Pengertian Filsafat Perennial Dan Islam

ISLAM DAN FILSAFAT PERENNIAL
Istilah Filsafat Perennial diduga untuk pertama kali digunakan di dunia Barat oleh seorang berjulukan Augustinus Steuchus [1497- 1548] sebagai judul karyanya, De perenni philosophia, yang diterbitkan pada tahun 1540,1 untuk kemudian dipopulerkan oleh Leibnitz dalam sepucuk suratnya yang ditulis pada tahun 1715.2

Dalam perspektif penggagasnya, filsafat Perennial dipandang sebagai filsafat yang bisa menjelaskan segala kejadian yang bersifat hakiki (esensi), menyangkut kearifan yang dibutuhkan dalam menjalankan hidup yang benar, yang menjadi hakikat dari seluruh agama-agama dan tradisitradisi besar spiritualitas manusia. Oleh karenanya, filsafat ini--sekali lagi oleh penggasnya, dipandang--sangat penting lantaran melalui filsafat inilah kita bisa memahami kompleksitas perbedaan antar tradisi dan agama, yang selama ini dianggap banyak orang--bahkan oleh para mahir agama sekalipun--bahwa yang ada dalam realitas agama-agama hanya perbedaan saja.

Inti pandangan filsafat perennial yakni bahwa dalam setiap agama dan tradisi-tradisi esoterik terdapat suatu pengetahuan dan pesan keagamaan yang sama yang muncul melalui bermacam-macam nama dan dibungkus dalam banyak sekali bentuk dan simbol. Dengan kata lain, dalam bentuk eksoteris agama-agama terdapat kesatuan transenden esoterikal, yang sanggup mengantarkan para pemeluk agama pada perspektif yang genuine dan original dalam memandang kebhinekaan agama.

Makalah ini akan mengkaji wacana hal tersebut, dengan bertitik lokus pada seorang tokoh penggagasnya, yang sehabis masuk Islam mengganti namanya dengan Muhammad Isa Nur al-Din.

Islam dan Filsafat Perennial
Dalam perspektif, kepercayaan wacana tauhid dalam islam ternyata tidak secara langsung esensi pesannya hanya milik islam, melainkan terlebih merupakan inti setiap Agama. Konsep kewahyuan dalam Islam dimaknai sebagai penegasan kepercayaan wacana tauhid.

Secara historis tradisi intelektual Islam telah menampakkan dalam dua aspek yaitu gnostik ( ma’rifah atau ‘irfân ) dan filsafat atau teosof (al-hikmah) Filsafat Perenial memandang bahwa sumber-sumber dari kebenaran unik yang merupakan Agama yang benar ( dîn al-haq) sudah terdapat dalam ajaran-ajaran para Nabi dan ‘ârifîn terdahulu. Menurut Schuon, anutan tersebut sudah terdapat semenjak Nabi Adam yang kemudian dikembangkan oleh Nabi Idris yang dalam tradisi filsafat Yunani diidentikkan dengan Hermes--sebagai “ father of philosophers” ( abû al- hukamâ’).

Lebih lanjut, dalam Islam tradisi Perennial begitu kental terdapat dalam hampir seluruh bidang kajian tasawuf. Menurut Nasr, tasawuf dalam Islam banyak dipengaruhi oleh orang-orang suci terdahulu semisal Pythagoras, Plato dll.

Dalam pandangan Islam banyak orang suci yang hidup sebelum Nabi Muhammad, termasuk orang yang bertauhid meskipun secara literer kebahasaan tidak mengucapkannya dalam Bahasa Al-Qur’an .

Bahkan al-qur’an sendiri secara tegas menyatakan bahwa setiap umat itu niscaya ada Nabinya meskipun al-Qur’an tidak menyebutnya secara eksplisit, sehingga kajian historis tidak bisa menjangkaunya untuk menandakan data tersebut. 

Mereka itu semua juga banyak memperlihatkan efek terhadap aliran sufisme Islam yang di dalamnya sarat dengan pesan yang tersirat primordial kenabian.

Dalam perspektif filsafat perenial, Islam yang dibawa Muhammad –dilihat dari sisi anutan dasarnya-- sesungguhnya bukanlah anutan baru, melainkan kelanjutan dan penegasan kembali dari anutan para utusan Tuhan sebelumnya. Kata al-Din, contohnya yang mungkin sangat cocok diterjemahkan dengan istilah tradition, tidak sanggup dipisahkan dari inspirasi mengenai kearifan abadi, sophia perennis, yang juga di sebut philosophia perennis, sebagaimana dipahami oleh banyak orang semisal A.K.

Coomaraswamy. al-Din yang diterjemahkan sebagai “ikatan“ atau “dominasi” oleh sesuatu yang derajatnya lebih rendah dari insan itu sendiri, merupakan tradisi dan huruf insan primodial, yaitu insan yang perilaku tauhidnya belum tercemari oleh nafsu pemujaan terhadap berhala materi. Jika insan tidak melaksanakan ketundukan atau kepasrahan kepada Yang Mutlak, maka yang terjadi yakni insan niscaya akan tunduk kepada yang relatif.

Baca juga; Pengertian Interrelasi Islam Dan Ekonomi

Maka jika ini terjadi, jatuhlah derajat kemanusiaannya, lantaran makhluk Tuhan selain insan yakni bearda pada posisi di bawah derajat manusia. Makara implikasi dari perilaku tunduk dan pasrah kepada Yang Mutlak yakni sebuah pembebasan insan untuk tidak membiarkan dirinya terjajah oleh sesuatu ynag lebih rendah dari dirinya. Dengan demikian , hanya Dialah ( Yang Mutlak ) yang pantas kita lihat ke atas dan hanya kepada-Nya lah kita bersujud. Dalam ungkapan Aldous Huxley: “ The perennial philosophy will do something to preserve men and women from the temptation to idolatrous worship of things is time – hurch –worship, state worship, revolutionary future worship, humanistic worship all of them essentially and necessarily opposed to charity.”3

Semangat inilah yang sesungguhnya juga dikandung oleh kalimat syahadat, yang bagaikan suatu garis demarkasi atau pintu gerbang yang secara formal wajib dikrarkan bagi seseorang yang menyatakan memeluk Islam. Pernyataan ini sebetulnya bukanlah hal yang gres dalam diri manusia, melainkan hanya menegaskan, mengingatkan dan mengungkapkan kembali benih monoteisme yang telah tertanam dalam lembaran hati yang paling dalam yang merupakan fitrah manusia. Dalam tradisi tasawuf kualitas insan primordial ini biasanya dirujukkan kepada al-Qur’an suart ke –7 ayat 172.

Dalam tradisi tasawuf, sebagaimana juga dalam filsafat perennial, antara Tuhan dan insan dihubungkan dengan gelora cinta. Iman yakni respon insan terhadap kasih yang memancarkan dari Yang Maha Kasih. Dengan cinta kasih tersebut, maka hidup ini lebih dinamis dan  produktif. Hanya mereka yang hatinya penuh kasih yang bisa membuatkan kasih dengan sesamanya. Dan mereka yang hatinya miskin dan kering dari pancaran kasih, maka hidupnya diwarnai oleh ketamakan dan kegelisihan. Dalam tradisi perennial, pancaran kasih sayang insan akan segera meredup yang hasilnya bermuara kedalam suasana alienasi- jika hatinya tidak diikatkan dengan Tuhan, sumber kasih yang Maha Kasih dan Tak terbatas.

Konsep Filsafat Perennial:
Menelusuri Konteks Kebhinekaan Agama Filsafat Perennial ( philosophia perennis) dalam definisi teknisnya yakni pengetahuan yang selalu ada dan akan selalu ada. Filsafat ini berusaha memperlihatkan kaitan seluruh eksistensi yang ada di alam semesta ini, dengan realitas yang Absolut. 

Realisasi pengetahuan ini dalam diri manusia, hanya sanggup dicapai melalui apa yang sudah semenjak zaman Plotinus lewat bukunya The six Eneads- disebut “intelek” (soul/spirit), yang “jalannya” pun hanya bisa dicapai melalui tradisi-tradsi ritusritus, simbol-simbol dan sarana-sarana yang memang diyakini sepenuhnya oleh kalangan perennial ini sebagai berasal dari Tuhan. Dasar-dasar teoretis pengetahuan tersebut, ada dalam setiap tradisi keagamaan yang otentik , yang dikenal dengan banyak sekali konsep.

Kalau disebut perennial religion, maksudnya yakni terdapat hakikat yang sama dalam setiap agama, yang dalam istilah filsafat agama sering disebut dengan relegion of the heart, meskipun terbungkus dalam wadah/jalan yang berbeda.

Kehadiran sebuah agama yakni untuk menjelaskan apa yang sesungguhnya sudah tertanam dalam fitrah manusia. Kedatangan setiap agama yang otentik yakni untuk mengingatkan kembali insan pada panggilan abadinya dalam kehidupan. 

Agama yakni “fitrah yang diturunkan” [alfitrah al-munazzalah]. Fitrah ini sering dilupakan lantaran penyalahgunaan kebebasan yang ada pada manusia. Maka, pada saat-saat paling krisi dalam kehidupan rohani manusia, akan selalu tiba agama yang akan mengingatkan lagi hakikat kejadiannya itu. Realisasi perennial religion karenanya, akan menghasilkan kebijaksanaan yang menjadi dasar kehidupan manusia.

Makara hakikat daripada agama yang perennial yakni “mengikatkan insan pada Tuhan.” Kata ini sesungguhnya biasa dan sering didengar, tetapi lantaran tidak adanya kesadaran perennial, maka menjadi sangat verbal. Padahal, dari sudut pengertian perennial, ini menjadi dasar kehidupan beragama sebagai jalan menjadi alamiah, demi kebajikannya sendiri.

Dengan wawasan ini, sangat mungkinlah dicapai suatu “kesatuan transenden agama-agama” atau istilah orisinil yang dicapai Fritjof Schuon yakni The Transcendent Unity of Religion. Tetapi kesatuan agama-agama ini hanya berada dan bisa dipahami pada level “esoterik” [istilah Huston Smith] “essensial” [istilah baghavan Das], atau transenden” [istilah Fritjof Schuon, Sayyed Hossein Nasr dan tentu saja pengikut setia filsafat perennial sendiri]. Sebaliknya kesatuan agama-agama tidak berada pada level eksoterisme [lahiriah]. Ada metafor manis sekali, yang biasa digunakan perennialis untuk mengilustrasikan kesatuan agama-agama lain. Jika esoterisme yakni cahaya, maka setiap agama menangkap cahaya itu dalam banyak sekali warna [sebagai agamaagama] dan banyak sekali “daya terang” –ada yang terang sekali, ada yang menengah dan ada juga yang samar-samar. Maksudnya tentu saja pada perumusan kepercayaan metafisiknya. Tetapi dari sudut pandang filsafat perennial, adanya aneka warna cahaya berikut “daya terang”nya tidaklah penting lantaran : (1) Walaupun ada banyak sekali macam cahaya, tetapi semua itu tetap dinamakan cahaya. Jadi, kalau agama itu otentik tetap ada core yang sama; (2) Walaupun cahaya mempunyai daya terang yang beragam, tetapi semua cahaya [sumber agama itu, yakni Tuhan], sekalipun ada yang tipis dan remang-remang. Sebab, jika ia terus menelusuri cahaya itu, ia akan tetap hingga kepada sumbernya. Karena itu hakikat agama yakni adanya sense of the absolute pada diri manusia, sehingga ia mencicipi terus menerus adanya “Yang absolut” pada dirinya.

Disinilah insan mencicipi makna simbolik kehadiran Tuhan. Wujud hakikat agama itu, sesungguhnya bukan hanya merupakan pengetahuan, tetapi juga kebijaksanaan sekaligus. Itulah sebabnya, hakikat agama sering disebut sebagai scientia sacra yang berarti pengetahuan suci atau devine knowledge. Pengetahuan ini dialami –bukan sekadar diyakini- berasal dari “Alam Surgawi,” yang kemudian diturunkan sebagai wahyu dengan banyak sekali cara/metode. Oleh lantaran itu, harmoni [kesatuan agama-agama] berada dalam “langit ilahi” [esoteris, transenden], bukan dalam “atmosfir bumi” [eksoteris].

Dengan perspektif bahasa filsafat perennial itulah, maka semua ritus, kepercayaan dan simbol-simbol keagamaan yang digunakan untuk mencapai pengertian menyeluruh mengenai dasar keagamaan tersebut, mendapat klarifikasi yang menyeluruh melalui bentuknya yang formal atau yang terpaku kokoh dalam suatu tradisi keagamaan atau dalam Islam dikonsepsikan “terpaku dalam satu shari’ah tertentu”.

Dengan cara ibarat inilah Filsafat Perennial menguraikan keanekaragaman “jalan keagamaan” yang ada dalam kenyataan historis setiap agama, bisa diterima dengan ikhlas dan penuh toleransi.Pada hakikatnya, anutan perennial Tuhan –seperti Tuhan itu sendiri- hanya satu, tapi diungkapkan dengan banyak nama dan ajaran. “Yang Satu” ini dalam pandangan perennial yakni “Yang tidak berubah”, merupakan fitrah. Mengembalikan keanekaragaman yang ada dalam kehidupan sehari-hari ini kepada “Yang tidak berubah” merupakan pesan dasar filsafat perennial, yang pada dasarnya yakni pesan keagamaan ibarat yang disebut dalam terminologi Islam al-dîn-alnashîhah [agama itu yakni pesan/nasehat].

Inilah pesan yang termuat dalam QS.al-Rûm/30:30, yang artinya; Maka hadapkanlah wajahmu kepada agama itu secara hanif, sesuai dengan fitrah Allah yang telah membuat insan atas fitrah itu. Itulah agama yang tegak lurus, namun kebanyakan insan tidak mengetahuinya.

Dengan cara transendental ini, sanggup ditemukan adanya norma-norma kekal yang hidup dalam hati setiap agama-agama besar maupun tradisi-tradisi spiritual kuno, yang oleh Fritjof Schoun [sebagai Genius terbesar Metafisika Tradisional diistilahkan dengan The Heart of Religion [jantungnya agama]. The Heart of Religion inilah yang bersifat ilahi, yang selalu disampaikan dan diajarkan oleh kalangan perennialis. Mereka beranggapan bahwa mengerti wacana hal tersebut yakni cara untuk mengerti ‘pesan ketuhanan’ kepada insan sekaligus cara insan kembali kepada Tuhannya.

Menurut Fritjof Schoun, metafisika keagamaan ini tidak terpisah sama sekali dari tradisi dan transmisi tradisional, termasuk realisasi spiritual. Metafisika inilah yang mengakibatkan setiap agama bersifat religio perennis, agama yang bersifat abadi. Metafisika ini juga yang hidup dalam hati manusia, dimana di dalamnya ada Divine Intellect, atau ibarat dikatakn Kristiani ada “Kerajaan Allah dalam hati manusia.” Dalam bahasa Meister Eickrhat, “Dalam diri insan ada sesuatu yang tidak diciptakan, dan tidak sanggup diciptakan. Itulah Intelek.”

Memang Filsafat Perennial sepenuhnya mencurahkan perhatian pada agama dalam realitasnya yang paling transenden atau metafisik yang bersifat tran-historis.

Bukan hanya agama dalam kenyataan faktual, ibarat dalam anutan religion wissenschaft, bahkan fenomenologi.

Usaha transendental-metafisis ini dilakukan untuk mendapat kunci supaya insan sanggup memahami anutan agama-agama yang sangat kompleks dan penuh teka-teki, yang tak pernah bisa diduga maknanya lewat analisis empiris saja, apalagi historis ibarat yang dilakukan oleh para mahir agama-agama selama ini.

CATATAN KAKI ARTIKEL DI ATAS
  • Hal ini bisa dilihat pada Pengantar Seyyed Hossein Nasr dalam buku Fitjof Schoun, Islam and the Perennial Philosophy, translated by J.Peter Hobson, [New York: World of Islam Festival Publishing Company, 1976], hlm. vii
  • Isinya membicarakan pencarian jejak-jejak kebenaran di kalangan para filosof kuno dan wacana pemisahan yang terang dari yang gelap sesungguhnya itulah yang dimaksud dengan filsafat perennial. Periksa Ibid.
  • Aldous Huxley, The Perennial Philosophy [New York: harper & Row, 1945], hlm. 95

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel