nelayan juga menghadapai masalah kerusakan hutan bakau dan terumbu karang. Hal ini berdampak pada rusaknya habitat tempat induk ikan mencari makan dan bertelur. Hutan bakau menyusut menjadi setengah dalam waktu sekitar 11 tahun. Terumbu karang dikala ini dalam kondisi rusak dan sangat kritis. Degradasi lingkungan wilayah pesisir menjadikan menurunnya populasi ikan dari 5-10% daerah perikanan tangkap, dan meningkatnya kesulitan nelayan dalam memperoleh ikan.
Berbagai permasalahan tersebut menegaskan terbatasnya kanal dan kesempatan masyarakat miskin yang tinggal di daerah hutan, daerah pertambangan, daerah pesisir, dan daerah lindung terhadap sumberdaya alam sebagai sumber penghidupan. Masalah tersebut diperparah dengan terjadinya kerusakan dan degradasi lingkungan yang menjadikan menurunnya mutu lingkungan hidup sebagai penunjang kehidupan. Perumusan kebijakan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup menyerupai pembuatan peraturan perundangan juga sering mengabaikan partisipasi masyarakat. Oleh lantaran itu, diharapkan review banyak sekali kebijakan yang terkait dengan pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup.
2.3.1.9. Kurangnya Keamanan dan Ketertiban Umum
Masyarakat miskin seringkali menghadapi banyak sekali tindak kekerasan yang mengakibatkan tidak terjaminnya rasa aman. Tindak kekerasan tersebut disebabkan oleh konflik sosial dan bahaya non kekerasan antara lain krisis ekonomi dan penyebaran penyakit menular. Berbagai tindak kekerasan dan non kekerasan tersebut mengancam rasa kondusif dan mengakibatkan hilangnya kanal masyarakat terhadap hak-hak sosial, ekonomi, politik, dan budaya.
Kondisi Kamtibmas di Kabupaten Lombok Tengah selama 5 tahun terakhir memperlihatkan kenaikan pada beberapa jenis kriminalitas menyerupai dalam tabel 2.9.
Sumber : BPS, 2005
Data pada tabel 2.9. mengindikasikan dampak yang menciptakan rasa kondusif yang kurang terhadap masyarakat. Disamping itu juga masih terjadinya konflik sosial antar masyarakat desa yang satu dengan lainnya. konflik yang terjadi di banyak sekali daerah menyerupai di Kecamatan Pujut, Praya Barat, Janapria dan beberapa daerah lainnya berdampak pribadi pada merosotnya taraf hidup masyarakat miskin dan munculnya masyarakat miskin baru.
Situasi keamanan yang memburuk jawaban konflik menimbulkan dampak pada kondisi kemiskinan. Konflik telah mengakibatkan hilang atau rusaknya tempat tinggal, terhentinya kerja dan perjuangan sehingga penghasilan keluarga hilang, menurunnya status kesehatan individu dan lingkungan yang berakibat pada penurunan produktivitas, rusaknya infrastuktur ekonomi yang mengakibatkan langkanya ketersediaan materi pangan, menurunnya kanal terhadap pendidikan, menurunnya kanal terhadap air bersih, rusaknya infrastruktur sosial dan hilangnya rasa aman, serta merebaknya rasa amarah, frustasi dan trauma kolektif. Oleh lantaran itu, kemiskinan di daerah konflik tidak sanggup disamakan dengan kemiskinan di daerah bukan konflik lantaran adanya bahaya dari terjadinya kekerasan secara berkelanjutan dan tidak adanya jaminan keamanan.
Lemahnya jaminan rasa kondusif sebagai pemicu terjadinya konflik kekerasan dan non kekerasan memperlihatkan lemahnya sistem politik dan pemerintahan. Hal ini erat kaitannya dengan perubahan penyelenggaraan pemerintahan dari sentralis dan otoriter menjadi pemerintahan desentralis dan demokratis. Selain itu, kesenjangan ekonomi dan ketidakadilan sosial menjadi salah satu penyebab kerentanan masyarakat miskin. Hal ini juga diperkuat dengan tidak berjalannya penegakan aturan secara adil terhadap pelanggaran korupsi, pelanggaran HAM, dan pelaku pelanggaran kekerasan lainnya. Kurangnya jaminan rasa kondusif juga disebabkan oleh terbatasnya kapasitas pegawanegeri keamanan terutama polisi.
2.3.1.10. Lemahnya Partisipasi
Tidak terpenuhi hak-hak dasar masyarakat miskin lantaran tidak tepatnya layanan yang diberikan oleh pemerintah, menyentuh pribadi dilema kapabilitas dasar yang kemudian menghambat mereka untuk mencapai harkat martabat sebagai warganegara. Gagalnya kapabilitas dasar itu sering muncul dalam banyak sekali kasus, terkooptasinya masyarakat miskin dari kehidupan sosial dan menciptakan mereka semakin tidak berdaya untuk memberikan aspirasinya. Kasus tersebut terjadi sebagai jawaban dari proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan yang memposisikan masyarakat miskin sebagai obyek dan mengabaikan keterlibatan masyarakat miskin dalam proses pengambilan keputusan.
Salah satu penyebab kegagalan kebijakan dan kegiatan pembangunan dalam mengatasi masalah kemiskinan yakni lemahnya partisipasi masyarakat miskin, atau partisipasi LSM untuk sanggup memberikan bunyi si miskin dalam tahap perumusan, pelaksanaan, pemantauan maupun penilaian kebijakan dan kegiatan pembangunan. Berbagai kasus pengusiran petani dari wilayah garapan memperlihatkan kurangnya obrolan dan lemahnya partisipasi masyarakat miskin dalam pengambilan keputusan. Partisipasi masyarakat diantaranya sanggup tergambarkan dalam wujud organisasi-organisasi masyarakat yang sanggup memperkuat posisi tawar untuk mempengaruhi kebijakan, antara lain (Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A), Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA), Taruna Tani).
Berbagai bentuk musyawarah pembangunan dan konsultasi publik dalam pengambilan keputusan hanya terbatas pada kalangan pemerintah dan kurang melibatkan masyarakat. Praktek pengambilan keputusan dalam perencanaan anggaran juga kurang melibatkan masyarakat. Pembahasan anggaran dilakukan secara terbatas oleh pemerintah dan DPRD. Kurangnya informasi mengenai proses tersebut menjadi salah satu penyebab rendahnya partisipasi masyarakat. Di tingkat masyarakat, perempuan sangat jarang dilibatkan dalam musyawarah di tingkat desa ataupun di tingkat dusun lantaran secara formal keluarga diwakili oleh suami yang oleh Undang-Undang Perkawinan ditetapkan sebagai kepala keluarga.
2.3.2 Ketidaksetaraan dan Ketidakadilan Gender
Sumber dari permasalahan kemiskinan perempuan terletak pada budaya patriarki laki-laki sebagai superior dan perempuan sebagai subordinat. Budaya patriarki menyerupai ini tercermin baik dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, maupun bernegara, dan menjadi sumber pembenaran terhadap sistem distribusi kewenangan, sistem pengambilan keputusan, sistem pembagian kerja, sistem kepemilikan, dan sistem distribusi sumberdaya yang bias gender.
Sistem pemerintahan yang hirarki, hegemoni dan patriarki telah meminggirkan perempuan secara sistematis melalui kebijakan, kegiatan dan forum yang tidak responsif gender. Data statistik yang menjadi basis pengambilan keputusan dalam penyusunan kebijakan dan kegiatan tidak bisa mengungkap dinamika kehidupan perempuan dan laki-laki. Data tersebut dikumpulkan secara terpusat tanpa memperhatikan kontekstualitas dan tidak bisa mengungkap perbedaan kondisi perempuan-laki-laki sehingga kebijakan, program, dan forum yang dirancang menjadi netral gender dan menimbulkan kesenjangan dan ketidakadilan gender dalam banyak sekali bidang kehidupan.
Masalah ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender tercemin pada tingginya angka ajal ibu, keluarga berencana dan pengguguran tidak aman, ketidakcukupan konsumsi nutrisi khususnya perempuan hamil dan menyusui, pengiriman TKW yang sarat dengan penipuan, eksploitasi, pelecehan, kekerasan seksual, perdagangan terhadap perempuan, dan buruknya sanitasi dan air bersih. Budaya patriarki yang dilegitimasi oleh negara menjadikan perempuan berada pada posisi tawar yang lemah dan bunyi perempuan tidak tersalurkan melalui prosedur pengambilan keputusan formal. Suatu studi memperlihatkan adanya relasi positif antara keterwakilan perempuan dalam forum legislatif dan administrator dengan penanggulangan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Semakin tinggi partisipasi perempuan, maka semakin tinggi kesejahteraan masyarakat dan keberhasilan penanggulangan kemiskinan. Masalah keterwakilan bunyi dan kebutuhan perempuan dalam pengambilan keputusan kebijakan publik tersebut sangat penting lantaran produk kebijakan yang netral gender hanya akan melanggengkan ketidaksetaraan dan ketidakadilan terhadap perempuan yang berakibat pada pemiskinan kaum perempuan.
2.4. Isu Strategis
Bebabagai masalah yang dihadapai masyarakat miskin memperlihatkan bahwa kemiskinan bersumber dari ketidak berdayaan dan ketidakmampuan masyarakat dalam memenuhi hah-hak dasar; pangan, kesehatan, pendidikan pekerjaan dan berusaha, perumahan, air bersih, tanah, lingkungan hidup dan SDA, rasa aman, dan berpartisipasi.
Kemiskinan juga mempunyai spesifikasi yang berbeda antarwilayah pedesaan, perkotaan serta wilayah pesisir dan kawasana tertinggal. Ketidakmampuan masyarakat memenuhi kebutuhan hak-hak dasar secara umum berkaitan dengan kegagalan:
- Kepemilikan asset terutama tanah dan modal
- Terbatasnya jangkauan layanan dasar terutama pangan, pendidikan, dan kesehatan yang murah dan berkualitas
- Terbatasnya ketersediaan sarana dan prasarana pendukung
- Rendahnya produktivitas dan pembentukan modal masyarakat
- Lemahnya partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan publik
- Pemanfaatan sumberdaya alam yang tidak berwawasan lingkungan dan kurang melibatkan masyarakat
- Kebijakan pembangunan yang bersifat sektoral dan jangka pendek
- Lemahnya koordinasi instansi pemerintah dalam menjamin penghormatan, proteksi hak-hak dasar
Analisa kemiskinan juga memperlihatkan faktor utama penyebab kemiskinan yang bersifat struktural, yaitu pelaksanaan kebijakan, pengelolaan anggaran dan penataan kelembagaan yang kurang mendukung penghormatan, proteksi hak-hak dasar masyarakat masyarakat miskin. Oleh lantaran itu penanggulangan kemiskinan perlu didukung oleh reorientasi kebijakan yang menekankan perubahan dalam perumusan kebijakan, pengelolaan anggaran dan penataan kelembagaan yang mengutamakan hak-hak dasar masyarakat.