Pembagian Aturan Pidana Dan Sifat Aturan Pidana

Pembagian Hukum Pidana
Hukum pidana sanggup dibagi/dibedakan dari banyak sekali segi, antara lain sebagai berikut:
1. Hukum pidana dalam arti objek tif dan aturan pidana dalam arti subjektif.
2. Hukum pidana materiil dan aturan pidana formil Menurut van Hattum:
  • Hukum pidana materiil yaitu semua ketentuan dan peraturan yang menyampaikan wacana tindakan-tindakan yang mana ialah merupakan tindakan-tindakan yang sanggup dihukum, siapakah orangnya yang sanggup dipertanggungjawabkan terhadap tindakan-tindakan tersebut dan eksekusi yang bagaimana yang sanggup dijatuhkan terhadap orang tersebut, disebut juga dengan aturan pidana yang abstrak. 
  • Hukum pidana formil memuat peraturan-peraturan yang mengatur wacana bagaimana caranya aturan pidana yang bersifat abnormal itu harus diberlakukan secara konkrit. Biasanya orang menyebut jenis aturan pidana ini sebagai aturan program pidana.
3. Hukum pidana yang dikodifikasikan (gecodificeerd) dan aturan pidana yang tidak dikodifikasikan (niet gecodificeerd);
  • a.Hukum pidana yang dikodifikasikan contohnya adalah: Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer, dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP);
  • b.Hukum pidana yang tidak dikodifikasikan contohnya banyak sekali ketentuan pidana yang tersebar di luar KUHP, ibarat UU Tindak Pidana Korupsi (UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 wacana Perubahan atas Undang-undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi), UU (drt) No. 7 Tahun 1955 wacana Tindak Pidana Ekonomi, UU (drt) No. 12 Tahun 1951 wacana Senjata Api dan Bahan Peledak, UU No. 9 Tahun 1998 wacana Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, UU No. 8 Tahun 1999 wacana Perlindungan Konsumen, UU No. 21 Tahun 2007 wacana Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan peraturan lainnya yang di dalamnya mengandung hukuman berupa pidana. 
4. Hukum pidana penggalan umum (algemene deel) dan aturan pidana penggalan khusus (bijzonder deel) 
  • Hukum pidana penggalan umum ini memuat asas-asas umum sebagaimana yang diatur di dalam Buku I kitab undang-undang hukum pidana yang mengatur wacana Ketentuan Umum; 
  • Hukum pidana penggalan khusus itu memuat/mengatur wacana Kejahatan-kejahatan dan Pelanggaran-pelanggaran, baik yang terkodifikasi maupun yang tidak terkodifikasi.
5. Hukum pidana umum (algemeen strafrecht) dan aturan pidana khusus bijzonder strafrecht) van Hattum dalam P.A.F. Lamintang menyebutkan bahwa aturan pidana umum ialah aturan pidana yang dengan sengaja telah dibuat untuk diberlakukan bagi setiap orang (umum), sedangkan aturan pidana khusus ialah aturan pidana yang dengan sengaja telah dibuat untuk diberlakukan bagi orang-orang tertentu saja contohnya bagi anggota Angkatan Besenjata, ataupun merupakan aturan pidana yang mengatur tindak pidana tertentu saja contohnya tindak pidana fiskal.

6. Hukum pidana tertulis dan aturan pidana tidak tertulis16 Hukum sopan santun yang beraneka ragam di Indonesia masih diakui berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila. Hukum sopan santun pada umumnya tidak tertulis. Menurut Wirjono, tidak ada aturan sopan santun kebiasaan (gewoonterecht) dalam rangkaian aturan pidana. Ini resminya berdasarkan Pasal 1 KUHP, tetapi sekiranya di desadesa tempat pedalaman di Indonesia ada sisa-sisa dari peraturan kepidanaan yang berdasar atas kebiasaan dan yang secara konkrit, mungkin sekali hal ini besar lengan berkuasa dalam menafsirkan pasal-pasal dari KUHP.

Berpedoman pada Pasal 5 ayat 3 b Undang-undang No. 1 Drt Tahun 1951, ternyata masih dibuka jalan untuk memberlakukan delik adat, walaupun dalam arti yang terbatas. Contohnya adalah: Putusan pengadilan Negeri Poso tanggal 10 Juni 1971, Nomor: 14/Pid/1971 wacana tindak pidana sopan santun Persetubuhan di luar kawin. Duduk perkara pada garis besarnya ialah, bahwa terdakwa dalam tahun 1969-1970 di kampung Lawanga kecamatan Poso kota secara berturut-turut telah melaksanakan persetubuhan di luar kawin dengan E yang risikonya mengakibatkan E tersebut hamil dan melahirkan anak. Tertuduh telah dinyatakan bersalah melaksanakan delik kesusilaan berdasarkan pasal 5 ayat 3 b Undangundang No. 1 Drt Tahun 1951 jo. Pasal 284 KUHP.

Dengan demikian sistim aturan pidana di Indonesia mengenal adanya aturan pidana tertulis sebagai diamanatkan di dalam Pasal 1 KUHP, akan tetapi dengan tidak mengesampingkan asas legalitas dikenal juga aturan pidana tidak tertulis sebagai jawaban dari masih diakuinya aturan yang hidup di dalam masyarakat yaitu yang berupa aturan adat

7. Hukum pidana umum (algemeen strafrecht) dan aturan pidana lokal (plaatselijk strafrecht) Hukum pidana umum atau aturan pidana biasa ini juga disebut sebagai aturan pidana nasional.17 Hukum pidana umum ialah aturan pidana yang dibuat oleh Pemerintah Negara Pusat yang berlaku bagi subjek aturan yang berada dan berbuat melanggar larangan aturan pidana di seluruh wilayah aturan negara. Sedangkan aturan pidana lokal ialah aturan pidana yang dibuat oleh Pemda yang berlaku bagi subjek aturan yang melaksanakan perbuatan yang dihentikan oleh aturan pidana di dalam wilayah aturan pemerintahan tempat tersebut. Hukum pidana lokal sanggup dijumpai di dalam Peraturan Daerah baik tingkat Propinsi, Kabupaten maupun Pemerintahan Kota.

Penjatuhan eksekusi ibarat yang diancamkan terhadap setiap pelanggar dalam peraturan tempat itu secara mutlak harus dilakukan oleh pengadilan. Dalam melaksanakan penahanan, investigasi dan penyitaan pemerintah tempat berikut alat-alat kekuasaannya terikat kepada ketentuan yang diatur di dalam UU No. 8 Tahun 1981 wacana Hukum Acara Pidana.19 Selain itu atas dasar wilayah berlakunya hukum, aturan pidana masih juga sanggup dibedakan antara aturan pidana nasional dan aturan pidana internasional (hukum pidana supranasional). Hukum pidana internasional ialah aturan pidana yang dibuat, diakui dan diberlakukan oleh banyak atau semua negara di dunia yang didasarkan pada suatu konvensi internasional, berlaku dan menjadi aturan bangsa-bangsa yang harus diakui dan diberlakukan oleh bangsa-bangsa di dunia, seperti:

  1. Hukum pidana internasional yang bersumber pada Persetujuan London (8-8-1945) yang menjadi dasar bagi Mahkamah Militer Internasional di Neurenberg untuk mengadili penjahat-penjahat perang Jerman dalam perang dunia kedua;
  2. Konvensi Palang Merah 1949 yang berisi antara lain mengenai korban perang yang luka dan sakit di darat dan di laut, tawanan perang, penduduk sipil dalam peperangan.
Sifat Hukum Pidana
Hukum pidana memiliki dua unsur pokok yang berupa norma dan sanksi, dengan fungsi sebagai ketentuan yang harus ditaati oleh setiap orang di dalam pergaulan hidup bermasyarakat dan untuk menjamin ketertiban hukum, maka kekerabatan aturan yang ada dititikberatkan kepada kepentingan umum. Pompe menyatakan bahwa yang dititikberatkan oleh aturan pidana dalam pertumbuhannya pada waktu kini ialah kepentingan umum, kepentingan masyarakat. Hubungan aturan yang ditimbulkan oleh perbuatan orang dan menjadikan pula dijatuhkannya pidana, di situ bukanlah suatu kekerabatan koordinasi antara yang bersalah dengan yang dirugikan, melainkan kekerabatan itu bersifat subordinasi dari yang bersalah terhadap pemerintah, yang ditugaskan untuk memperhatikan kepentingan rakyat.

Hazewinkel-Suringa tegas menyampaikan bahwa aturan pidana itu termasuk aturan publik.22 Pemangku ius puniendi ialah negara sebagai perwakilan masyarakat hukum. Adalah kiprah aturan pidana untuk memungkinkan insan hidup bersama. Di situ terjadi kekerabatan antara pelanggar aturan publik aturan pidana dalam hal dapatnya dipidana (strafbaarheid) suatu perbuatan pada umumnya tetap ada walaupun dilakukan dengan persetujuan orang yang menjadi tujuan perbuatan itu, dan penuntutannya tidak tergantung kepada mereka yang dirugikan oleh perbuatan yang sanggup dipidana itu. Tetapi ini tidak berarti bahwa aturan pidana tidak memperhatikan kepentingan orang pribadi. Orang pribadi itu sanggup menjadi pihak penuntut perdata dalam perkara pidana khususnya dalam hal ganti kerugian.

Sifat aturan pidana sebagai aturan publik antara lain sanggup diketahui berdasarkan: 
  1. Suatu tindak pidana itu tetap ada, walaupun tindakannya itu telah menerima persetujuan terlebih dahulu dari korbannya; 
  2. Penuntutan berdasarkan aturan pidana itu tidak digantungkan kepada impian dari orang yang telah dirugikan oleh suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh orang lain.
  3. Biaya penjatuhan pidana dipikul oleh negara sedangkan pidana denda dan perampasan barang menjadi menjadi penghasilan negara.
Hukum publik ialah aturan yang mengatur kepentingan publik (masyarakat umum). Apabila diperinci sifat aturan publik dalam hubungannya dengan aturan pidana, maka akan ditemukan ciri-ciri aturan publik yaitu: 
  1. Mengatur kekerabatan antara kepentingan negara atau masyarakat dengan orang perseorangan; 
  2. Kedudukan penguasa negara ialah lebih tinggi dari orang perseorangan. Dengan perkataan lain orang perseorangan disubordinasikan kepada penguasa; 
  3. Penuntutan seseorang (yang telah melaksanakan suatu tindakan yang terlarang) tidak tergantung kepada perseorangan (yang dirugikan), melainkan pada umumnya negara/penguasa wajib menuntut seseorang tersebut; 
  4. Hak subjektif penguasa ditimbulkan oleh peraturan-peraturan aturan pidana objektif atau aturan pidana positif. Lihat E.Y. Kanter dan S.R.
Menurut Wirjono Prodjodikoro, aturan pidana sanggup dinyatakan merupakan aturan publik. Hal ini didasarkan kepada kekerabatan aturan yang diatur di dalam aturan pidana titik beratnya tidak berada pada kepentingan individu, melainkan pada kepentingan-kepentingan umum. Sifat ini sanggup dilihat pada aturan pidana, yaitu dalam hal penerapan aturan pidana pada hakekatnya tidak tergantung kepada kehendak seorang individu, yang in concreto eksklusif dirugikan, melainkan diserahkan kepada pemerintah sebagai wakil dari kepentinan umum. Misalnya dalam hal terjadinya tindak pidana penipuan, penuntutan seorang penipu tidak tergantung kepada kehendak orang yang ditipu, melainkan kewenangan instansi Kejaksaan sebagai alat pemerintah. Hanya saja sebagai kekecualian, ada beberapa tindak pidana yang hanya sanggup diajukan ke pengadilan atas pengaduan (klacht) dari orang yang diganggu kepentingannya, contohnya tindak pidana penghinaan dan perzinahan.

Namun ada beberapa sarjana yang tidak sependapat bahwa aturan pidana bersifat aturan publik, ibarat Van Kan, Paul Scholten, Logeman, Lemaire dan Utrecht. Para hebat ini berpendapat, bahwa aturan pada pokoknya tidak mengadakan kaedah-kaidah (norma) baru, melainkan norma aturan pidana itu telah ada sebelumnya pada penggalan aturan lainnya dan juga sudah ada sanksinya. Hanya pada suatu tingkatan tertentu, hukuman tersebut sudah tidak seimbang lagi, sehingga diharapkan hukuman yang lebih tegas dan lebih berat yang disebut sebagai hukuman (hukuman) pidana. Alasan lainnya yang dikemukakan untuk memperkuat pendapat mereka ialah, bahwa justru tidak selalu penguasa wajib menuntut suatu tindak pidana tertentu alasannya ialah dipersyaratkan harus ada "pengaduan" dari pihak yang dirugikan atau yang terkena tindak pidana, hal ini menyampaikan bahwa aturan pidana tidak bersifat aturan publik.

Related:


    SUMBER ARTIKEL;
    P.A.F. Lamintang, Op.Cit., h. 12. 20 Adami Chazawi, Op.Cit., h. 14. 21 Bambang Poernomo, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), h.37.

    Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung: Eresco, 1969), h. 11. 27 E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Op.Cit., h. 25. 28 Bambang Poernomo, Op.Cit., h. 23.

    Related Posts

    Iklan Atas Artikel

    Iklan Tengah Artikel 1

    Iklan Tengah Artikel 2

    Iklan Bawah Artikel