Tujuan Dan Sistem Registrasi Tanah

Sistem Pendaftaran Tanah
Sistem registrasi tanah yang digunakan di suatu Negara tergantung pada asas aturan yang dianut oleh Negara tersebut dalam mengalihkan hak atas tanahnya. Terdapat 2 macam asas aturan yaitu : “asas I’tikad baik” dan “asas nemo plus yuridis”, sekalipun suatu Negara menganut salah satu asas aturan tetapi yang secara murni berpegang pada salah satu asas hokum. Asas I’tikad baik berbunyi “orang yang memperoleh suatu hak dengan I’tikad baik akan tetap menjadi pemegang hak yang sah berdasarkan hukum. Asas ini melindungi orang yang beri’tikad baik sedangkan asas nemo plus yuridis berbunyi” orang tidak sanggup mengalihkan hak melebihi hak yang ada padanya, ini berarti bahwa pengalihan hak oleh orang yang tidak berhak ialah batal. Asas ini melindungi pemegang hak yang sebenarnya.[31] Di dalam literature aturan agraria kita kenal beberapa sistem registrasi tanah yakni antara lain Sistem Torrens, Sistem Positif, Sistem Negative

a. Sistem Torent 
Sesuai dengan namanya, sistem ini diciptakan oleh SIR Robert Torent putra salah satu pendiri koloni Australia Selatan. Kaprikornus sistem ini berasal dari Australia Selatan. Sistem ini lebih dikenal dengan nama The Real Property Act yang mulai berlaku di Australia semenjak Tanggal 1 Juli 1858. Sistem ini kini digunakan di Aljazair, Tunisia, Kongo, Spanyol, Norwegia, Malaya, Kepulauan Fuji, Kanada, Yamanica, Trinidad, Dalam menggunakan sistem ini Negara-negara bersangkutan melihat pengalaman-pengalaman dari Negara-negara lain yang menggunakan sistem Torent ini Dalam detailnya agak menyimpang dari sistem aslinya, tetapi pada hakikatnya ialah sistem Torent yang disempurnakan dengan beberapa tambahan-tambahan serta percobaan-percobaan yang diubahsuaikan dengan aturan materialnya Negara-Negara masing-masing tata dasarnya ialah sama yakni The Real property Act. 

Dalam sistem ini sistem ini menyatakan bahwa akta tanah merupakan alat bukti yang paling lengkap perihal gak dari pemilik yang tersebut di dalam serta tidak sanggup diganggu gugat, ganti rugi terhadap pemilikan sejati ialah melalui dana asuransi dan untuk merubah buku tanah ialah tidak mungkin, terkecuali jika memperoleh akta tanah, dimaksud melalui cara pemalsuan/penipuan.[32]

b. Sistem Positif
Menurut sistem ini, suatu akta tanah yang diberikan ialah berlaku sebagai tanda bukti hak yang mutlak, serta merupakan satu-satunya tanda bukti hak atas tanah.[33]

Ciri-ciri sistem ini berdasarkan DEr. Ny Mariam Darus Badrul Zaman. S.H. dalam bukunya Bab-bab perihal Hypotik Hulas ialah bahwa registrasi menjamin dengan tepat bahwa nama yang terdaftar dalam buku tanah tidak sanggup dibantah walaupun ia bukan pemilik tanah yang berhak, Stelsel ini menawarkan kepercayaan yang mutlak pada buku tanah, pejabat-pejabat balik nama disini menawarkan kiprah yang sangat aktif, mereka memeriksa apakah hak yang dipindahkan itu sanggup didaftar, memeriksa identitas pihak-pihak, wewenang-wewenangnya, dan apakah formalitas-formalitas yang disyaratkan telah dipenuhi atau tidak.

Adapun keberatan-keberatan terhadap sistem positif ini diantaranya :
  1. Peran aktif pejabat-pejabat balik nama ini memakan waktu yang lama.
  2. pemilik yang berhak sanggup kehilangan haknya diluar perbuatan dan diluar kesalahannya.
  3. Apa nyang menjadi wewenang pengadilan diletakkan dibawah kekuasaan administrasi.
Dengan melihat uraian di atas kita sanggup menarik satu manfaat dari kegunaan sistem positif ini yaitu :
  1. Adanya kepastian dari buku tanah.
  2. Peran aktif dari pejabat balik nama tanah.
  3. Mekanisme kerja dalam proses penerbitan akta tanah gampang dimengerti oleh umum.
Dengan demikian sistem ini menawarkan suatu jaminan yang mutlak terhadap buku tanah kendatipun ternyata bahwa pemegang akta tanah bukanlah pemilik sejati dan oleh alasannya ialah itu ketika yang ber’tikad baik. Yang bertindak berdasar bukti tersbeut akan menerima jaminan mutlak walaupun ternyata bahwa segala keterangan yang tercantum dalam akta ialah tidak benar.

c. Sistem Negatif 
Menurut sistem ini bahwa segala apa yang tercantum dalam akta tanah ialah dianggap benar hingga sanggup dibuktikan suatu keadaan yang sebaliknya (tidak benar) dimuka sidang pengadilan.[34]

Ciri pokok sistem ini ialah bahwa registrasi hak atas tanah bukanlah merupakan jaminan pada nama yang terdaftar dalam buku tanah. Dengan kata lain bahwa buku tanah bisa saja berubah sepanjang sanggup menandakan bahwa dialah pemilik yang tolong-menolong melalui putusan yang telah memiliki keuatan aturan tetap.


Menurut Dr. Ny. Mariam Darus Badrul Zaman, S.H dalam bukunya Bab-bab perihal Hypothek Hal 44 dan 45 (dalam Bachtiar Efendi hal 82) mengemukakan bahwa hak dari nama yang terdaftar ditentukan oleh hak dari pemberi hak sebelumnya, perolehan hak tersebut merupakan satu mata rantai. Menyelidiki apakah pinjaman hak sebelumnya (Rehtsvoorganger) memiliki wewenang menguasai (Besehikkingbe Veegdheid) atau tidak, berkaitan dengan bagaimana cara orang terdaftar itu memperoleh haknya, apakah telah memenuhi ketentuan Undang-Undang atau tidak. Demikianlah penjajahan itu dilakukan terhadap peristiwa-peristiwa aturan yang mendahului penyerahan. 

Kebaikan sistem negative ini ialah : 
  1. Adanya proteksi pada pemegang hak yang sebenarnya.
  2. Adanya penyelidikan riwayat tanah sebelum sertifikatnya diterima.
Azas peralihan hak atas tanah berdasarkan system ini ialah azas-azas nemo plus yuris yakni orang tidak sanggup mengalihkan hak melebihi hak yang ada padanya, ini berarti bahwa pengalihan hak oleh orang yang tidak berhak ialah batal, Azas ini bertujuan melindungi pemegang hak yang sebenarnya. Berdasarkan asas ini pemegang hak yang tolong-menolong akan tetap sanggup menuntut kembali haknya yang terdaftar atas nama siapapun.

Sehubungan dengan kewajiban registrasi dimaksud system apakah yang dianut Undang-Undang Pokok Agraria dari beberapa sistem yang dikemukakan diatas untuk mengetahui hal ini terlebih dahulu kita akan mengemukakan dasar aturan dari registrasi tanah yang dilaksanakan di Indonesia yang sanggup kita temukan dalam pasal 19 Undang-Undang Pokok Agaria yang selengkapnya berbunyi :

Ayat 1 : Untuk menjamin kepastian aturan oleh pemerintah diadakan registrasi di seluruh wilayah Indonesia berdasarkan ketentuan ketentuan yang diatur dengan peraturan pemerintah. 

Ayat 2 : Pendaftaran tersebut dalam ayat 1 pasal ini mencakup :
  1. Pengukuran, pemetaan, dan pembukuan tanah.
  2. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut.
  3. Pemberian surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.
Ayat 3: Pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan Negara dan masyarakat, keperluan kemudian lintas sosial ekonomi, serta kemungkinan penyelenggaraan berdasarkan pertimbangan menteri agraria.

Ayat 4: Dalam peraturan pemerintah di atas biaya-biaya yang bersangkutan dengan registrasi termaksud dalam ayat (1) diatas dengan ketentuan-ketentuan bahwa rakyat yang tidak bisa dibebaskan dari pembayaran biaya-biaya tersebut.[35]

Dari ketentuan pasal 19 ayat 2 di atas abjad C Undang-Undang Pokok Agraria yang merupakan dasar aturan Pendaftaran Tanah tersebut sanggup kita ketahui bahwa yang didaftarkannya hak-hak atas tanah akan diberikan akta tanah sebagai tanda bukti pemegang hak atas tanah yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.

Kata “kuat” dalam pengertian pasal 19 ayat 2 abjad C UUPA tersebut di atas ialah berarti bahwa akta tanah yang diberikan tersebut ialah tidak mutlak, dan membawa akhir aturan bahwa segala apa yang tercantum dalam akta tanah ialah dianggap benar sepanjang tidak ada yang menandakan keadaan yang sebaliknya.

Yang menyatakan bahwa akta tersebut ialah tidak benar, kalau kita hubungkan ketentuan pasal 19 ayat 2 abjad C dengan sistem-sistem registrasi tanah yang telah dikemukakan di atas, maka akhir aturan dari ketentuan pasal 19 ayat 2 abjad C UUPA dengan kata lain bahwa system yang dianut Undang-Undang Pokok Agraria dalam Pendaftaran Tanah ialah system Negatif dengan tendensi positif.[36]

Sedangkan sistem yang dianut UUPA ialah sebagai berikut :
1) Menurut DR. Ny. Mariam darus badrul Zaman, S.H (dalam bukunya bab-bab perihal hipotik)
Menurut ia sistem yang dianut UUPA ialah sistem campuran, antara Sistem Negatif dan Positif, hal ini terlihat dengan adanya proteksi pada pemilik yang tolong-menolong (Sistem Negative), sedangkan sistem positifnya terlihat dengan adanya campur tangan dari pemerintah, dimana sebelumnya diterbitkan akta tanah, terlebih dahulu diadakan penjajahan terhadap peristiwa-peristiwa aturan apa saja yang mendahului penyerahan.[37]

2) Menurut Abdur Rahman (dalam tulisannya Berita Pusat Study aturan Tanah Fakultas Hukum Uniam No 5/Mei/1978
Beliau cenderung condong pada pendapat DR. Ny Mariam yang menyampaikan bahwa sistem registrasi yang dianut UUPA dan PP No 10/1961 ialah adonan (positif dan negative) dimana dalam sistem yang demikian segala kekurangan yang ada pada sistem negative dan positif sudah tertutup. Sistem yang demikian ini berdasarkan hematnya pada ketika masa kini sangat baik dan cocok keadaannya dengan keadaan di Negara kita, sekalipun memang harus diakui perlunya diadakan beberapa penyempurnaan guna diubahsuaikan dengan perkembangan dan kemajuan.[38]

3) Menurut DR. Sumarti Hartono (dalam buku beberapa aliran kearah pembaharuan Hukum hal 107)
Menurut ia katanya sehabis UUPA berlaku selama hampir 20 tahun datang saatnya kita berpegang pada sistem positif, yang menjadikan akta tanah satu satunya alat bukti untuk menandakan hak milik atas tanah dengan pengertian bahwa apabila sanggup menandakan bahwa akta itu palsu / diupalsukan / diperoleh dengan jalan yang tidak sah / alasannya ialah paksaan / pungutan liar / menyogok. Misalnya maka tentu saja akta itu dianggap tidak sah sehingga menjadi batal dengan sendirinya (Van Rechts Weignieting).[39]

Mantaha, mantan kepala jawatan registrasi tanah menyatakan bahwa sistem registrasi tanah di Indonesia yang dianut kini ini ialah sistem negative dengan tendensi positif. 

Dengan sistem ini keterangan-keterangan yang ada apabila tidak ternyata benar maka sanggup diubah dan dibatalkan.[40]

Dengan pasal 19 Undang-Undang Agraria ini, maka untuk menjamin kepastian aturan oleh pemerintah diadakan registrasi tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia dengan suatu peraturan pemerintah.

Berdasarkan pasal 2 Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 1997, registrasi tanah berdasarkan azas-azas sebagai berikut.

a. Azas Sederhana 
Maksudnya sederhana dalam registrasi tanah ialah biar ketentuan-ketentuan pokoknnya maupun prosedurnya dengan gampang dimengerti atau dipahami oleh pihak-pihak yang berkepentingan, terutama pada pemegang hak atas tanah.

b. Azas Aman 
Azas kondusif ialah untuk memperlihatkan bahwa registrasi tanah perlu diselenggarakan secara lebih dan cermat, sehingga akhirnya sanggup memberi jaminan kepastian aturan sesuai dengan tujuan registrasi tanah itu sendiri.

c. Azas Terjangkau 
Azas terjangkau ialah keterjangkauan bagi pihak yang memerlukan khususnya dengan memperhatikan kebutuhan-kebutuhan dan kemampuan golongan ekonomi tanah lemah.

d. Azas Mutakhir 
Azas mutakhir memilih data registrasi tanah secara terus menerus dan berkesinambungan sehingga data yang tersimpan di kantor pertanahan selalu dengan keadaan konkret di lapangan, masyarakat sanggup memperoleh keterangan data yang benar setiap saat. Untuk itulah diberlakukan contoh Azas Terbuka.[41]

e. Dasar Hukum Peraturan Pemerintah No 24 Tahun 1997 
Undang-Undang Dasar 1945 itu merupakan aturan dasar dan sekaligus merupakan sumber aturan dalam arti formal artinya, sumber berlakunya hukum, sumber berlakunya peraturan-peraturan hukum. Apabila dilihat dari pasal-pasalnya Undang-Undang Dasar 1945 hanya berisikan 37 pasal dengan 4 pasal peraturan peralihan, diantara ke 37 pasal itu ialah pasal 33 ayat 3 yang menjadi dasar berlakunya UUPA No 5 Tahun 1960, jadi berdasarkan uraian diatas tersebut terang bahwa UUPA No 5 Tahun 1960 itu dibuat berdasarkan Undang-Undang 1945.[42]

Badan Pembentuk Undang-Undang pada waktu pembentukan UUPA itu menggunakan contoh pikiran aturan adat, dimana kekurangan-kekurangan yang terdapat dalam aturan budbahasa yaitu aturan agraria adapt, dilengkapi oleh aturan agraria barat. Kaprikornus hakekatnya UUPA No 5 Tahun 1960 ialah aturan agraria budbahasa dengan “Baju Baru” yaitu aturan agraria budbahasa yang diberi bentuk tertulis berbentuk Undangn-Undang.[43]

Sedang Peraturan Pemerintah No 24 Tahun 1997 merupakan aturan pelaksanaan dari Undang-Undang No 5 Tahun 1960, jadi dasar aturan berlakunya Peraturan Pemerintah No 24 Tahun 1997 ialah pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 jo Undang-Undang No 5 Tahun 1960.

Tujuan Pendaftaran Tanah
Dalam Peraturan yang menyempurnakan PP No 10 Tahun 1961 ini tetap dipertahankan tujuan diselenggarakan registrasi tanah sebagai yang pada hakikatnya sudah ditetapkan dalam pasal 19 UUPA yaitu bahwa Pendaftaran tanah merupakan kiprah pemerintah yang diselenggarakan dalam rangka menjamin kepastian aturan dibidang pertanahan. Rincian tujuan registrasi tanah dinyatakan dalam pasal 3 Peraturan Pemerintah No 24 Tahun 1997 ialah :

a. Untuk menawarkan kepastian aturan proteksi aturan kepada pemegang hak atas tanah atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak yang terdaftar biar dengan gampang sanggup menandakan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan, untuk itu kepada pemegang haknya diberikan akta sebagai tanda buktinya. Inilah yang merupakan tujuan utama registrasi tanah yang penyelenggaranya diperintahkan oleh pasal 19 UUPA, maka memperolah akta bukan sekedar kemudahan melainkan hak pemegang hak atas tanah yang dijamin oleh Undang-Undang.


Sertifikat ialah surat tanda bukti hak sebagaimana termasuk dalam pasal 19 ayat 2 abjad C. UUPA untuk hak atas tanah, hak pengelolaan tanah wakaf dan hak milik atas satuan rumah susun, dan hak tanggungan yang masing-masing sudah dibukukan dalam buku tanah yang bersangkutan. Sedangkan buku tanah ialah dokumen yang dalam bentuk daftar yang memuat data yuridis dan data fisik suatu objek registrasi tanah-tanah yang sudah ada haknya.

b. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang bersangkutan, termasuk pemerintah biar dengan gampang sanggup memperoleh data yang diharapkan dalam mengadakan perbuatan Hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah di daftar. Untuk penyajian data tersebut diselenggarakan oleh Kantor Pertanahan Nasional kabupaten/kota madya. Para pihak yang berkepentingan terutama calon pembeli atau calon kreditur sebelum melaksanakan suatu perbuatan aturan mengenai suatu bidang tanah atas satuan rumah susun tertentu perlu dan karenanya mereka berhak mengetahui data yang tersimpan terbuka untuk umum ini sesuai dengan asas registrasi yang bersifat terbuka.

Tujuan registrasi tanah untuk menghimpun dan menyediakan informasi yang lengkap mengenai bidang-bidang tanah untuk dipertegas dengan dimungkinkannya pembukuan bidang-bidang tanah yang data fisiknya dan data yuridisnya belum. 

c. Untuk terselenggaranya tartib manajemen pertanahan, Terselenggaranya registrasi tanah secara baik merupakan dan tertib. Administrasi dibidang pertanahan. Untuk mencapai tertib manajemen tersebut setiap bidang tanah dan satuan rumah susun termasuk peralihannya, pembebanan dan hapusnya wajib didaftar.[44]

Dari banyak sekali tujuan registrasi di atas merupakan wujud pembaharuan aturan tanah Indonesia, alasannya ialah aturan Agraria yang berlaku sebelum di Undangkannya. Undang-Undang Pokok Agraria Tahun 1960 ialah Hukum Agraria Barat dan Hukum Agraria Adat. Hukum Agraria kolonial tersusun berdasarkan dan tujuan dan sendi-sendi dari pemerintah jajahan dan sebagian lainnya dipengaruhi oleh biaya, sehingga sangat besar kemungkinannya yang terjadi ialah adanya kontradiksi kepentingan rakyat dan Negara dalam melaksanakan pembangunan semesta dan juga sebagai akhir politik Hukum pemerintah jajahan itu, aturan agraria memiliki sifat dualisme aturan yaitu berlakunya peraturan-peraturan Hukum adapt disamping peraturan-peraturan dari dan berdasarkan pada Hukum Barat, hal ini selalu menjadikan banyak sekali persoalan antar golongan yang serba sulit, dan juga tidak sesuai dengan harapan persatuan Bangsa Indonesia.

Masalah-masalah yang timbul ialah adanya ketidakpastian aturan hak atas tanah oleh rakyat Indonesia, Hukum Agraria kolonial tidak menawarkan jaminan kepastian aturan terhadap hak-hak rakyat Indonesia atas tanah dikarenakan pada waktu itu hanya hak-hak atas tanah yang tunduk pada Hukum Agraria kolonial yang didaftar oleh Pemerintah Hindia Belanda dengan tujuan menawarkan jaminan aturan (Recht Kadaster), sedangkan bagi tanah-tanah yang tunduk pada aturan Agraria adapt tidak dilakukan registrasi tanah, kalau di daftar oleh pemerintah Hindia Belanda tujuannya bukan untuk memperoleh kepastian aturan terhadap hak-hak atas tanah melainkan untuk memutuskan siapa yang berkewajiban membayar pajak atas tanah.

Kaprikornus dengan telah di Undang-Undangkannya Peraturan Dasar Pokok Agraria yang dianut dalam Undang-Undang No 5 Tahun 1960 rakyat Indonesia yang memiliki hak-hak atas tanah memperoleh kepastian aturan hak-hak atas tanah dengan melaksanakan registrasi tanah miliknya sebagaimana tertuang dalam pasal 19 ayat 1 Undang-Undang No 24 Tahun 1997 perihal pendaftaran.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel