Sejarah Masuknya Perkembangan Tasawuf Dan Tahap Perkembangan Tasawuf
Sunday, March 22, 2020
Edit
Sejarah Masuknya Perkembangan Tasawuf
A. Landasan dan Motivasi Lahirnya Tasawuf
Timbulnya tasawuf dalam Islam bersamaan dengan kelahiran agama islam itu sendiri, yaitu semenjak Muhammad SAW diutus Rasulullah untuk segenap ummat insan dan seluruh alam semesta. Fakta sejarah memperlihatkan bahwa pribadi Muhammad sebelum diangkat menjadi Rasul telah berulang kali melaksanakan tahannuts dan khalwat di Gua Hira disamping untuk mengasingkan diri dari masyarakat kota Mekkah yang sedang mabuk memperturutkan hawa nafsu keduniaan. Juga Muhammad berusaha mencari jalan untuk membersihkan hati dan mensucikan jiwa noda-noda yang menghingapi masyarakat pada waktu itu.
Tahannuts dan khalwat yang dilakukan Muhammad SAW bertujuan untuk mencari ketenangan jiwa dan kebersihan hati dalam menempuh liku-liku problema hidup yang beraneka ragam ini, berusaha memperoleh petunjuk dan hidayah dari pencipta alam semesta ini, mencari hakikat kebenaran yang sanggup mengatur segala-galanya dengan baik. Dalam situasi yang sedemikianlah Muhammad Menerima wahyu dari Allah SWT yang penuh berisi ajaran-ajaran dan peraturan-peraturan sebagai pedoman untuk ummat insan dalam mencapai kebahagiaan hidup didunia dan akhirat.
Segala pola dan tingkah laku, amal perbuatan dan sifat Muhammad sebelum diangkat menjadi menjadi Rasul meruapakan manifestasi dari kebersihan hati dan kesucian jiwanya yang sudah menjadi pembawaan semenjak kecil.
Dengan turunnya wahyu yang pertama pada tanggal 17 Ramadhan atau 16 Agustus 571 M, berarti Muhammad SAW telah diangkat dan diutus menjadi Rasul untuk berbagi amanat Allah dan menyelamatkan ummat insan dari lembah kejahilan dan kesesatan dalam mencapai kebahagiaan hidup duniawi dan ukhrawi. Demikian juga wahyu yang diturunkan itu Rasulullah sanggup membenahi masyarakat Arab Jahiliyah menjadi masyarakat yang maju sesuai dengan perkembangan peradaban dan kebudayaan manusia.
Adapun perihal sumber-sumber yang menjadi landasan tasawuf Islam itu terdapat majemuk pendapat. Diantaranya ada yang menyatakan bahwa sumber tasawuf islam yaitu dari anutan Islam itu sendiri. Selain itu pula ada yang beropini bahwa sumber tasawuf itu berasal dari persia, Hindu Kristen dan sebagainya.
Orientalis Messignon dalam “Encyclopedie de Islam” berkata perihal sumber tasawuf bahwa :”ulama-ulama Islam masih bersimpang siur dalam memecahkan dan mencari sebab-sebab terjadinya perselisihan besar dalam bidang Aqidah islam diantara pelbagai mazhab didalam Islam, yaitu antara mazhab tasawuf dan mazhab andal Sunnah wal-Jama`ah.” Menurut penadapat merx :”Tasawuf merupakan aliran yang tiba kedalam islam yang berasal dari pendeta-pendeta Syam. Menurut Jones, tasawuf islam itu berasal dari Filsafat Neo Platonisme atau berasal dari agama Zoroaster Persia atau agama Hindu. (Qamar Kailany: 15)
Tentang tasawuf Islam itu berorientasi R.A Nicholson menjelaskan sebagai berikut : “Menetapkan tasawuf Islam merupakan import kedalam islam, tidaklah sanggup diterima, yang bergotong-royong ialah kita melihat semenjak lahir agama islam, bahwa bibit berfikir menyerupai dasar-dasar tasawuf itu ada yang telah tumbuh didalam hati setiap keluarga Jama`ah Islam yaitu sewaktu orang islam itu sedang membaca Al-Qur`an dan Hadist Nabinya.” (Qamar Kailany;15).
Dari pendapat-pendapat tersebut diatas terang adanya perbedaan pandangan perihal sumber tasawuf Islam itu, namun demikian sanggup dinyatakan bahwa para orientalisten yang kurang jujur beropini bahwa tasawuf Islam itu beropini bahwa islam itu sendiri sudah ada benih-benih untuk tumbuh dan berkembang sehabis disemaikan didalam lubuk hati setiap muslim, lantaran tidak sanggup dipungkiri lagi anutan yang menyatakan bahwa : Islam itu tinggi dan tidak ada yang sanggup mengatasinya,” dengan pengertian lain sanggup ditegaskan bahwa kemurnian anutan islam itu benar-benar mengandung nilai-nilai kerohanian yang menjadi sumber susila bagi setiap muslim, terutama bagi para sufi yang senantiasa berusaha membersihkan hati dan mensucikan jiwa mereka dan berhias dengan perangkai terpuji serta menjauhkan diri dari perangai tercela.
Dengan demikian, sanggup ditegaskan bahwa sumber dan landasan tasawuf islam itu sendiri, tetapi dalam perkembangan selanjutnya menerima dampak dari luar islam. Dalam hal ini Qamar kailany dalam bukunya Fittashawuffiislam menjelaskan bahwa tasawuf Islam itu dalam perkembangannya ,mempunyai unsur-unsur yang jauh. Unsur yang bersahabat dan unsur-unsur yang jauh. Unsur yang bersahabat ialah Al-Quran, Hadist, Sirah Nabi, Sirah Khulafaurrasyidin, Struktur Sosial dan Firqah-firqah sedangkan unsur jauh ialah dampak agama Nasrani, yahudi, budha dan Persia (Khamar Kailany: 16).
Perkembangan tasawuf dalam Islam telah mengalami beberapa fase, yaitu :
- Pada era pertama dan kedua hijriah, yaitu fase asketisme (zuhud). Sikap ini banyak dipandang sebagai pengantar kemunculan tasawuf. Pada fase ini terdapat individu – individu dari kalangan muslim yang lebih memusatkan dirinya pada ibadah dan tidak mementingkan makanan, pakaian, maupun daerah tinggal.
- Pada era ketiga hijriah, para sufi mulai menaruh perhatian terhadap hal – hal yang berkaitan dengan jiwa dan tingkah laris tasawuf pun berubah menjadi ilmu moral keagamaan atau ilmu susila keagamaan. Pada masa ini tasawuf identik dengan susila (berkembang ± satu abad).
- Pada abada ketiga hijriah, muncul jenis – jenis tasawuf lain yang lebih menonjolkan pemikiran yang direktur yang diwakili oleh AL-Hallaj yang kemudian dieksekusi mati lantaran menyatakan pendapatnya mengenai hulul (pada 309 H). Boleh jadi Al-Hallaj mengalami insiden naas menyerupai ini lantaran paham hululnya saat itu sangat kontraversional dengan kenyataan di masyarakat yang tengah mengandrungi tasawuf akhlaqi.
- Pada era kelima Hijriah, muncullah imam AL-Ghazali yang sepenuhnya mendapatkan tasawuf menurut Al-Quran dan As-Sunnah serta bertujuan arketisme, kehidupan sederhana, pelurusan jiwa, dan pelatihan moral.
- Pada era ke enam hijriah , sebagai akhir dampak kepribadian Al-Ghazali yang begitu besar, dampak tasawuf sunni semakin meluas ke seluruh pelosok dunia.
- Pada era ke enam Hijriah,muncul sekelompok tokoh tasawuf yang memadukan tasawuf mereka dengan filsafat, dengan teori mereka yang bersifat setengah – setengah . diantara mereka terdapat Syukhrawardi AL-Maqtul (w.549 h), syeikh Akbar Muhyiddin Ibnu Arabi (w.635 h) dan sebagainya.
PERKEMBANGAN TASAWUF ISLAM
Seperti yang telah disinggung dimuka, kehidupan zuhud dalam masyarakat Islam pada awalnya sejarah merupakan langkah awal atau dari kehidupan rohani yang kemudian berkembang ketahap lanjutan yang disebut tasawuf. Kehidupan zuhud merupakan anutan Islam yang murni dan lantaran itu ia telah dikenal dengan beberapa nama semenjak permulaan lagi, menyerupai (zahid), (faqir), nasik dan sebagainya. Semua istilah ini menunjukakan kepada kesalehan, ketakwaan yang sungguh-sungguh dalam berpegang kepada anutan dan tuntunan agama dalam kehidupan dan ibadat menyerupai yang diajarkan dan diamalkan oleh Nabi sendiri.
Dalam permulaan Tarikh Islam, kehidupan zuhud belum lagi merupakan suatu gerakan keagamaan yang meluas, yang diamalkan oleh seluruh masyarakat islam, akan tetapi ia merupakan acara dan kecendrungan pribadi, mengikuti petunjuk islam Al-Quran dan sunah Nabi. Dalam masa ini, para sahabat lebih gemar berjihad dijalan Allah dan berdakwah untuk mengajak orang memeluk agama Islam daripada kepedulian mereka kepada hidup zuhud dan beriktikaf dimesjid lantaran berjihad dalam zaman ini dipandang sebagai amalan yang paling mulia dan paling tinggi mertabatnya. Sehingga banyak umat Islam yang ingin memperoleh gelar Syahid lantaran gugur dalam berjihad dan berdakwah dijalan Allah.
Dalam zaman ini, kehidupan zuhud memiliki dua ciri yang utama :
- Dari segi ibadat yang tampak dalam aneka macam zikir dan salat sunat
- Segi susila yang terlihat pada kesungguhan serta keikhlasan berpegang pada perilaku tawakkal yang kemudian telah berubah menjadi susila para sufi pada umumnya.
Pada final era kedua Hijriah, kehidupan zuhud telah berkembang demikan rupa, sehingga telah beralih kepada kehidupan tasawuf yang dengan alasannya yaitu itu ilmu syariat terpecah kepada dua bagian: ilmu fikih dan Tasawuf.
Ilmu fikih membahas hukum-hukum syariat yang berkenaan dengan anggota lahir , menyerupai salat, puasa, zakat, haji dan sebagainya.
Sedangkan ilmu tasawuf membahas belakang layar syariat atau makna-makna rohani dari syariat yang berlaku pada hati sperti : Riya, Ikhlas, khusyu`, tama`, arogan dan sebagainya. Pada zaman ini kedua macam ilmu agama ini diamalkan bersama dan dipandang sebagai suatu kesatuan yang tidak sanggup dipisahkan dari anutan dan tuntutan syariat, kendati pun dari segi ilmiah sanggup dibahas secara terpisah.
Dalam era ketiga dan keempat Hijriah, ilmu tasawuf memasuki zaman kejayaan, dimana perkembangan dan kemajuan ilmu ini telah mencapai puncaknya. Dalam zaman ini kita menyaksikan banyak pemuka sufi yang muncul ditengah-tengah masyarakat Islam, sehingga ilmu tasawuf telah memainkan peranan yang khas disamping ilmu-ilmu islam lainnya. Kendati ilmu tasawuf kemudian lahirnya dalam masayarakat Islam dibandingkan dengan ilmu tafsir dan ilmu fikih misalnya, akan tetapi peranan yang dimainkan para pemuka sufi zaman ini yaitu sangat berhasil, terutama sumbangannya dalam membangkitkan kepedulian para ulama terhadap sisi kerohanian dari anutan Syariat Islam.
Dan berkat upaya mereka pula. Ilmu ini telah memperoleh kedudukan yang sah dan sejajar dengan ilmu-ilmu Islam lainnya. Dalam zaman ini dunia ilmu tasawuf telah mengenal pemuka-pemuka sufi yang tersohor.
Antara lain:
- Dzun Nun al-Misri (wafat 245 H)
- Ma`ruf al-Kharki (wafat 200 H)
- Abu Sulaiman al-Darani (wafat 215 H)
- Al-Junaid al-Baghdadi (wafat 298 H)
- Sirri al-Siqti (wafat 253 H)
- Abu Bakar Al-Syibli (wafat 334 H)
- Dan lain.lain.
Dalam pengamalan dan penghayatan keagamaan, para sufi memiliki tujuan yang diperoleh yaitu “ Keyakinan”. Martabat yakin tidak akan memperoleh tanpa ada makrifat, lebih-lebih lantaran martabat yakin yang ingin dicapai yaitu martabat haq al-yaqin. Sebagaimana diketahui para sufi membagi martabat yakin kepada tiga bagian:
1. Ilmu Yaqin
Yang diperoleh dengan nalar fikiran
2. Ainul yaqin
Adalah ilmu yang diperoleh dengan panca indra
3. Haqqul yaqin
Adalah ilmu yang diperoleh dengan hati atau dzauq.
Untuk memudahkan pemahaman diberi teladan menyerupai asap yang memperlihatkan kepada adanya api. Selagi adanya api itu dibuktikan dengan asap maka itu disebut ilmul yaqin, dan dibuktikan dengan melihat sendiri dengan mata maka itu `ainul yaqin, sedangkan jika api itu dibuktikan adanya yang menyentuhnya, maka itu disebut haqqul yaqin. Dalam tingkat yakin yang terakhir ini, keraguan tidak ada lagi, lantaran mengetahui dengan yang diketahui sudah menjadi satu. Inilah tingkat yakin yang paling diinginkan oleh para sufi dari aneka macam mazhab dan aliran.
Dengan demikian hanya dengan makrifah yang bersumber dari hati, orang sufi memperoleh haqqul yaqin. Inilah sebabnya ma`ruf al-Kharki menyampaikan Tasawuf yaitu mengambil hakikat dan tidak mengharapkan apa yang ada ditangan manusia.” Maksudnya mengetahui hakikat Illahi melalui (kasyf=penyingkapan tabir) dan menentukan hidup zuhud atau menahan diri dari apa yang dimiliki oloeh manusia.
Sebenarnya tidak sedikit bantahan terhadap tasawuf yang tiba dari kalangan para ulama ahlussunnah. Terutama setelah Tasawuf mengalami aneka macam dampak dari budaya absurd yang kebanyakan bercanggah dengan iman islam. Konsep al-Hulul dan ittihad yang diperkenalkan oleh Abu Mansur al-Hallaj dan dengannya ia menyatakan dirinya sebagai al-haqq telah berakhir dengan fatwa ulama yang membolehkannya dibunuh. Inilah untuk pertama kali dalam sejarah tasawuf Islam seorang sufi dihalalkan darahnya oleh para ulama lantaran ajarannya yang bertentangan dengan iman agama. Demikian juga anutan tasawuf al-Suhrawardi, pendiri mazhab isyraqiyyah yang memaklumkan dirinya sebagai seorang nabi yang mendapatkan limpahan nur Illahi dan berakhir dengan fatwa ulama bahwa ia yaitu seorang kafir yang halal darahnya. Lalu ia digantung di Aleppo pada tahun 587 H dalam usia 38 Tahun. Demikian pula halnya dengan Ibn Sab`in yang telah mengambil jalan pintas dengan membunuh diri lantaran serangan para ulama yang sangat gencar terhadap anutan tasawuf yang diajarinya. Tidak sedikit pila para ulama yang membantah anutan tasawuf Ibn Arabi yang mengajar paham pantheisme bahwa Tuhan dan alam merupakan suatu kesatuan yang dipisahkan. Perbedaannya hanya pada nama, sedangkan pada hakikat yaitu satu.
Dengan banyaknya anutan yang menyimpang dari syari`at, maka ilmu tasawuf pada balasannya mengalami kemunduran yang luar biasa sehingga berakhir dengan kehilangan peranannya dalam ilmu-ilmu Islam dan telah berubah wujudnya dalam bentuk pengalaman tarikat yang tidak membawa sesuatau yang gres dalam anutan kerohanian Islam selain dari pengagungan para guru atau mursyid serta warisan anutan yang mereka terima.
TAHAP-TAHAP PERKEMBANAGAN TASAWUF
Secara historis tasawuf telah mengalami perkembangan melalui beberapa tahap, semenjak pertumbuhan sampai keadaannya sekarang.
Tahap pertama, tasawuf masih berupa zuhud dalam pengertian yang masih sangat sederhana. Yaitu, saat pada era ke-1 dan ke-2 H, sekelompok kaum Muslim memusnahkan perhatian memprioritaskan hidupnya hanya pada pelaksanaan ibadah untuk mengejar laba alam abadi Mereka adalah, antara lain: Al-hasan Al-Basri (w. 110 H) dan Rabi`ah Al-Adawwiyah (w.185 H) kehidupan “model” zuhud kemudian berkembang pada era ke-3 H saat kaum sufi mulai memperhatikan aspek-aspek teoritis psikologis dalam rangka pembentukan prilaku sampai tasawuf menjadi sebuah ilmu susila keagamaan. Pembahasan luas dalam bidang susila mendorong lahirnya pendalaman studi psikologis dan gejala-gejala kejiwaan yang lahir selanjutnya terlibat dalam masalah-masalah ini berkaitan pribadi dengan pembahasan mengenai kekerabatan insan dengan Allah SWT. Sehingga lahir konsepsi-konsepsi menyerupai Fana`, terutama Abu Yazid Al-Busthami (w. 261 H)
Dengan demikian, suatu ilmu khusus telah berkembang dikalangan kaum sufi, yang berbeda dengan ilmu fiqh, baik dari segi objek, metodologi, tujuan, maupun istilah-istilah keilmuan yang digunakan. Lahir pula tulisan-tulisan antara lain : Al-Risalah Al-Qusyairiyyah karya Khusairi dan `Awarif Al-Ma`arif karya Al-Suhrawardi Al-baghdadi. Tasawuf kemudian menjadi sebuah ilmu setelah sebelumnya hanya merupakan ibadah-ibadah praktis.
Dari sisi lain, pada era ke-3 dan ke-4 muncul tokoh-tokoh tasawuf menyerupai Al-Juanid dan Sari Al-Saqathi serta Al-Kharraz yang memperlihatkan pengajaran dan pendidikan kepada para murid dalam sebuah bentuk jamaah. Untuk pertama kali dalam islam terbentuk tarekat yang kala itu merupakan semacam forum pendidikan yang memperlihatkan aneka macam pengajaran teori dan praktik kehidupan sufisfik, kepada para murid dan orang-orang yang berhasrat memasuki dunia tasawuf. Pada periode ini muncul pula jenis gres tasawuf yang diperkenalkan Al-Husain ibn Manshur Al-Hallaj yang dieksekusi mati akhir kepercayaan hullulnya pada 309 H.
Pada era ke-5 H Imam Al-Ghazali tampil menentang jenis-jenis tasawuf yang dianggapnya tidak sesuai dengan Al-Quran dan Sunnah dalam sebuah upaya menegmbalikan tasawuf kepada status semula sebagai jalan hidup zuhud, pendidikan jiwa pembentukan moral. Pemikiran-pemikiran yang diperkenalkan Al-Ghazali dalam bidang tasawuf dan makrifat sedemikian mendalam dan belum pernah dikenal sebelumya. Dia mengajukan kritik-kritik tajam terhadap aneka macam aliran filsafat, pemikiran-pemikiran Mu`tazilah dan kepercayaan bathiniyah untuk menancapkan dasar-dasar yang kukuh bagi tasawuf yang lebih Moderat dan sesuai dengan garis pemikiran teologis Ahl Al-Sunnah wal Jama`ah. Dalam orientasi umum dan rincian-rinciannya yang dikembangkannya berbeda dengan konsepsi disebut tasawuf Sunni. Al-Ghazali menegaskan dalam Al-Munqidz min Al-Dhalal, sebagai berikut:
Sejak tampilnya Al-Ghazali ,pengaruh tasawuf Sunni mulai menyebar di Dunia Islam. Bahkan muncul tokoh-tokoh Sufi terkemuka yang membentuk tarekat untuk mendidik para murid, menyerupai Syaikh Akhmad Al-Rifa`I (w.570 H) dan Syaikh Abd. Al-Qadir Al-jailani (w. 651 H) yang sangat terpengaruh oleh garis tasawuf Al-Ghazali pilihan yang sama dilakukan generasi berikut, antara lain yang paling menonjol adalah, Syaikh Abu Al-Hasan Al-Syadzili (w.650 H) dan muridnya, Abu Al-Abbas Al-Mursi (w.686 H), serta Ibn Atha`illah Al-sakandari (w. 709 H). model tasawuf yang mereka kembangkan ini yaitu kesinambungan tasawuf Al-Ghazali.
Kenyataan bahwa konsepsi-konsepsi yang berkembang dalam tasawuf falsafi terpengaruh oleh sumber-sumber absurd pada gilirannya mendorong sejumlah peneliti mengasumsikan tasawuf sebagian bersumber dari kebudayaan absurd dan menutup kemungkinan bersumber pada Islam. Jadi, meski filsafat dan membuat istilah-istilah serta mewarnai konsepsi-konsepsinya dengan gambaran filsafat, pertumbuhannya tetap bersumber dari islam. Oleh lantaran itu, kebanyakan orientalis kemudian berubah perilaku dengan tetap mengakui islam sebagai salah satu sumber tasawuf. Nicholson dan Spencer Triminham, misalnya, mengakui adanya sumber islam dalam Tasawuf. Menurut Abdul rahman badawi, hal itu disebabkan oleh asumsi-asumsi yang tidak diperkuat oleh data-data yang ada.
Mengakui adanya sumber islam dalam tasawuf tidak lantas mengingkari dampak sumber-sumber asing, tetapi, yang dimaksudkan yaitu meletakkan dampak tersebut pada proporsi yang bergotong-royong dan tidak dibesar-besarkan. Adalah tidak layak apabila tetapkan sumber-sumber absurd saja padahal terdapat spirit yang justru lebih bersahabat kepada semangat islam terutama dari prespektif Al-Quran dan Sunnah.
Namun penting dicatat bahwa tasawuf telah mengalami kemunduran semenjak era ke-8 H lantaran mereka yang berkecimpungan dalam bidang tasawuf terbatas kegiatannya pada menulis komentar atau meringkas buku-buku tasawuf yang dikarang oleh sufi terdahulu, kemudian memfokuskan perhatian pada aspek-aspek praktik ritual yang umumnya dilakukan dalam bentuk formalitas sehingga semakin jauh dari substansi. Meskipun pengikut tarekat mencatat perkembangan pesat, tidak seorangpun yang tampil sebagai tokoh klasik, baik dalam pengalaman
Penghayatan, maupun kualitas ilmu. Barangkali, yaitu kebekuan pemikiran serta spiritualitas kering yang melanda Dunia Islam semenjak masa-masa final periode Dinasti Usmaniah, yang menjadi faktor penyebabnya.
Bagaimanapun, penyelewengan-penyelewengan yang terjadi dalam tasawuf selama masa-masa belakangan tidak berarti kelemahan anutan tasawuf atau kesalahan metodologinya. Berangkat dari persepsi ini kiranya sanggup disimpulkan bahwa tasawuf mengalami pola perkembangan alami. Dimulai dari gerakan zuhud pada masa Rasulullah Hasan Al-Basri, Abd Al-Wahid Ibn Zaid, Ibrahim Ibn Ibn Adham, rabi`ah Al-Adawiyah kemudian Ma1ruf Al-Kahrki Al-harits Al-Muhasibi, Abu yazid Al-Busthami< Al-Junaid dan Al-Hallaj sampai era ke-4 H.
Perlu diingat bahwa kepercayaan kaum sufi terhadap tasawuf sebagai ilmu yang bisa menelusuri1 makna tersembunyi dan belakang layar serta pesan tersirat yang terkandung dalam ayat-ayat Al-Quran atau, meminjam ungkapan Al-Thusi, mencapai hakikat pemahaman Al-Quran mendorong mereka melaksanakan semacam otokritik terhadap yang mereka sebut sebagai sufi-sufi palsu (ad`iya al-tashawuf). Salah satu tujuan mereka menulis atau mengarang buku.