Pengertian Jual Beli Pada Zaman Rosulullah

Pengertian Jual Beli pada Zaman Rosulullah
Jual beli sudah terjadi sebelum pemerintah menetapkannya dalam undang-undang, pada zaman Rasulullah SAW pada waktu itu caranya masih primitif yaitu masih menggunakan sistem barter, tukarn menukar barang, sesudah insan memasuki kurun kemajuan, mereka kemudian menggunakan cara dan sistem penentuan harga, untuk lebih mempermudah teknis pemenuhan kebutuhannya dan menghindarkan dari kesukaran dan kesulitan.

Dengan demikian jual beli menjadi cara bekerja yang banyak membuahkan kesejahteraan manusia, lantaran mereka sanggup berusaha mencari rizqi dengan kondusif dan tenang, tanpa ada yang merasa dirugikan baik kerugian secara terang-terangan, terpaksa maupun kerugian secara tersembunyi, sehingga tercipta kehidupan yang teratur. Oleh lantaran itu Allah SWT menghalalkan jual beli dengan sekaligus memutuskan aturan yang ibadah untuk menjamin kelangsungan dan kebaikan insan ini.

Kenyataan memang memperlihatkan bahwa sengketa perdata khususnya mengenai jual beli paling banyak terjadi, lantaran disebabkan tidak dipenuhi persyaratan dan aturan-aturan yang telah ditetapkan itu. Peraturan dan persyaratan tersebut telah banyak ditulis di banyak sekali kitab dan buku khususnya di dalam kitab fiqh. Di samping itu ada beberapa aturan tata sanksi alam (etika) yang harus dijaga dan dipatuhi bersama biar tercipta iklim perjuangan yang adil dan bijaksana, dengan begitu tidak ada yang merasa tertipu.[13]

2. Pengertian Jual Beli Tanah Menurut Pasal 1457 KUUHPdt.
Jual beli Tanah yaitu suatu perjanjian dimana pihak yang mempunyai tanah yang disebut “Penjual”, berjanji dan mengikatkan diri untuk menyerahkan haknya atas tanah yang bersangkutan kepada pihak lain, yang disebut “Pembeli”. Sedangkan pihak pembeli berjanji dan mengikatkan untuk membayar harya yang telah disetujui yang dijual belikan berdasarkan ketentuan Hukum Barat ini yaitu apa yang disebut “tanah-tanah hak barat”. 

Dengan dilakukannya jual beli tersebut belum terjadi perubahan apa pun npada hak atas tanah yang bersangkutan, biarpun contohnya pembeli sudah membayarn penuh harganya dan tanahnya pun secara fisik sudah diserahkan kepadanya.[14]

Hak atas tanah yang dijual gres berpindah kepada pembeli, jika penjual sudah menyerahkannya secara yuridis kepadanya, dalam rangka memenuhi kewajiban hukumnya (Pasal 1459). Untuk itu, wajib dilakukan perbuatan aturan lain, yang disebut “penyerahan yuridis” (dalam bahasa Belanda : “juridische levering”), yang diatur dalam Pasal 616 dan 620. Menurut pasal-pasal tersebut, penyerahan yuridis itu dilakukan juga di hadapan notaries, yang menciptakan aktanya, yang disebut dalam bahasa Belanda “transport acte” (akta transport). Akta transport ini wajib didaftarkan pada Pejabat yang disebut “Penyimpan hypotheek”. Dengan selesainya dilakukan registrasi tersebut, tatacara penyerahan yuridis selesai dan dengan registrasi itu hak atas tanah yang bersangkutan berpindah kepada pembeli.

Pasal-pasal KUUHPdt yang mengatur tatacara penyerahan yuridis sebagai kelanjutan dari jual beli tanah tersebut, belum pernah berlaku hingga dicabut oleh UUPA. Berdasarkan ketentuan Pasal 24 dari Bepalingen Omtrent de Invoering van en den Overgang tot de nieuwe Wetgeving (Publikasi 3 Maret 1848 S. 10), penyerahan yuridis hak atas tanah diatur dan tatacaranya ditetapkan dalam Overschrijvingsordonnatie (S. 1834-27). (Secara tidak tepat, umum disebut “Ordonansi Baliknama”). Menurut Pasal 1 Ordonansi tersebut penyerahan yuridis wajib dilakukan di hadapan Ordonansi tersebut penyerahan yuridis wajib dilakukan di hadapan Overschrijvingsambtenaar (Pejabat Baliknama), yang bertugas menciptakan sertifikat transportnya, sekaligus melaksanakan pendaftarannya. 

Ketentuan-ketentuan KUUHPdt dan Overschrijvingsordonnatie yang mengatur penyerahan yuridis itulah yang termasuk Hukum Tanah lantaran dengan dilakukannya penyerahan yuridis terjadi pemindahan hak atas tanah yang bersangkutan (Dalam sistematika di atas termasuk 2c)


Dalam Hukum Adat, “jual beli tanah” bukan perbuatan aturan yang merupakan apa yang disebut “perjanjian obligatoir”. Jual beli tanah dalam Hukum Adat merupakan perbuatan aturan pemindahan hak dengan pembayaran tunai. Artinya, harga yang disetujui bersama dibayar penuh pada ketika dilakukan jual beli yang bersangkutan. Dalam Hukum Adat tidak ada pengertian penyerahan yuridis sebagai pemenuhan kewajiban aturan penjual, lantaran justru apa yang disebut “jual beli tanah” itu yaitu penyerahan hak atas tanah yang dijual kepada pembeli yang pada ketika yang sama membayar penuh kepada penjual harga yang telah disetujui bersama. Maka jual beli tanah berdasarkan pengertian Hukum Adat ini pengaturannya termasuk Hukum Tanah.[15]

3. Dalam jual beli supaya tidak ada sengketa di kemudian hari ada aturan jual beli yang harus dipenuhi rukun-rukun jual beli antara lain. 

a. Adanya penjual dan pembeli 
Syaratnya yaitu : 
  • Berakal, biar tidak terkecoh. Orang yang gila atau kurang pandai tidak sah jual belinya. 
  • Dengan kehendak sendiri (bukan dipaksa
  • Tidak mubazir (pemboros), alasannya yaitu harta orang yang mubazir di tangan walinya. 
  • Baligh atas dalam aturan perdata cakap yang sudah berumur 15 tahun keatas / dewasa. 
b. Adanya barang yang dimiliki sendiri 
c. Adanya alat untuk melaksanakan pembayaran (uang).[16]

Dalam pasal 1473 dan 1476 bahwa penjual wajib menyatakan dengan jelas, untuk apa ia mengikatkan dirinya. Janji yang tidak terperinci dan sanggup diartikan dalam banyak sekali pengertian harus ditafsirkan untuk kerugiannya. Adapun biaya penyerahan barang dipikul oleh penjual, sedangkan biaya pengambilan dipikul oleh pembeli kecuali lantaran diperjanjikan sebaliknya. 

Adapun kewajiban utama pembeli yaitu pembayaran harga pembelian pada waktu dan tempat yang ditetapkan di dalam perjanjian pasal 1513 KUHPdt.[17]

Dalam pasal 1457 KUUH-Pdt jual beli yaitu suatu perjanjian-perjanjian antara 2 belah pihak. Adapun kata perjanjian yang dirumuskan dalam pasal 1313 KUHPdt, yaitu suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih ketentuan pasal 1313 KUHPdt ini kurang tepat, lantaran ada beberapa kelemahan antara lain : 
  1. Hanya menyangkut sepihak saja. Hal ini sanggup diketahui dari rumusan kata kerja “mengikatkan diri”, sifatnya hanya tiba dari satu pihak saja, tidak dari kedua belah pihak.
  2. Kata perbuatan menyangkup juga tanpa consensus. Dalam pengertian buatan” termasuk juga tindakan penyelenggaraan kepentingan.
  3. Pengertian perjanjian dalam buku 11 KUHPdt bersama-sama hanya mencakup perjanjian yang bersifat kebendaan, bukan bersufat kepribadian.
Adapun unsur-unsur dalam perjanjian yaitu : 
  1. Ada pihak-pihak sedikitnya dua orang (subjek) 
  2. Ada persetujuan pihak-pihak itu 
  3. Adanya obyek yang berupa benda 
  4. Adanya tujuan bersifat kebendaan 
  5. Ada bentuk tertentu verbal maupun tulisan 
Perjanjian yang sah yaitu perjanjian yang memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan oleh undang-undang. Perjanjian yang sah dialasi dan diberi akhir hukum. Menurut ketentuan pasal 1320 KUHPdt. Adapun syarat syaratny antara lain: 
  1. adanya persetujuan antara pihak pihak yang menciptakan perjanjian (konsesus)
  2. ada keakapan pihak pihak untuk mebuat perjanjian (capacity)
  3. adanya suatu hal tertentu (obyek)
  4. adanya suatu alasannya yaitu yang halal (causa)
B. Pengertian Tanah dan Hukum Tanah 
1. Pengertian Tanah
Sebutan tanah dalam bahasa kita sanggup digunakan dalam banyak sekali arti. Maka dalam penggunaannya perlu diberi batasan, biar diketahui dalam arti apa istilah tersebut digunakan.

Dalam Hukum Tanah kata sebutan “tanah” digunakan dalam arti yuridis, sebagai suatu pengertian yang telah diberi batasan resmi oleh UUPA.

Dalam Pasal 4 dinyatakan, bahwa Atas dasar hak menguasai dari Negara…ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang sanggup diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang… 

Dengan demikian jelaslah, bahwa tanah dalam pengertian yuridis yaitu permukaan bumi (ayat 1). Sedang hak atas tanah yaitu hak atas sebagian tertentu permukaan bumi, yang berbatas, berdimensi dua dengan ukuran panjang dan lebar.

Tanah diberikan kepada dan dipunyai oleh orang dengan hak-hak yang disediakan oleh UUPA, yaitu untuk digunakan atau dimanfaatkan. Diberikannya dan dipunyainya tanah dengan hak-hak tersebut tidak akan bermakna jika penggunaannya terbatas hanya pada tanah sebagai permukaan bumi saja. Untuk keperluan apa pun tidak bisa tidak, niscaya diharapkan juga penggunaan sebagian badan bumi yang ada di bawahnya dan air serta ruang yang ada di atasnya. Oleh lantaran itu dalam ayat (2) dinyatakan bahwa hak-hak atas tanah bukan nhanya memperlihatkan wewenang untuk mempergunakan sebagian tertentu permukaan bumi yang bersangkutan, yang disebut “tanah”, tetapi juga badan bumi yang ada di bawahnya dan air serta ruang yang ada di atasnya.




Dengan demikian makna yang dipunyai dengan hak atas tanah itu yaitu tanahnya, dalam arti sebagian tertentu dari npermukaan bumi. Tetapi wewenang menggunakan yang bersumber npada hak tersbeut diperluas hingga mencakup juga penggunaan “sebagian badan bumi yang ada di bawah tanah dan air serta ruang yang ada di atasnya”. 

Tubuh bumi dan air serta ruang yang dimaksudkan itu bukan kepunyaan pemegang hak atas tanah yang bersangkutan. Ia hanya diperbolehkan menggunakannya. Dan itu pun ada batasnya ibarat yang dinyatakan dalam Pasal 4 ayat (2) dengan kata-kata : sekedar diharapkan untuk kepentingan yang pribadi bekerjasama dengan penggunaan tanah itu, dalam batas-batas berdasarkan undang-undang ini (yaitu : UUPA) dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi. 

Sedalam berapa badan bumi itu boleh digunakan dan setinggi berapa ruang yang ada di atasnya boleh digunakan, ditentukan oleh tujuan penggunaannya, dalam batas-batas kewajaran, perhitungan teknis kemampuan badan buminya sendiri, kemampuan pemegang haknya serta ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.

Penggunaan badan bumi itu harus ada hubungannya pribadi dengan gedung yang dibangun di atas tanah yang bersangkutan. Misalnya untuk pemancangan tiang-tiang pondasi, untuk basement, ruang parker dan lain-lain keperluan yang pribadi bekerjasama dengan pembangunan dan penggunaan gedung yang dibangun. Lihat BAB XII. 

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1994) tanah yaitu :
  1. Permukaan bumi atau lapisan bumi yang di atas sekali;
  2. Keadaan bumi di suatu tempat
  3. Permukaan bumi yang diberi batas;
  4. Bahan-bahan dari bumi, bumi sebagai materi sesuatu (pasir, cadas, napal dan sebagainya).[18]
2. Pengertian Hukum Tanah
Tanah sebagai pecahan dari bumi. Disebutkan dalam pasal 4 ayat (1) UUPA yaitu atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam pasal 12 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi yang disebut tanah, yang sanggup diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, serta Badan Hukum. Dengan demikian, jelaslah bahwa tanah dalam pengertian yuridis yaitu permukaan bumi, sedangkan hak atas tanah yaitu hak atas sebagian tertentu permukaan bumi, yang berbatas, berdimensi dua dengan ukuran panjang dan lebar.[19]

Sebelum memasuki pada pengertian aturan tanah, maka kita uraikan dulu pengertian hukum. Hukum yaitu sesuatu yang abnormal yang tidak sanggup dilihat tetapi sanggup dirasakan adanya, itu sebabnya hingga ketika ini belum didapatkan suatu definisi perihal aturan yang tepat dan tepat yang diterima oleh setiap orang (Apeldorn, 1980)[20]. 

Menurut rs. E. Utrecht, S.H. aturan yaitu himpunan peraturan-peraturan (perintah dan larangan) yang mengurus tata tertib suatu masyarakat dank arena itu harus ditata oleh masyarakat itu (Ulrecht, 1957)[21]

Effendi Perangin menyatakan bahwa aturan tanah yaitu keseluruhan peraturan-peraturan aturan baik yang tertulis maupun tidak terdaftar yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah yang merupakan lembaga-lembaga aturan dan hubungan-hubungan aturan yang kongkret.[22]

Dari banyak sekali uraian di atas sanggup kita garis bawahi bahwasannya aturan tanah nadalah keseluruhan ketentuan aturan baik tertulis maupun tidak tertulis, yang semuanya mempunyai objek pengaturan yang sama yaitu hak-hak penguasaan atas tanah sebagai lembaga-lembaga aturan dan sebagai kekerabatan aturan yang konkrit, beraspek pablik dan privat, yang sanggup disusun dan dipelajari secara sistematis hingga keseluruhannya menjadi satu kesatuan yang merupakan satu system.[23]

Objek aturan tanah yaitu hak penguasaan atas tanah, yang dimaksud hak penguasaan atas tanah yaitu hak yang berisi serangkaian wewenang, kewajiban, atau larangan-larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dihaki, sesuatu yang boleh, wajib/dilarang untuk diperbuat yang merupakan isi hak penguasaan itulah yang menjadi kriteria atau tolok ukur pembeda diantara hak-hak penguasaan atas tanah yang diatur dalam aturan tanah.[24]

3. Sistematika Pengaturan Hak-Hak Penguasaan Atas Tanah
Dengan pendekatan pengertian hak penguasaan atas tanah sebagai, “lembaga hukum” dan “hubungan aturan konkret”, nketentuan-ketentuan aturan yang mengaturnya ndapat disusun dan dipelajari dalam suatu sistematika yang khas dan masuk akal. 

Dikatakan “khas”, lantaran hanya dijumpai dalam Hukum Tanah dan tidak dijumpai dalam cabang-cabang Hukum yang lain. Dikatakan “masuk akal” lantaran gampang ditangkap dan diikuti logikanya. 

1. Ketentuan-ketentuan Hukum Tanah yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah sebagai forum aturan :
  • Memberi nama pada hak penguasaan yang bersangkutan;
  • Menetapkan isinya, yaitu mengatur apa saja yang boleh, wajib dan dihentikan untuk diperbuat oleh pemegang haknya serta jangka waktu penguasaannya;
  • Mengatur hal-hal mengenai subyeknya, siapa yang boleh menjadi pemegang haknya dan syarat-syarat bagi penguasaannya;
  • Mengatur hal-hal mengenai tanahnya. 
2. Ketentuan-ketentuan Hukum Tanah yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah sebagai kekerabatan aturan nyata :
  • Mengatur hal-hal mengenai penciptaannya menjadi suatu kekerabatan aturan yang konkret, dengan nama atau sebutan yang dimaksudkan dalam poin 1a di atas;
  • Mengatur hal-hal mengenai pembebanannya dengan hak-hak lain;
  • Mengatur hal-hal mengenai pemindahannya kepada pihak lain
  • Mengatur hal-hal mengenai hapusnya;
  • Mengatur hal-hal mengenai pembuktiannya.
Dengan menggunakan sistematika di atas, ketentuan-ketentuan Hukum Tanah bukan saja sanggup diadakan, disusun dan dipelajari secara teratur, tetapi juga akan dengan gampang diketahui ketentuan-ketentuan apa yang termasuk Hukum Tanah dan apa yang bukan.


Hanya ketentuan-ketentuan aturan yang mengatur hal-hal yang disebutkan di atas dan yang termasuk dalam sistematika di atas saja yang merupakan ketentuan-ketentuan Hukum Tanah. Penentuan batas dengan bidang Hukum yang lain itu mempunyai juga manfaat praktis, lantaran semenjak mulai berlakunya UUPA Hukum Tanah kita sudah diunifikasikan, sedang Hukum Privat, terutama Hukum Pardata, masih dualistic.

3. Ketentuan-Ketentuan Hak Milik atas Tanah
Dalam pasal 20 ayat 1 UUPA hak milik mempunyai pengertian bahwa hak milik yaitu hak turun menurun, terkuat dan terpenuhi yang sanggup dipunyai orang atas tanah.[25]

Menurut ketentuan dalam pasal 570 KUHPdt, “Hak milik yaitu hak untuk menikmati suatu benda dengan sepenuhnya dan untuk menguasai benda itu dengan sebebas-bebasnya, asal tidak dipergunakan bertentangan dengan undang-undang dan peraturan umum.

Dari ketentuan pasal 570 KUHPdt sanggup diuraikan pengertian sebagai berikut.
  • Hak milik yaitu hak paling utama, lantaran pemilik sanggup menikmatinya dengan sepenuhnya dan menguasai sebebas-bebasnya.
  • Dapat menikmati sepenuhnya, artinya pemilik sanggup memanfaatkan semaksimal mungkin.
  • Dapat menguasai sebebas-bebasnya.
  • Hak milik tidak boleh diganggu gugat, baik orang lain maupun penguasa, kecuali dengan alasan syarat-syarat dan berdasarkan ketentuan undang-undang.
4. Ketentuan-Ketentuan Peralihan Hak Milik
Seperti yang dijelaskan dalam pasal 20 ayat 2 “Bahwa hak milik sanggup dialihkan kepada pihak lain” dan juga pasal 23 ayat UUPA Hak Milik, demikian pula setiap peralihannya, hapusnya dan pembebanannya dengan hak-hak lain harus didaftarkan berdasarkan ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam pasal 19.

Dalam Hak Milik disebutkan padanya suatu penyerahan. Penyerahan disini mempunyai arti : pengalihan suatu benda oleh pemiliknya atau atas namanya kepada orang lain sehingga orang lain itu memperoleh hak atas benda itu. Misalnya dalam jual beli, jual beli baris dalam taraf menimbulkan hak dan kewajiban saja (obligator), tetapi belum memindahkan hak milik.

Dalam perjanjian jual beli, hibah, sumbangan hadiah, tukar-menukar penyerahan itu memindahkan hak milik. Dengan berlakunya UUPA No. 5 tahun 1960 dan peraturan pelaksanaannya, maka penyerahan benda tidak bergerak berupa tanah dan yang menempel di atasnya dilakukan dengan sertifikat otentik di muka Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Menurut peraturann yang berlaku kini Pejabat Pembuat Akta Tanah ini sanggup berupa notaris dan sanggup pula camat berdasarkan kawasan kerja masing-masing. Kemudian PPAT tersebut didaftarkan ke kantor agraria setempat pecahan registrasi tanah. Atas dasar ini pejabat registrasi tanah menerbitkan sertifikat hak milik sebagai tanda bukti hak.

Adapun syarat-syarat penyerahannya yaitu :
  1. Harus ada alasan hak (title)
  2. Harus ada perjanjian kebendaan
  3. Harus dilakukan oleh orang yang berhak
  4. Harus dengan penyerahan nyata.[26]
Peristiwa-peristiwa aturan ibarat meninggalnya seseorang, yang mengakibatkan beralihnya lantaran aturan hak atas tanah yang dipunyainya kepada mahir warisnya, pengaturannya tetap oleh Hukum Waris, lantaran tidak ada bedanya yang hakiki dengan beralihnya unsur-unsur harta peninggalan lainnya yang bukan tanah. Tetapi pembuktian mengenai telah beralihnya hak atas tanah nyang bersangkutan kepada dan pemiliknya oleh mahir waris yang bersangkutan, pengaturannya termasuk Hukum Tanah (dalam sistematika di atas termasuk poin 2e).

Sehubungan dengan itu, maka yang dimasukkan dalam poin 2c hanyalah ketentuan-ketentuan yang mengatur perbuatan-perbuatan aturan pemindahan hak, yaitu perbuatan-perbuatan aturan yang sengaja dilakukan untuk memindahkan suatu kekerabatan aturan nyata kepada pihak lain.

Sebagaimana dikemukakan di atas, tidak semua ketentuan aturan mengenai tanah merupakan peraturan Hukum Tanah. Sebelum berlakunya UUPA dikenal forum aturan jual beli tanah. Ada yang diatur oleh Kitab Undang-Undang Perdata (KUUHPdt) yang tertulis, dan ada yang diatur oleh Hukum Adat yang tidak tertulis.[27]

C. Tujuan Jual Beli Tanah
Pada prinsipnya tujuan dari jual beli tanah yaitu untuk peralihan hak milik atas tanah yang dijelaskan dalam pasal 23 ayat 1 UUPA,”hak milik demikian pula setiap peralihannya, hapusnya dan pembebabannya dengan hak-hak lain harus didaftarkan berdasarkan ketentuan yang dimaksudkan dalam pasal 19 pasal 1 UUPA bahwa,” kepastian aturan oleh pemerintah diadakan registrasi tanah di seluruh wilayah republik Indonesia berdasarkan ketentuan-ketentuan yang diatur dengan peraturan pemerintah. 

Pendaftaran tersebut dalam ayat 1 pasal 2 mencakup : 
  • Pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah 
  • Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihannya 
  • Pemberian surat tanda bukti hak-hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. 
Dalam pasal 26 ayat 1 dan 2 UUPA jual beli penukaran penghibaan, sumbangan dengan wasiat, sumbangan berdasarkan adapt dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk memindahkan hak milik serta pengawasannya diatur dengan peraturan pemerintah. [28]

Untuk itu tujuan jual beli tanah untuk menguasai tanah secara individual, berarti bahwa tanah bersangkutan boleh dikuasai secara perorangan. Tidak ada keharusan menguasainya bersama-sama dengan orang lain secara kolektif, biarpun menguasai dan menggunakan tanah secara bersama-sama dimungkinkan diperbolehkan. 

Hal itu ditegaskan dalam pasal 4 ayat 1 yang menyatakan bahwa,” atas dasar hak menguasai dari negara sebagai yang dimaksud di dalam ayat 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang sanggup diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang baik sendiri maupun dengan orang lain.[29] \

1. Peralihan Hak Milik Atas Tanah
a) Penjualan di Bawah Tangan dalam Rangka Eksekusi 
Pada prinsipnya setiap sanksi harus dilaksanakan melalui pelelangan umum, lantaran dengan cara demikian diharapkan sanggup diperoleh harga yang paling tinggi untuk obyek, hak tanggungan yang dijual.

Dalam keadaan tertentu apabila melalui pelelangan umum diperkirakan tidak akan menghasilkan harga tertinggi, dalam keadaan tertentu apabila melalui pelelangan umum diperkirakan tidak akan menghasilkan harga tertinggi, atas kesepakatan pemberi dan pemegang HT (Hak Tagihan) dan dengan dipenuhinya syarat-syarat tertentu yang disebut dalam Pasal 20 ayat (2) dan (3), dimungkinkan sanksi dilakukan dengan carna penjualan obyek HT oleh kreditor pemegang HT di bawah tangan, jika dengan cara demikian itu akan sanggup diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak. Biarpun tidak ada penjelasannya, kiranya penjualan di bawah tangan itu dimungkinkan juga dalam hal sudah diadakan pelelangan umum, tetapi tidak diperoleh penawaran yang mencapai harga minimum yang ditetapkan.

Pelaksanaan penjualannya hanya sanggup dilakukan sesudah lewat waktu 1 bulan semenjak diberitahukan secara tertulis oleh pemberi dan/atau pemegang HTN kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Tanggal pemberitahuan tertulis yaitu tanggal pengiriman pos tercatat, tanggal penerimaan melalui kurir, atau tanggal pengiriman fascsimile. Juga sesudah lewat waktu 1 bulan semenjak diadakan pengumuman dalam sedikit-dikitnya dalam 2 surat kabar yang beredar di kawasan yang bersangkutan dan/atau media massa setempat lainnya, ibarat radio dan televise. Apabila ada perbedaan antara tanggal pemberitahuan dan tanggal pengumuman, jangka waktu 1 bulan itu terhitung semenjak tanggal paling tamat antara kedua tanggal tersebut. Jangkauan surat kabar dan atau media massa lainnya itu harus mencakup tempat letak obyek HT yang bersangkutan.

Penjualan obyek HT “di bawah tangan” artinya penjualan yang tidak melalui pelelangan umum. Namun penjualan tersebut ntetap wajib dilakukan berdasarkan ketentuan PP24/1997 perihal Pendaftaran Tanah. Yaitu dilakukan di hadapan PPAT yang menciptakan aktanya dan diikuti dengan pendaftarannya di Kantor Pertanahan.

Persyaratan yang ditetapkan dimaksudkan untuk melindungi pihak-pihak yang berkepentingan, contohnya pemegang HT kedua, ketiga dan kreditor-kreditor bukan pemegang HT dan pemberi HT. 

b) Penjualan Di Bawah Tangan Secara Sukarela
Penjualan di bawah ntangan yang dimaksudkan itu yaitu penjualan dalam rangka sanksi HT, yang ketentuannya terdapat dalam Pasal 20 yang mengatur Eksekusi Hak Tanggungan. Maka biarpun untuk itu diharapkan persetujuan pemberi HT, yang melaksanakan yaitu kreditor pemegang HT. Bukan pemberi HT ataupun pemberi HT bersama pemegang HT. Untuk itulah diharapkan akad yang disebut dalam uraian 184/I (2).

Sehubungan dengan itu tidak termasuk dalam ketentuan mengenai penjualan sanksi di bawah tangan itu dengan syarat-syarat yang diuraikan di atas, penjualan obyek HT oleh pemberi HT, yang jadinya disepakati untuk digunakan melunasi piutang kreditor pemegang HT, dan disepakati pula pencucian obyek HT yang dijual dan HT yang membebaninya. Ini termasuk pengertian “penjualan sukarela”. Biarpun dibebani HT, obyek yang bersangkutan masih merupakan hak pemberi HT. Karena itu ia mempunyai hak untuk menjualnya kepada siapapun yang dikehendakinya, tidak terkecuali kepada pemegang HT sendiri. Dalam rangka melindungi kepentingan kreditor pemegang HT untuk itulah disediakan forum “droit de suite” (Uraian 176 B). Pada pihak lain kreditor pemegang HT pun berdasarkan ketentuan Pasal 18 mempunyai hak melepaskan HT yang dipunyainya. 

Sudah barang tentu penjualan itu tidak boleh dilakukan dengan maksud merugikan pihak lain, khususnya kreditor lain. Misalnya penjualan ataupun sebagai yang disebut dalam Akta Jual Beli yang bersangkutan. Dalam hal demikian jual-beli yang dilakukan sanggup dituntut pembatalannya oleh pihak yang merasa dirugikan dengan menggunakan forum “Action Pauliana”. (Pasal 1341 KUUHPdt).[30]

D. Sistem Pendaftaran Tanah
Sistem registrasi tanah yang digunakan di suatu Negara tergantung pada asas aturan yang dianut oleh Negara tersebut dalam mengalihkan hak atas tanahnya. Terdapat 2 macam asas aturan yaitu : “asas I’tikad baik” dan “asas nemo plus yuridis”, sekalipun suatu Negara menganut salah satu asas aturan tetapi yang secara murni berpegang pada salah satu asas hokum. Asas I’tikad baik berbunyi “orang yang memperoleh suatu hak dengan I’tikad baik akan tetap menjadi pemegang hak yang sah berdasarkan hukum. Asas ini melindungi orang yang beri’tikad baik sedangkan asas nemo plus yuridis berbunyi” orang tidak sanggup mengalihkan hak melebihi hak yang ada padanya, ini berarti bahwa pengalihan hak oleh orang yang tidak berhak yaitu batal. Asas ini melindungi pemegang hak yang sebenarnya.[31] Di dalam literature aturan agraria kita kenal beberapa sistem registrasi tanah yakni antara lain Sistem Torrens, Sistem Positif, Sistem Negative

a. Sistem Torent 
Sesuai dengan namanya, sistem ini diciptakan oleh SIR Robert Torent putra salah satu pendiri koloni Australia Selatan. Kaprikornus sistem ini berasal dari Australia Selatan. Sistem ini lebih dikenal dengan nama The Real Property Act yang mulai berlaku di Australia semenjak Tanggal 1 Juli 1858. Sistem ini kini digunakan di Aljazair, Tunisia, Kongo, Spanyol, Norwegia, Malaya, Kepulauan Fuji, Kanada, Yamanica, Trinidad, Dalam menggunakan sistem ini Negara-negara bersangkutan melihat pengalaman-pengalaman dari Negara-negara lain yang menggunakan sistem Torent ini Dalam detailnya agak menyimpang dari sistem aslinya, tetapi pada hakikatnya yaitu sistem Torent yang disempurnakan dengan beberapa tambahan-tambahan serta percobaan-percobaan yang diadaptasi dengan aturan materialnya Negara-Negara masing-masing tata dasarnya yaitu sama yakni The Real property Act. 

Dalam sistem ini sistem ini menyatakan bahwa sertifikat tanah merupakan alat bukti yang paling lengkap perihal gak dari pemilik yang tersebut di dalam serta tidak sanggup diganggu gugat, ganti rugi terhadap pemilikan sejati yaitu melalui dana asuransi dan untuk merubah buku tanah yaitu tidak mungkin, terkecuali jika memperoleh sertifikat tanah, dimaksud melalui cara pemalsuan/penipuan.[32]

b. Sistem Positif
Menurut sistem ini, suatu sertifikat tanah yang diberikan yaitu berlaku sebagai tanda bukti hak yang mutlak, serta merupakan satu-satunya tanda bukti hak atas tanah.[33]

Ciri-ciri sistem ini berdasarkan DEr. Ny Mariam Darus Badrul Zaman. S.H. dalam bukunya Bab-bab perihal Hypotik Hulas ialah bahwa registrasi menjamin dengan tepat bahwa nama yang terdaftar dalam buku tanah tidak sanggup dibantah walaupun ia bukan pemilik tanah yang berhak, Stelsel ini memperlihatkan kepercayaan yang mutlak pada buku tanah, pejabat-pejabat balik nama disini memperlihatkan kiprah yang sangat aktif, mereka memeriksa apakah hak yang dipindahkan itu sanggup didaftar, memeriksa identitas pihak-pihak, wewenang-wewenangnya, dan apakah formalitas-formalitas yang disyaratkan telah dipenuhi atau tidak.

Adapun keberatan-keberatan terhadap sistem positif ini diantaranya :
  1. Peran aktif pejabat-pejabat balik nama ini memakan waktu yang lama.
  2. pemilik yang berhak sanggup kehilangan haknya diluar perbuatan dan diluar kesalahannya.
  3. Apa nyang menjadi wewenang pengadilan diletakkan dibawah kekuasaan administrasi.
Dengan melihat uraian di atas kita sanggup menarik satu manfaat dari kegunaan sistem positif ini yaitu :
  1. Adanya kepastian dari buku tanah.
  2. Peran aktif dari pejabat balik nama tanah.
  3. Mekanisme kerja dalam proses penerbitan sertifikat tanah gampang dimengerti oleh umum.
Dengan demikian sistem ini memperlihatkan suatu jaminan yang mutlak terhadap buku tanah kendatipun ternyata bahwa pemegang sertifikat tanah bukanlah pemilik sejati dan oleh lantaran itu ketika yang ber’tikad baik. Yang bertindak berdasar bukti tersbeut akan menerima jaminan mutlak walaupun ternyata bahwa segala keterangan yang tercantum dalam sertifikat yaitu tidak benar.

c. Sistem Negatif 
Menurut sistem ini bahwa segala apa yang tercantum dalam sertifikat tanah yaitu dianggap benar hingga sanggup dibuktikan suatu keadaan yang sebaliknya (tidak benar) dimuka sidang pengadilan.[34]

Ciri pokok sistem ini yaitu bahwa registrasi hak atas tanah bukanlah merupakan jaminan pada nama yang terdaftar dalam buku tanah. Dengan kata lain bahwa buku tanah bisa saja berubah sepanjang sanggup mengambarkan bahwa dialah pemilik yang bersama-sama melalui putusan yang telah mempunyai keuatan aturan tetap.

Menurut Dr. Ny. Mariam Darus Badrul Zaman, S.H dalam bukunya Bab-bab perihal Hypothek Hal 44 dan 45 (dalam Bachtiar Efendi hal 82) mengemukakan bahwa hak dari nama yang terdaftar ditentukan oleh hak dari pemberi hak sebelumnya, perolehan hak tersebut merupakan satu mata rantai. Menyelidiki apakah sumbangan hak sebelumnya (Rehtsvoorganger) mempunyai wewenang menguasai (Besehikkingbe Veegdheid) atau tidak, berkaitan dengan bagaimana cara orang terdaftar itu memperoleh haknya, apakah telah memenuhi ketentuan Undang-Undang atau tidak. Demikianlah penjajahan itu dilakukan terhadap peristiwa-peristiwa aturan yang mendahului penyerahan. 

Kebaikan sistem negative ini yaitu : 
  1. Adanya proteksi pada pemegang hak yang sebenarnya.
  2. Adanya penyelidikan riwayat tanah sebelum sertifikatnya diterima.
Azas peralihan hak atas tanah berdasarkan system ini yaitu azas-azas nemo plus yuris yakni orang tidak sanggup mengalihkan hak melebihi hak yang ada padanya, ini berarti bahwa pengalihan hak oleh orang yang tidak berhak yaitu batal, Azas ini bertujuan melindungi pemegang hak yang sebenarnya. Berdasarkan asas ini pemegang hak yang bersama-sama akan tetap sanggup menuntut kembali haknya yang terdaftar atas nama siapapun.

Sehubungan dengan kewajiban registrasi dimaksud system apakah yang dianut Undang-Undang Pokok Agraria dari beberapa sistem yang dikemukakan diatas untuk mengetahui hal ini terlebih dahulu kita akan mengemukakan dasar aturan dari registrasi tanah yang dilaksanakan di Indonesia yang sanggup kita temukan dalam pasal 19 Undang-Undang Pokok Agaria yang selengkapnya berbunyi :

Ayat 1 : Untuk menjamin kepastian aturan oleh pemerintah diadakan registrasi di seluruh wilayah Indonesia berdasarkan ketentuan ketentuan yang diatur dengan peraturan pemerintah. 

Ayat 2 : Pendaftaran tersebut dalam ayat 1 pasal ini mencakup :
  1. Pengukuran, pemetaan, dan pembukuan tanah.
  2. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut.
  3. Pemberian surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.
Ayat 3: Pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan Negara dan masyarakat, keperluan kemudian lintas sosial ekonomi, serta kemungkinan penyelenggaraan berdasarkan pertimbangan menteri agraria.

Ayat 4: Dalam peraturan pemerintah di atas biaya-biaya yang bersangkutan dengan registrasi termaksud dalam ayat (1) diatas dengan ketentuan-ketentuan bahwa rakyat yang tidak bisa dibebaskan dari pembayaran biaya-biaya tersebut.[35]

Dari ketentuan pasal 19 ayat 2 di atas abjad C Undang-Undang Pokok Agraria yang merupakan dasar aturan Pendaftaran Tanah tersebut sanggup kita ketahui bahwa yang didaftarkannya hak-hak atas tanah akan diberikan sertifikat tanah sebagai tanda bukti pemegang hak atas tanah yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.

Kata “kuat” dalam pengertian pasal 19 ayat 2 abjad C UUPA tersebut di atas yaitu berarti bahwa sertifikat tanah yang diberikan tersebut yaitu tidak mutlak, dan membawa akhir aturan bahwa segala apa yang tercantum dalam sertifikat tanah yaitu dianggap benar sepanjang tidak ada yang mengambarkan keadaan yang sebaliknya.

Yang menyatakan bahwa sertifikat tersebut yaitu tidak benar, kalau kita hubungkan ketentuan pasal 19 ayat 2 abjad C dengan sistem-sistem registrasi tanah yang telah dikemukakan di atas, maka akhir aturan dari ketentuan pasal 19 ayat 2 abjad C UUPA dengan kata lain bahwa system yang dianut Undang-Undang Pokok Agraria dalam Pendaftaran Tanah yaitu system Negatif dengan tendensi positif.[36]

Sedangkan sistem yang dianut UUPA yaitu sebagai berikut :
1) Menurut DR. Ny. Mariam darus badrul Zaman, S.H (dalam bukunya bab-bab perihal hipotik)
Menurut dia sistem yang dianut UUPA yaitu sistem campuran, antara Sistem Negatif dan Positif, hal ini terlihat dengan adanya proteksi pada pemilik yang bersama-sama (Sistem Negative), sedangkan sistem positifnya terlihat dengan adanya campur tangan dari pemerintah, dimana sebelumnya diterbitkan sertifikat tanah, terlebih dahulu diadakan penjajahan terhadap peristiwa-peristiwa aturan apa saja yang mendahului penyerahan.[37]

2) Menurut Abdur Rahman (dalam tulisannya Berita Pusat Study aturan Tanah Fakultas Hukum Uniam No 5/Mei/1978
Beliau cenderung condong pada pendapat DR. Ny Mariam yang menyampaikan bahwa sistem registrasi yang dianut UUPA dan PP No 10/1961 yaitu adonan (positif dan negative) dimana dalam sistem yang demikian segala kekurangan yang ada pada sistem negative dan positif sudah tertutup. Sistem yang demikian ini berdasarkan hematnya pada ketika masa kini sangat baik dan cocok keadaannya dengan keadaan di Negara kita, sekalipun memang harus diakui perlunya diadakan beberapa penyempurnaan guna diadaptasi dengan perkembangan dan kemajuan.[38]

3) Menurut DR. Sumarti Hartono (dalam buku beberapa pemikiran kearah pembaharuan Hukum hal 107)
Menurut dia katanya sesudah UUPA berlaku selama hampir 20 tahun tiba saatnya kita berpegang pada sistem positif, yang menjadikan sertifikat tanah satu satunya alat bukti untuk mengambarkan hak milik atas tanah dengan pengertian bahwa apabila sanggup mengambarkan bahwa sertifikat itu palsu / diupalsukan / diperoleh dengan jalan yang tidak sah / lantaran paksaan / pungutan liar / menyogok. Misalnya maka tentu saja sertifikat itu dianggap tidak sah sehingga menjadi batal dengan sendirinya (Van Rechts Weignieting).[39]

Mantaha, mantan kepala jawatan registrasi tanah menyatakan bahwa sistem registrasi tanah di Indonesia yang dianut kini ini yaitu sistem negative dengan tendensi positif. 

Dengan sistem ini keterangan-keterangan yang ada apabila tidak ternyata benar maka sanggup diubah dan dibatalkan.[40]

Dengan pasal 19 Undang-Undang Agraria ini, maka untuk menjamin kepastian aturan oleh pemerintah diadakan registrasi tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia dengan suatu peraturan pemerintah.

Berdasarkan pasal 2 Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 1997, registrasi tanah berdasarkan azas-azas sebagai berikut.

a. Azas Sederhana 
Maksudnya sederhana dalam registrasi tanah yaitu biar ketentuan-ketentuan pokoknnya maupun prosedurnya dengan gampang dimengerti atau dipahami oleh pihak-pihak yang berkepentingan, terutama pada pemegang hak atas tanah.

b. Azas Aman 
Azas kondusif yaitu untuk memperlihatkan bahwa registrasi tanah perlu diselenggarakan secara lebih dan cermat, sehingga jadinya sanggup memberi jaminan kepastian aturan sesuai dengan tujuan registrasi tanah itu sendiri.

c. Azas Terjangkau 
Azas terjangkau yaitu keterjangkauan bagi pihak yang memerlukan khususnya dengan memperhatikan kebutuhan-kebutuhan dan kemampuan golongan ekonomi tanah lemah.

d. Azas Mutakhir 
Azas mutakhir memilih data registrasi tanah secara terus menerus dan berkesinambungan sehingga data yang tersimpan di kantor pertanahan selalu dengan keadaan nyata di lapangan, masyarakat sanggup memperoleh keterangan data yang benar setiap saat. Untuk itulah diberlakukan contoh Azas Terbuka.[41]

e. Dasar Hukum Peraturan Pemerintah No 24 Tahun 1997 
Undang-Undang Dasar 1945 itu merupakan aturan dasar dan sekaligus merupakan sumber aturan dalam arti formal artinya, sumber berlakunya hukum, sumber berlakunya peraturan-peraturan hukum. Apabila dilihat dari pasal-pasalnya Undang-Undang Dasar 1945 hanya berisikan 37 pasal dengan 4 pasal peraturan peralihan, diantara ke 37 pasal itu yaitu pasal 33 ayat 3 yang menjadi dasar berlakunya UUPA No 5 Tahun 1960, jadi berdasarkan uraian diatas tersebut terperinci bahwa UUPA No 5 Tahun 1960 itu dibuat berdasarkan Undang-Undang 1945.[42]

Badan Pembentuk Undang-Undang pada waktu pembentukan UUPA itu menggunakan contoh pikiran aturan adat, dimana kekurangan-kekurangan yang terdapat dalam aturan tabiat yaitu aturan agraria adapt, dilengkapi oleh aturan agraria barat. Kaprikornus hakekatnya UUPA No 5 Tahun 1960 yaitu aturan agraria tabiat dengan “Baju Baru” yaitu aturan agraria tabiat yang diberi bentuk tertulis berbentuk Undangn-Undang.[43]

Sedang Peraturan Pemerintah No 24 Tahun 1997 merupakan aturan pelaksanaan dari Undang-Undang No 5 Tahun 1960, jadi dasar aturan berlakunya Peraturan Pemerintah No 24 Tahun 1997 yaitu pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 jo Undang-Undang No 5 Tahun 1960.

E. Tujuan Pendaftaran Tanah
Dalam Peraturan yang menyempurnakan PP No 10 Tahun 1961 ini tetap dipertahankan tujuan diselenggarakan registrasi tanah sebagai yang pada hakikatnya sudah ditetapkan dalam pasal 19 UUPA yaitu bahwa Pendaftaran tanah merupakan kiprah pemerintah yang diselenggarakan dalam rangka menjamin kepastian aturan dibidang pertanahan. Rincian tujuan registrasi tanah dinyatakan dalam pasal 3 Peraturan Pemerintah No 24 Tahun 1997 yaitu :

a. Untuk memperlihatkan kepastian aturan proteksi aturan kepada pemegang hak atas tanah atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak yang terdaftar biar dengan gampang sanggup mengambarkan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan, untuk itu kepada pemegang haknya diberikan sertifikat sebagai tanda buktinya. Inilah yang merupakan tujuan utama registrasi tanah yang penyelenggaranya diperintahkan oleh pasal 19 UUPA, maka memperolah sertifikat bukan sekedar kemudahan melainkan hak pemegang hak atas tanah yang dijamin oleh Undang-Undang.


Sertifikat yaitu surat tanda bukti hak sebagaimana termasuk dalam pasal 19 ayat 2 abjad C. UUPA untuk hak atas tanah, hak pengelolaan tanah wakaf dan hak milik atas satuan rumah susun, dan hak tanggungan yang masing-masing sudah dibukukan dalam buku tanah yang bersangkutan. Sedangkan buku tanah yaitu dokumen yang dalam bentuk daftar yang memuat data yuridis dan data fisik suatu objek registrasi tanah-tanah yang sudah ada haknya.

b. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang bersangkutan, termasuk pemerintah biar dengan gampang sanggup memperoleh data yang diharapkan dalam mengadakan perbuatan Hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah di daftar. Untuk penyajian data tersebut diselenggarakan oleh Kantor Pertanahan Nasional kabupaten/kota madya. Para pihak yang berkepentingan terutama calon pembeli atau calon kreditur sebelum melaksanakan suatu perbuatan aturan mengenai suatu bidang tanah atas satuan rumah susun tertentu perlu dan karenanya mereka berhak mengetahui data yang tersimpan terbuka untuk umum ini sesuai dengan asas registrasi yang bersifat terbuka.

Tujuan registrasi tanah untuk menghimpun dan menyediakan informasi yang lengkap mengenai bidang-bidang tanah untuk dipertegas dengan dimungkinkannya pembukuan bidang-bidang tanah yang data fisiknya dan data yuridisnya belum. 

c. Untuk terselenggaranya tartib manajemen pertanahan, Terselenggaranya registrasi tanah secara baik merupakan dan tertib. Administrasi dibidang pertanahan. Untuk mencapai tertib manajemen tersebut setiap bidang tanah dan satuan rumah susun termasuk peralihannya, pembebanan dan hapusnya wajib didaftar.[44]

Dari banyak sekali tujuan registrasi di atas merupakan wujud pembaharuan aturan tanah Indonesia, lantaran aturan Agraria yang berlaku sebelum di Undangkannya. Undang-Undang Pokok Agraria Tahun 1960 yaitu Hukum Agraria Barat dan Hukum Agraria Adat. Hukum Agraria kolonial tersusun berdasarkan dan tujuan dan sendi-sendi dari pemerintah jajahan dan sebagian lainnya dipengaruhi oleh biaya, sehingga sangat besar kemungkinannya yang terjadi yaitu adanya kontradiksi kepentingan rakyat dan Negara dalam melaksanakan pembangunan semesta dan juga sebagai akhir politik Hukum pemerintah jajahan itu, aturan agraria mempunyai sifat dualisme aturan yaitu berlakunya peraturan-peraturan Hukum adapt disamping peraturan-peraturan dari dan berdasarkan pada Hukum Barat, hal ini selalu menimbulkan banyak sekali problem antar golongan yang serba sulit, dan juga tidak sesuai dengan harapan persatuan Bangsa Indonesia.

Masalah-masalah yang timbul yaitu adanya ketidakpastian aturan hak atas tanah oleh rakyat Indonesia, Hukum Agraria kolonial tidak memperlihatkan jaminan kepastian aturan terhadap hak-hak rakyat Indonesia atas tanah dikarenakan pada waktu itu hanya hak-hak atas tanah yang tunduk pada Hukum Agraria kolonial yang didaftar oleh Pemerintah Hindia Belanda dengan tujuan memperlihatkan jaminan aturan (Recht Kadaster), sedangkan bagi tanah-tanah yang tunduk pada aturan Agraria adapt tidak dilakukan registrasi tanah, kalau di daftar oleh pemerintah Hindia Belanda tujuannya bukan untuk memperoleh kepastian aturan terhadap hak-hak atas tanah melainkan untuk memutuskan siapa yang berkewajiban membayar pajak atas tanah.

Kaprikornus dengan telah di Undang-Undangkannya Peraturan Dasar Pokok Agraria yang dianut dalam Undang-Undang No 5 Tahun 1960 rakyat Indonesia yang mempunyai hak-hak atas tanah memperoleh kepastian aturan hak-hak atas tanah dengan melaksanakan registrasi tanah miliknya sebagaimana tertuang dalam pasal 19 ayat 1 Undang-Undang No 24 Tahun 1997 perihal pendaftaran.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel