Pengertian Pelaku Usaha, Konsumen, Dan Pengoplosan
Monday, March 23, 2020
Edit
PENGERTIAN PELAKU USAHA, KONSUMEN, DAN PENGOPLOSAN
1. Pengertian Pelaku Usaha
Dalam Pasal 1 angka 3 UU Nomor 8 Tahun 1999 wacana Perlindungan Konsumen menentukan bahwa “pelaku perjuangan ialah setiap orang perorangan atau tubuh usaha, baik yang berbentuk tubuh aturan maupun bukan tubuh aturan yang didirikan dan berkedudukan atau melaksanakan acara dalam wilayah aturan negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bahu-membahu melalui perjanjian menyelenggarakan acara perjuangan dalam aneka macam bidang ekonomi”.
Menurut UU No. 5 Tahun 1999 wacana Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat menentukan pengertian “pelaku perjuangan ialah setiap orang perorangan atau tubuh usaha, baik yang berbentuk tubuh aturan atau bukan tubuh aturan yang didirikan dan berkedudukan atau melaksanakan acara dalam wilayah aturan negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama, melalui perjanjian, menyelenggarakan aneka macam acara perjuangan dalam bidang ekonomi”. Dari kedua pengertian tersebut terdapat kesamaan dari pengertian pelaku usaha.
Pada klarifikasi undang-undang yang termasuk dalam pelaku perjuangan ialah perusahaan, korporasi, BUMN, koperasi, importer, pedagang, agen dan lain-lain. Kajian atas pemberian terhadap konsumen tidak sanggup dipisahkan dari telah terhadap hak-hak dan kewajiban produsen. Berdasarkan Directive, pengertian “produsen”meliputi:1
- Pihak yang menghasilkan produk simpulan berupa barang-barang manufaktur mereka ini bertanggung jawab atas segala kerugian yang timbul dari barang yang mereka edarkan ke masyarakat, termasuk bila kerugian timbul akhir cacatnya barang yang merupakan komponen dalam proses produksinya.
- Produsen materi mentah atau komponen suatu produk.
- Siapa saja, yang dengan membubuhkan nama, merek, ataupun gejala lain pada produk menampakan dirinya sebagai produsen dari suatu barang.
2. Jenis-jenis pelaku usaha
- Badan Usaha yang berbadan hukum
- Badan Usaha yang tidak berbadan hukum
Perbedaan dari keduanya yaitu tubuh perjuangan yang bukan merupakan tubuh aturan tidak akan dipersamakan kedudukannya sebagai orang sehingga tidak mempunyai kekayaan para pendirinya. 2
Perbedaan tubuh aturan dan bukan berbadan aturan terletak pada pemisahan harta kekayaan. Badan perjuangan yanag berbadan hukum, misalnya ialah Perseroan Terbatas (PT). Pada Perseroan Terbatas (PT), tubuh perjuangan PT mempunyai harta kekayaan tersendiri. Harta kekayaan PT tersebut terpisah dengan harta kekayaan para pemegang saham PT. dalam artian jika PT tersebut mengalami kerugian, maka tanggung jawab para pemegang saham tersebut terbatas pada nilai saham yang dimilikinya. Berbeda dengan tubuh perjuangan yang tidak berbadan aturan yang harta kekayaan pendirinya tidak terpisah dengan harta kekayaan tubuh perjuangan tersebut. Sehingga jika tubuh perjuangan yang tidak berbadan aturan tersebut mengalami kerugian, maka berakibat pada pertanggungjawaban pemilik tubuh perjuangan tersebut. Dalam penggantian kerugian tubuh perjuangan tersebut, harta kekayaan pemiliknya sanggup disita atau diambil hingga pertanggung tanggapan kerugian tersebut lunas atau selesai.
Bentuk tubuh perjuangan yang tidak berbadan aturan ialah :
- Usaha Dagang (UD) atau kadang juga dikenal dengan istilah PD (Perusahaan Dagang).
- Persekutuan Perdata (Maatschap) yang diatur dalam Pasal 1618-1652 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer).
- Firma/Fa (Vennootschap Onder Firma), yang diatur dalam pasal 16-35 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD).
- Persekutuan Komanditer /CV (Comanditaire Vennootschap), yang diatur dalam Pasal 19 KUHD.
- Perkumpulan yang tidak berbadan hukum, yang diatur dalam Pasal 1653-1665 KUHPer.3
Perbedaan pada pemisahaan harta kekayaan, perbedaan berikutnya juga terletak pada posisi tubuh perjuangan sebagai subyek aturan di dalam pengadilan. Badan perjuangan yang berbadan aturan merupakan subyek aturan yang juga sanggup dituntut serta melaksanakan penuntutan dimuka pengadilan atas nama tubuh usaha. Yang melaksanakan penuntutan tersebut tentu saja, bukan tubuh perjuangan itu sendiri secara langsung, melainkan orang yang dikuasakan untuk melaksanakan perbuatan aturan tersebut.
Baca Juga;
Baca Juga;
Hal ini, dikarenaknan tubuh aturan merupakan aggregate theory yang berarti kumpulan-kumpulan manusia/orang yang terkait dengan tubuh aturan tersebut. Sementara tubuh perjuangan yang tidak melaksanakan kumpulan penuntutan dimuka pengadilan atas nama tubuh perjuangan tersebut. Akan tetapi, didalam tubuh perjuangan yang tidak berbadan aturan yang dituntut dimuka pengadilan ialah pendiri dari tubuh perjuangan tersebut serta yang melaksanakan penuntutan dimuka pengadilan juga pendiri tersebut yang juga bertindak atas namanya sendiri.
3. Hak dan kewajiban pelaku usaha
Seperti halnya konsumen, pelaku perjuangan juga mempunyai hak dan kewajiban. Hak pelaku perjuangan sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UUPK adalah:
- hak untuk mendapatkan pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai barter dan/atau jasa yang diperdagangkan;
- hak untuk menerima pemberian aturan dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;
- hak untuk melaksanakan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian aturan sengketa konsumen;
- hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara aturan bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
- hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Kewajiban pelaku perjuangan berdasarkan ketentuan Pasal 7 UUPK adalah:
- beritikad baik dalam melaksanakan acara usahanya;
- memberikan informasi yang benar, terang dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi klarifikasi penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
- memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
- menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
- memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibentuk dan/atau yang diperdagangkan;
- memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akhir penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
- memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang dterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
Pengertian Konsumen
Istilah konsumen berasal dari kata consumer (Inggris-Amerika), atau consument/konsument (Belanda).4 Pengertian tersebut secara harfiah diartikan sebagai ”orang atau perusahaan yang membeli barang tertentu atau menggunakan jasa tertentu ” atau ”sesuatu atau seseorang yang menggunakan suatu persediaan atau sejumlah barang”.5 Amerika Serikat mengemukakan pengertian ”konsumen” yang berasal dari consumer berarti ”pemakai”, namun sanggup juga diartikan lebih luas lagi sebagai ”korban pemakaian produk yang cacat”, baik korban tersebut pembeli, bukan pembeli tetapi pemakai, bahkan korban yang bukan pemakai, alasannya ialah pemberian aturan sanggup dinikmati pula oleh korban yang bukan pemakai.6 Perancis berdasarkan doktrin dan yurisprudensi yang berkembang mengartikan konsumen sebagai ”the person who obtains goods or services for personal or family purposes”. Dari definisi diatas terkandung dua unsur, yaitu (1) konsumen hanya orang dan (2) barang atau jasa yang digunakan untuk keperluan pribadi atau keluarganya.7 India juga mendefinisikan konsumen dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen India yang menyatakan ”konsumen ialah setiap orang (pembeli) atas barang yang disepakati, menyangkut harga dan cara pembayarannya, tetapi tidak termasuk mereka yang mendapatkan barang untuk dijual kembali atau lain-lain keperluan komersial.8
Az. Nasution menegaskan beberapa batasan wacana konsumen, yakni :
- Konsumen ialah setiap orang yang mendapatkan barang atau jasa yang digunakan untuk tujuan tertentu;
- Konsumen antara ialah setiap orang yang mendapatkan barang dan/ atau jasa untuk digunakan dengan tujuan menciptakan barang dan/ atau jasa lain untuk diperdagangkan (tujuan komersil); bagi konsumen antara, barang atau jasa itu ialah barang atau jasa kapital yang berupa materi baku, materi penolong atau komponen dari produk lain yang akan diproduksinya (produsen). Konsumen antara ini mendapatkan barang atau jasa di pasar industri atau pasar produsen.
- Konsumen simpulan ialah setiap orang yang menerima dan menggunakan barang dan/ atau jasa untuk tujuan memenuhi kebutuhan hidupnya pribadi, keluarga dan/ atau rumah tangga dan tidak untuk diperdagangkan kembali (non komersial).9
Istilah konsumen juga sanggup kita temukan dalam peraturan perundang-undangan Indonesia. Secara yuridis formal pengertian konsumen dimuat dalam Pasal 1 angka 2 UU No. 8 Tahun 1999 wacana Perlindungan Konsumen, ”konsumen ialah setiap orang pemakai barang dan/ atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”.
Dari pengertian konsumen diatas, maka sanggup kita kemukakan unsur-unsur definisi konsumen :10
a. Setiap orang
Subjek yang disebut sebagai konsumen berarti setiap orang yang berstatus sebagai pemakai barang dan/ atau jasa. Istilah ”orang” disini tidak dibedakan apakah orang individual yang lazim disebut natuurlijke persoonatau termasuk juga tubuh aturan (rechtspersoon). Oleh alasannya ialah itu, yang paling sempurna ialah tidak membatasi pengertian konsumen sebatas pada orang perseorangan, tetapi konsumen harus meliputi juga tubuh perjuangan dengan makna lebih luas daripada tubuh hukum.
b. Pemakai
Kata ”pemakai” dalam suara Penjelasan Pasal 1 angka (2) UU Perlindungan Konsumen diartikan sebagai konsumen simpulan (ultimate consumer).
c. Barang dan / atau jasa
UU Perlindungan Konsumen mengartikan barang sebagai sebagai benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, bergerak maupun tidak bergerak, benda yang sanggup dihabiskan maupun yang tidak sanggup dihabiskan, yang sanggup diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen. Sementara itu, jasa diartikan sebagai setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen.
d. Yang tersedia dalam masyarakat
Barang/ jasa yang ditawarkan kepada masyarakat sudah harus tersedia di pasaran. Namun, di masa perdagangan kini ini, syarat mutlak itu tidak lagi dituntut oleh masyarakat konsumen. Misalnya, perusahaan pengembang (developer) perumahan telah biasa mengadakan transaksi konsumen tertentu ibarat futures tradingdimana keberadaan barang yang diperjualbelikan bukan sesuatu yang diutamakan.
e. Bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, makhluk hidup lain Transaksi konsumen ditujukan untuk kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, dan makhluk hidup lain ibarat binatang dan tumbuhan.
f. Barang dan/ atau jasa itu tidak untuk diperdagangkan
Pengertian konsumen dalam UUPK ini dipertegas, yakni hanya konsumen simpulan yang menggunakan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhannya, keluarganya, atau pada umumnya untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya (keperluan non-komersial). Definisi ini sesuai dengan pengertian bahwa konsumen ialah pengguna terakhir, tanpa melihat apakah si konsumen ialah pembeli dari barang dan/ atau jasa tersebut. 11 Hal ini juga sejalan dengan pendapat dari pakar duduk kasus konsumen di Belanda, Hondius yang menyimpulkan, para jago aturan pada umumnya setuju mengartikan konsumen sebagai pemakai produksi terakhir dari benda dan jasa (pengertian konsumen dalam arti sempit).12
Hak dan Kewajiban Konsumen
Istilah pemberian konsumen berkaitan dengan pemberian hukum, sehingga pemberian konsumen niscaya mengandung aspek hukum. Materi yang mendapatkan pemberian itu bukan sekedar fisik saja melainkan kepada hak-hak yang bersifat abstrak. Kaprikornus perindungan konsumen sangat identik dengan pemberian yang diberikan aturan terhadap hak-hak konsumen.
Di dalam Bab III Pasal 4 UUPK, hak konsumen ialah :
- Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa
- Hak untuk menentukan barang dan / atau jasa serta mendapatkan barang dan / atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan
- Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa
- Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan
- Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa pemberian konsumen secara patut
- Hak untuk mendapatkan pelatihan dan pendidikan konsumen
- Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif
- Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya
- Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya
Dari sembilan butir hak konsumen yang diberikan diatas, terlihat bahwa duduk kasus kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen merupakan hal yang paling pokok dan utama dalam pemberian konsumen. Barang dan / atau jasa yang penggunaannya tidak memperlihatkan kenyamanan, terlebih lagi yang tidak kondusif atau sanggup membahayakan keselamatan konsumen penggunanya, maka konsumen diberikan hak untuk menentukan barang dan/atau jasa yang dikehendakinya berdasarkan atas keterbukaan informasi yang benar, terang dan jujur. Jika terdapat penyimpangan yang merugikan, konsumen berhak untuk didengar, memperoleh advokasi, pembinaan, perlakuan yang adil, kompensasi hingga ganti rugi.
BACA JUGA; Pengertian Jasa dan Karakteristik Jasa Menurut Ahli
BACA JUGA; Pengertian Jasa dan Karakteristik Jasa Menurut Ahli
Betapa pentingnya hak-hak konsumen, sehingga melahirkan anutan yang beropini bahwa hak-hak konsumen merupakan generasi keempat hak asasi manusia, yang merupakan kata kunci dalam konsepsi hak asasi insan dalam perkembangan di masa yang akan datang.14
Pasal 5 UUPK mengatur wacana kewajiban konsumen yaitu:
- Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan mekanisme pemakaian atau pemanfaatan barang dan / atau jasa demi keamanan dan keselamatan
- Beritikad baik dalam melaksanakan transaksi pembelian barang dan / atau jasa
- Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati
- Mengikuti upaya penyelesaian aturan sengketa pemberian konsumen secara patut
Penjabaran pasal tersebut di atas, dimaksudkan semoga konsumen sendiri sanggup memperoleh hasil yang optimal atas pemberian dan/atau jasa kepastian aturan bagi
Penjabaran pasal tersebut di atas, dimaksudkan semoga konsumen sendiri sanggup memperoleh hasil yang optimal atas pemberian dan/atau jasa kepastian aturan bagi dirinya.15
Pengertian Pengoplosan
Untuk mewujudkan sumber daya insan Indonesia yang berkualitas diperlukan makanan yang aman, bermutu, bergizi dan tersedia secara cukup. Dengan demikian pengadaan dan pendistribusian makanan tersebut harus dilakukan secara jujur dan bertanggung jawab sehingga tersedia makanan yang terjangkau oleh daya beli masyarakat. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.382/Men.Kes/Per/IV/89 wacana Pendaftaran Makanan, Makanan diartikan sebagai “barang yang dimasudkan untuk dimakan dan diminum oleh manusia, serta semua materi yang digunakan pada produksi makanan dan minuman”.
Pengertian pangan juga sanggup dilihat pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 Tentang Pangan pada Pasal 1 ayat (1) menentukan bahwa “(1) Pangan ialah segala sesuatu yang berasal dari: sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan dan minuman bagi konsumen manusia, termasuk materi pelengkap pangan, materi baku pangan, dan materi lain digunakan dalam proses penyiapan, pengelolaan, dan atau pembuatan makanan atau minuman”.
Berkaitan dengan pemenuhan makanan yang aman, bermutu, bergizi dan tersedia secara cukup, utamanya dalam pemenuhan pangan pokok yaitu beras, tidak tertutup kemungkinan terdapat upaya-upaya yang tidak jujur dari pelaku perjuangan dalam menghasilkan beras tersebut sehingga beras yang diterima oleh masyarakat tidak memenuhi syarat : aman, bermutu dan bergizi, kesannya akan menjadikan kerugian bagi konsumen. Sebagai antisipasinya para konsumen dituntut untuk bersikap kritis dan cerdas dalam mencermati pemilihan beras yang akan dikonsumsi.
Untuk menyatukan persepsi dalam pembahasan wacana pengoplosan beras, maka perlu diberikan pembatasan pengertian wacana “oplos”. Dari aneka macam literatur yang ditelusuri, kata Oplos berasal dari Bahasa Belanda 16, yaitu : “oplossen”yang berarti “larut”. Di Indonesia istilah “oplos ” sering dikonotasikan sebagai perjuangan mencampur dengan maksud untuk mengambil laba tanpa mengindahkan kualitas. Mencampur ialah memadupadankan satu benda dengan satu atau beberapa benda lainnya kemudian diolah dan diproses menjadi benda dengan nama yang lain.17
Rahardi Ramelan, menyatakan mencampur dalam arti kata “blending”,merupakan perjuangan yang biasa dilakukan di dalam perdagangan, khusunya komoditi pertanian untuk mendapatkan komposisi dan rasa khas maupun kualitas yang diinginkan konsumen, penggilingan besar melaksanakan blending untuk mendapatkan kualitas dan harga yang sempurna dan menggunakan merek atau brandtertentu untuk memudahkan pemasarannya. Demikian juga yang dilakukan pedagang besar yang menampung beras dari aneka macam daerah, melaksanakan blending untuk menghasilkan rasa, kualitas dan harga yang sempurna bagi konsumen.18
CATATAN KAKI ARTIKEL DI ATAS :
- 1 Celina Tri Siwi Kristiyanti, 2009, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika, Jakarta, h. 41.
- 2 Irma Devita, 2010, “Kiat-Kiat Cerdas, Praktis dan Bijak Mendirikan Badan Usaha”, Kaifa, Bandung, h.2.
- 3 Ibid, h.3
- 4 Celina Tri Siwi Kristiyanti, op.cit. h. 22
- 5 Abdul Halim Barkatulah, 2008, Hukum Perlindungan Konsumen (Kajian Teoretis dan Perkembangan Pemikiran, Nusa Media, Bandung, h.7.
- 6 Celina Tri Siwi Kristiyanti, op.cit. h. 23
- 7 Shidarta, 2006, op.cit. h. 3
- 8 Ibid, h. 4.
- 9 Az. Nasution, 2001, Hukum Perlindungan Konsumen, Diadit Media, Yogjakarta. h.13.
- 10 Ibid, h. 27.
- 11 Abdul Halim Barkatulah, op. cit. h. 8
- 12 Shidarta, loc. cit. h. 3
- 13 Shidarta, op.cit, h. 16
- 14 Ahmad Miru dan Sutarman Yodo, 2004, Hukum Perlindungan Konsumen, Raja Grafindo Persada, Yogyakarta, h. 180.
- 15 Ibid, h. 184.
- 16 Susi Moeimam, Hein Steinhauer, 2005, Kamus Belanda-Indonesia, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h. 23.
- 17 Goentoer Albertus, http://albertusgoentoer, blogspot.com/2009/04/mencampur, diakses tanggal 10 Maret 2010
- 18 Rahardi Ramelan, op.cit,