Pengertian Jual Beli Tanah Berdasarkan Pasal 1457 Kuuhpdt

a. Pengertian Jual Beli Tanah Menurut Pasal 1457 KUUHPdt.
Jual beli Tanah ialah suatu perjanjian dimana pihak yang mempunyai tanah yang disebut “Penjual”, berjanji dan mengikatkan diri untuk menyerahkan haknya atas tanah yang bersangkutan kepada pihak lain, yang disebut “Pembeli”. Sedangkan pihak pembeli berjanji dan mengikatkan untuk membayar harya yang telah disetujui yang dijual belikan berdasarkan ketentuan Hukum Barat ini ialah apa yang disebut “tanah-tanah hak barat”. 

Dengan dilakukannya jual beli tersebut belum terjadi perubahan apa pun npada hak atas tanah yang bersangkutan, biarpun contohnya pembeli sudah membayarn penuh harganya dan tanahnya pun secara fisik sudah diserahkan kepadanya.[14]

Hak atas tanah yang dijual gres berpindah kepada pembeli, jika penjual sudah menyerahkannya secara yuridis kepadanya, dalam rangka memenuhi kewajiban hukumnya (Pasal 1459). Untuk itu, wajib dilakukan perbuatan aturan lain, yang disebut “penyerahan yuridis” (dalam bahasa Belanda : “juridische levering”), yang diatur dalam Pasal 616 dan 620. Menurut pasal-pasal tersebut, penyerahan yuridis itu dilakukan juga di hadapan notaries, yang menciptakan aktanya, yang disebut dalam bahasa Belanda “transport acte” (akta transport). Akta transport ini wajib didaftarkan pada Pejabat yang disebut “Penyimpan hypotheek”. Dengan selesainya dilakukan registrasi tersebut, tatacara penyerahan yuridis selesai dan dengan registrasi itu hak atas tanah yang bersangkutan berpindah kepada pembeli.

Pasal-pasal KUUHPdt yang mengatur tatacara penyerahan yuridis sebagai kelanjutan dari jual beli tanah tersebut, belum pernah berlaku hingga dicabut oleh UUPA. Berdasarkan ketentuan Pasal 24 dari Bepalingen Omtrent de Invoering van en den Overgang tot de nieuwe Wetgeving (Publikasi 3 Maret 1848 S. 10), penyerahan yuridis hak atas tanah diatur dan tatacaranya ditetapkan dalam Overschrijvingsordonnatie (S. 1834-27). (Secara tidak tepat, umum disebut “Ordonansi Baliknama”). Menurut Pasal 1 Ordonansi tersebut penyerahan yuridis wajib dilakukan di hadapan Ordonansi tersebut penyerahan yuridis wajib dilakukan di hadapan Overschrijvingsambtenaar (Pejabat Baliknama), yang bertugas menciptakan sertifikat transportnya, sekaligus melaksanakan pendaftarannya. 

Ketentuan-ketentuan KUUHPdt dan Overschrijvingsordonnatie yang mengatur penyerahan yuridis itulah yang termasuk Hukum Tanah lantaran dengan dilakukannya penyerahan yuridis terjadi pemindahan hak atas tanah yang bersangkutan (Dalam sistematika di atas termasuk 2c).

Dalam Hukum Adat, “jual beli tanah” bukan perbuatan aturan yang merupakan apa yang disebut “perjanjian obligatoir”. Jual beli tanah dalam Hukum Adat merupakan perbuatan aturan pemindahan hak dengan pembayaran tunai. Artinya, harga yang disetujui bersama dibayar penuh pada ketika dilakukan jual beli yang bersangkutan. Dalam Hukum Adat tidak ada pengertian penyerahan yuridis sebagai pemenuhan kewajiban aturan penjual, lantaran justru apa yang disebut “jual beli tanah” itu ialah penyerahan hak atas tanah yang dijual kepada pembeli yang pada ketika yang sama membayar penuh kepada penjual harga yang telah disetujui bersama. Maka jual beli tanah berdasarkan pengertian Hukum Adat ini pengaturannya termasuk Hukum Tanah.[15]

3. Dalam jual beli supaya tidak ada sengketa di kemudian hari ada aturan jual beli yang harus dipenuhi rukun-rukun jual beli antara lain. 

a. Adanya penjual dan pembeli 
Syaratnya ialah : 
  • Berakal, biar tidak terkecoh. Orang yang gila atau ndeso tidak sah jual belinya. 
  • Dengan kehendak sendiri (bukan dipaksa
  • Tidak mubazir (pemboros), alasannya harta orang yang mubazir di tangan walinya. 
  • Baligh atas dalam aturan perdata cakap yang sudah berumur 15 tahun keatas / dewasa. 
b. Adanya barang yang dimiliki sendiri 
c. Adanya alat untuk melaksanakan pembayaran (uang).[16]

Dalam pasal 1473 dan 1476 bahwa penjual wajib menyatakan dengan jelas, untuk apa ia mengikatkan dirinya. Janji yang tidak terang dan sanggup diartikan dalam banyak sekali pengertian harus ditafsirkan untuk kerugiannya. Adapun biaya penyerahan barang dipikul oleh penjual, sedangkan biaya pengambilan dipikul oleh pembeli kecuali lantaran diperjanjikan sebaliknya. 

Adapun kewajiban utama pembeli ialah pembayaran harga pembelian pada waktu dan tempat yang ditetapkan di dalam perjanjian pasal 1513 KUHPdt.[17]


Dalam pasal 1457 KUUH-Pdt jual beli ialah suatu perjanjian-perjanjian antara 2 belah pihak. Adapun kata perjanjian yang dirumuskan dalam pasal 1313 KUHPdt, yaitu suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih ketentuan pasal 1313 KUHPdt ini kurang tepat, lantaran ada beberapa kelemahan antara lain : 
  1. Hanya menyangkut sepihak saja. Hal ini sanggup diketahui dari rumusan kata kerja “mengikatkan diri”, sifatnya hanya tiba dari satu pihak saja, tidak dari kedua belah pihak.
  2. Kata perbuatan menyangkup juga tanpa consensus. Dalam pengertian buatan” termasuk juga tindakan penyelenggaraan kepentingan.
  3. Pengertian perjanjian dalam buku 11 KUHPdt sebetulnya hanya mencakup perjanjian yang bersifat kebendaan, bukan bersufat kepribadian.
Adapun unsur-unsur dalam perjanjian ialah : 
  1. Ada pihak-pihak sedikitnya dua orang (subjek) 
  2. Ada persetujuan pihak-pihak itu 
  3. Adanya obyek yang berupa benda 
  4. Adanya tujuan bersifat kebendaan 
  5. Ada bentuk tertentu mulut maupun tulisan 
Perjanjian yang sah ialah perjanjian yang memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan oleh undang-undang. Perjanjian yang sah dialasi dan diberi akhir hukum. Menurut ketentuan pasal 1320 KUHPdt. Adapun syarat syaratny antara lain: 
  1. adanya persetujuan antara pihak pihak yang menciptakan perjanjian (konsesus)
  2. ada keakapan pihak pihak untuk mebuat perjanjian (capacity)
  3. adanya suatu hal tertentu (obyek)
  4. adanya suatu alasannya yang halal (causa)
b. Pengertian Tanah dan Hukum Tanah 
1. Pengertian Tanah
Sebutan tanah dalam bahasa kita sanggup digunakan dalam banyak sekali arti. Maka dalam penggunaannya perlu diberi batasan, biar diketahui dalam arti apa istilah tersebut digunakan.

Dalam Hukum Tanah kata sebutan “tanah” digunakan dalam arti yuridis, sebagai suatu pengertian yang telah diberi batasan resmi oleh UUPA.

Dalam Pasal 4 dinyatakan, bahwa Atas dasar hak menguasai dari Negara…ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang sanggup diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang… 

Dengan demikian jelaslah, bahwa tanah dalam pengertian yuridis ialah permukaan bumi (ayat 1). Sedang hak atas tanah ialah hak atas sebagian tertentu permukaan bumi, yang berbatas, berdimensi dua dengan ukuran panjang dan lebar.

Tanah diberikan kepada dan dipunyai oleh orang dengan hak-hak yang disediakan oleh UUPA, ialah untuk digunakan atau dimanfaatkan. Diberikannya dan dipunyainya tanah dengan hak-hak tersebut tidak akan bermakna jika penggunaannya terbatas hanya pada tanah sebagai permukaan bumi saja. Untuk keperluan apa pun tidak bisa tidak, niscaya dibutuhkan juga penggunaan sebagian badan bumi yang ada di bawahnya dan air serta ruang yang ada di atasnya. Oleh lantaran itu dalam ayat (2) dinyatakan bahwa hak-hak atas tanah bukan nhanya menunjukkan wewenang untuk mempergunakan sebagian tertentu permukaan bumi yang bersangkutan, yang disebut “tanah”, tetapi juga badan bumi yang ada di bawahnya dan air serta ruang yang ada di atasnya. 

Dengan demikian makna yang dipunyai dengan hak atas tanah itu ialah tanahnya, dalam arti sebagian tertentu dari npermukaan bumi. Tetapi wewenang memakai yang bersumber npada hak tersbeut diperluas hingga mencakup juga penggunaan “sebagian badan bumi yang ada di bawah tanah dan air serta ruang yang ada di atasnya”. 

Tubuh bumi dan air serta ruang yang dimaksudkan itu bukan kepunyaan pemegang hak atas tanah yang bersangkutan. Ia hanya diperbolehkan menggunakannya. Dan itu pun ada batasnya menyerupai yang dinyatakan dalam Pasal 4 ayat (2) dengan kata-kata : sekedar dibutuhkan untuk kepentingan yang pribadi bekerjasama dengan penggunaan tanah itu, dalam batas-batas berdasarkan undang-undang ini (yaitu : UUPA) dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi. 

Sedalam berapa badan bumi itu boleh digunakan dan setinggi berapa ruang yang ada di atasnya boleh digunakan, ditentukan oleh tujuan penggunaannya, dalam batas-batas kewajaran, perhitungan teknis kemampuan badan buminya sendiri, kemampuan pemegang haknya serta ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.

Penggunaan badan bumi itu harus ada hubungannya pribadi dengan gedung yang dibangun di atas tanah yang bersangkutan. Misalnya untuk pemancangan tiang-tiang pondasi, untuk basement, ruang parker dan lain-lain keperluan yang pribadi bekerjasama dengan pembangunan dan penggunaan gedung yang dibangun. Lihat BAB XII. 

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1994) tanah ialah :
  1. Permukaan bumi atau lapisan bumi yang di atas sekali;
  2. Keadaan bumi di suatu tempat
  3. Permukaan bumi yang diberi batas;
  4. Bahan-bahan dari bumi, bumi sebagai materi sesuatu (pasir, cadas, napal dan sebagainya).[18]
c. Pengertian Hukum Tanah
Tanah sebagai penggalan dari bumi. Disebutkan dalam pasal 4 ayat (1) UUPA yaitu atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam pasal 12 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi yang disebut tanah, yang sanggup diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bahu-membahu dengan orang lain, serta Badan Hukum. Dengan demikian, jelaslah bahwa tanah dalam pengertian yuridis ialah permukaan bumi, sedangkan hak atas tanah ialah hak atas sebagian tertentu permukaan bumi, yang berbatas, berdimensi dua dengan ukuran panjang dan lebar.[19]

Sebelum memasuki pada pengertian aturan tanah, maka kita uraikan dulu pengertian hukum. Hukum ialah sesuatu yang ajaib yang tidak sanggup dilihat tetapi sanggup dirasakan adanya, itu sebabnya hingga ketika ini belum didapatkan suatu definisi wacana aturan yang tepat dan tepat yang diterima oleh setiap orang (Apeldorn, 1980)[20]. 

Menurut rs. E. Utrecht, S.H. aturan ialah himpunan peraturan-peraturan (perintah dan larangan) yang mengurus tata tertib suatu masyarakat dank arena itu harus ditata oleh masyarakat itu (Ulrecht, 1957)[21]

Effendi Perangin menyatakan bahwa aturan tanah ialah keseluruhan peraturan-peraturan aturan baik yang tertulis maupun tidak terdaftar yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah yang merupakan lembaga-lembaga aturan dan hubungan-hubungan aturan yang kongkret.[22]

Dari banyak sekali uraian di atas sanggup kita garis bawahi bahwasannya aturan tanah nadalah keseluruhan ketentuan aturan baik tertulis maupun tidak tertulis, yang semuanya mempunyai objek pengaturan yang sama yaitu hak-hak penguasaan atas tanah sebagai lembaga-lembaga aturan dan sebagai kekerabatan aturan yang konkrit, beraspek pablik dan privat, yang sanggup disusun dan dipelajari secara sistematis hingga keseluruhannya menjadi satu kesatuan yang merupakan satu system.[23]

Objek aturan tanah ialah hak penguasaan atas tanah, yang dimaksud hak penguasaan atas tanah ialah hak yang berisi serangkaian wewenang, kewajiban, atau larangan-larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dihaki, sesuatu yang boleh, wajib/dilarang untuk diperbuat yang merupakan isi hak penguasaan itulah yang menjadi kriteria atau tolok ukur pembeda diantara hak-hak penguasaan atas tanah yang diatur dalam aturan tanah.[24]

3. Sistematika Pengaturan Hak-Hak Penguasaan Atas Tanah
Dengan pendekatan pengertian hak penguasaan atas tanah sebagai, “lembaga hukum” dan “hubungan aturan konkret”, nketentuan-ketentuan aturan yang mengaturnya ndapat disusun dan dipelajari dalam suatu sistematika yang khas dan masuk akal.


Dikatakan “khas”, lantaran hanya dijumpai dalam Hukum Tanah dan tidak dijumpai dalam cabang-cabang Hukum yang lain. Dikatakan “masuk akal” lantaran gampang ditangkap dan diikuti logikanya. 

1. Ketentuan-ketentuan Hukum Tanah yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah sebagai forum aturan :
  • Memberi nama pada hak penguasaan yang bersangkutan;
  • Menetapkan isinya, yaitu mengatur apa saja yang boleh, wajib dan tidak boleh untuk diperbuat oleh pemegang haknya serta jangka waktu penguasaannya;
  • Mengatur hal-hal mengenai subyeknya, siapa yang boleh menjadi pemegang haknya dan syarat-syarat bagi penguasaannya;
  • Mengatur hal-hal mengenai tanahnya. 
2. Ketentuan-ketentuan Hukum Tanah yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah sebagai kekerabatan aturan kasatmata :
  • Mengatur hal-hal mengenai penciptaannya menjadi suatu kekerabatan aturan yang konkret, dengan nama atau sebutan yang dimaksudkan dalam poin 1a di atas;
  • Mengatur hal-hal mengenai pembebanannya dengan hak-hak lain;
  • Mengatur hal-hal mengenai pemindahannya kepada pihak lain
  • Mengatur hal-hal mengenai hapusnya;
  • Mengatur hal-hal mengenai pembuktiannya.
Dengan memakai sistematika di atas, ketentuan-ketentuan Hukum Tanah bukan saja sanggup diadakan, disusun dan dipelajari secara teratur, tetapi juga akan dengan gampang diketahui ketentuan-ketentuan apa yang termasuk Hukum Tanah dan apa yang bukan.

Hanya ketentuan-ketentuan aturan yang mengatur hal-hal yang disebutkan di atas dan yang termasuk dalam sistematika di atas saja yang merupakan ketentuan-ketentuan Hukum Tanah. Penentuan batas dengan bidang Hukum yang lain itu mempunyai juga manfaat praktis, lantaran semenjak mulai berlakunya UUPA Hukum Tanah kita sudah diunifikasikan, sedang Hukum Privat, terutama Hukum Pardata, masih dualistic.

3. Ketentuan-Ketentuan Hak Milik atas Tanah
Dalam pasal 20 ayat 1 UUPA hak milik mempunyai pengertian bahwa hak milik ialah hak turun menurun, terkuat dan terpenuhi yang sanggup dipunyai orang atas tanah.[25]

Menurut ketentuan dalam pasal 570 KUHPdt, “Hak milik ialah hak untuk menikmati suatu benda dengan sepenuhnya dan untuk menguasai benda itu dengan sebebas-bebasnya, asal tidak dipergunakan bertentangan dengan undang-undang dan peraturan umum.

Dari ketentuan pasal 570 KUHPdt sanggup diuraikan pengertian sebagai berikut.
  • Hak milik ialah hak paling utama, lantaran pemilik sanggup menikmatinya dengan sepenuhnya dan menguasai sebebas-bebasnya.
  • Dapat menikmati sepenuhnya, artinya pemilik sanggup memanfaatkan semaksimal mungkin.
  • Dapat menguasai sebebas-bebasnya.
  • Hak milik tidak boleh diganggu gugat, baik orang lain maupun penguasa, kecuali dengan alasan syarat-syarat dan berdasarkan ketentuan undang-undang.
4. Ketentuan-Ketentuan Peralihan Hak Milik
Seperti yang dijelaskan dalam pasal 20 ayat 2 “Bahwa hak milik sanggup dialihkan kepada pihak lain” dan juga pasal 23 ayat UUPA Hak Milik, demikian pula setiap peralihannya, hapusnya dan pembebanannya dengan hak-hak lain harus didaftarkan berdasarkan ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam pasal 19.

Dalam Hak Milik disebutkan padanya suatu penyerahan. Penyerahan disini mempunyai arti : pengalihan suatu benda oleh pemiliknya atau atas namanya kepada orang lain sehingga orang lain itu memperoleh hak atas benda itu. Misalnya dalam jual beli, jual beli baris dalam taraf menimbulkan hak dan kewajiban saja (obligator), tetapi belum memindahkan hak milik.

Dalam perjanjian jual beli, hibah, pinjaman hadiah, tukar-menukar penyerahan itu memindahkan hak milik. Dengan berlakunya UUPA No. 5 tahun 1960 dan peraturan pelaksanaannya, maka penyerahan benda tidak bergerak berupa tanah dan yang menempel di atasnya dilakukan dengan sertifikat otentik di muka Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Menurut peraturann yang berlaku kini Pejabat Pembuat Akta Tanah ini sanggup berupa notaris dan sanggup pula camat berdasarkan tempat kerja masing-masing. Kemudian PPAT tersebut didaftarkan ke kantor agraria setempat penggalan registrasi tanah. Atas dasar ini pejabat registrasi tanah menerbitkan sertifikat hak milik sebagai tanda bukti hak.

Adapun syarat-syarat penyerahannya yaitu :
  1. Harus ada alasan hak (title)
  2. Harus ada perjanjian kebendaan
  3. Harus dilakukan oleh orang yang berhak
  4. Harus dengan penyerahan nyata.[26]
Peristiwa-peristiwa aturan menyerupai meninggalnya seseorang, yang mengakibatkan beralihnya lantaran aturan hak atas tanah yang dipunyainya kepada hebat warisnya, pengaturannya tetap oleh Hukum Waris, lantaran tidak ada bedanya yang hakiki dengan beralihnya unsur-unsur harta peninggalan lainnya yang bukan tanah. Tetapi pembuktian mengenai telah beralihnya hak atas tanah nyang bersangkutan kepada dan pemiliknya oleh hebat waris yang bersangkutan, pengaturannya termasuk Hukum Tanah (dalam sistematika di atas termasuk poin 2e).

Sehubungan dengan itu, maka yang dimasukkan dalam poin 2c hanyalah ketentuan-ketentuan yang mengatur perbuatan-perbuatan aturan pemindahan hak, yaitu perbuatan-perbuatan aturan yang sengaja dilakukan untuk memindahkan suatu kekerabatan aturan kasatmata kepada pihak lain.

Sebagaimana dikemukakan di atas, tidak semua ketentuan aturan mengenai tanah merupakan peraturan Hukum Tanah. Sebelum berlakunya UUPA dikenal forum aturan jual beli tanah. Ada yang diatur oleh Kitab Undang-Undang Perdata (KUUHPdt) yang tertulis, dan ada yang diatur oleh Hukum Adat yang tidak tertulis.[27]

d. Tujuan Jual Beli Tanah
Pada prinsipnya tujuan dari jual beli tanah ialah untuk peralihan hak milik atas tanah yang dijelaskan dalam pasal 23 ayat 1 UUPA,”hak milik demikian pula setiap peralihannya, hapusnya dan pembebabannya dengan hak-hak lain harus didaftarkan berdasarkan ketentuan yang dimaksudkan dalam pasal 19 pasal 1 UUPA bahwa,” kepastian aturan oleh pemerintah diadakan registrasi tanah di seluruh wilayah republik Indonesia berdasarkan ketentuan-ketentuan yang diatur dengan peraturan pemerintah. 

Pendaftaran tersebut dalam ayat 1 pasal 2 mencakup : 
  • Pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah 
  • Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihannya 
  • Pemberian surat tanda bukti hak-hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. 
Dalam pasal 26 ayat 1 dan 2 UUPA jual beli penukaran penghibaan, pinjaman dengan wasiat, pinjaman berdasarkan adapt dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk memindahkan hak milik serta pengawasannya diatur dengan peraturan pemerintah. [28]

Untuk itu tujuan jual beli tanah untuk menguasai tanah secara individual, berarti bahwa tanah bersangkutan boleh dikuasai secara perorangan. Tidak ada keharusan menguasainya bahu-membahu dengan orang lain secara kolektif, biarpun menguasai dan memakai tanah secara bahu-membahu dimungkinkan diperbolehkan. 

Hal itu ditegaskan dalam pasal 4 ayat 1 yang menyatakan bahwa,” atas dasar hak menguasai dari negara sebagai yang dimaksud di dalam ayat 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang sanggup diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang baik sendiri maupun dengan orang lain.[29] \

1. Peralihan Hak Milik Atas Tanah
a) Penjualan di Bawah Tangan dalam Rangka Eksekusi 
Pada prinsipnya setiap sanksi harus dilaksanakan melalui pelelangan umum, lantaran dengan cara demikian diharapkan sanggup diperoleh harga yang paling tinggi untuk obyek, hak tanggungan yang dijual.

Dalam keadaan tertentu apabila melalui pelelangan umum diperkirakan tidak akan menghasilkan harga tertinggi, dalam keadaan tertentu apabila melalui pelelangan umum diperkirakan tidak akan menghasilkan harga tertinggi, atas kesepakatan pemberi dan pemegang HT (Hak Tagihan) dan dengan dipenuhinya syarat-syarat tertentu yang disebut dalam Pasal 20 ayat (2) dan (3), dimungkinkan sanksi dilakukan dengan carna penjualan obyek HT oleh kreditor pemegang HT di bawah tangan, jika dengan cara demikian itu akan sanggup diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak. Biarpun tidak ada penjelasannya, kiranya penjualan di bawah tangan itu dimungkinkan juga dalam hal sudah diadakan pelelangan umum, tetapi tidak diperoleh penawaran yang mencapai harga minimum yang ditetapkan.

Pelaksanaan penjualannya hanya sanggup dilakukan sesudah lewat waktu 1 bulan semenjak diberitahukan secara tertulis oleh pemberi dan/atau pemegang HTN kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Tanggal pemberitahuan tertulis ialah tanggal pengiriman pos tercatat, tanggal penerimaan melalui kurir, atau tanggal pengiriman fascsimile. Juga sesudah lewat waktu 1 bulan semenjak diadakan pengumuman dalam sedikit-dikitnya dalam 2 surat kabar yang beredar di tempat yang bersangkutan dan/atau media massa setempat lainnya, menyerupai radio dan televise. Apabila ada perbedaan antara tanggal pemberitahuan dan tanggal pengumuman, jangka waktu 1 bulan itu terhitung semenjak tanggal paling final antara kedua tanggal tersebut. Jangkauan surat kabar dan atau media massa lainnya itu harus mencakup tempat letak obyek HT yang bersangkutan.

Penjualan obyek HT “di bawah tangan” artinya penjualan yang tidak melalui pelelangan umum. Namun penjualan tersebut ntetap wajib dilakukan berdasarkan ketentuan PP24/1997 wacana Pendaftaran Tanah. Yaitu dilakukan di hadapan PPAT yang menciptakan aktanya dan diikuti dengan pendaftarannya di Kantor Pertanahan.

Persyaratan yang ditetapkan dimaksudkan untuk melindungi pihak-pihak yang berkepentingan, contohnya pemegang HT kedua, ketiga dan kreditor-kreditor bukan pemegang HT dan pemberi HT. 

b) Penjualan Di Bawah Tangan Secara Sukarela
Penjualan di bawah ntangan yang dimaksudkan itu ialah penjualan dalam rangka sanksi HT, yang ketentuannya terdapat dalam Pasal 20 yang mengatur Eksekusi Hak Tanggungan. Maka biarpun untuk itu dibutuhkan persetujuan pemberi HT, yang melaksanakan ialah kreditor pemegang HT. Bukan pemberi HT ataupun pemberi HT bersama pemegang HT. Untuk itulah dibutuhkan kesepakatan yang disebut dalam uraian 184/I (2).

Sehubungan dengan itu tidak termasuk dalam ketentuan mengenai penjualan sanksi di bawah tangan itu dengan syarat-syarat yang diuraikan di atas, penjualan obyek HT oleh pemberi HT, yang balasannya disepakati untuk digunakan melunasi piutang kreditor pemegang HT, dan disepakati pula pencucian obyek HT yang dijual dan HT yang membebaninya. Ini termasuk pengertian “penjualan sukarela”. Biarpun dibebani HT, obyek yang bersangkutan masih merupakan hak pemberi HT. Karena itu ia mempunyai hak untuk menjualnya kepada siapapun yang dikehendakinya, tidak terkecuali kepada pemegang HT sendiri. Dalam rangka melindungi kepentingan kreditor pemegang HT untuk itulah disediakan forum “droit de suite” (Uraian 176 B). Pada pihak lain kreditor pemegang HT pun berdasarkan ketentuan Pasal 18 mempunyai hak melepaskan HT yang dipunyainya. 

Sudah barang tentu penjualan itu tidak boleh dilakukan dengan maksud merugikan pihak lain, khususnya kreditor lain. Misalnya penjualan ataupun sebagai yang disebut dalam Akta Jual Beli yang bersangkutan. Dalam hal demikian jual-beli yang dilakukan sanggup dituntut pembatalannya oleh pihak yang merasa dirugikan dengan memakai forum “Action Pauliana”. (Pasal 1341 KUUHPdt).[30]

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel