Pengertian Alat Bukti Dan Kekuatan Alat Bukti

ALAT BUKTI DAN KEKUATAN ALAT BUKTI
Dalam Hukum Acara Perdata hakim terikat pada alat-alat bukti yang sah. Hal ini bermakna bahwa Hakim hanya sanggup diperbolehkan mengambil keputusan berdasarkan alat bukti yang ditentukan oleh Undang-Undang. Macam-macam alat bukti terdapat dalam pasal 164 HIR, 283 R.Bg, 1866 BW.Alat bukti tersebut terdiri dari :

  1. Alat Bukti Surat 
  2. Alat Bukti Saksi
  3. Alat Bukti Persangkaan
  4. Alat Bukti Pengakuan
  5. Alat Bukti Sumpah
Tingkatan urutan macam alat bukti diatas, tidak memilih mana yang lebih kuat. Hal ini tergantung kepada variasi masalah yang tengah dihadapinya. Untuk mempertajam memahami macam-macam alat bukti akan diuraikan sebagaimana berikut:
1. ALAT BUKTI SURAT
Ada 3 macam bentuk surat yang dikenal oleh aturan program perdata, yakni (1), Surat biasa, (2) Akta Otentik, (3) Akta dibawah tangan.[9] Sedangkan berdasarkan Sudikno Mertokusumo Surat sebagai alat bukti tertulis dibagi dua yaitu surat yang merupakan sertifikat dan surat-surat lainnya yang bukan akta, sedangkan sertifikat sendiri dibagi lebih lanjut menjadi sertifikat otentik dan sertifikat dibawah tangan.

Adapun yang mengatur wacana surat tersebut diatur didalam pasal 165-167 HIR, Stb. 1867 No. 29, Pasal 282-305 R.Bg. Pengertian surat sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 165 HIR ialah surat yang ditandatangani yang memuat insiden yang menjadi dasar sesuatu hak, perikatan yang sengaja dibentuk untuk pembuktian.Merupakan segala sesuatu yang memuat tanda bacaan yang diharapkan untuk memberikan isi hati atau buah pikiran yang diperuntukkan sebagai alat bukti. Akta, dibedakan menjadi :
a. sertifikat otentik, pasal 165 HIR.
Adalah sertifikat yang dibentuk oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu yang memperlihatkan bukti yang tepat bagi kedua belah pihak bagi andal waris dan bagi pihak ketiga yang mendapat hak dari padanya. Sedangkan yang dimaksud dengan sertifikat ialah surat yang ditandatangani yang memuat insiden yang menjadi dasar sesuatu hak atau perikatan yang semenjak semula sengaja dibentuk untuk pembuktian. Menurut S.J. Fockeme Andreae, dalam bukunya “Rechts gereerd Handwoorddenboek, kata sertifikat berasal dari bahasa latin “acta” yang berarti geschrift[10] atau surat sedangkan berdasarkan R. Subekti dan Tjitrosudibio yang menyampaikan bahwa “acta” ialah merupakan bentuk jamak dari kata “actum” yang berasal dari bahasa latin dan berarti perbuatan-perbuatan.[11]

Pengertian Pembuktian Secara Yuridis

Pitlo mengartikan sertifikat ialah surat-surat yang ditandatangani, di buat untuk digunakan sebagai bukti, dan untuk di pergunakan oleh orang, untuk keperluan siapa surat itu di buat.[12] Dari definisi di atas, jelaslah bahwa tidaklah semua sanggup disebut akta, melainkan hanya surat-surat tertentu yang memenuhi syarat-syarat sanggup disebut akta. Adapun syarat yang harus dipenuhi adalah:
1. Surat itu harus ditandatangani
Keharusan ditandatangani sesuatu surat untuk disebut sertifikat ditentukan dalam Pasal 1868 KUHPerdata yang berbunyi “suatu akta, yang lantaran tidak berkuasa atau tidak cakapnya pegawai termaksud di atas. Atau lantaran suatu cacat dalam bentuknya, tidak sanggup di berlakukan sebagai alat otentik, namun demikian memiliki kekuatan sebagai goresan pena di bawah tangan jika ditandatangani oleh pihak.

2. Surat itu harus memuat Peristiwa yang Menjadi Dasar Sesuatu Hak Perikatan
Sesuai dengan peruntukkan sesuatu sertifikat sebagai alat pembuktian demi keperluan siapa itu surat di buat, maka terperinci bahwa surat itu harus berisikan sesuatu keterangan yang sanggup menjadi bukti yang di butuhkan. Peristiwa aturan yang disebut dalam surat itu dan yang di butuhkan dalam pembuktian haruslah merupakan suatu insiden aturan yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan. Jika insiden aturan disebut dalam surat itu sanggup menjadi dasar suatu hak atau perikatan, atau jika surat itu sama sekali tidak memuat insiden aturan yang sanggup menjadi dasar dari suatu hak atau perikatan, maka surat itu bukanlah akta, alasannya ialah tidaklah mungkin surat sanggup digunakan sebagai alat bukti.

3. Surat itu diperuntukkan sebagai Alat Bukti
Apakah suatu bukti surat dibentuk untuk menjadi bukti, tidak selalu sanggup dipastikan, demikian halnya mengenai sehelai surat, sanggup menimbulkan keraguan. Surat yang ditulis oleh seorang pedagang untuk menegaskan suatu persetujuan yang telah dibentuk secara lisan, ialah suatu akta, lantaran ia di buat untuk pembuktian. 

Akta otentik diatas Dibedakan menjadi 2 macam diantaranya:
- sertifikat pejabat/Ambtenaar Akta
Akta yang inisiatif pembuatan dan isinya ditentukan oleh pejabat.
Misal : isu program pemeriksaan, relaas (surat panggilan), putusan pengadilan, sertifikat kelahiran, sertifikat perkawinan → tidak ada pernyataan para pihak yang dimuat dalam akta, isi ditentukan oleh pejabat.

- sertifikat para pihak / partij Acte
sertifikat yang inisiatif pembuatannya dan isi sertifikat ditentukan oleh para pihak.
Misal : sertifikat jual beli, sewa menyewa.

b. sertifikat di bawah tangan, Stb. 1867 No. 29.
Adalah sertifikat yang dibentuk oleh para pihak sendiri tanpa dukungan pejabat yang berwenang.
Akta otentik memiliki kekuatan tepat dan meningkat.Sempurna : bahwa dengan satu alat bukti sertifikat otentik itu sudah cukup untuk memutus perkara, lantaran itu sudah cukup untuk alat bukti.

Karena dibentuk oleh atau dihadapan pejabat, pejabat yang menciptakan sertifikat ini telah disumpah. Akta yang dibentuk oleh/dihadapan pejabat harus dipercaya dan memiliki kekuatan aturan mengikat selama tidak dibuktikan sebaliknya.Asas : Unus Testis Nullus Testis, Pasal 169 HIR : artinya satu saksi bukan saksi.

Pasal 172 HIR : fatwa untuk hakim untuk menilai alat bukti.Mengikat : artinya bahwa apa yang dikemukakan di dalam sertifikat itu harus dianggap benar selama belum dibuktikan ketidakbenarannya.

Ambtenaar acte kebenarannya berlaku terhadap setiap orang. Partjic acte hanya berlaku bagi para pihak, andal waris, orang yang mendapat hak dari padanya. Lawan dari mengikat ialah bebas, artinya bahwa apakah alat bukti itu digunakan atau tidak tergantung pada hakim.

2. ALAT BUKTI SAKSI
Alat bukti kesaksian diatur di dalam Pasal 139 – 1852 HIR, 168 – 172 HIR, 165-179 R. Bg.Pasal 306-309 R. Bg, Pasal 1895, 1902 – 1912 BW. Biasanya digunakan dalam masyarakat yang sederhana, masyarakat budpekerti yang korelasi kekerabatannya masih erat.

PENGERTIAN
Pengertian kesaksian : kepastian yang diberikan kepada hakim di persidangan wacana insiden yang disengketakan yang disampaikan secara ekspresi dan pribadi oleh orang-orang yang bukan pihak yang berperkara, yang dipanggil di persidangan.[13] Dari definisi di atas sanggup disimpulkan bahwa ada tiga unsur didalam kesaksian (1). Kesaksian di persidangan, (2) Disampaikan secara lisan, (3)Harus diberikan secara pribadi, artinya tidak dikuasakan kepada orang lain, harus yang bersangkutan. 

Kewajiban untuk menghadap. 
Apabila tidak menghadap, diancam dua pasal, yaitu :

  1. Pasal 140 HIR : adanya sangsi bagi saksi yang tidak mau tiba sehabis dipanggil secara patut, maka ia dieksekusi untuk membayar beaya yang telah dikeluarkan sia-sia dan ia dipanggil sekali lagi. 
  2. Pasal 141 (2) HIR. Ketua Majelis Hakim sanggup memerintahkan supaya saksi yang tidak tiba itu dibawa oleh polisi menghadap pengadilan negeri untuk mencukupi kewajibannya.
  3. Sebelum memperlihatkan kesaksian, wajib disumpah supaya saksi memperlihatkan kesaksian yang benar sebenarnya
Kewajiban untuk bersumpah
Saksi apabila tidak mengundurkan diri sebelum member keterangan harus disumpah berdasarkan agamanya (ps.147HIR, 175 Rbg, 1911 BW jo. Ps 4 S. 1920 no 69). Oleh lantaran sumpah ini diucapkan sebelum memberi kesaksian dan berisi komitmen untuk menerangkan yang sebenarnya, maka sumpah ini disebut juga sumpah promissoir . Sumpah promissoir ini berlainan dengan sumpah confirmatoir sumpah yang diucapkan sebagai alat bukti. Apabila memperlihatkan keterangan yang tidak benar, diancam dengan pasal 242 kitab undang-undang hukum pidana : sumpah palsu. Pasal 147 jo 148 HIR : saksi wajib disumpah, apabila menolak sanggup ditahan.

Kewajiban Memberikan Keterangan
Apabila saksi sehabis disumpah enggan memperlihatkan keterangan, maka atas usul dan beaya pihak yang bersangkutan hakim sanggup memerintahkan menyandera saksi 

Ada tiga hal yang harus dikemukakan oleh saksi, yaitu: apa yang dilihat, didengar, dirasakan sendiri. Ia harus memperlihatkan alasan. Terhadap keterangan saksi ini, hakim tidak wajib percaya, kekutan pembuktiannya bebas. Pedoman evaluasi : pasal 172 HIR: kecocokan antara saksi satu dengan saksi lainnya. Tidak boleh pembuktian dengan saksi: (1) Pasal 22 KUHD : Pembuktian adanya firma oleh para pihak – akta,(2) Pasal 258 KUHD : Asuransi – polis Kecuali sudah ada bukti pendahuluan.

Kesaksian merupakan keharusan : pasal 140,141,148 HIR.
Dapat mengundurkan diri : pasal 146 HIR :

  1. Apabila memperlihatkan keterangan dikhawatirkan tidak obyektif.
  2. Saudara dan ipar
  3. Orang yang lantaran jabatannya/kedudukannya harus menyimpan diam-diam yang berkaitan dengan kedudukannya.
3. ALAT BUKTI PERSANGKAAN
Alat bukti persangkaan diatur dalam pasal Pasal 173 HIR, 310 R. Bg, 1915-1920 BW. Pasal 173 HIR : tidak memperlihatkan pengertian persangkaan. Pasal yang memperlihatkan fatwa pada hakim untuk mempertimbangkan persangkaan sebagai alat bukti. Pengertian persangkaan : pasal 1915 BW :Adalah kesimpulan-kesimpulan yang oleh undang-undang atau oleh hakim ditarik dari suatu insiden yang telah populer ke arah insiden yang belum populer dari insiden yang sudah terbukti kebenarannya kepada insiden yang belum terbukti kebenarannya.Persangkaan merupakan alat bukti yang tidak langsung. Untuk memudahkan penulis memperlihatkan teladan sebagaimana berikut:

A harus mengambarkan bahwa A tidak berada di kawasan X. Yang harus dibuktikan oleh A ialah bahwa ia pada hari dan jam yang sama ia berada di kawasan Y. sehingga otomatis ia tidak berada di kawasan X pada hari dan jam yang sama.

Persangkaan ada dua macam :

  1. Persangkaan Undang-Undang / praesumptiones yuris – pasal 1916 BW
  2. Persangkaan hakim / praesumptiones facti – pasal 173 HIR
Pengertian persangkaan Undang-Undang (Pasal 1916 BW)
Yaitu suatu persangkaan yang berdasarkan suatu ketentuan khusus Undang-Undang yang dihubungkan dengan perbuatan-perbuatan tertentu atau peristiwa-peristiwa tertentu. Dalam teori aturan program perdata, persangkaan UU dibedakan atas dua macam :

1. Praesumptiones Yuris Tantum
Yaitu persangkaan Undang-Undang yang sanggup diajukan bukti lawan, hal ini paling banyak jumpai didalam Undang-Undang.


Contoh : pasal 250 BW : anak yang dilahirkan dalam perkawinan memperoleh suami sebagai bapaknya.

Misal : A dan B menikah tahun 1998. Kemudian A pergi kiprah belajar. Oktober 2001 B melahirkan anak X. A sanggup menyangkal bahwa ia bukan ayahnya (pembuktian terbalik).

Pasal 633,668,662 BW : menyangkut duduk masalah keterangan. Kebanyakan persangkaan tatum ini sanggup dibuktikan lawan.

2. Praesumptiones Yuris Et De Jure

Yaitu persangkaan UU yang tidak sanggup diajukan bukti lawan.
Contoh : pasal 184,911,1681 BW.

Menurut Pitlo, persangkaan yang memungkinkan bukti lawan, pada hakekatnya bukanlah persangkaan.
Persangkaan UU, pembuktiannya terbalik, kekuatan pembuktiannya bersifat memaksa, artinya apa yang disebutkan UU harus dianggap benar sebelum dibuktikan sebaliknya.

Pengertian Persangkaan Hakim
Adalah kesimpulan-kesimpulan yang ditarik oleh hakim dari peristiwa-peristiwa yang populer ke arah insiden yang belum terkenal/belum terbukti.

Kekuatan pembuktiannya bebas, artinya terserah pada hakim, teladan :

  • Perizinan pembuktiannya sangat sulit. Apabila ada pria dan wanita yang bukan suami isteri berada dalam satu kamar dan kamar itu tertutup, maka dianggap melaksanakan perzinahan : berdasarkan prasangkaan hakim.
  • Apabila dalam perselisihan pada proses peradilan dalam hal pembukuan. Salah satu pihak yang membawa pembukuan diperintahkan membawa, tetapi pada ketika sidang ia tidak membawa, maka hakim sanggup melaksanakan persangkaan bahwa pembukuan tersebut tidak beres.
Dalam hal ini terdapat dua pendapat :

  1. Sudikno : dihentikan hanya berdasar persangkaan saja, harus disertai alat bukti lain.
  2. Azet : hakim boleh menjatuhkan putusan dengan memegang pada satu persangkaan
Dalam praktek, yang lazim ialah tidak boleh, ibarat halnya saksi, satu saksi bukan saksi : satu persangkaan bukan persangkaan.

4. ALAT BUKTI PENGAKUAN
Alat bukti legalisasi diatur di dalam Pasal 174-176 HIR, 311-313 R. Bg, Pasal 1923, 1928 BW. Pengakuan ialah keterangan sepihak yang membenarkan peristiwa, hak/hubungan aturan yang diajukan oelh pihak lawan.Tidak diharapkan persetujuan pihak lain, dengan adanya legalisasi ini membebaskan pihak lawan untuk membuktikan.

Apabila secara tertulis dalam persidangan, maka tidak sanggup dikualifikasikan / disamakan dengan alat bukti surat.

Pada dasarnya tidak sanggup dicabut kembali, tetapi ada perkecualian, apabila terdapat kesalahan pada pokok perkara.

Kekuatan pembuktian ada tiga, yaitu :

  • sempurna
  • mengikat
  • menentukan
Sempurna dan mengikat : sanggup diajukan bukti lawan, masih mungkin putusan sanggup berubah apabila pihak sanggup mematahkan bukti lawan.

Ada tiga macam legalisasi di dalam sidang :
a. Pengakuan murni
Adalah legalisasi terhadap seluruh dalil-dalil yang dikemukakan oleh penggugat tanpa embel-embel.
Pengakuan yang sifatnya sederhana dan sesuai sepenuhnya dengan tuntutan pihak lawan.
Pasal 176 HIR menyatakan bahwa legalisasi murni dihentikan dipisah-pisah.

Pengakuan murni tidak perlu pembuktian.
Misal : dalam sidang masalah hutang piutang, A mendalilkan B memiliki hutang 100 juta, B dalam jawabannya menyatakan bahwa B memang punya hutang kepada A sebesar 100 juta.

b. Pengakuan kwalifikasi
Adalah legalisasi yang disertai sangkalan atau sanggahan dari sebagian tuntutan penggugat.

Misal : A dan B dalam sengketa jual beli rumah. A menyampaikan bahwa B belum membayar, sedangkan B menyatakan bahwa ia betul telah mebeli rumah, tapi tidak seharga 70 juta, melainkan 50 juta. Seharusnya A tidak perlu mengambarkan adanya jual beli. Pengakuan B ini berdasarkan pasal 176 HIR dianggap tidak mengaku, sehingga tetap harus mengambarkan jual beli telah terjadi dalam B mengambarkan bahwa harga murah tersebut ialah 50 juta.

c. Pengakuan klausula
Adalah legalisasi yang disertai bantahan atau sanggahan yang bersifat membebaskan.
Misal : A dan B melaksanakan jual belil rumah seharga 70 juta. B mengakui telah terjadi jual beli rumah seharga 70 juta, B menyatakan telah membayar sejumlah 70 juta, sehingga B harus mengambarkan bawa ia telah membayar sejumlah 70 juta. Hal ini berdasarkan pasal 176 HIR dianggap tidak mengaku. Konsekuensinya : tetap harus mengambarkan jual beli dan B tetap harus mengambarkan telah membayar.

Tujuan pasal 176 HIR ialah untuk melindungi debitur-debitur kecil dari perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh kreditur.

Menurut Prof. Dr. Wiryono Prodjodikoro, S.H., pasal 176 HIR sangat mengecewakan dan tidak masuk akal, lantaran sudah mengaku tetapi masih harus mengambarkan lagi. Beliau memperlihatkan saran : sebaiknya diserahkan pada hakim untuk memutuskan bukan menganulir pasal 176 HIR.Pengakuan yang dibentuk dalam persidangan memiliki kekuatan pembuktian.

Pengakuan yang dibentuk diluar persidangan :

  1. Tertulis : diserahkan pertimbangan sepenuhnya kepada hakim, tidak memiliki kekuatan pembuktian : memiliki kekuatan pembuktian yang bebas.
  2. Lisan :bukan merupakan alat bukti.
5. ALAT BUKTI SUMPAH
Sumpah ialah suatu pernyataan yang khidmat yang diberikan atau diucapkan pada waktu member komitmen atau keterangan dengan mengingat akan sifat mahakuasa dari pada Tuhan, dan percaya bahwa siapa yang memberi keterangan atau komitmen yang tidak benar akan dhukum olehnya. Kaprikornus pada hakekatnya sumpah merupakan tindakan yang bersifat religious yang digunakan dalam peradilan.

Alat bukti sumpah diatur dalam pasal 155, 156, 158, 177 HIR, 182, 183, 314 R. Bg. Disebut sebagai sumpah confirmatoir, yaitu sumpah sebagai alat bukti.Yang menjadi alat bukti bukan upacara penyumpahannya, tetapi legalisasi atau keterangan dari salah satu pihak di muka persidangan yang dikuatkan dengan sumpah.Dalam HIR, sumpah dibedakan menjadi :
1. Decisoir – Pasal 156 HIR
Disebut juga sumpah pemutus, lantaran sehabis diucapkan sumpah decisoir hakim sanggup eksklusif memutus perkara.

Sumpah decisoir ini dilakukan atas usul salah satu pihak. Sumpah ini tidak diharapkan syarat-syarat, contohnya alat bukti permulaan, tidak ada alat bukti sama sekali boleh.

Sumpah decisoir sanggup dikembalikan artinya apabila yang minta sumpah decisior ialah penggugat, sedangkan tergugat tidak bersedia, maka tergugat sanggup mengembalikannya pada penggugat untuk disumpah decisior.

Untuk melaksanakannya diharapkan dua syarat :
a. Litis decisoir
Yang disumpahkan harus insiden yang dipersengketakan dalam persidangan.

b. Persoonlijk daad
Harus peruatan pribadi, dihentikan peruatan orang lain.

Pihak yang meminta untuk menyumpah pihak lawan berrati ia melepaskank hak. Dalam pelaksanaannya sumpah ini sanggup berupa sumpah pocong, klenteng, dll.

2. Supletoir – Pasal 155 (1) HIR, 182 R. Bg.
Disebut juga sumpah penambah, ialah sumpah yang dibebankan oleh hakim lantaran jabatannya kepada salah satu pihak.
Syarat :
Harus ada permulaan pembuktian.
Tujuan dari sumpah supletoir ialah untuk menambah alat bukti yang ada, lantaran alat bukti yang ada belum lengkap.

3. Aestimatoir – Pasal 155 (2) HIR, 182 R.Bg
Disebut juga sumpah penaksir, ialah sumpah yang dibebankan oleh hakim kepada pihak penggugat untuk memastikan besarnya kerugian yang diderita oleh penggugat (hakim officio).

Sumpah ini dilakukan apabila tidak ada bukti, contohnya sulit dibuktikan alasannya ialah sudah musnah, kebakaran.
Sumpah decisoir tidak menghipnotis putusan hakim, sedangkan kepalsuan sumpah supletoir dan sumpah aestimatoir sanggup menghipnotis putusan yang dijatuhkan oleh hakim, lantaran merupakan sumpah yang dibebankan oleh hakim.

Sumpah sanggup dikuasakan, hanya saja kuasanya ialah kuasa khusus untuk mengangkat sumpah dan biasanya isi sumpah tersebut sudah disebutkan dalam surat kuasa khusus tersebut.

SUMPAH PEMUTUS
SUMPAH PENAMBAH 

  1. Harus mengenai apa yang dilakukan sendiri oleh yang bersumpah.
  2. Apabila pihak yang diminta bersumpah menolak, ia sanggup mengembalikan
  3. Tidak sanggup diajukan bukti perlawanan. 

  • Tidak harus mengenai apa yang dilakukan sendiri.
  • Tidak boleh dikembalikan kepada pihak lawan lantaran merupakan inisiatif hakim.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel