Pengertian Dakwah Kultural Muhammadiyah
Tuesday, March 24, 2020
Edit
Dakwah Kultural Muhammadiyah
Ketika berbicara masalah Dakwah Kultural di Muhammadiyah, tentu tidak akan bisa melupakan keberadaan Majelis Tabligh dan Dakwah Khusus, Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam, serta Lembaga Seni Budaya Muhammadiyah. Majelis Tabligh berbicara masalah Dakwahnya, Majelis Tarjih berbicara masalah batas-batas yang mungkin dilakukan sesuai syariah dan Lembaga Seni Budaya berbicara mengenai implementasinya Dakwah Muhammadiyah, berdasarkan Majelis Tabligh dan Dakwah Khusus PP Muhammadiyah, sebagai upaya menjadikan Islam agama rahmatan lil- 'alamin idealnya menyentuh segala lapisan dan kelompok masyarakat. Untuk konteks Indonesia khususnya Jawa) misalnya, meminjam kategorisasi Clifford Geertz, dakwah Islam seyogyanya menyentuh tiga varian masyarakat yaitu abangan, santri dan priyayi. Atau dengan kategorisasi Muhammadiyah sendiri, dakwah itu haruslah menyentuh umat ijabah dan umat dakwah sekaligus.
Ada kesadaran bersama bahwa selama ini dakwah Muhammadiyah lebih banyak berkutat dalam bulat varian santri dibanding dengan dua varian lainnya. Padahal pada kenyataannya umat Islam yang abangan merupakan secara umum dikuasai dari komposisi umat Islam Indonesia. Kesadaran akan hal itu muncul dengan penekanan yang lebih besar lengan berkuasa saat dalam aspek politik, partai yang diidentikkan dengan partai abangan (yaitu PDI Perjuangan) temyata bisa mengungguli partai-partai yang mengusung simbol-simbol Islam dalam perolehan suara, sebagaimana tercermin dari hasil pemilu tahun 1999 yang lalu.
Kalau diasumsikan bahwa janji keislaman seorang muslim antara lain bisa diukur dari komitmennya terhadap Islam sebagai salah satu sumber ideologi, maka kemenangan partai abangan itu bisa mengindikasikan dua hal. Perlama, dakwah Islam telah gagal dalam membangun salah satu aspek janji beragama muslim (baca: muslim abangan), khususnya janji kepada Islam sebagai ideologi. Kedua, sesungguhnya dakwah Islam memang belum banyak menyentuh varian umat Islam yang secara umum dikuasai itu, untuk tidak menyampaikan tidak ada sama sekali
Kesadaran yang demikian, berdasarkan Majelis Tabligh dan Dakwah Khusus, tampak terang dalam pidato iftitah Ketua PP Muhammadiyah dalam Sidang Tanwir Muhammadiyah di Denpasar ini. Lebih jauh, pidato ini secara lebih tajam memperlihatkan beberapa hal. Pertama, kesadaran bahwa Muhammadiyah hanya berkutat dalam kandangnya sendiri, hingga tidak tahu apa yang terjadi pada bangsa ini secara keseluruhan.
Kedua, keinginan untuk mencari langkah-langkah strategis yang harus dilakukan dalam gerak dakwah Muhammadiyah'. Ketiga, hasrat untuk menjalin kekerabatan dengan kekuatan-kekuatan politik formal dan kelornpok-kelompok lain yangjuga sangat memilih peta budaya bangsa.
Dakwah Dalam Perspektif Tabligh
Muatan dakwah berbanding lurus dengan rahmatan lil-'alamm. Pada hakikatnya Rasulullah SAW sendiri diutus sebagai rahmatan lil-'alamm (Q.S. AI-Anbiya', 21: 107) Dengan demikian dakwah yakni kiprah kenabian dan kerasulan (profetik). Pada kenyataan, praktek dakwah diwujudkan dalam bentuk tabligh (penyampaian) yang sanggup berupa mulut (bil-lisan) atau dengan tindakan (bil-hal). Dengan kata lain, dakwah merupakan potensi kenabian dan kerasulan, sedangkan tabligh yakni aktualisasi kenabian dan kerasulan.
Muatan rahmatan lil- 'alamin tidak hanya berupa hal-hal yang berwujud produk (hasil) yang pribadi sanggup dinikmati, melainkan juga berupa hal-hal yang menyangkut proses, yakni petunjuk yang memancing diternukannya cara, teknik dan metoda yang diharapkan untuk mencapai kebahagiaan hidup yang bersifat duniawi (sekular), apalagi yang bersifat keakhiratan (eskatologis). Dengan demikian muatan rahmatan til- 'alamin bernuansa dinamis, bukan pasif, apalagi meninabobokkan. Muatan rahmatan lil-'alamin bukan untuk membentuk atau membuat manusia-manusia yang manja, melainkan untuk membentuk dan membuat manusia-manusia aktif dan senang berusaha serta berikhtiar. Sejalan dengan dengan hal ini, dakwah pun merupakan potensi yang dinarnik. Tabligh sebagai aktualisasi dakwah, juga harus bersifat dinamik. Logikanya, kalau potensinya dinamik apalagi aktualisasinya.
Dalam bahasa yang lebih teknis, muatan dakwah yakni segala apa yang dibutuhkan insan dan bernilai ma’ruf (baik). Seperti diketahui, kebutuhan insan tidak pemah berhenti baik dari segi kuantitas (jumlah), maupun kualitas (mutu), yang keduanya sesuai dengan tuntutan zaman dan tempat. Oleh alasannya yakni itu, menjadi sebuah keniscayaan jika aktualisasi dakwah dalam ujud tabligh juga harus berbanding lurus dengan tuntutan kuantitas, kualitas, zaman dan daerah tersebut.
Defenisi Pluralitas, Konflik, dan Kearifan Dakwah
Defenisi Pluralitas, Konflik, dan Kearifan Dakwah
Karena arah dakwah yakni kebutuhan yang bersifat ma 'ruf, maka dalam tabligh harus ada muatan yang bisa membentengi supaya yang ma'riifitu tetap terjaga. Benteng tersebut disebut al-nahyu 'an al-munkar (menghentikan yang munkar). Logikanya apa saja yang tidak munkar, tentu ma 'ruf, dan sebaliknya. Jadi, dakwah sebagai potensi bernuansa al-amar bi al-ma 'rufwa al-nahy 'an al-munkar. Demikianjuga tabligh sebagai aktualisasijuga bernuansa sama.
Dengan memperhatikan urutan kalimat al-amar bi al-ma 'ruf yang berada sebelum kalimat al-nahy 'an al-munkar, semestinya pemaknaannya yakni bahwa penonjolan hal-hal (bersifat produk maupun proses) yang ma’ruf (baik)jauh lebih nyata dan intensifdaripada al-nahy 'an al-munkar. Dalam bahasa lebih teknis, kiranya lebih ditonjolkan "memberikan kebebasan-kebebasan dalam berkreasi" daripada sekadar "melarang-larang ini-itu".
Dakwah Kultural: Pengertian dan Arah
Dakwah kultural, atau bisa juga disebut dakwah kebudayaan, yakni dakwah yang menekankan perlunya pergulatan dan pergumulan pribadi dengan persoalan-persolan kongkret kesejarahan komunitas muslim dalam arti yang seluas-luasnya. Dakwah model ini dengan demikian bersifat historis-praktis, open-ended, dan membutuhkan pengabdian (dalam kacamata Al-Qur'an disebut keikhlasan) yang prima.
Secara historis, prosedur kerja taktik kebudayaan Muhammadiyah mempunyai empat ciri yang menempel pada dirinya. Pertama, senantiasa menyatukan dimensi "kembali kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah" dengan dimensi "ijtihad" dan "tajdid" sosial keagamaan. Hal ini tercermin dan predikat yang diberikan masyaTakat kepada Muhammadiyah sebagai faham yang tidak bermazhab. Kedua, dalam mengaktualisasikan impian perjuangannya taktik kebudayaan Muhammadiyah memakai sistem organisasi. Dengan model kedua ini Muhammadiyah ingin mengangkat kepentingan dan keselamatan pribadi ke wilayah kepentingan dan keselamatan sosial. Sistem organisasi juga menuntut kolegialitas dan transparansi. Ketiga, bercorak "antikemapanan" kelembagaan agama yang terlalu bersifat rigid-kaku. Keempat, adaptif terhadap tuntutan perubahan zaman.
Perubahan sosial sebagai konsekuensi logis dari perkembangan ilmu dan teknologi mengandaikan perlunya bahasa, metodologi, teknologi, materi dan administrasi dakwah yang berbeda. Tentu hal ini berimplikasi terhadap taktik kebudayaan. Nilai-nilai yang hendak disampaikan dalam berdakwah tetap bersumber pada Al-Qur'an dan As-sunnah. tetapi cara penyampaian, pengolahan, pengemasan dan pemasaran nilai-nilai itu perlu diadaptasi dengan tuntutan pasar dan masyarakatkonsumennya. Kegiatan dakwah al-amar bi al-ma 'ruf wa al-nahi 'an al-munkar tidak harus memakai bahasa dan cara yang persis sama antara sebelum dan setelah terjadinya perubahan sosial.
Agar bahasa dakwah sanggup berjalan sinkron dengan perubahan teladan berpikir dan sikap masyarakat konsumen maka acara dakwah perlu membaur dan menyatu dalam derap langkah dan seluk beluk kebudayaan setempat. Dengan demikian, kebiasaan dakwah secara deduktif perlu diimbangi dengan cara berpikir dan pendekatan dakwah yang induktif. Lebih lanjut, bahasa dakwah keagamaan akan sanggup memakai bahasa ibarat yang digunakan oleh para konsumen, sehingga akan terasa hidup dan aktual, bukan ibarat bahasa 'pengamat' dari luar yang sering terkesan sangat teoretis.
Pada sisi lain, ada dua arah aliran dalam masalah dakwah bercorak kultural ini. Pertama, dakwah kultural berarti dakwah yang diaktualisasikan dalam kegiatan tabligh dengan memanfaatkan bentuk-bentuk kegiatan yang tergolong kegiatan kultural, ibarat kegiatan kesenian. Hal ini berarti kegiatan kultural sebagai metode. Kedua, dakwah kultural berarti bahwa dakwah yang diaktualisasikan dalam kegiatan tabligh memang dimaksudkan untuk menghasilkan kultur gres yang bernuansa Islami. Arah kedua ini, berarti kegiatan kultural sebagai substansi. Kedua arah ini harus dipilih, apakah salah satu di antaranya, atau kedua-duanya.
Kalau kegiatan kultural sebagai metode, maka sikap terhadap kultur setempat akan lebih lentur, lantaran bagaimanapun juga proses dakwah tersebut akan memakai kultur yang sudah ada. Sebaliknya, kalau kegiatan kultural dimaksudkan sebagai substansi, maka ada kecenderungan membabat habis kultur setempat (purifikasi). Kalau yang dipilih merupakan campuran antara keduanya, maka kegiatan kultural yang dilaksanakan biasanya selektif dan sekaligus dilakukan modifikasi gres sehingga muncul kegiatan kultural gres yang bernuansa Islami
Untuk pilihan yang pertama, kegiatan kultural sebagai metode, diharapkan pemahaman kebudayaan setempat yang sangat intensif sehingga harus ada sumber daya insan (SDM) yang cukup untuk itu. Di sini, forum sekolah tinggi tinggi Islam sanggup dimanfaatkan sebaik-baiknya, dalam bentuk kerja sama, misalnya. Sementara itu, untuk pilihan yang kedua, kegiatan kultural sebagai substansi, diharapkan aliran dan kreativitas budaya yang tidak mengecewakan besar.
Sebab, tidak pada tempatnya hasil aliran dan kreativitas budaya yang akan ditawarkan malahan lebih rendah mutunya jika dibandingkan dengan kultur setempat. Kalau ini terjadi, maka anjuran budaya tersebut, contohnya kesenian, tentu tidak akan laku. Untuk pilihan kedua ini terang memerlukan SDM yang sangat banyak dalam segala macam cabang kebudayaan. Kalau pilihan dijatuhkan untuk menggabungkan antara kedua corak kegiatan budaya tersebut, sebagai metode dan substansi, kerumitannya dan penyediaan sumber daya manusianya juga akan berlipat.
Namun yang pasti, dalam konteks tabligh, dakwah bercorak kultural ini terang sangat perlu. Di Jawa, konon dakwah semacam ini telah menunjukan keberhasilannya. Tentu saja kalau diteliti secara lebih cermat di sana-sini masih mengandung banyak resiko (yang di atas diberi istilah TBC). Tetapi kalau kita tidak memakai dakwah bercorak kultural maka bisa dikatakan ganjil, lantaran masyarakat dunia terpelajar balig cukup akal ini bukan hanya bertarung dalam bidang ekonomi, militer dan hegemoni politik, narnun lebih dari pada itu yakni pertarungan budaya.
Oleh alasannya yakni itu, dakwah bercorak kultural merupakan sebuah pilihan yang bersifat niscaya. Logika lain yakni bahwa kegiatan agama dalam masyarakat, di mana saja dan kapan saja, pasti akan berhadapan dengan fenomena budaya, terutama budaya setempat. Tidak ada satu dalil pun yang menggugurkan kenyataan ini.
Syirik dan TBC dalam Pandangan Tarjih
Untuk melaksanakan dakwah kultural, berdasarkan Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam, yang patut diperhatikan yakni masalah syirik, TBC (Takhayul, Bid’ah dan Churafat). Selain itu masalah Berkumpul dan Silaturahmi.
Syirik, berdasarkan Majelis Tarjih, berasal dari kata syarika yang berarti bersekutu atau berkongsi. Makara syirik mempersekutukan Allah SWT dengan makhluk. Syirik dalam dimensi rububiyah, ibarat mempercayai bahwa ada mahluk yang bisa menolak segala kemudharatan dan meraih segala kemanfaatan, sanggup memberi berkat, sehingga orang meminta derma kepada makhluk tersebut untuk menolak peristiwa alam atau meraih keuntungan. Syirik dalam dimensi mulkiya yaitu mematuhi sepenuhnya penguasa muslim atau non muslim di samping menyatakan patuh kepada Allah padahal pemimpin itu menghalalkan apa yang diharamkan Allah dan mengharamkan apa yang dihalalkan Allah serta mengajak untuk melaksanakan kemaksiyatan. Syirik ilahiyah, contohnya berdoa kepada Allah melalui perantaraan orang yang sudah meninggal dunia.
Di samping itu, ada kepercayaan yang terlalu besar akan benda atau upacara tertentu untuk dengan demikian mendapat derma dari Tuhan. Artinya, orang lebih percaya kepada benda dan upacara-upacara tertentu dari pada Tuhannya sendiri. Perilaku ibarat ini sering disebut Tahayul dan Churafat. Orang, hampir selalu, dengan perantaraan orang pandai atau dukun atau paranormal kemudian melaksanakan pengorbanan, persembahan, penyiksaan, bertapa, mati geni mencegah imbas ruh jahat dan sebagainya. Tempat-tempat dan hari-hari tertentu dianggap keramat dan bertuah, menyeramkan sehingga harus melaksanakan pembacaan mantra, memberi sesajen seperti memaksa Tuhan untuk melayani kepentingan manusia.
Makara syirik itu sesungguhnya yakni sikap dan sikap selingkuh Allah dengan yang lain, padahal seorang muslim harus pasrah dan tunduk hanya kepada Allah semata. Ia harus percaya dan keyakinan yang dibaktikan dengan jalan melaksanakan penyembahan (ibadah) dan mentaati segala hukum-hukumnya (syariah) yang telah digariskan lewat wahyuNya melalui RasulNya Muhammad SAW. Syirik inilah yang harus dihindarkan dalam dakwah kultural, termasuk juga TBC.
Walaupun zaman sudah modern, teknologi sudah canggih namun orang masih mengikuti tradisi lama, membuat patung, kemudian menyayangi banyak sekali seni budaya yang indah-indah. Dalam hal ini perlu diketahui bahwa kebudayaan atau kultur berupa hasil cipta, rasa dan karsa insan dan keseluruhan pengetahuan yang dimiliki insan yakni suatu karunia yang sanggup dimanfaatkan untuk kelangsungan hidupnya. Namun kadang kala dalam masyarakat banyak juga yang menjauhinya ibarat banyak sekali macam seni budaya dan keindahan.
Islam yakni agama fitrah, segala yang bertentangan dengan fitrah ditolak dan yang mendukung kesuciannya ditopang. Seni budaya yakni fitrah, kemampuan berseni merupakan salah satu perbendaan insan dengan makhluk lain. Jika demikian Islam pasti mendukung seni, tradisi budaya selama penampilan lahirnya mendukung fitrah insan yang suci itu dan lantaran itu pula Islam bertemu dengan seni dalam jiwa manusai sebagaimana seni budaya ditemukan oleh jiwa insan di dalam Islam asalkan semuanya itu tidak mendominasi kehidupan manusia.
Namun timbul pertanyaan mengapa warna Islam tidak nampak pada masa Nabi SAW dan sahabatnya dan mengapa terasa atau terdengar adanya semacam pembatasan yang menghambat? Boleh jadi sebabnya yakni lantaran seniman gres berhasil dalam karyanya jika ia sanggup berinteraksi dengan gagasan, menghayatinya secara tepat sehingga menyatu dengan jiwanya kemudian kemudian mencetuskannya dalam bentuk karya seni. Pada masa Nabi dan sahabatnya proses penghayatan nilai islami gres dimulai bahkan sebagian mereka gres dalam tahap upaya “pembersihan” gagasan-gagasan jahiliyah yang telah meresap dalam benak mereka. Untuk itulah kita harus memahami larangan yag ada kalau kita mendapatkan adanya larangan penampilan karya seni tertentu. Apalagi sesungguhnya apresiasi al-Qur’an terhadap seni demikian besar.
Problem pembuatan patung misalnya, al-Qur’an berbicara pada 3 tempat: Pertama, QS al-Anbiya’ 51-58: patung yang disembah oleh ayah Nabi Ibrahim tidak hanya ditolak tetapi bahkan dihancurkan. Kedua, QS Saba 12-13: zaman Nabi Sulaiman orang membuat patung dari kaca, marmer, tembaga dan konon menampilkan para ulama dan nabi-nabi. Ketiga, QS Ali Imran 48-49: diuraikan mukjizat Nabi Zakaria antara lain membuat patung berbentuk burung dari tanah liat dan setelah ditiupnya, kreasinya itu menjadi burung yang bekerjsama atas izin Allah.
Di sini kekhawatiran yang mengantar kepada penyembahan berhala atau syirik tidak ditemukan dan lantaran itu Allah membenarkannya. Makara penolakan al-Qur’an bukan disebabkan lantaran patungnya tetapi kemusyrikan dan penyembahnya. Apakah kultur yang berupa seni dan tradisi Islami itu harus berbicara perihal Islam?
Kasus lainnya yang ada di masyarakat contohnya Tahlilan. Tahlilan tidak harus dilihat sebagai program ritual agama, warga Muhammadiyah tidak mengadakannya tetapi tidak salah jika menghadiri tetangga berkumpul-kumpul mengadakan tahlilan, di sini kehadiran dimaknai sebagai silaturahim dan mendengarkan atau membaca al-Qur’an. Di sini artikulasi format aliran realistik dengan reinterprestasi wujud dalam memperlihatkan akseptabilitas Islam yang bersumber dari keyakinan yang universal, dihadapkan pada realitas-realitas sosiokultural masyarakat pemeluknya. Tentu masih banyak persoalan-persoalan lain yang harus dijawab.
Harus Ada Kesinambungan
Dalam hal dakwah kultural ini, Lembaga Seni Budaya Muhammadiyah mengingatkan jika memakai jalur adat, tradisi dan budaya lokal. Penggunaan jalur adat, tradisi dan budaya lokal dalam berdakwah sungguh sangat mengandung resiko yang cukup besar, mengingat pengalaman masa lampau yang tidak pernah tuntas sehingga malah menjadikan kesesatan-kesesatan gres dalam pemahaman beragama, di samping akan menambah label-label gres dalam kelompok-kelompok umat, ibarat contohnya Islam Jawa, Islam Sunda, Islam Ambon dan sebagainya yang pada ujungnya justru akan menjadikan perpecahan di kalangan umat Islam sendiri. Hal tersebut sangat mungkin terjadi lantaran demikian kuatnya adat, tradisi maupun budaya lokal menempel di kehidupan masyarakat, sementara kita sendiri gres akan mempelajarinya.
Karenanya jika betul ingin terjun dalam dakwah kultural, Muhammadiyah haruslah betul-betul bisa melahirkan SDM-SDM yang berkualitas dalam bidang ini jika dakwahnya ingin benar-benar tuntas. Pendidikan itu kuncinya, pendidikan berkesenian, pendidikan kesenian.
Entah sudah berapa juta sarjana dalam bidang ilmu pengetahuan umum maupun ilmu agama yang sudah dilahirkan melalui lembaga-lembaga pendidikan di Muhammadiyah, namun sedikitpun Muhammadiyah tidak pernah memikirkan pendidikan di bidang kesenian. Jangankan melahirkan seniman-seniman, bahkan pendidikan apresiasi kesenian pun sama sekali tidak pernah terdengar. Padahal melalui media inilah kerusakan moral dan moral bangsa lebih cepat tercipta. Namun melalui media seni pulalah dakwah lebih bisa menyampaikan kultur-kultur yang kita kehendaki, terutama media yang berjulukan audio visual. Stasiun-stasiun Televisi bermunculan. Mereka membutuhkan tayangan-tayangan. Tayangan berbentuk apapun mungkin akan gampang mereka terima untuk memenuhi jam siaran. Demikian pula seandainya kita menyampaikan produk-produk kita, merekapun akan menerimanya tanpa banyak usulan. Namun pertanyaannya yakni Mampukah kita membuatnya sementara SDM kita tidak pernah kita siapkan. (lut)
Sumber: SM-02-2005