Pengertian Pembuktian Secara Yuridis

A. PEMBUKTIAN
B. DISKRIPSI SINGKAT
Pembuktian secara yuridis berlainan dengan pembuktian dalam ilmu pengetahuan. Ada 2 hal yang membedakan berdasarkan Sudikno Mertokusumo[1] Pertama, berdasarkan suatu axioma, yaitu asas-asas umum yang dikenal dalam ilmu pengetahuan, dimungkinkan adanya pembuktian yang bersifat mutlak yang tidak memungkinkan adanya bukti lawan. Kedua, dalam arti konvensionil, yang memperlihatkan kepastian tetapi tidak mutlak, yaitu kepastian secara nisbi atau relatif, yang dikenal dengan dua tingkatan yaitu conviction intime (kepastian didasarkan atas perasaan belaka), dan conviction raisonne ( kepastian didasarkan atas pertimbangan akal). Pembuktian secara yuridis tidak bersifat mutlak, ada kemungkinan bukti surat, pengakuan, kesaksian itu tidak benar atau palsu atau sengaja dipalsukan. Sehingga membuka kesempatan kepada pihak lawan untuk menerangkan sebaliknya.

Lebih lanjut Drion[2] menegaskan bahwa pembuktian secara yuridis tidak lain merupakan pembuktian historis. Hal ini senada dengan pendapat Rachmi[3] yang menyampaikan bahwa salah satu kiprah hakim ialah menyelidiki apakah suatu peristiwa/hubungan aturan yang menjadi dasar somasi benar-benar ada atau tidak. sehingga sanggup disimpulkan bahwa pembuktian secara yuridis mencoba tetapkan apa yang telah terjadi secara de facto dan konkreto.

C. TUJUAN INSTUKSIONAL KHUSUS
  1. Mahasiswa sanggup menjelaskan dengan benar konsep pembuktian dalam aturan program perdata
  2. Mahasiswa sanggup menjelaskan arti surat dan saksi sebagai alat bukti
  3. Mahasiswa sanggup menjelaskan dengan benar arti persangkaan dan ratifikasi sebagai alat bukti.
D. ISI POKOK BAHASAN
Terdapat perbedaan yang tajam antara pembuktian dalam aturan program pidana dan aturan program perdata, selain perbedaan jenis alat bukti. Sistem pembuktian dalam aturan program pidana di kenal dengan “sistem negatif” negatief wettelijk bewijsleer. Tujuan dari sistem ini ialah mencari kebenaran materiil. Sedangkan dalam sistem pembuktian dalam aturan program perdata dikenal dengan “sistem positif”positief wettelijk bewijsleer. Tujuan dari sistem ini ialah mencari kebenaran formal.3.2 ASAS PEMBUKTIAN

Ada dua syarat berdasarkan Munir Fuady[4] untuk sanggup menjalankan sistem negatif, pertama, alat bukti yang cukup dan kedua, keyakinan hakim. Kaprikornus tersedianya alat bukti saja belum cukup untuk menjatuhkan sanksi kepada seorang tersangka, dibutuhkan suatu keyakinan hakim. Hal ini selaras dengan pasal 183 menyatakan bahwa:

“Hakim dihentikan menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila sengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.

Keyakinan yang dimaksud dalam aturan program pidana tidak didapatkan dalam sistem aturan program perdata. Peran hakim dalam aturan program perdata ialah mencari kebenaran formal sehingga apabila alat bukti sudah mencukupi secara hukum, maka hakim harus mempercayai dan meyakininya.

1.3 Definisi
  1. Menurut Subekti[5] definisi Membuktikan ialah meyakinkan hakim wacana kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan.
  2. 2. Yahya Harahap[6] memperlihatkan pengertian Pembuktian ialah ketentuan-ketentuan yang intinya dikatakan sebagai alat yang akan membawa pihak-pihak yang berperkara itu kearah kewenangannya atau tidak.
  3. Menurut Abdulkadir Muhammad[7], Pembuktian ialah menyajikan fakta-fakta yang cukup berdasarkan aturan untuk memperlihatkan kepastian kepada Majelis Hakim mengenai terjadinya insiden atau hubungan
Dari banyak sekali definisi diatas, definisi pembuktian berdasarkan penulis ialah tindakan Penggugat maupun Tergugat untuk meyakinkan/memberi keyakinan pada hakim akan kebenaran dalil-dalil/peristiwa yang diajukan di persidangan. Terdapat adagium : Ius Curia Novit : hakim dianggap tahu akan hukum. Artinya yang dibuktikan dalam persidangan ialah faktanya, haknya, bukan hukumnya.

Pengertian Alat Bukti dan Kekuatan Alat Bukti

Terkait pembuktian yang diajukan oleh penggugat maupun tergugat tidak semua hal harus dibuktikan, hal-hal yang tidak perlu dibuktikan ialah :
  1. Hal yang diakui, balasan pada prinsipnya ada dua macam, yaitu mengetahui dan menolak.
  2. Hal yang tidak dibantah, diamnya seseorang dianggap menyetujui.
  3. Pengetahuan hakim, ialah apa yang dilihat oleh hakim di dalam persidangan.
  4. Peristiwa notoir, yaitu insiden yang telah diketahui oleh umum.
  5. Pengetahuan wacana pengalaman, yaitu kesimpulan berdasarkan pengetahuan umum.
Penggugat harus menerangkan hal-hal yang dimuat dalam posita. Pasal 163 HIR merupakan aliran bagi hakim untuk menyidangkan sengketa perdata. Kesempatan pertama untuk menerangkan ialah penggugat hingga tuntas, kemudian sesudah itu hakim memberi kesempatan kepada tergugat.

3.3 BEBAN PEMBUKTIAN
Beban pembuktian ialah dibebankan kepada para pihak (Penggugat dan Tergugat) bukanlah kepada Hakim. Hakimlah yang memerintahkan kepada para pihak untuk mengajukan alat bukti (bewijslast, burden of proof). Pembuktian Pasal 163 HIR, 283 R, Bg, 1865 BW. Dalam Pasal 163 HIR :

“Barangsiapa yang menyampaikan memiliki barang sesuatu hak, atau menyebutkan sesuatu insiden untuk meneguhkan haknya itu, atau untuk membantah hak orang lain, maka orang itu harus menerangkan adanya hak itu atau adanya insiden itu.”

Pasal ini sering diartikan oleh para jago :“Siapa yang mendalilkan sesuatu ia harus membuktikan”.
Sehingga kiprah hakim membagi beban pembuktian yang seadil-adilnya : dibebankan pada pihak yang paling sedikit memberatkan/paling memungkinkan untuk membuktikan. Sebagai ilustrasi kasus sebagaimana berikut:

Contoh (1). Sengketa antara A dan B, jual beli. A menyampaikan telah membayar, sedangkan B menyampaikan bahwa A belum membayar.B harus menerangkan bahwa telah melaksanakan penyerahan barang (factur), sedangkan A harus menerangkan bahwa A telah membayar (kuitansi).

Diunduh [8]
Contoh (2). Sengketa waris, Pewaris (P) meninggalkan jago waris X dan Y. X sebagai Penggugat dan Y sebagai tergugat. X menggugat harta warisan kepada Y, Y menyatakan bahwa harta warisan telah dibagikan. X harus menerangkan bahwa X dan Y ialah jago waris dari P. X harus menerangkan bahwa harta warisan yang dikuasai oleh Y ialah harta warisan yang belum dibagi.

Y harus menerangkan bahwa telah terjadi pembagian harta warisan. 
Disamping asas beban pembuktian yang tercantum dalam pasal 163 HIR ( pasal 283 Rbg,1865BW) terdapat pasal-pasal yang mengatur diantaranya :

Dalam hal perusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup, maka muncullah tanggung jawab secara mutlak (strict liability) pada tergugat, bukan pada penggugat. Dalam hal ini pihak tergugat (pelaku pencemaran) yang dibebani pembuktian 

UU No 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen 

Pelaku perjuangan bertanggung jawab memperlihatkan ganti rugi atas kerugian konsumen akhir mengkonsumsi barang yang dihasilkan atau diperdagangkan, kecuali pelaku perjuangan sanggup menerangkan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen. (pasal 19 ayat (1),(2) dan (5). 
SUMBER: Sudikno: 2009 (diolah oleh penulis)

Setelah mengkritisi beban pembuktian diatas, hal yang penting bagi hakim ialah membagi beban pembuktian tersebut secara profesional (audi et elteram partem). Adanya beban pembuktian secara professional (seimbang dan patut) membawa akhir kemungkinan untuk menang bagi para pihak harus sama. Untuk lebih memperdalam beban pembuktian putusan Mahkamah Agung tanggal 28 Maret 1956 No 56 K/Sip/1956 wacana perceraian menarik untuk dikaji. Ilustrasi lengkapnya sebagai berikut. Dalam gugat cerai seorang isteri (Penggugat) terhadap suaminya (Tergugat) mengatakan, bahwa ia diusir oleh suaminya, sedang suami (Tergugat) membantahnya dengan mengatakan, bahwa si isteri (Penggugat) pergi dari rumah atas kehendak sendiri. Mahkamah Agung membebani si suami (Tergugat) dengan pembuktian, bahwa si isteri meninggalkan rumah dengan kemauan sendiri dengan pertimbangan bahwa “keterangan si suami sanggup dipertanyakan dengan perkiraan bahwa seorang isteri yang telah bertahun-tahun kawin dan dalam perkawinan telah mendapat beberapa anak, dalam kasasi merupakan suatu yang aneh, dan hal ini harus dibuktikan oleh sang suami (Tergugat) wacana kebenaran pernyataan tersebut.

3.4 ALAT BUKTI DAN KEKUATAN ALAT BUKTI

Dalam Hukum Acara Perdata hakim terikat pada alat-alat bukti yang sah. Hal ini bermakna bahwa Hakim hanya sanggup diperbolehkan mengambil keputusan berdasarkan alat bukti yang ditentukan oleh Undang-Undang. Macam-macam alat bukti terdapat dalam pasal 164 HIR, 283 R.Bg, 1866 BW.Alat bukti tersebut terdiri dari :
  1. Alat Bukti Surat 
  2. Alat Bukti Saksi
  3. Alat Bukti Persangkaan
  4. Alat Bukti Pengakuan
  5. Alat Bukti Sumpah
Tingkatan urutan macam alat bukti diatas, tidak memilih mana yang lebih kuat. Hal ini tergantung kepada variasi kasus yang tengah dihadapinya. Untuk mempertajam memahami macam-macam alat bukti akan diuraikan sebagaimana berikut:
1. ALAT BUKTI SURAT
Ada 3 macam bentuk surat yang dikenal oleh aturan program perdata, yakni (1), Surat biasa, (2) Akta Otentik, (3) Akta dibawah tangan.[9] Sedangkan berdasarkan Sudikno Mertokusumo Surat sebagai alat bukti tertulis dibagi dua yaitu surat yang merupakan sertifikat dan surat-surat lainnya yang bukan akta, sedangkan sertifikat sendiri dibagi lebih lanjut menjadi sertifikat otentik dan sertifikat dibawah tangan.

Adapun yang mengatur wacana surat tersebut diatur didalam pasal 165-167 HIR, Stb. 1867 No. 29, Pasal 282-305 R.Bg. Pengertian surat sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 165 HIR ialah surat yang ditandatangani yang memuat insiden yang menjadi dasar sesuatu hak, perikatan yang sengaja dibentuk untuk pembuktian.Merupakan segala sesuatu yang memuat tanda bacaan yang dibutuhkan untuk memberikan isi hati atau buah pikiran yang diperuntukkan sebagai alat bukti. Akta, dibedakan menjadi :
a. sertifikat otentik, pasal 165 HIR.
Adalah sertifikat yang dibentuk oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu yang memperlihatkan bukti yang tepat bagi kedua belah pihak bagi jago waris dan bagi pihak ketiga yang mendapat hak dari padanya. Sedangkan yang dimaksud dengan sertifikat ialah surat yang ditandatangani yang memuat insiden yang menjadi dasar sesuatu hak atau perikatan yang semenjak semula sengaja dibentuk untuk pembuktian. Menurut S.J. Fockeme Andreae, dalam bukunya “Rechts gereerd Handwoorddenboek, kata sertifikat berasal dari bahasa latin “acta” yang berarti geschrift[10] atau surat sedangkan berdasarkan R. Subekti dan Tjitrosudibio yang menyampaikan bahwa “acta” ialah merupakan bentuk jamak dari kata “actum” yang berasal dari bahasa latin dan berarti perbuatan-perbuatan.[11]

Pitlo mengartikan sertifikat ialah surat-surat yang ditandatangani, di buat untuk digunakan sebagai bukti, dan untuk di pergunakan oleh orang, untuk keperluan siapa surat itu di buat.[12] Dari definisi di atas, jelaslah bahwa tidaklah semua sanggup disebut akta, melainkan hanya surat-surat tertentu yang memenuhi syarat-syarat sanggup disebut akta. Adapun syarat yang harus dipenuhi adalah:
1. Surat itu harus ditandatangani
Keharusan ditandatangani sesuatu surat untuk disebut sertifikat ditentukan dalam Pasal 1868 KUHPerdata yang berbunyi “suatu akta, yang lantaran tidak berkuasa atau tidak cakapnya pegawai termaksud di atas. Atau lantaran suatu cacat dalam bentuknya, tidak sanggup di berlakukan sebagai alat otentik, namun demikian memiliki kekuatan sebagai goresan pena di bawah tangan jika ditandatangani oleh pihak.

2. Surat itu harus memuat Peristiwa yang Menjadi Dasar Sesuatu Hak Perikatan
Sesuai dengan peruntukkan sesuatu sertifikat sebagai alat pembuktian demi keperluan siapa itu surat di buat, maka terang bahwa surat itu harus berisikan sesuatu keterangan yang sanggup menjadi bukti yang di butuhkan. Peristiwa aturan yang disebut dalam surat itu dan yang di butuhkan dalam pembuktian haruslah merupakan suatu insiden aturan yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan. Jika insiden aturan disebut dalam surat itu sanggup menjadi dasar suatu hak atau perikatan, atau jika surat itu sama sekali tidak memuat insiden aturan yang sanggup menjadi dasar dari suatu hak atau perikatan, maka surat itu bukanlah akta, alasannya ialah tidaklah mungkin surat sanggup digunakan sebagai alat bukti.

3. Surat itu diperuntukkan sebagai Alat Bukti
Apakah suatu bukti surat dibentuk untuk menjadi bukti, tidak selalu sanggup dipastikan, demikian halnya mengenai sehelai surat, sanggup menjadikan keraguan. Surat yang ditulis oleh seorang pedagang untuk menegaskan suatu persetujuan yang telah dibentuk secara lisan, ialah suatu akta, lantaran ia di buat untuk pembuktian. 

Akta otentik diatas Dibedakan menjadi 2 macam diantaranya:
- sertifikat pejabat/Ambtenaar Akta
Akta yang inisiatif pembuatan dan isinya ditentukan oleh pejabat.
Misal : info program pemeriksaan, relaas (surat panggilan), putusan pengadilan, sertifikat kelahiran, sertifikat perkawinan → tidak ada pernyataan para pihak yang dimuat dalam akta, isi ditentukan oleh pejabat.

- sertifikat para pihak / partij Acte
sertifikat yang inisiatif pembuatannya dan isi sertifikat ditentukan oleh para pihak.
Misal : sertifikat jual beli, sewa menyewa.

b. sertifikat di bawah tangan, Stb. 1867 No. 29.
Adalah sertifikat yang dibentuk oleh para pihak sendiri tanpa dukungan pejabat yang berwenang.
Akta otentik memiliki kekuatan tepat dan meningkat.Sempurna : bahwa dengan satu alat bukti sertifikat otentik itu sudah cukup untuk memutus perkara, lantaran itu sudah cukup untuk alat bukti.

Karena dibentuk oleh atau dihadapan pejabat, pejabat yang menciptakan sertifikat ini telah disumpah. Akta yang dibentuk oleh/dihadapan pejabat harus dipercaya dan memiliki kekuatan aturan mengikat selama tidak dibuktikan sebaliknya.Asas : Unus Testis Nullus Testis, Pasal 169 HIR : artinya satu saksi bukan saksi.

Pasal 172 HIR : aliran untuk hakim untuk menilai alat bukti.Mengikat : artinya bahwa apa yang dikemukakan di dalam sertifikat itu harus dianggap benar selama belum dibuktikan ketidakbenarannya.

Ambtenaar acte kebenarannya berlaku terhadap setiap orang. Partjic acte hanya berlaku bagi para pihak, jago waris, orang yang mendapat hak dari padanya. Lawan dari mengikat ialah bebas, artinya bahwa apakah alat bukti itu digunakan atau tidak tergantung pada hakim.

2. ALAT BUKTI SAKSI
Alat bukti kesaksian diatur di dalam Pasal 139 – 1852 HIR, 168 – 172 HIR, 165-179 R. Bg.Pasal 306-309 R. Bg, Pasal 1895, 1902 – 1912 BW. Biasanya digunakan dalam masyarakat yang sederhana, masyarakat etika yang kekerabatan kekerabatannya masih erat.

PENGERTIAN
Pengertian kesaksian : kepastian yang diberikan kepada hakim di persidangan wacana insiden yang disengketakan yang disampaikan secara ekspresi dan pribadi oleh orang-orang yang bukan pihak yang berperkara, yang dipanggil di persidangan.[13] Dari definisi di atas sanggup disimpulkan bahwa ada tiga unsur didalam kesaksian (1). Kesaksian di persidangan, (2) Disampaikan secara lisan, (3)Harus diberikan secara pribadi, artinya tidak dikuasakan kepada orang lain, harus yang bersangkutan. 

Kewajiban untuk menghadap. 
Apabila tidak menghadap, diancam dua pasal, yaitu :
  1. Pasal 140 HIR : adanya sangsi bagi saksi yang tidak mau tiba sesudah dipanggil secara patut, maka ia dieksekusi untuk membayar beaya yang telah dikeluarkan sia-sia dan ia dipanggil sekali lagi. 
  2. Pasal 141 (2) HIR. Ketua Majelis Hakim sanggup memerintahkan supaya saksi yang tidak tiba itu dibawa oleh polisi menghadap pengadilan negeri untuk mencukupi kewajibannya.
  3. Sebelum memperlihatkan kesaksian, wajib disumpah biar saksi memperlihatkan kesaksian yang benar sebenarnya
Kewajiban untuk bersumpah
Saksi apabila tidak mengundurkan diri sebelum member keterangan harus disumpah berdasarkan agamanya (ps.147HIR, 175 Rbg, 1911 BW jo. Ps 4 S. 1920 no 69). Oleh lantaran sumpah ini diucapkan sebelum memberi kesaksian dan berisi kesepakatan untuk menerangkan yang sebenarnya, maka sumpah ini disebut juga sumpah promissoir . Sumpah promissoir ini berlainan dengan sumpah confirmatoir sumpah yang diucapkan sebagai alat bukti. Apabila memperlihatkan keterangan yang tidak benar, diancam dengan pasal 242 kitab undang-undang hukum pidana : sumpah palsu. Pasal 147 jo 148 HIR : saksi wajib disumpah, apabila menolak sanggup ditahan.

Kewajiban Memberikan Keterangan
Apabila saksi sesudah disumpah enggan memperlihatkan keterangan, maka atas usul dan beaya pihak yang bersangkutan hakim sanggup memerintahkan menyandera saksi 

Ada tiga hal yang harus dikemukakan oleh saksi, yaitu: apa yang dilihat, didengar, dirasakan sendiri. Ia harus memperlihatkan alasan. Terhadap keterangan saksi ini, hakim tidak wajib percaya, kekutan pembuktiannya bebas. Pedoman evaluasi : pasal 172 HIR: kecocokan antara saksi satu dengan saksi lainnya. Tidak boleh pembuktian dengan saksi: (1) Pasal 22 KUHD : Pembuktian adanya firma oleh para pihak – akta,(2) Pasal 258 KUHD : Asuransi – polis Kecuali sudah ada bukti pendahuluan.

Kesaksian merupakan keharusan : pasal 140,141,148 HIR.
Dapat mengundurkan diri : pasal 146 HIR :
  1. Apabila memperlihatkan keterangan dikhawatirkan tidak obyektif.
  2. Saudara dan ipar
  3. Orang yang lantaran jabatannya/kedudukannya harus menyimpan diam-diam yang berkaitan dengan kedudukannya.
3. ALAT BUKTI PERSANGKAAN
Alat bukti persangkaan diatur dalam pasal Pasal 173 HIR, 310 R. Bg, 1915-1920 BW. Pasal 173 HIR : tidak memperlihatkan pengertian persangkaan. Pasal yang memperlihatkan aliran pada hakim untuk mempertimbangkan persangkaan sebagai alat bukti. Pengertian persangkaan : pasal 1915 BW :Adalah kesimpulan-kesimpulan yang oleh undang-undang atau oleh hakim ditarik dari suatu insiden yang telah populer ke arah insiden yang belum populer dari insiden yang sudah terbukti kebenarannya kepada insiden yang belum terbukti kebenarannya.Persangkaan merupakan alat bukti yang tidak langsung. Untuk memudahkan penulis memperlihatkan pola sebagaimana berikut:

A harus menerangkan bahwa A tidak berada di daerah X. Yang harus dibuktikan oleh A ialah bahwa ia pada hari dan jam yang sama ia berada di daerah Y. sehingga otomatis ia tidak berada di daerah X pada hari dan jam yang sama.

Persangkaan ada dua macam :
  1. Persangkaan Undang-Undang / praesumptiones yuris – pasal 1916 BW
  2. Persangkaan hakim / praesumptiones facti – pasal 173 HIR
Pengertian persangkaan Undang-Undang (Pasal 1916 BW)
Yaitu suatu persangkaan yang berdasarkan suatu ketentuan khusus Undang-Undang yang dihubungkan dengan perbuatan-perbuatan tertentu atau peristiwa-peristiwa tertentu. Dalam teori aturan program perdata, persangkaan UU dibedakan atas dua macam :

1. Praesumptiones Yuris Tantum
Yaitu persangkaan Undang-Undang yang sanggup diajukan bukti lawan, hal ini paling banyak jumpai didalam Undang-Undang.

Contoh : pasal 250 BW : anak yang dilahirkan dalam perkawinan memperoleh suami sebagai bapaknya.

Misal : A dan B menikah tahun 1998. Kemudian A pergi kiprah belajar. Oktober 2001 B melahirkan anak X. A sanggup menyangkal bahwa ia bukan ayahnya (pembuktian terbalik).

Pasal 633,668,662 BW : menyangkut duduk kasus keterangan. Kebanyakan persangkaan tatum ini sanggup dibuktikan lawan.

2. Praesumptiones Yuris Et De Jure

Yaitu persangkaan UU yang tidak sanggup diajukan bukti lawan.
Contoh : pasal 184,911,1681 BW.

Menurut Pitlo, persangkaan yang memungkinkan bukti lawan, pada hakekatnya bukanlah persangkaan.
Persangkaan UU, pembuktiannya terbalik, kekuatan pembuktiannya bersifat memaksa, artinya apa yang disebutkan UU harus dianggap benar sebelum dibuktikan sebaliknya.

Pengertian Persangkaan Hakim
Adalah kesimpulan-kesimpulan yang ditarik oleh hakim dari peristiwa-peristiwa yang populer ke arah insiden yang belum terkenal/belum terbukti.

Kekuatan pembuktiannya bebas, artinya terserah pada hakim, pola :
  • Perizinan pembuktiannya sangat sulit. Apabila ada pria dan wanita yang bukan suami isteri berada dalam satu kamar dan kamar itu tertutup, maka dianggap melaksanakan perzinahan : berdasarkan prasangkaan hakim.
  • Apabila dalam perselisihan pada proses peradilan dalam hal pembukuan. Salah satu pihak yang membawa pembukuan diperintahkan membawa, tetapi pada dikala sidang ia tidak membawa, maka hakim sanggup melaksanakan persangkaan bahwa pembukuan tersebut tidak beres.
Dalam hal ini terdapat dua pendapat :
  1. Sudikno : dihentikan hanya berdasar persangkaan saja, harus disertai alat bukti lain.
  2. Azet : hakim boleh menjatuhkan putusan dengan memegang pada satu persangkaan
Dalam praktek, yang lazim ialah tidak boleh, ibarat halnya saksi, satu saksi bukan saksi : satu persangkaan bukan persangkaan.

4. ALAT BUKTI PENGAKUAN
Alat bukti ratifikasi diatur di dalam Pasal 174-176 HIR, 311-313 R. Bg, Pasal 1923, 1928 BW. Pengakuan ialah keterangan sepihak yang membenarkan peristiwa, hak/hubungan aturan yang diajukan oelh pihak lawan.Tidak dibutuhkan persetujuan pihak lain, dengan adanya ratifikasi ini membebaskan pihak lawan untuk membuktikan.

Apabila secara tertulis dalam persidangan, maka tidak sanggup dikualifikasikan / disamakan dengan alat bukti surat.

Pada dasarnya tidak sanggup dicabut kembali, tetapi ada perkecualian, apabila terdapat kesalahan pada pokok perkara.

Kekuatan pembuktian ada tiga, yaitu :
  • sempurna
  • mengikat
  • menentukan
Sempurna dan mengikat : sanggup diajukan bukti lawan, masih mungkin putusan sanggup berubah apabila pihak sanggup mematahkan bukti lawan.

Ada tiga macam ratifikasi di dalam sidang :
a. Pengakuan murni
Adalah ratifikasi terhadap seluruh dalil-dalil yang dikemukakan oleh penggugat tanpa embel-embel.
Pengakuan yang sifatnya sederhana dan sesuai sepenuhnya dengan tuntutan pihak lawan.
Pasal 176 HIR menyatakan bahwa ratifikasi murni dihentikan dipisah-pisah.

Pengakuan murni tidak perlu pembuktian.
Misal : dalam sidang kasus hutang piutang, A mendalilkan B memiliki hutang 100 juta, B dalam jawabannya menyatakan bahwa B memang punya hutang kepada A sebesar 100 juta.

b. Pengakuan kwalifikasi
Adalah ratifikasi yang disertai sangkalan atau sanggahan dari sebagian tuntutan penggugat.

Misal : A dan B dalam sengketa jual beli rumah. A menyampaikan bahwa B belum membayar, sedangkan B menyatakan bahwa ia betul telah mebeli rumah, tapi tidak seharga 70 juta, melainkan 50 juta. Seharusnya A tidak perlu menerangkan adanya jual beli. Pengakuan B ini berdasarkan pasal 176 HIR dianggap tidak mengaku, sehingga tetap harus menerangkan jual beli telah terjadi dalam B menerangkan bahwa harga murah tersebut ialah 50 juta.

c. Pengakuan klausula
Adalah ratifikasi yang disertai bantahan atau sanggahan yang bersifat membebaskan.
Misal : A dan B melaksanakan jual belil rumah seharga 70 juta. B mengakui telah terjadi jual beli rumah seharga 70 juta, B menyatakan telah membayar sejumlah 70 juta, sehingga B harus menerangkan bawa ia telah membayar sejumlah 70 juta. Hal ini berdasarkan pasal 176 HIR dianggap tidak mengaku. Konsekuensinya : tetap harus menerangkan jual beli dan B tetap harus menerangkan telah membayar.

Tujuan pasal 176 HIR ialah untuk melindungi debitur-debitur kecil dari perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh kreditur.

Menurut Prof. Dr. Wiryono Prodjodikoro, S.H., pasal 176 HIR sangat mengecewakan dan tidak masuk akal, lantaran sudah mengaku tetapi masih harus menerangkan lagi. Beliau memperlihatkan saran : sebaiknya diserahkan pada hakim untuk tetapkan bukan menganulir pasal 176 HIR.Pengakuan yang dibentuk dalam persidangan memiliki kekuatan pembuktian.

Pengakuan yang dibentuk diluar persidangan :
  1. Tertulis : diserahkan pertimbangan sepenuhnya kepada hakim, tidak memiliki kekuatan pembuktian : memiliki kekuatan pembuktian yang bebas.
  2. Lisan :bukan merupakan alat bukti.
5. ALAT BUKTI SUMPAH
Sumpah ialah suatu pernyataan yang khidmat yang diberikan atau diucapkan pada waktu member kesepakatan atau keterangan dengan mengingat akan sifat mahakuasa dari pada Tuhan, dan percaya bahwa siapa yang memberi keterangan atau kesepakatan yang tidak benar akan dhukum olehnya. Kaprikornus pada hakekatnya sumpah merupakan tindakan yang bersifat religious yang digunakan dalam peradilan.

Alat bukti sumpah diatur dalam pasal 155, 156, 158, 177 HIR, 182, 183, 314 R. Bg. Disebut sebagai sumpah confirmatoir, yaitu sumpah sebagai alat bukti.Yang menjadi alat bukti bukan upacara penyumpahannya, tetapi ratifikasi atau keterangan dari salah satu pihak di muka persidangan yang dikuatkan dengan sumpah.Dalam HIR, sumpah dibedakan menjadi :
1. Decisoir – Pasal 156 HIR
Disebut juga sumpah pemutus, lantaran sesudah diucapkan sumpah decisoir hakim sanggup pribadi memutus perkara.

Sumpah decisoir ini dilakukan atas usul salah satu pihak. Sumpah ini tidak dibutuhkan syarat-syarat, contohnya alat bukti permulaan, tidak ada alat bukti sama sekali boleh.

Sumpah decisoir sanggup dikembalikan artinya apabila yang minta sumpah decisior ialah penggugat, sedangkan tergugat tidak bersedia, maka tergugat sanggup mengembalikannya pada penggugat untuk disumpah decisior.

Untuk melaksanakannya dibutuhkan dua syarat :
a. Litis decisoir
Yang disumpahkan harus insiden yang dipersengketakan dalam persidangan.

b. Persoonlijk daad
Harus peruatan pribadi, dihentikan peruatan orang lain.

Pihak yang meminta untuk menyumpah pihak lawan berrati ia melepaskank hak. Dalam pelaksanaannya sumpah ini sanggup berupa sumpah pocong, klenteng, dll.

2. Supletoir – Pasal 155 (1) HIR, 182 R. Bg.
Disebut juga sumpah penambah, ialah sumpah yang dibebankan oleh hakim lantaran jabatannya kepada salah satu pihak.
Syarat :
Harus ada permulaan pembuktian.
Tujuan dari sumpah supletoir ialah untuk menambah alat bukti yang ada, lantaran alat bukti yang ada belum lengkap.

3. Aestimatoir – Pasal 155 (2) HIR, 182 R.Bg
Disebut juga sumpah penaksir, ialah sumpah yang dibebankan oleh hakim kepada pihak penggugat untuk memastikan besarnya kerugian yang diderita oleh penggugat (hakim officio).

Sumpah ini dilakukan apabila tidak ada bukti, contohnya sulit dibuktikan dikarenakan telah musnah, kebakaran.
Sumpah decisoir tidak mempengaruhi putusan hakim, sedangkan kepalsuan sumpah supletoir dan sumpah aestimatoir sanggup mempengaruhi putusan yang dijatuhkan oleh hakim, lantaran merupakan sumpah yang dibebankan oleh hakim.

Sumpah sanggup dikuasakan, hanya saja kuasanya ialah kuasa khusus untuk mengangkat sumpah dan biasanya isi sumpah tersebut sudah disebutkan dalam surat kuasa khusus tersebut.

SUMPAH PEMUTUS
SUMPAH PENAMBAH 
  1. Harus mengenai apa yang dilakukan sendiri oleh yang bersumpah.
  2. Apabila pihak yang diminta bersumpah menolak, ia sanggup mengembalikan
  3. Tidak sanggup diajukan bukti perlawanan. 
  • Tidak harus mengenai apa yang dilakukan sendiri.
  • Tidak boleh dikembalikan kepada pihak lawan lantaran merupakan inisiatif hakim.
  • Dapat diajukan bukti perlawanan. 

REFERENSI BUKU-BUKU
  • A. Pitlo, Pembuktian dan Daluwarsa, terjemahan. M. Isa, Intermasa, Jakarta, 1978
  • Abdul Kadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, PT.Citra Aditya Bakti, 2000.
  • H.Drion Bewijzen in het recht, Themis 1966 afl.5/6
  • M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Peradilan Indonesia, PT Zaher Trading, 1997.
  • Munir Fuady, Teori Hukum Pembuktian, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006.
  • M. Situmorang, Grosse Akta dalam Pembuktian dan Eksekusi, Rineka Cipta, Jakarta1992.
  • Sudikno Mertokusumo,Hukum Acara Perdata Indonesia Edisi Kedelapan, Liberty Yogyakarta, 2009. 
  • Retnowulan Sutantio dkk, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, Mandar Maju: Bandung, 1979.
  • R. Subekti dan Tjitrosudibio, Kamus Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 1980.
  • Rachmi…
  • Subekti, Hukum Acara Perdata, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman- Bina Cipta; Bandung 1989.
  • Victor M. Situmorang, Grosse Akta dalam Pembuktian dan Eksekusi, Rineka Cipta, Jakarta1992.
Pertanyaan (Evaluasi mandiri)
  1. Jelaskan pengertian dari pembuktian dan apakah semua hal harus dibuktikan!
  2. Bandingkan asas pembuktian yang mendasar dari aturan program pidana dan aturan program perdata!jelaskan pula beban pembuktian yang diatur berdasarkan ketentuan Undang-Undang.
  3. Sebutkan 4 pembuktian yang ditentukan dalam aturan materiil!
  4. Sebutkan 5 macam alat bukti berdasarkan ketentuan Undang-Undang!apakah urut-urutan itu memilih berpengaruh lemahnya jenis alat bukti tersebut? jelaskan!
  5. Apakah surat biasa yang ada tandatangannya merupakan akta? Jelaskan
  6. Sebut dan jelaskan 2 macam sertifikat berdasarkan Undang-Undang!jelaskan pula ketentuan pembuktian masing-masing sertifikat tersebut!
  7. Sebutkan 3 unsur dalam hal kesaksian ! sebut pula kewajiban saksi!
  8. Sebutkan perbedaan antara saksi dan ahli! Jelaskan perbedaan antara persangkaan hakim dan persangkaan undang-undang. Sertakan pula contohnya.
  9. Pengakuan dalam sidang sebagai alat bukti memiliki kekuatan pembuktian tepat dan mengikat! Jelaskan artinya! Sebutkan 3 macam ratifikasi di dalam sidang!
  10. Sebut dan jelaskan 3 macam sumpah yang diatur oleh Undang-Undang

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel