Pengertian Masyarakat Sipil


Pengertian Masyarakat Sipil (civil society)
Istilah “civil society” masih menjadi perdebatan baik secara terminologis maupun etimologis. Beberapa kalangan akademisi di Indonesia, menterjemahkan kata “civil society” sebagai “masyarakat madani” (Nurcholish Madjid, 1999; Dawam Rahardjo, 1999), “masyarakat warga” (Lembaga Etika Atmajaya, 1997), dan “masyarakat sipil” (Mansour Fakih, 1996). Harus diakui, konsep civil society dipahami dari perspektif yang berbeda-beda dan hal itu merupakan perkembangan yang dinamis sesuai dengan konteks, setting, ideologi dan kepentingan setiap subjek (INCIS, 2002). Dalam pendekatan Hegelian, penekanannya lebih pada pentingnya kelas menengah dan pemberdayaannya, khususnya pada sektor ekonomi, bagi pembangunan civil society yang kuat. Sementara itu dalam perspektif Gramscian penguatan civil society sebagai alat untuk menghadapi hegemoni ideologi negara. Civil society ialah sebuah arena kawasan para intelektual organik sanggup menjadi berpengaruh yang tujuannya ialah mendukung upaya melaksanakan perlawanan terhadap hegemoni negara. Dalam pendekatan Tocquevellian, penguatan civil society lebih menekankan pada penguatan organisasi-organisasi dan asosiasi independen dalam masyarakat dan melaksanakan inkubasi budaya keadaban (civic culture) untuk membangun jiwa demokrasi.

Terlepas dari beragamnya pendekatan dalam memahami civil society, tampaknya relevan untuk mengemukakan definisi civil society berdasarkan Alfred Stepan (1988) :

... arena where manifold social movement (such as neighborhood associations, women’s groups, religious groupings, and intellectual currents) and civic organization from all classes (such as lawyers, journalist, trade union, and enterpreneurs) attempt to constitute themselves in an ensemble of arrangements so that they can express themselves and advance their interest.

Dari definisi Stepan ini, bahwasanya secara eksplisit mengisyaratkan bahwa civil society bukan sekedar arena di luar negara yang berusaha untuk mengartikulasikan kepentingan mereka, tetapi juga ada kesadaran secara horizontal dari kelompok masyarakat untuk menghimpun dirinya dalam asosiasi dan organisasi sukarela berhubungan dalam bingkai keteraturan (ensemble of arrangement). Hal ini dikemukakan pula oleh AS. Hikam (1996), bahwa civil society ialah wilayah-wilayah kehidupan sosial yang terorganisasi dan bercirikan antara lain: kesukarelaan (voluntary), keswasembadaan (self-supporting), kemandirian tinggi “berhadapan” dengan negara, dan keterikatan tinggi dengan norma-norma atau nilai-nilai aturan yang diikuti warganya.

Pengertian Demokrasi
Demokrasi ialah semacam sistem yang lebih berorientasikan masyarakat (based on communities). Berbeda dengan sistem otoritarianisme yang bisa berdiri tegak dengan menggunakan aparatus ideologi negara saja, demokrasi tidak akan berjalan stabil bila tidak mendapat pertolongan riil masyarakat. Demokrasi yang hanya melibatkan segelintir elite politik biasanya menjurus pada “otoritarianisme baru” atas nama demokrasi itu sendiri.

Pemerintahan demokratis selalu dicirikan oleh karakteristik sebagai berikut: setiap kebijakan diputuskan dengan melibatkan keikutsertaan anggota atau masyarakat dalam pemerintahan (participation), tanggap terhadap aspirasi yang berkembang di bawah (responsiveness), bertumpu pada aspek penegakkan aturan (law enforcement) dan aturan aturan (rule of law), terbuka terhadap keanekaragaman anggotanya (inclusiveness), bertumpu pada konsensus, sanggup dipertanggungjawabkan kepada anggotanya (accountability), efisien, efektif, stabil, higienis (check and balance) dan adanya proses yang transparan (Saiful Mujani, 2001). Dengan demikian, pemerintahan demokratis tergantung pada seberapa besar keterlibatan politik (civic engagement) warganya. Ada proses pelibatan masyarakat dalam mengawasi kinerja pemerintahan. Kekuatan politik menyebar dalam masyarakat dan politik nasional merupakan hasil pertarungan di masyarakat.

Berdasarkan uraian di atas, demokrasi mempunyai beberapa definisi sebagai berikut:
  1. Pembatasan terhadap tindakan pemerintah untuk memperlihatkan proteksi bagi individu dan kelompok dengan menyusun pergantian pimpinan secara berkala;
  2. Adanya perilaku toleransi terhadap pendapat yang berlawanan;
  3. Persamaan di depan aturan yang diwujudkan dengan perilaku tunduk kepada “rule of law” tanpa membedakan kedudukan politik;
  4. Adanya pemilihan yang bebas disertai model perwakilan yang efektif
  5. Diberikannya kebebasan berpartisipasi dan beroposisi bagi partai politik, organisasi kemasyarakatan, serta prasarana pendapat umum ibarat pers atau media massa;
  6. Adanya penghormatan terhadap hak rakyat untuk menyatakan pandangannya; dan
  7. Dikembangkan perilaku menghargai hak-hak minoritas dan perorangan dengan lebih mengutamakan penggunaan cara-cara persuasi dan diskusi daripada koersi dan represif.
Antara Masyarakat Sipil (Civil Society) dan Demokrasi 
Dalam hubungan masyarakat dengan negara, civil society mempunyai tiga fungsi, yaitu: Pertama, sebagai komplementer di mana elemen-elemen civil society mempunyai kegiatan memajukan kesejahteraan untuk melengkapi tugas negara sebagai pelayan publik (public services). Kedua, sebagai subtitutor. Artinya, kalangan civil society melaksanakan serangkaian kegiatan yang belum atau tidak dilakukan negara dalam kaitannya sebagai institusi yang melayani kepentingan masyarakat luas. Dan ketiga, sebagai kekuatan tandingan negara atau counterbalancing the state atau counterveiling forces. Kalangan civil society melaksanakan advokasi, pendampingan, ligitasi, bahkan praktik-praktik oposisi untuk mengimbangi kekuatan hegemonik negara atau paling tidak menjadi wacana alternatif di luar aparatur birokrasi negara.

Fungsi-fungsi di atas, mengandaikan perbedaan titik-tekan implementasi gagasan-gagasan civil society, antara ranah sosial budaya ataukah pada lingkup politik. Iwan Gardono (2001) berpendapat, bahwa civil society yang menekankan pada aspek sosial budaya sanggup bersifat horisontal biasanya terkait erat dengan “civility” atau keberadaan dan “fraternity”. Indigenisasi konsep civil society dilakukan dalam rangka menarik relevansi dengan konteks keumatan. Sedangkan civil society dalam konotasi vertikal lebih merujuk pada dimensi politis, sehingga lebih bersahabat pada aspek citizen dan liberty. Perbedaan titik-tekan tersebut berimplikasi pada pemaknaan yang beragam, atau setidaknya istilah-istilah yang bermacam-macam untuk menyebutkan civil society. 

Dengan mengkombinasikan secara horisontal dan vertikal, maka fungsi komplementer, subtitutor, dan countervailing forces menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan. Barangkali persoalannya terletak pada bagaimana kalangan civil society dalam pelbagai sektor dan area of concern dari kegiatan yang mereka lakukan sanggup membuatkan tugas menuju terciptanya demokratisasi yang berbasis masyarakat.

Membangun Pemerintahan Demokratis Melalui Peran Masyarakat Sipil
Pemerintahan demokratis ialah sistem pemerintahan yang berdasarkan kedaulatan rakyat. Pemerintahan demokratis bergantung pada seberapa besar keterlibatan politik (civic engagement) warganya. Ada proses pelibatan masyarakat dalam mengawasi kinerja pemerintahan. Kekuatan politik menyebar dalam masyarakat dan politik nasional merupakan hasil pertarungan di masyarakat. Keterlibatan warga negara dalam asosiasi-asosiasi yang potensial menumbuhkan perilaku terbuka, trust, toleransi dan perilaku positif lainnya kemudian menjadi penting dalam bangunan politik nasional (Putnam, 1993). Dengan demikian, demokrasi tidak menjadi makanan kaum elite saja, tapi mengalami reeksaminasi oleh masyarakat secara transparan dan terus-menerus di ruang publik, tidak saja pada masa pemilu.

Dalam konteks penumbuhan elemen-elemen demokrasi, kita tidak bisa melepaskan diri dari komponen dasar demokrasi, yakni partisipasi aktif dari civil society. Hal ini berarti perlu mengembalikan hak-hak rakyat sebagai stakeholders di dalam pengambilan keputusan sehingga memperlihatkan keterkaitan antara demokrasi, otonomi, dan partisipasi.

1. Modal Sosial dan Trust
Dalam studi kontemporer wacana demokrasi, faktor penunjang demokrasi ialah ada-tidaknya civic culture dalam suatu masyarakat. Civic culture menjadi model demokrasi berbasis masyarakat dan merupakan bab integral dari civil society selain civic knowledge dan civic value. 

Elemen dasar keterlibatan publik (civic engagement) menjadi akar tunjang civil society yang menyuburkan demokrasi. Adanya kultur demokrasi yang bersemai dalam masyarakat menjadi ukuran seberapa jauh keterlibatan publik tersebut dihargai keberadaannya. Demokrasi tidak akan tumbuh dalam sebuah masyarakat yang tidak mempunyai kultur demokrasi. Inglehart (1999) meyakinkan bahwa kultur demokrasi erat kaitannya dengan perilaku saling percaya (interpersonal trust) antarwarganegara yang diyakini menjadi pendorong yang cukup berpengaruh ke arah demokrasi.

Memang tidak gampang untuk membangun saling percaya di antara warga. Minimnya interpersonal trust pada gilirannya nanti menyebabkan kurangnya kepercayaan pada lembaga-lembaga publik. Misalnya, kurangnya rasa percaya warga terhadap forum pengadilan, polisi, parlemen, dan lembaga-lembaga publik yang nota bene ialah institusi demokrasi lainnya. Realitas sui-generis tersebut, tentu menyulitkan pertumbuhan demokrasi alasannya ialah demokrasi membutuhkan pupuk yang bagus, yakni adanya modal sosial (social capital). Modal sosial biasanya didefinisikan sebagai organisasi sosial itu sendiri atau jaringan sosial yang sanggup mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Jaringan sosial ini berisi banyak sekali interaksi sosial. Interaksi sosial yang menumbuhkan civil society harus dimulai dengan perilaku berkeadaban yang mensyaratkan perilaku saling percaya, fairness, toleran, dan kesukarelaan. Secara normatif (Ace Hasan, 2002) setiap agama manapun selalu mengajarkan perilaku toleran dan saling percaya.

Modal sosial ditentukan oleh seberapa jauh dua jenis trust (sikap toleran dan saling percaya) tersebut melembaga dalam kehidupan sosial. Memang social capital hanya “penyumbang” bukan determinan faktor bagi demokrasi. Modal sosial lebih khusus lagi menyumbang bagi “stabilnya”, bukan “munculnya” demokrasi. Modal sosial terjadi melalui perubahan hubungan antarindividu yang mempengaruhi perbuatan atau tindakan. Menurut Imam Prasodjo (2002), modal sosial ialah akumulasi rasa saling percaya sebagaimana ditunjukkan oleh keragaman dan kombinasi agresi sukarela yang pada kesannya menghasilkan pemerintahan yang efektif.

2. Partisipasi Sosial
Partisipasi sosial dan perilaku percaya (trust) menjadi parameter civic engagement dan merupakan satu sisi dari mata uang yang tidak bisa dipisahkan dari keterlibatan politik (political engagement). Jika political engagement menyangkut keterlibatan dan keterkaitan warga negara secara psikologis dengan urusan-urusan politik dan pemerintahan, maka civic engagement menyangkut keterlibatan warga negara di dalam kegiatan sosial secara sukarela dan trust antarsesama warga negara.

Studi wacana civil society kaitannya dengan demokrasi intinya membicarakan serangkaian partisipasi politik dalam hubungan sosial yang dilakukan secara sukarela. Dengan demikian, demokrasi mengandaikan mekanisme keterlibatan aktif masyarakat. Dalam pemerintahan demokratis, partisipasi masyarakat dijamin eksistensinya. Partisipasi politik, secara umum diartikan sebagai agresi sukarela (voluntarily) untuk mengubah keadaan atau kebijakan publik (Barnes, Kaas, 1978). Partisipasi politik terbagi menjadi dua, yaitu: partisipasi politik itu sendiri dan partisipasi sosial.

Partisipasi sosial didefinisikan sebagai keterlibatan warga negara dalam kehidupan sosial atau civic community. Dengan kata lain, keterlibatan warga atau civic engagement dalam kelompok sosial menjadi ruhnya partisipasi sosial. Kelompok sosial itu sendiri, ditandai oleh dua aktivitas. Pertama, intensitas partisipasi dalam memecahkan masalah sosial antarwarga negara. Artinya, sesama warga negara mempunyai kepedulian dan tindakan kasatmata menuntaskan problem-problem sosial kemasyarakatan di sekitar mereka dengan melaksanakan agresi atau kegiatan kolektif (collective action). Hal ini dimungkinkan bila masing-masing warga mau membuka diri untuk terlibat dalam berkomunikasi dan bergaul dengan warga lainnya. Semakin intensif pergaulan antarwarga terjadi, maka peluang terjadinya kegiatan kolektif secara positif sanggup terbuka lebih lebar. Keterlibatan warga negara dalam komunitas-komunitas kemasyarakatan atau kelompok sosial terang mempertebal jaringan sosial antarwarga. Pada gilirannya nanti, jaringan sosial tersebut membuka kemungkinan besar bagi pemecahan-pemecahan masalah publik. Sebaliknya, bila jaringan sosial menipis, yang ditandai perilaku selfish yang menguat dan enggan melibatkan diri dalam komunitas, bisa ditebak akan melahirkan fenomena “bermain bola boling sendirian (bowling alone)”.

Kedua, kelompok sosial ditentukan oleh intensitas dalam membentuk organisasi sosial. Aktivitas sosial yang kedua ini terang membutuhkan skill atau keterampilan, adanya aspek kepemimpinan (leadership), mempunyai pengetahuan dasar wacana keorganisasian dan tahu bagaimana menjalankannya, mempunyai syarat-syarat atau elemen pokok organisasi dan lain-lain. Seberapa jauh suatu intensitas warga membentuk kelompok atau organisasi sosial biasanya ditentukan oleh seberapa berpengaruh jaringan sosial terbentuk dan seberapa besar keterlibatan dalam komunitas untuk membicarakan masalah-masalah publik terjalin di antara sesama warga.

Intensitas partisipasi warga dalam memecahkan masalah-masalah sosial di sekitarnya relatif tidak membutuhkan keahlian dan pengelolaan serta intensitas yang besar ketimbang jenis kegiatan kelompok sosial yang pertama. Semakin sering warga bertemu (berinteraksi) dan membicarakan masalah sosial, maka peluang pemecahan masalah sosial tersebut semakin besar. Oleh alasannya ialah itu, tidak heran bila kegiatan sosial yang pertama lebih banyak frekuensinya ketimbang jenis kegiatan sosial yang kedua. Partisipasi warga dalam menuntaskan masalah sosial juga lebih banyak ketimbang warga yang punya prakarsa membentuk organisasi sosial. Biasanya jenis keanggotaan kelompok sosial dibagi menjadi tiga, yakni anggota aktif, anggota tidak aktif, dan bukan anggota.

Selain berkemampuan masyarakat dalam memecahkan masalah-masalah sosial, terbentuknya asosiasi-asosiasi berdasarkan kesadaran masyarakat untuk berkumpul dan berorganisasi juga menjadi salah satu indikator kesehatan masyarakat ditinjau dari kemampuan masyarakat untuk mau mengatur dirinya secara kolektif

3. Partisipasi Politik
Demokrasi mensyaratkan adanya partisipasi aktif dari masyarakat biasa untuk memberikan aspirasi atau kepentingan, dan ikut tetapkan kebijakan publik yang harus diambil pemerintah. Partisipasi menentukan siapa yang harus menjadi pejabat publik, keputusan-keputusan apa yang harus diambil dan dilaksanakan oleh pemerintah tersebut, dan bagaimana pelaksanaan amanat dari rakyat tersebut dikontrol sampai penyimpangannya sanggup ditekan, kalau bukan sama sekali dihilangkan.

Partisipasi politik didefinisikan sebagai tindakan –bukan keyakinan atau sikap- warga negara biasa, bukan elite politik, untuk mempengaruhi keputusan-keputusan yang berkaitan dengan kepentingan publik, bukan suatu kelompok masyarakat keagamaan tertentu misalnya, dan secara sukarela, bukan dipaksa (Laporan Penelitian Islam dan Good Governance, 2002). Partisipasi politik bukanlah sejenis kepercayaan atau keimanan, tapi juga bukan perilaku seseorang terhadap sesuatu. Partisipasi politik membutuhkan tindakan individu. Ia telah mendarat pada level psikomotorik yang diwujudkan dengan perbuatan, bukan lagi pada level kognitif dan afektif.

Karena begitu luasnya cakupan tindakan warga negara biasa dalam menyuarakan aspirasinya, maka tidak heran bila bentuk-bentuk partisipasi politik ini sangat beragam. Partisipasi politik paling tidak meliputi beberapa dimensi: ikut dalam pemilihan umum (voting), kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan kampanye dan partai politik (kegiatan kampanye), kegiatan-kegiatan sosial di tingkat kemasyarakatan (kegiatan sosial), dan kegiatan-kegiatan yang terkait dengan protes dan demonstrasi (protes).

Pemilihan umum berarti menyalurkan suaranya dalam bilik-bilik bunyi dengan perkiraan telah memenuhi beberapa tahapan untuk sanggup mencoblos. Partisipasi dalam kampanye misalnya, menghadiri kampanye model monologis atau dialogis, menyebarluaskan atribut partai kepada orang lain, ikut dalam pawai yang diselenggarakan partai politik yang sedang berkampanye, menonton atau mendengarkan acara kampanye partai di televisi atau radio dan lain-lain.

Partisipasi politik sangat terkait erat dengan seberapa jauh demokrasi diterapkan dalam pemerintahan. Negara yang telah stabil demokrasinya, maka biasanya tingkat partisipasi politik warganya sangat stabil, tidak fluktuatif. Negara yang diktatorial kerap menggunakan kekerasan untuk memberangus setiap prakarsa dan partisipasi warganya. Karenanya, alih-alih bentuk dan kuantitas partisipasi meningkat, yang terjadi warga tidak punya keleluasaan untuk otonom dari jari jemari kekuasaan dan tidak ada partisipasi sama sekali dalam pemerintahan yang otoriter. Negara yang sedang meniti proses transisi dari otoritarianisme menuju demokrasi galib disibukkan dengan jenis dan bentuk partisipasi yang sangat banyak, mulai dari yang bersifat “konstitusional” sampai yang bersifat merusak sarana umum.

Proporsi terbesar masyarakat dalam berpartisipasi secara politik ialah melalui pemilu. Di luar pemilu, yang paling besar proporsinya ialah partisipasi sosial, kemudian diikuti oleh partisipasi yang terkait dengan partai politik dan kampanye (mengahadiri kampanye partai atau pawai partai, menggunakan tanda gambar partai, menyebarkan selebaran partai, dan membantu partai), dan yang paling rendah proporsinya ialah partisipasi dalam bentuk protes (demontrasi, mogok, memboikot, dan protes dengan merusak sarana umum) yang dilakukan untuk mendukung atau menolak keputusan yang berkaitan dengan kepentingan publik. Di serpihan dunia manapun, protes merupakan bentuk partisipasi yang relatif jarang dilakukan oleh warga negara.

Dilihat dari kuantitasnya, di luar pemilu, hanya sekitar 17% yang tidak pernah berpartisipasi dalam kegiatan politik. Yang menyatakan pernah melaksanakan minimal satu bentuk partisipasi politik di luar pemilu sekitar 16%, dua bentuk partisipasi 19%, dan sekitar tiga bentuk atau lebih partisipasi 48%. Proporsi kuantitas partisipasi ini tidak banyak berbeda dengan di negara-negara demokrasi lain di dunia (TB Ace Hasan Syadzily, 2003). Keikutsertaan dan ketidakikutsertaan dalam pemilu memperlihatkan sejauh mana tingkat partisipasi konvensional warga negara. Seseorang yang ikut mencoblos dalam pemilu, secara sederhana, memperlihatkan komitmen partisipasi warga. Tapi orang yang tidak menggunakan hak memilihnya dalam pemilu bukan berarti ia tidak punya kepedulian terhadap masalah-masalah publik. Bisa jadi ia ingin menyampaikan penolakan atau ketidakpuasannya terhadap kinerja elite politik di pemerintahan maupun partai dengan cara golput.

Mekanisme pemilu biasanya telah disepakati melalui institusi demokrasi ibarat perwakilan rakyat di tubuh legislatif dan dihukum oleh forum yang ditunjuk pemerintah. Waktu pemilu telah ditentukan secara reguler –apakah empat, lima, atau tujuh tahunan- yang biasanya termaktub dalam konstitusi negara, meskipun tanggal pelaksanaannya secara niscaya biasanya dimasukkan dalam tahapan-tahapan pemilu yang telah disepakati bersama dan telah ditentukan mekanisme dan teknis operasionalnya.

Demikian pula dengan mekanisme dan waktu kampanye dimasukkan dalam tahapan-tahapan pemilu. Seorang warga yang mengikuti kampanye partai lebih bermakna atau berarti ketimbang yang ikut pemilu saja. Apalagi jika partisipasi dalam pemilu bersifat ritual dan dimaknai sebagai kewajiban warga negara, bukan hak sebagai citizenship. Hal ini sudah mengasumsikan bahwa mobilisasi warga untuk berpartisipasi dalam pemilu diekslusikan alasannya ialah mobilisasi intinya bukanlah partisipasi. Mobilisasi selalu mengandung unsur keterpaksaan, bukan atas dasar kesukarelaan.

Oleh alasannya ialah itu, seseorang yang ikut kampanye menunjukan tingkat kepedulian yang lebih baik ketimbang mencoblos pemilu alasannya ialah partisipasi politik juga ditentukan oleh seberapa besar tingkat partisanship warga. Turut serta dalam kampanye partai politik memperlihatkan keingintahuan (curiosity) seseorang terhadap acara partai sebelum ia menjatuhkan pilihan suaranya dalam perhelatan pemilu.

Lain halnya jika orang ikut kampanye alasannya ialah dimobilisasi oleh partai atau ditawari mendapat laba ekonomis. Lepas daripada itu, kampanye tetap menjadi indikasi seberapa jauh perilaku partisan warga terhadap partai. Namun demikian, orang yang ikut kampanye tidak berkorelasi secara positif dengan pilihannya waktu pemilu. Kampanye suatu partai mungkin diikuti secara meriah, tapi waktu pemilu partai politik bersangkutan hanya mendapat sedikit suara. Hal ini memperlihatkan kampanye hanya dilihat sebagai bab mencari kesesuaian acara partai tersebut dengan pilihan konstituennya.

Penutup/Kesimpulan
  1. Civil society bukan sekedar arena di luar negara yang berusaha untuk mengartikulasikan kepentingan mereka, tetapi juga ada kesadaran secara horizontal dari kelompok masyarakat untuk menghimpun dirinya dalam asosiasi dan organisasi sukarela berhubungan dalam bingkai keteraturan (ensemble of arrangement). 
  2. Demokrasi ialah semacam sistem yang lebih berorientasikan masyarakat (based on communities). Berbeda dengan sistem otoritarianisme yang bisa berdiri tegak dengan menggunakan aparatus ideologi negara saja, demokrasi tidak akan berjalan stabil bila tidak mendapat pertolongan riil masyarakat. Demokrasi yang hanya melibatkan segelintir elite politik biasanya menjurus pada “otoritarianisme baru” atas nama demokrasi itu sendiri. 
  3. Pemerintahan demokratis selalu dicirikan oleh karakteristik sebagai berikut: setiap kebijakan diputuskan dengan melibatkan keikutsertaan anggota atau masyarakat dalam pemerintahan (participation), tanggap terhadap aspirasi yang berkembang di bawah (responsiveness), bertumpu pada aspek penegakkan aturan (law enforcement) dan aturan aturan (rule of law), terbuka terhadap keanekaragaman anggotanya (inclusiveness), bertumpu pada konsensus, sanggup dipertanggungjawabkan kepada anggotanya (accountability), efisien, efektif, stabil, higienis (check and balance) dan adanya proses yang transparan (Saiful Mujani, 2001). Dengan demikian, pemerintahan demokratis tergantung pada seberapa besar keterlibatan politik (civic engagement) warganya. Ada proses pelibatan masyarakat dalam mengawasi kinerja pemerintahan. Kekuatan politik menyebar dalam masyarakat dan politik nasional merupakan hasil pertarungan di masyarakat. 
Abstrak
Studi wacana masyarakat sipil (civil society) kaitannya dengan demokrasi intinya membicarakan serangkaian partisipasi politik dalam hubungan sosial yang dilakukan secara sukarela. Dengan demikian, demokrasi mengandaikan mekanisme keterlibatan aktif masyarakat. Dalam pemerintahan demokratis, partisipasi masyarakat dijamin eksistensinya. Partisipasi politik, secara umum diartikan sebagai agresi sukarela (voluntarily) untuk mengubah keadaan atau kebijakan publik (Barnes, Kaas, 1978). Partisipasi politik terbagi menjadi dua, yaitu: partisipasi politik itu sendiri dan partisipasi sosial. 

Pendahuluan
Demokrasi dan masyarakat sipil (civil society) bagaikan dua sisi mata uang, keduanya bersifat ko-eksistensi. Dengan civil society yang kuat, demokrasi akan berjalan dengan baik (Putnam, 1993). Dan dalam suasana negara yang demokratis, civil society akan berkembang dan tumbuh dengan berpengaruh pula. Nurcholish Madjid (1999) menciptakan metafor yang cukup menarik, civil society ialah “rumah” persemaian demokrasi. Makara demokrasi tidak hanya tercermin dalam pemilu yang bebas dan demokratis, tetapi juga diharapkan persemaian dalam “rumah”, yaitu civil society.

Larry Diamond (1994) menyampaikan bahwa civil society memperlihatkan bantuan yang cukup besar bagi tumbuhnya demokrasi. Pertama, civil society menyediakan wahana sumber daya politik, ekonomi, kebudayaan dan moral untuk menjaga dan mengawasi keseimbangan negara. Asosiasi independen dan media yang bebas memperlihatkan dasar bagi pembatasan kekuasaan negara melalui kontrol publik. Kedua, bermacam-macam dan pluralnya dalam masyarakat sipil dengan banyak sekali kepentingannya, bila diorganisasi dan dikelola dengan baik, maka hal ini sanggup menjadi dasar yang penting bagi persaingan yang demokratis. Ketiga, akan memperkaya peranan partai-partai politik dalam hal partisipasi politik, meningkatkan efektivitas politik dan meningkatkan kesadaran kewarganegaraan (citizenship). Keempat, ikut menjaga stabilitas negara. Dalam arti bahwa civil society, alasannya ialah kemandiriannya terhadap negara, bisa menjaga independensinya yang berarti secara rahasia mengurangi tugas negara. Kelima, sebagai wadah bagi seleksi dan lahirnya para pemimpin politik yang baru. Keenam, menghalangi dominasi rezim otoriter.

Namun dalam pelaksanaannya dihadapkan pada hambatan antara lain ialah masih minimnya tingkat pengetahuan dan keterampilan masyarakat dalam melaksanakan agregasi dan artikulasi aspirasi politik mereka untuk disalurkan melalui mekanisme dan mekanisme politik yang sah, konstitusional dan beradab. Kondisi ibarat ini sanggup dipahami sebagai proses awal dari dekratisasi. Sebuah demokrasi tidak akan terwujud tanpa adanya sebuah kesadaran dari masyarakat yang merupakan pelaku demokrasi. Ketidaksadaran masyarakat akan menciptakan mereka terbimbing masuk dalam perilaku politik yang menciptakan mereka menjadi massa yang tidak lagi mengerti wacana pilihan-pilihan politik. Depotisme kemudian terjadi akhir dikorupsinya public spirit yang menyebabkan civil society menjadi kehilangan arah (Keane, 1988).

DAFTAR PUSTAKA 
  • Diamond, Larry. “Rethinking Civil Society”. Journal of Democracy 5 (1994) 
  • Fakih, Mansour. Masyarakat Sipil untuk Transformasi Sosial: Pergolakan Ideologi LSM Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1996. 
  • Gardono, Iwan. “Wacana Civil Society di Indonesia”, dalam Jurnal Masyarakat Sipil, Nomor 9, Tahun 2001. 
  • Hikam, Muhammad AS. Demokrasi dan Civil Society. Jakarta: LP3ES. 1996. 
  • Inglehart, Ronald. “The Renaissance of Political Culture”, Journal American Political Science Review 82 (1999). 
  • Laporan Penelitian Respons Pegawai Terhadap Pengembangan Etika Birokrasi di Lingkungan Pemerintah Propinsi DKI Jakarta (Jakarta: INCIS dan Bapinroh, 2002) 
  • Putnam, Robert D. Making Democracy Work: Civic Traditions in Modern Italy. Princeton, NJ: Princenton University Press. 1993. 
  • Madjid, Nurcholis. “Masyarakat Madani dan Investasi Demokrasi: Tantangan dan Kemungkinan”, dalam Ahmad Baso, Civil Society versus Masyarakat Madani: Arkeologi Pemikiran “Civil Society” dalam Islam Indonesia. Bandung: Pustaka Hidayah. 1999. 
  • Mujani, Saiful. Religious Democrats: Democratic culture and Muslim Participation in Post Suharto Era. Columbus: Ohio State University. 2001. 
  • Stepan, Alfred. Rethinking Military Politics: Brazil and the Southern Cone. Princeton University Press. 1998. 
  • Syadzily, Tb Ace Hasan dkk. Civil Society dan Demokrasi. Jakarta: INCIS.2003. 

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel