Pelayanan Publik Birokrasi
Sunday, March 22, 2020
Edit
Pelayanan Publik Birokrasi
Setiap negara di manapun serta apapun bentuk pemerintahannya selalu membutuhkan pelayanan publik. Pelayanan publik merupakan suatu keharusan bagi negara atau pemerintahan untuk melayani warga negaranya. Pelayanan publik tidak gampang dilakukan, dan banyak negara yang gagal melaksanakan pelayanan publik yang baik bagi warganya. Pelayanan publik (public service), merupakan salah satu pembahasan yang cukup faktual dalam kajian birokrasi.
Pelayanan publik menjadi ujung tombak interaksi antara masyarakat dan pemerintah. Kemampuan birokrasi sanggup dinilai salah satunya dengan melihat sejauh mana kualitas pelayanan publik. Sebagai implementasi kebijakan birokrasi di lapangan, pelayanan publik pun menarik minat tersendiri untuk dipelajari. Penilaian terhadap kemampuan birokrasi publik tidak cukup hanya dilakukan dengan memakai indikator-indikator yang menempel pada birokrasi ibarat efisiensi dan efektifitas, tetapi harus dilihat pula dari indikator-indikator yang menempel pada pengguna jasa, ibarat kepuasan pengguna jasa, akuntabilitas dan responsivitas (Dwiyanto dkk, 2002).
Pelayanan publik merupakan segala kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan dasar sesuai dengan hak-hak dasar setiap warga negara dan penduduk atas suatu barang, jasa dan atau pelayanan manajemen yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan yang terkait dengan kepentingan publik. Adapun penyelenggaranya yaitu forum dan petugas pelayanan publik, baik Pemda maupun Badan Usaha Milik Daerah yang menyelenggarakan pelayanan publik. Sedangkan peserta pelayanan publik yaitu orang perseorangan dan atau kelompok orang dan atau tubuh aturan yang mempunyai hak, dan kewajiban terhadap suatu pelayanan publik.
Dalam hubungannya dengan pelayanan birokrasi pemerintah, aparatur birokrasi yang mendapat kepercayaan untuk melayani masyarakat perlu menyadari bahwa pada dirinya dituntut untuk menawarkan pelayanan prima (excellent services), sebagai berikut: (a) sensitif dan responsif terhadap peluang dan tantangan yang dihadapi, (b) sanggup membuatkan fungsi instrumental dengan melaksanakan terobosan melalui pemikiran yang inovatif dan kreatif, (c) berwawasan futuris dan sistematis sehingga resiko yang bakal timbul akan diminimalisir, dan (d) berkemampuan dalam mengoptimalkan sumber daya yang potensial. Untuk menjadikan kepuasan pelanggan sebagai tujuan utama, maka sikap aparatur birokrasi dalam menawarkan pelayanan harus melaksanakan pekerjaannya dengan sepenuh hati (Patricia Patton: 1997).
Salah satu kekurangan mendasar organisasi pemerintahan atau birokrasi pemerintahan, khususnya dalam penyelenggaraan pelayanan publik yaitu ketidakmampuannya membuat suatu iklim organisasi pembelajar. Padahal dalam tuntutan masyarakat yang semakin dinamis organisasi sangat diharapkan mempunyai abjad organisasi pembelajar. Menurut Sangkala (2007: 210), bahwa organisasi pembelajar akan mempunyai kemampuan memperbaiki dan meningkatkan adaptabilitas serta kapasitasnya dalam memenuhi tuntutan lingkungan. Organisasi yang di dalamnya berisi orang-orang yang bahagia berguru dan senantiasa membantu organisasi melahirkan pengetahuan dan keterampilan baru.
Kemampuan memperbaiki dan meningkatkan adaptabilitas serta kapasitasnya dalam memenuhi tuntutan lingkungan merupakan suatu issu penting yang justru kurang mendapat perhatian selama ini. Secara teoritik tuntutan dan kepentingan individu sebagai anggota masyarakat yang merupakan serpihan dari lingkungan memang sangat bervariasi, sehingga dalam batas tertentu berpeluang melahirkan benturan kepentingan, khususnya dalam proses pengambilan keputusan oleh para pejabat birokrasi. Akibatnya pengambilan keputusan sebagai serpihan proses manajemen seringkali menimbulkan ketidakadilan bagi masyarakat. Menurut Permana (2009: 39-40) persepsi masyarakat terhdap ketidakadilan itu muncul sebagai akhir perbedaan cara pandang individu terhadap kebijakan yang disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: preferensi individu (individual preference), adat (ethic), kebebasan individu (individual freedom), hak individu (individual rights), dan distribusi keadilan (distribution of justice). Proses pengambilan kebijakan publik yang berkeadilan ditunjukkan dengan skema/gambar sebagai berikut:
Fenomena ini banyak ditemukan di negara-negara yang sedang berkembang, ibarat di Indonesia. Justifikasi yang sederhana bahwa secara filosofis Negara Republik Indonesia ini dibuat dengan sejumlah tujuan yang luhur ibarat yang tercantum dalam konstitusi yang antara lain yaitu: memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam kenyataan tujuan tersebut belum terlaksana hingga ketika ini. Dalam konteks ini tentu yang paling menonjol untuk disoroti yaitu duduk kasus pelayanan publik.
a. Konsep Pelayanan Publik
Konsep Pelayanan publik (public service) sering dipakai dalam banyak sekali konteks oleh banyak kalangan, baik ilmuan maupun praktisi dengan makna yang berbeda-beda. Dalam sejarah perjalanan manajemen publik, pelayanan publik semula difahami secara sederhana sebagai pelayanan yang diselenggarakan oleh pemerintah. Konsep pelayanan publik terdiri dari rangkaian dua kata, yaitu “pelayanan” dan “publik”. Pelayanan yaitu cara melayani, membantu menyiapkan, dan mengurus, menuntaskan keperluan, kebutuhan seseorang atau kelompok orang, artinya obyek yang dilayani yaitu individu, pribadi-pribadi dan kelompok organisasi (Sianipar, 1998). Sedangkan publik secara umum diartikan sebagai masyarakat atau rakyat. Berdasarkan pengertian itu, maka secara sederhana pelayanan publik sanggup diartikan sebagai suatu pelayanan atau pemberian terhadap masyarakat yang berupa penggunaan fasilitas-fasilitas umum, baik jasa maupun non jasa yang dilakukan oleh organisasi publik dalam hal ini yaitu suatu pemerintahan. Dalam pemerintahan, pihak yang menawarkan pelayanan yaitu aparatur pemerintahan beserta segenap kelengkapan kelembagaannya. Semua barang dan jasa yang diselenggarakan oleh pemerintah kemudian disebut sebagai pelayanan publik.
Pelayanan publik juga sanggup diartikan sebagai pemberian layanan (melayani) keperluan orang atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan aturan pokok dan tatacara yang telah ditetapkan (Kurniawan dalam Sinambella, 2008). Selanjutnya dalam Kepmenpan No.63/KEP/M.PAN/7.2003), pelayanan publik diartikan sebagai segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan peserta pelayanan maupun pelaksanaan ketentuan perundang-undangan.
Dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik, pelayanan publik diartikan sebagai kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik. Sementara penyelenggara pelayanan publik yang selanjutnya disebut penyelenggara yaitu setiap institusi penyelenggara negara, korporasi, forum independen yang dibuat berdasarkan undang-undang untuk kegiatan pelayanan publik, dan tubuh aturan lain yang semata-mata dibuat untuk kegiatan pelayanan publik.
Berdasarkan banyak sekali pengertian tersebut di atas, maka secara sederhana pelayanan publik sanggup diartikan sebagai segala kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan dasar sesuai dengan hak-hak dasar setiap warga negara dan penduduk atas suatu barang, jasa dan atau pelayanan manajemen yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan yang terkait dengan kepentingan publik. Adapun penyelenggaranya yaitu forum dan petugas pelayanan publik, baik Pemda maupun Badan Usaha Milik Daerah yang menyelenggarakan pelayanan publik. Sedangkan peserta pelayanan publik yaitu orang perseorangan dan atau kelompok orang dan atau tubuh aturan yang mempunyai hak, dan kewajiban terhadap suatu pelayanan publik.
Dalam memahami konsep pelayanan publik, makna “publik” perlu difahami, baik dalam perkembangan historis atau latar belakang munculnya dan aplikasinya di dalam manajemen publik. Dalam perkembangan ilmu manajemen publik, konsep “publik” bermakna luas daripada hanya “government” (pemerintah saja). Sebagai akhir meluasnya makna konsep publik tersebut, milai-nilai keadilan, kewarganegaraan, (citizenship), etika, patriotisme, dan responsiveness menjadi kajian penting di samping nilai-nilai efisiensi dan efektivitas (Nurmandi, 2010:1)
Pemahaman terhadap sektor publik dan sektor privat menjadi perdebatan dalam diskursus ilmiah. Perdebatan itu antara lain menganggap bahwa kajian public sector merupakan bidang studi manajemen negara, sedangkan private sector merupakan kajian disiplin menajemen. Secara substansial diskursus mengenai isu-isu sektor privat dan publik sudah usang diperdebatkan di Amerika Serikat. Sebagai kesimpulan umum yang sangat relevan sanggup dilihat pada uraian berikut (Bruce McCallum, 1984). Pertama, ada persamaan praktik-praktik manajemen pada sektor publik dan privat, sehingga yang lebih ditekankan yaitu peranan respektif para manajer dibidangnya masing-masing. Kedua, ada persamaan praktik-praktik manajemen pada sektor publik dan privat ke arah meningkatkan over time. Ketiga, persamaan-persamaan dan perbedaan sektor publik dan privat relatif tidak penting, artinya tidak menghasilkan sifat-sifat yang fundamental. Keempat, karena peranan dan keahlian antara manajer sektor publik dan privat berbeda, maka training-training yang dipakai juga berbeda, manajer sektor publik mungkin akan gagal bila menjalankan sektor privat begitu juga sebaliknya. Kelima, gaya manajemen sektor publik berbeda dengan sektor privat. Mungkin prinsip atau teknik manajemen sanggup diterapkan di dalam kedua sektor tersebut, tetapi dalam tataran simpel tetap berbeda. Keenam, ada pertukaran nilai antara manajer sektor publik dan sektor privat dalam menentukan program-program pelayanan kepada publik.
Beberapa dimensi yang sanggup dijabarkan dalam melihat perbedaan antara sektor publik dan sektor privat ibarat yang dikemukakan oleh Bruce McCallum (1984), yaitu dalam hal tujuan dan sasaran, akuntabilitas, merit system, jaminan kerja, koordinasi, keterlibatan politik dalam pembuatan keputusan, konsistensi dalam pengambilan keputusan, personalitas antara manajer publik dan privat.
Perbedaan antara manajemen sektor publik dan sektor privat dalam hal dimensi tujuan, yaitu sektor publik mempunyai tujuan yang sangat banyak, seragam, bahkan terkadang kabur dan tidak nyata. Hal ini disebabkan karena ada polarisasi aspek politis dan hemat yang berarti public sector goal itu tidak begitu nampak ibarat halnya private sector goal.
Akuntabilitas dalam sektor publik dan privat juga berbeda, dalam sektor privat kebebasan untuk menentukan pekerjaan guna meraih tujuan yang dbebankan kepadanya akan dipertanggungjawabkan kepada komisaris dan pemegang saham. Dalam sektor publik atasan vertical bertanggung jawab pada institusi yang berwenang. Tanggung jawab itu meliputi finansial, administratif, politis serta pelaksanaan jadwal kerja sesuai dengan yang ditetapkan. Ini merupakan konsekuensi kiprah eksekutif publik. Orang yang ditunjuk pada pelayanan publik yaitu orang-orang yang mempunyai kriteria tertentu dan dinilai berdasarkan keahlian, kualifikasi khusus, loyalitas secara politis. Sedangkan pada sektor privat, prinsip kepantasan sesuai dengan kualifikasi keahlian yang berdasarkan prinsip-prinsip manajemen modern, sehingga maximized profit yang dicapai akan terwujud.
Perbedaan lain yaitu duduk kasus jaminan kerja. Dalam sektor privat cenderung untuk meningkatkan jaminan dari jabatan yang diembannya. Dalam hal ini, sektor publik juga mengikuti ekspresi dominan demikian. Walaupun ada kecenderungan ke arah security of tenure dari masing-masing sektor, akan tetapi dalam praktiknya, jumlah imbalan yang diberikan berbeda. Kenyataan ini disebabkan oleh pengelolaan pada masing-masing sektor. Sektor privat selalu memakai sumber dana, sumber daya dan sumber-sumber lainnya mengikuti mekanisme dan proses atau standar yang efektif dan efisien. Segala sesuatunya dihitung dari berapa jumlah biaya yang harus dikeluarkan dan profit yang akan diterima. Hasil laba higienis organisasi privat itulah yang akan didistribusikan kepada pekerja sesuai dengan proporsi masing-masing. Fenomena yang terjadi pada sektor privat tersebut tidak terjadi pada sektor publik. Rumitnya jalur birokrasi serta tujuan yang bersifat sosial mengakibakan tidak efisiennya pengelolaan organisasi. Hal tersebut berdampak pada jaminan yang diberikan juga terbatas. Sektor publik mempunyai koordinasi antardepartemen dan forum publik, sementara sektor privat koordinasinya antara pimpinan dan bawahan serta komisaris organisasi.
Mendefinisikan pelayanan publik tidak lagi sanggup ditentukan dengan hanya melihat forum penyelenggaranya, yaitu pemerintah atau swasta. Pelayanan publik tidak lagi sempurna untuk difahami sebagai pelayanan dari pemerintah, begitu juga pelayanan swasta yang tidak sanggup difahami hanya sebagai pelayanan yang diberikan oleh forum non-pemerintah. Pelayanan publik harus dilihat dari karakteristik dan sifat dari pelayanan itu sendiri, bukan dari karakteristik forum penyelenggaranya atau sumber pembiayaannya semata. Kriteria yang selama ini secara konvensional dipakai untuk membedakan antara pelayanan publik dan pelayanan privat tidak sanggup lagi dipakai dengan gampang untuk mendefinisikan pelayanan publik.
Atas dasar itu, maka muncul suatu pertanyaan, apa yang kemudian sanggup dipakai untuk menentukan suatu pelayanan sanggup dikategorikan sebagai pelayanan publik dan kapan pelayanan itu kehilangan sifatnya sebagai pelayanan publik?. Menurut Dwiyanto (2010:18-19) terdapat banyak kriteria untuk menentukan sebuah pelayanan (barang, jasa dan administratif) termasuk sebagai pelayanan publik atau bukan. Adapun kriteria tersebut sanggup dilihat pada uraian berikut.
Kriteria pertama yang biasanya dipakai yaitu sifat dari barang dan jasa itu sendiri (Stiglitz, 2000:128; Ostrom, Gradner & Walker:1994:7). Barang dan jasa yang termasuk dalam kategori barang publik atau barang yang mempunyai ekternalitas tinggi biasanya tidak sanggup diselenggarakan oleh korporasi atau diserahkan kepada pasar, karena mereka tidak sanggup mengontrol siapa yang mengkonsumsi barang dan jasa tersebut, sementara barang dan jasa tersebut sangat penting bagi kehidupan warga dan masyarakat luas. Karena pelayanan ini sangat penting dan harus disediakan oleh negara, sehingga pelayanan tersebut seharusnya menjadi serpihan dari pelayanan publik.
Kriteria kedua yang sanggup dipakai untuk mendefinisikan pelayanan publik yaitu tujuan dari pelayanan barang dan jasa. Penyediaan barang dan jasa yang dilakukan untuk mencapai tujuan dan misi negara, walaupun barang dan jasa itu bersifat privat, sanggup dikatakan sebagai pelayanan publik. Tujuan dan misi negara biasanya diatur dalam konstitusi atau peraturan perundangan lainnya.
Semua pelayanan yang memenuhi salah satu dari kedua kriteria, yaitu merupakan jenis barang atau jasa yang mempunyai eksternalitas tinggi dan sangat diharapkan oleh masyarakat serta penyediaannya untuk mencapai tujuan atau misi negara, baik dalam rangka memenuhi hak dan kebutuhan dasar warga, maupun tujuan strategis pemerintah, seharusnya dikategorikan sebagai pelayanan publik. Ketika sebuah pelayanan menjadi pelayanan publik, maka negara tidak sanggup lepas tangan dan menyerahkan penyelenggaraannya kepada mekanisme pasar atau assosiasi sukarela sepenuhnya. Meskipun keterlibatan pasar untuk berpartisipasi telah meringankan beban pemerintah, namun untuk menghgindari biar keterlibatan tersebut tidak merugikan kepentingan warga pengguna, maka keterlibatan pasar atau assosiasi sukarela dalam penyelenggaraan layanan publik harus diatur dalam peraturan perundangan.
Berdasarkan kedua kriteria ibarat yang telah disebutkan di atas, maka perbedaan ciri pelayanan publik dengan pelayanan privat sanggup dijelaskan. Pelayanan privat sanggup didefinisikan sebagai kegiatan untuk memenuhi kebutuhan perseorangan, yang bukan menjadi hajat hidup orang banyak, bukan menjadi kebutuhan bersama secara kolektif, dan tidak menjadi serpihan dari komitmen pemerintah untuk memenuhi kebutuhan minimal warganya biar sanggup hidup secara layak. Lembaga pemerintah dan swasta yang terlibat dalam penyelenggaraan layanan itu, tidak menjadi serpihan dari forum penyelenggara layanan publik.
Sedangkan suatu pelayanan didefinisikan sebagai pelayanan publik, maka tanggung jawab penyediaannya menjadi tanggung jawab negara. Tentu hal ini tidak berarti pemerintah atau unsur penyelenggara negara lainnya harus melakukannya sendiri. Negara sanggup melibatkan forum non pemerintah untuk menyelenggarakan pelayanan publik. Dalam penyelenggaraannya, negara harus menyediakan anggaran atau subsidi untuk menjamin semua warga mempunyai jalan masuk terhadap pelayanan tersebut.
Berbagai pemikiran yang berkaitan dengan itu, antara lain dikemukakan oleh Frederickson (1997: 31-32), dengan membedakan banyak sekali perspektif dalam mendefinisikan publik, yaitu:
- Publik sebagai kelompok kepentingan (perspektif pluralis);
- Publik sebagai pemilih rasional (perspektif pilihan publik);
- Publik sebagai pihak yang diwakili (perspektif perwakilan);
- Publik sebagai pelanggan (perspektif peserta layanan publik)
- Publik sebagai warganegara.
Dalam perspektif pluralis, publik difahami sebagai kelompok kepentingan sebagaimana yang dikembangkan oleh ilmuan politik. Kepentingan (interest) publik disalurkan sedemikian rupa oleh kelompok kepentingan, baik dalam bentuk artikulasi kepentingan maupun agregasi kepentingan. Dalam demokrasi, sebuah atau beberapa kelompok kepentingan melaksanakan aliansi dengan partai politik untuk mengartikulasikan kepentingannya.
Pemahaman publik dalam perspektif pemilih rasional dikembangkan oleh Buchanan dan Tullock. Mereka membuatkan model ekonomi untuk memformulasikan sikap indovidu dalam sistem politik. Salah satu karya yang menerapkan model Buchanan dan Tullock yaitu Down (dalam Frederickson, 1997:34) pada sikap birokrat dalam mengkalkulasi preferensi pribadinya. Teori Down perihal instansi pemerintah adalah: Pertama, menekankan benefit positif pada kegiatan instansi pemerintah dan mengurangi biaya; Kedua, Menunjukkan bahwa ekspansi pelayanan instansi akan lebih memenuhi cita-cita dan pengiritan akan kurang memenuhi harapan; Ketiga, Instansi lebih menawarkan pelayanan pada kepentingan masyarakat dalam arti luas daripada kepentingan yang spesifik; Keempat, menekankan pada efisiensi pada instansi tingkat atas; Kelima, menekankan pada prestasi dan kemampuan, sementara mengabaikan kegagalan dan ketidakmampuan.
Perspektif ketiga yaitu perspektif perwakilan, yang melihat publik sebagai pihak yang diwakili oleh elected officials (politisi). Dalam perspektif ini, kepentingan publik diasumsikan telah diwakili oleh wakilnya yang duduk di lembaga-lembaga perwakilan. Kelemahan utama perspektif ini yaitu pada kenyataannya politisi tidak menyuarakan kepentingan publik, dan politisipun tidak pernah melibatkan masyarakat dalam perumusan kebijakan.
Perspektif keempat, melihat publik sebagai pelanggan (customer) pelayanan publik yang diselenggarakan oleh birokrasi publik. Lipsky membuatkan konsep street level bureaucracy untuk memperlihatkan interaksi yang erat antara pegawanegeri pelayanan publik dengan masyarakat yang dilayani. Namun iapun mensinyalir bahwa birokrasi lebih melayani kepentingannya daripada kepentingan masyarakat, dan street level bureaucracy lebih memfungsikan dirinya sebagai kelompok kepentingan.
Perspektif terakhir melihat publik sebagai warganegara. Sebagai warganegara, seseorang tidak hanya mewakili kepentingan individu namun juga kepentingan publik. Model-model partisipasi publik dalam pengambilan keputusan lebih banyak menerapkan perspektif ini.
Berkaitan dengan produk pelayanan birokrasi, Gronroos dalam Dwiyanto yang dikutip dari LAN (2006:137) mengemukakan sejumlah karakteristik pelayanan publik, baik dalam bentuk barang maupun jasa.
b. Pergeseran Paradigma Pelayanan Publik
Dalam konteks keilmuan, birokrasi pelayanan publik selalu mengalami perkembangan atau pergeseran sesuai dengan perspektif atau paradigma pelayanan publik itu sendiri atau biasa disebut dengan reformasi birokrasi. Menurut Denhardt dan Denhardt (2002: 28-29) pelayanan publik juga mengalami pergeseran seiring dengan pergeseran paradigma manajemen publik dari old administration ke new public management dan terakhir ke new public service. Secara garis besar pergeseran paradigma tersebut digambarkan oleh Keban (2008:244-8), sebagai berikut:
1. Old Public Administration
Woodrow Wilson merupakan tokoh penting yang memprakarsai gerakan perubahan dalam paradigma OPA. Ia menyarankan biar manajemen publik harus dipisahkan dari dunia politik (dikhotomi manajemen publik dengan politik). Berdasarkan pengalaman Wilson, negara terlalu memberi peluang bagi para eksekutif untuk mempraktekkan sistem nepotisme dan spoil.Oleh karena itu ia mengeluarkan iman untuk melaksanakan pemisahan antara dunia legislative (politik) dengan dunia eksekutif, dimana para legislator hanya merumuskan kebijakan dan para eksekutif hanya mengeksekusi atau menmgimplementasikan kebijakan. Sosok birokrasi yang ditawarkan Wilson ini sejalan dengan jiwa atau semangat bisnis. Wilson menuntut biar para eksekutif publik selalu mengutamakan nilai efisiensi dan ekonomis, sehingga mereka harus diangkat berdasarkan kecocokan dan kecakapan dalam bekerja ketimbang keanggotaan atau kedudukan dalam suatu partai politik. Ajaran Wilson untuk menggandakan dunia bisnis ini membawa suatu implikasi penting dalam pemerintahan, yaitu bahwa prinsip-prinsip dalam dunia bisnis yang diprakarsai oleh Taylor pantas untuk diperhatikan. Metode keilmuan berdasarkan Taylor harus menggeser metode rule of thumb. Tenaga kerja harus diseleksi, dilatih dan dikembangkan secara ilmiah dan didorong untuk bekerja sama dalam menuntaskan banyak sekali kiprah pekerjaan sesuai prinsip-prinsip keilmuan. Dunia telah mengakui kebesaran Taylor dalam membangun prinsip manajemen yang professional.
Sejalan dengan Wilson, Max Weber juga mengajak untuk melaksanakan prinsip-prinsip Taylor. Menurut Weber, ketika masyarakat berkembang semakin kompleks, maka diharapkan suatu institusi yang rasional yaitu birokrasi. Dalam birokrasi ini, diatur sikap yang tidak saja produktif, tetapi juga loyal terhadap pimpinan dan organisasi. Perilaku yang impersonal dan saklek harus diterapkan. Hubungan kekeluargaan dan kelompok sosial tidak mendapat tempat untuk dipertimbangkan dalam birokrasi. Oleh karena itu, para anggota organisasi harus ditempatkan berdasarkan kemampuan yang dimiliki. Dikembangkan dan dituntun dengan peraturan yang terang dalam menjalankan tugasnya.
Doktrin OPA, dalam perkembangannya menghadapi duduk kasus (fallacies). Sebagai illustrasi misalnya, Weber yakin bahwa sosok organisasi birokrasi sangat ideal, padahal dalam perkembangannya bias berubah sifatnya menjadi sangat kaku, bertele-tele dan penuh red-tape (Weber fallacy). Demikian juga halnya dengan Taylor sangat yakin bahwa hanya ada satu cara terbaik (one way of doing the task) untuk melaksanakan tugas, padahal dalam perkembangan jaman terdapat banyak cara lain untuk bekerja terbaik, hasil rekayasa teknologi dan ilmu pengetahuan (Taylor fallacy). Hal yang sama juga terjadi pada Wilson, dimana ia cenderunmg melihat dunia manajemen publik sebagai kegiatan yang tidak bersifat politis,padahal dalam kenyataannya bersifat politis (Wilson fallacy).
Meskipun muncul banyak sekali duduk kasus dalam paradigma Old Poblic Administration (OPA), namun berguru dari paradigma ini telah menawarkan bantuan pengetahuan yang penting bahwa dalam membangun birokrasi diharapkan profesionalitas, penggunaan prinsip keilmuan, korelasi yang impersonal, penerapan aturan dan standardisasi secara tegas, sikap yang netral dan sikap yang mendorong efisisiensi dan efektifitas.
2. New Public Management
Paradigma New Public Management (NPM) muncul di Inggris, New Zealand, Amerika Serikat dan Canada. Istilah management pada New Public Management, diberikan karena istilah ini lebih bernafsu daripada istilah administration (Vigoda,2003).Paradigma ini didasarkan pada teori pasar dan budaya bisnis dalam organisasi publik (vigoda,2002). Paradigma tersebut muncul tidak hanya karena adanya krisis fiscal pada tahun 1970an dan 1980an, tetapi juga karena adanya keluhan bahwa sektor publik terlalu besar, boros, inefisien, merosotnya kenerja pelayanan publik, kurangnya perhatian terhadap pengembangan dan kepuasan kerja pegawai pemerintah (hope, 2002).
Kemunculan NPM pertama kali hanya meliputi lima doktrin, yaitu (1) penerapan deregulasi pada line management, (2) konversi unit pelayanan publik menjadi organisasi yang berdiri sendiri, (3) penerapan akuntabilitas berdasarkan kinerja terutama melalui kontrak, (4) penerapan mekanisme kompetisi ibarat melaksanakan kontrak keluar, dan (5) memperhatikan mekanisme pasar (Hood, 1991). Dalam perkembangannya, telah menjadi sepuluh iman sebagaimana yang disampaikan dalam Reinventing Governmen (Gaebler dan Osborne, 1992). Beberapa tahun kemudian muncul lagi model NPM yang lebih variatif contohnya model efisiensi drive, downsizing and decentralization, in search of exelence dan public service orientation (Ferile et al, 1996). Berbagai variasi ini memberi kesan bahwa NPM hanyalah merupakan upaya para andal dalam memodernisasikan sektor publik (Pollit, 1995).
Melalui banyak sekali iman NPM tersebut di atas, sanggup dipelajari bahwa proses reformasi harus diarahkan pada enam dimensi kunci. Pertama, menyangkut productivity, yaitu bagaimana pemerintah menghasilkan lebih banyak hasil dengan biaya yang lebih sedikit. Kedua, marketization yaitu bagaimana pemerintah memakai insentif bergaya pasar biar melenyapkan patologi birokrasi. Ketiga, service orientation yaitu bagaimana pemerintah sanggup bekerjasama dengan warga masyarakat secara lebih baik biar program-programnya lebih responsif terhadap kebutuhan warga masyarakat. Keempat, decentralization yaitu bagaimana pemerintah membuat jadwal yang responsif dan efektif dengan memindahkan jadwal ke tingkat pemerintahan yang lebih rendah, atau memindahkan tanggung jawab instansi pemerintah ke para menejer lapangan yang berhadapan eksklusif dengan warga masyarakat, atau memberi kesempatan kepada mereka untuk melaksanakan pembiasaan terhadap kebutuhan warga masyarakat. Kelima, policy yaitu bagaimana pemerintah memperbaiki kapasitas kebijakan. Keenam, performance accountability yaitu bagaimana pemerintah memperbaiki kemampuannya untuk memenuhi janjinya (Kettl, 2000).
Reformasi birokrasi tersebut diarahkan untuk mencapai hasil nyata yang meliputi lima spek, yaitu (1) saving, (2) perbaikan proses, (3) perbaikan efisiensi, (4) peningkatan efektivitas, dan (5) perbaikan sistem administrasi, ibarat peningkatan kapasitas, fleksibilitas dan ketahanan. Dalam hal saving, perbaikan proses dan efisiensi, serta sistem administrasi, Inggris dan Amerika telah mengklaim berhasil, tetapi dalam hal efektifitas masih belum dirasakan, karena hasil simpulan jadwal gres dirasakan beberapa tahun kemudian (Pollit, 2002). Di negara-negara berkembang, NPM masih bersifat embrio dan coba-coba. Keberhasilan NPM ini sangat tergantung dari konteks dan karakteristik negara dan sektor yang ditangani, kemampuan institusi, dan konteks dari institusi itu sendiri ibarat iklim dan ideologi manajemen yang dianut, sikap terhadap otoritas, korelasi sosial dan kelompok (Fertie et al, 1996; Flynn, 2002).
Seperti halnya dengan OPA, NPM pun menghadapi banyak kritikan, karena para elit birokrasi cenderung berkompetisi untuk memperjuangkan kepentingan dirinya daripada kepentingan umum, dan berkolaborasi untuk mencapainya. Apalagi dasar NPM yaitu teori Public Choice yang sangat didominasi oleh kepentingan pribadi (self interest) sehingga konsep ibarat public spirit, public service, dsb, terabaikan (Kamensky, 1996:251). Hal yang demikian tidak akan mendorong proses demokratisasi. Disamping itu, NPM tidak pernah ditujukan untuk menangani pemerataan dan duduk kasus keadilan sosial (Harrow, 2002). Munculnya NPM telah mengancam nilai inti sektor publik yaitu citizen self governance dan fungsi eksekutif sebagai servant of public interest (Box, 1999), bahkan kalau tidak berhati-hati , justeru akan meningkatkan korupsi dan membuat orang miskin gres (Haque, 2007).
Pelajaran penting yang sanggup diambil dari NPM ini yaitu bahwa pembangunan birokrasi harus memperhatikan mekanisme pasar, mendorong kompetisi dan kontrak untuk mencapai hasil, harus lebih responsif terhadap kebutuhan pelanggan, harus lebih bersifat mengarahkan (steering) daripada menjalankan sendiri (rowing), harus melaksanakan deregulasi, memberdayakan para pelaksana biar lebih kreatif, dan menekankan budaya organisasi yang lebih fleksibel, inovatif, berjiwa wirausaha dan pencapaian hasil, ketimbang budaya taat azas, orientasi pada proses dan input (Rossembloom & Krafchuck, 2005).
3. New Public Service
Sebagai koreksi terhadap NPM, King dan Stivens (1998), menegaskan bahwa para eksekutif harus melibatkan warga masyarakat. Mereka harus melihat rakyat sebagai warga masyarakat (bukan sebagai pelanggan), sehingga sanggup saling membagi otoritas dan melonggarkan kendali, serta percaya terhadap keefektifan kolaborasi. Mereka harus membangun trust dan bersikap responsif terhadap kepentingan atau kebutuhan masyarakat, dan bukan semata mencari efisiensi yang lebih tinggi sebagaimanja yang dituntut dalam NPM.
Di Inggris, muncul apa yang disebut joined up thinking and joined up action (Stewart at al, 1999), yang kemudian dikenal dengan paradigma New Public Service (NPS). Di dalam paradigma ini tidak ada lagi yang menjadi penonton, semua jadi pemain atau ikut bermain. Disini pemerintah harus menjamin hak-hak warga masyarakat, dan memenuhi tanggung jawabnya kepada masyarakat dengan mengutamakan kepentingan warga masyarakat.. Fiirst Citizens harus menjadi pegangan atau semboyan pemerintah (Denhardt &Gray, 1998). Isu perihal justice, equity, participation, dan leadership yang tidak diperhatikan dalam buku Reinventing Government (Osborn & Gaebler, 1992), justru harus mendapat perhatian utama (Denhardt & Denhardt, 2003). Paradigma ini sejalan dengan prinsip co-creating yang digagas oleh Prahalad dan Ramaswany (2004) sebagai sumber energi organisasi periode demokrasi, karena sanggup menjamin hak, kebutuhan dan nilai-nilai warga, dan bukan kebutuhan institusi.
Ada tujuh prinsip NPS (Denhardt & Denhardt; 2000; 2003; 2007) yang berbeda dari NPM dan OPA. Pertama, kiprah utama dari pelayan publik yaitu membantu warga masyarakat mengartikulasikan dan memenuihi kepentingan yang telah disefakati bersama, daripada mencoba mengontrol atau mengendalikan masyarakat kearah yang baru. Kedua, eksekutif publik harus membuat gagasan kolektif yang disetujui bersama perihal apa yang disebut sebagai kepentingan publik. Ketiga, kebijakan dan jadwal yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan publik sanggup dicapai secata efektif dan responsif melalui upaya-upaya kolektif dan proses kolaboratif. Keempat, kepentingan publik lebih merupakan hasil suatu obrolan perihal nilai-nilai yang disetujui bersama dari pada agregasi kepentingan pribadi para individu. Kelima, para pelayan publik harus memberi perhatian, tidak semata pada pasar, tetapi juga pada spek aturan dan peraturan perundangan, nilai-nnilai masyarakat, norma-norma politik, standard professional dan kepentingan warga masyarakat. Keenam, organisasi publik dan jaringan-jaringan yang terlibat akan lebih sukses dalam jangka panjang kalau mereka beroperasi melalui proses kerja sama dan melalui kepemimpinan yang menghargai semua orang. Ketujuh, kepentingan publik lebih baik dikembangkan oleh pelayan-pelayan publik dan warga masyarakat yang berkomitmen menawarkan bantuan terhadap masyarakat, dari pada oleh manajer wirausaha yang bertindak seolah-olah uang yaitu milik mereka.
Pelajaran penting yang sanggup diambil dari paradigma NPS ini yaitu bahwa birokrasi harus dibangun biar sanggup memberi perhatian kepada pelayanan masyarakat sebagai warga negara (bukan sebagai pelanggan), mengutamakan kepentingan umum, mengikutsertakan warga masyarakat, berpikir strategis dan bertindak demokratis , memperhatikan norma, nilai dan standard yang ada, dan menghargai masyarakat.
Birokrasi tadisional yang bekerja berdasarkan ciri-ciri birokrasi perlu dipadukan dengan ciri-ciri demokrasi. Perpaduan ciri tentunya akan melahirkan ciri-ciri gres yaitu ciri-ciri birokrasi yang demokratis. Hal ini perlu dilakukan karena prinsip-prinsip kerja birokrasi berbeda dengan tuntutan moral dalam demokrasi.
Birokrasi dalam proses pencapaian tujuannya menekankan efisiensi dan mengandalkan kapabilitas satu orang, menekankan hirarcki, dan kewenangan yang mengalir secara vertikal mengikuti struktur yang berbeda dengan semangat yang ada dalam nilai-nilai demokrasi ibarat persamaan hak dan kedudukan bagi semua warga negara, serta peluang untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan. Ciri-ciri birokrasi dan demokrasi ini dijelaskan oleh Denhardt dan Denhardt (2005).
Secara teoritis mungkin kesulitannya yaitu bagaimana menggabungkan dua nilai yang kecenderungannya mempunyai orientasi yang berbeda. Hal ini senada dengan pernyataan Denhardt dan Denhardt yang mengingatkan bahwa, “dalam organisasi publik, anda niscaya sering menghadapi kesulitan menyatukan efisiensi dan daya tanggap.” Ciri-ciri birokrasi yang demokratis antara lain birokrasi yang mempunyai daya tanggap (responsivitas) yang tinggi terhadap kebuuhan publik, memberi ruang partisipasi publik dalam pengambilan keputusan dan transparansi, atau lebih jelasnya yaitu birokrasi yang menerapkan prinsip-prisip good governance ibarat yang direkomendasikan oleh Bank Dunia, yaitu: participation, rule of law, transparency, responsiveness, consensus orientation, equity, efficienscy and effectiveness, accountability, dan strategic vision (Sjamsuddin, 2005: 68-69). Senada dengan Wilson ibarat yang dikutip Frederickson (2003;56), menyimpulkan bahwa birokrasi sukses yaitu birokrasi dengan eksekutif bisa membuat misi yang jelas, mengidentifikasi kiprah yang harus dicapai untuk memenuhi misi, mendistribusikan otoritas di dalam organisasi berdasarkan tugas, dan memberi bawahan otonomi yang memadai untuk mencapai kiprah tersebut.
Malcolm Walters (1994) menambahkan bahwa kegagalan daripada pelayanan publik ini disebabkan karena pegawanegeri (birokrasi) tidak menyadari adanya perubahan dan pergeseran yang terjadi dalam budaya masyarakatnya dari budaya yang bersifat hirarkhis, budaya yang bersifat individual, budaya yang bersifat fatalis, dan budaya yang bersifat egaliter. Pelayanan publik yang modelnya birokratis cocok untuk budaya masyarakat hirarkhis; pelayanan publik yang modelnya privatisasi cocok untuk budaya masyarakat individual (yang anti hirarkhis); pelayanan publik yang modelnya kolektif cocok untuk budaya masyarakat fatalis (yang mendukung budaya hirarkhis dan anti budaya individu); sedangkan pelayanan publik yang modelnya memerlukan pelayanan cepat dan terbuka cocok untuk budaya masyarakat egaliter (yang anti budaya hirarkhis, anti budaya individu dan anti budaya fatalis).
Substansi pelayanan publik selalu dikaitkan dengan suatu kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok orang atau instansi tertentu untuk menawarkan derma dan kemudahan kepada masyarakat dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Oleh karena itu institusi pelayanan publik sanggup dilakukan oleh pemerintah maupun non-pemerintah. Jika pemerintah, maka organisasi birokrasi pemerintahan merupakan organisasi terdepan yang bekerjasama dengan pelayanan publik. Dan jika non-pemerintah, maka sanggup berbentuk organisasi partai politik, organisasi keagamaan, forum swadaya masyarakat maupun organisasi-organisasi kemasyarakatan yang lain. Siapapun bentuk institusi pelayanananya, maka yang terpenting yaitu bagaimana menawarkan derma dan kemudahan kepada masyarakat dalam rangka memenuhi kebutuhan dan kepentingannya.
Dalam kaitannya dengan penyelenggaraan pemerintahan, birokrasi sebagai ujung tombak pelaksana pelayanan publik meliputi banyak sekali program-program pembangunan dan kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah. Tetapi dalam kenyataannya, birokrasi yang dimaksudkan untuk melaksanakan tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan tersebut, seringkali diartikulasikan berbeda oleh masyarakat. Birokrasi di dalam menyelenggarakan kiprah pemerintahan dan pembangunan (termasuk di dalamnya penyelenggaraan pelayanan publik) diberi kesan adanya proses panjang dan berbelit-belit apabila masyarakat menuntaskan urusannya berkaitan dengan pelayanan aparatur pemerintahan. Akibatnya, birokrasi selalu mendapat gambaran negatif yang tidak menguntungkan bagi perkembangan birokrasi itu sendiri (khususnya dalam hal pelayanan publik).
Thompson, pernah memperlihatkan bahwa budaya birokrasi membuat tuntutan-tuntutan tertentu pada klien serta organisasi pada karyawan. ada banyak orang di masyarakat kita yang belum bisa mengikuti keadaan dengan tuntutan-tuntutan ini. mereka melihat birokrasi yaitu kutukan. mereka tidak melihat baik dalam apapun, tetapi melihat tuntutan organisasi modern sebagai "pita merah" (Rossembloom, 2005: 442).
Perkembangan kehidupan masyarakat yang semakin dinamis, sejalan dengan tingkat kehidupan yang semakin baik, telah meningkatkan kesadarannya akan hak dan kewajibannya sebagai warga negara dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Masyarakat yang semakin kritis dan berani untuk mengajukan keinginan, tuntutan dan aspirasinya, serta melaksanakan kontrol atas kinerja pemerintah. Masyarakat semakin berani menuntut birokrasi publik untuk mengubah posisi dan kiprahnya (revitalisasi) dalam menawarkan layanan publik. Kebiasaan suka mengatur dan memerintah mesti diubah menjadi suka melayani, dari yang lebih suka memakai pendekatan kekuasaan, menjelma suka menolong, semuanya menuju ke arah fleksibelitas, kolaboratis dan dialogis, dan menghilangkan cara-cara yang sloganis menuju cara-cara kerja yang realistik pragmatis (Thoha, 1988:119).
Dalam kondisi masyarakat ibarat digambarkan di atas, pegawanegeri birokrasi harus sanggup menawarkan layanan publik yang lebih profesional, efektif, efesien, serderhana, transparan, terbuka, sempurna waktu, responsif, adaptif dan sekaligus sanggup membangun “kualitas manusia” dalam arti meningkatkan kapasitas individu dan masyarakat untuk secara aktif menentukan masa depannya sendiri. Berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan kawasan dalam tinjauan manajemen pelayanan publik, sangat dibutuhkan sistem birokrasi yang desentralistik. Ciri struktur birokrasi yang terdesentralisir mempunyai beberapa tujuan dan manfaat antara lain :
- Mengurangi (bahkan menghilangkan) kesenjangan kiprah antara organisasi pusat dengan organisasi-organisasi pelaksana yang ada dilapangan.
- Melakukan efesiensi dan penghematan alokasi penggunaan keuangan.
- Mengurangi jumlah staf/aparat yang berlebihan terutama pada level atas dan level menengah (prinsip rasionalisasi).
- Mendekatkan birokrasi dengan masyarakat yang akan memperoleh pelayayan.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka dalam konteks pelayanan publik sanggup digaris bawahi bahwa keberhasilan proses pelayanan publik sangat tergantung pada dua pihak yaitu birokrasi (pelayan) dan masyarakat (yang dilayani). Dengan demikian untuk melihat kualitas pelayanan publik perlu diperhatikan dan dikaji dua aspek pokok yakni: Pertama, aspek proses internal organisasi birokrasi (pelayan); Kedua, aspek eksternal organisasi yakni kemanfaatan yang dirasakan oleh masyarakat pelanggan.
Berkaitan dengan banyak sekali fenomena yang ada di Indonesia, khususnya yang berkaitan dengan birokrasi pelayanan publik, maka langkah yang harus dilakukan yaitu melaksanakan reformasi birokrasi. Salah satu aspek yang perlu dilakukan dalam desentralisasi pemerintahan ialah reformasi birokrasi pemerintahan (birokrasi publik). Karena organisasi ini memegang kiprah utama dalam mewujudkan tata kelola kepemerintahan yang baik (Good Governance). Terpenuhinya prinsip-prinsip good governance ibarat partisipasi, transparansi, supremasi hukum, kesetaraan, responsivitas, efektivitas dan efisiensi serta akuntabilitas sanggup menjadi indikator terlaksananya reformasi birokrasi pelayanan publik.
Target dan target reformasi birokrasi, secara garis besar ada lima hal. Pertama, Terbentuknya birokrasi yang bersih, yaitu birokrasi yang anti KKN dan berkurangnya sikap koruptif pegawai negeri. Kedua, birokrasi yang efisien dan hemat dalam memakai sumber daya yang terbatas. Ketiga, birokrasi yang transparan yakni birokrasi yang seluruh kebijakan dan aktivitasnya diketahui masyarakat dan masyarakat sanggup mengaksesnya dengan mudah. Keempat, birokrasi yang melayani, yaitu birokrasi yang tidak minta dilayani, tetapi birokrasi yang melayani masyarakat. Kelima, birokrasi yang terdesentralisasi, yaitu kewenangan pengambilan keputusan terdesentralisasi kepada pimpinan unit kerja terdepan (Thoha, 2002).
Reformasi politik yang tidak diikuti oleh reformasi birokrasi ternyata tidak banyak menghasilkan perbaikan kinerja pelayanan publik. Dengan birokrasi yang masih berpengaruh mempraktekan budaya korup, bersikap sebagai penguasa, dan tidak profesional maka perubahan apapun yang terjadi dalam pemerintahan tidak akan mempunyai dampak yang berarti bagi perbaikan kinerja pelayanan publik. Karenya, menjadi sangat masuk akal kalau perbaikan kehidupan politik yang menjadi semakin demokratis kini ini belum mempunyai dampak yang berarti pada kinerja birokrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Kinerja birokrasi pelayanan publik menjadi info kebijakan yang semakin penting dan strategis karena perbaikan kinerja birokrasi mempunyai implikasi yang luas dalam kehidupan ekonomi, sosial, dan politik.
Dalam kehidupan ekonomi, perbaikan kinerja birokrasi akan bisa memperbaiki Iklim investasi. Buruknya kinerja birokrasi publik di Indonesia sering menjadi determinan yang penting dari penurunan minat investasi. Dari banyak sekali studi dan observasi, kinerja birokrasi publik di Indonesia tidak banyak mengalami perbaikan, bahkan cenderung menjadi semakin buruk. Akibatnya, pemerintah mengalami kesulitan dalam menarik investasi, belum lagi ditambah dengan masalah-masalah lain, ibarat ketidak-pastian aturan dan keamanan nasional.
Dalam kehidupan sosial, perbaikan kinerja birokrasi akan bisa memperbaiki sistem kehidupan masyarakat yang lebih membuatkan contoh korelasi secara terbuka, taat aturan, menghargai hasil kerja secara profesional, dan berorientasi pada kepuasan hasil kerja (produktivitas). Pada kesudahannya perbaikan kinerja birokrasi akan lebih mendorong tumbuhnya sistem sosial yang mengutamakan etos kerja dan moralitas sebagai serpihan dari korelasi sosial. Dalam kehidupan politik, perbaikan kinerja birokrasi pelayanan publik akan mempunyai implikasi luas, terutama dalam memperbaiki tingkat kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Buruknya kinerja birokrasi selama ini menjadi salah satu faktor penting yang mendorong munculnya krisis kepercayaan kepada pemerintah. Protes, demonstrasi, dan bahkan pendudukan kantor-kantor pemerintah oleh masyarakat yang banyak terjadi di banyak sekali kawasan menjadi indikator dari besarnya ketidak-puasan masyarakat terhadap kinerja pemerintah.
Perbaikan kinerja birokrasi pelayanan publik diharapkan akan memperbaiki kembali gambaran pemerintah di mata masyarakat karena dengan kualitas pelayanan publik yang semakin baik, kepuasan dan kepercayaan masyarakat bisa di bangkit kembali. Oleh karena itu, kajian mengenai kinerja birokrasi publik menjadi info sentral dan mempunyai nilai strategis, terutama yang terkait dengan penyelenggaraan pelayanan publik.
c. Pelayanan Administrasi Pertanahan
Keberadaan tanah merupakan suatu hal yang penting bagi manusia, karena tanah merupakan suatu kebutuhan hidup. Oleh karena itu segala hal yang berkaitan dengan tanah, dari zaman dahulu hingga kini menjadi salah satu acara terpenting untuk dibahas. Tanah bagi bangsa Indonesia mempunyai dimensi yang khas dan khusus. Tanah bukan sekedar benda mati yang bernilai tunggal, akan tetapi dipandang sebagai benda yang multi nilai. Hal ini menjadi serpihan dari filosofis dalam melaksanakan sistem manajemen pertanahan.
Mengingat fungsi strategis dari tanah, sehingga pelayanan manajemen pertanahan menjadi sangat penting., Administrasi pertanahan yaitu pemberian hak, perpanjangan hak, pembaruan hak, peralihan hak, peningkatan hak, penggabungan hak, pemisahan hak, pemecahan hak, izin lokasi, izin perubahan penggunaan tanah, serta izin penunjukan dan penggunaan tanah (Hermit, 2008). Dalam praktek pelaksanaan manajemen pertanahan sering menimbulkan banyak sekali duduk kasus yang tidak jarang menimbulkan konflik di dalam masyarakat. Oleh karena itu diharapkan suatu kebijakan yang lebih komprehensif, yaitu kebijakan yang tidak hanya berorientasi pada perbaikan internal birokrasi, tetapi yang lebih penting yaitu juga memperhatikan kepentingan publik.
Kebijakan pertanahan nasional yang dirumuskan dalam pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 didasarkan pada konsepsi bahwa semua tanah yaitu tanah bangsa Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa yang penguasaannya ditugaskan kepada negara yang pada pada dasarnya dirumuskan dalam pasal 2 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) menawarkan kewenangan untuk mengatur dan memutuskan banyak sekali segi penguasaan tanah yang semenjak semula berdasarkan sifatnya selalu dianggap sebagai kiprah pemerintah pusat. Pengaturan dan penetapan tersebut yang meliputi perencanaan peruntukan tanah, penguasaan dan perbuatan-perbuatan aturan mengenai tanah serta registrasi tanah, pelaksanaan ketentuan hukumnya pada asasnya selalu dilakukan oleh pemerintah pusat sendiri. Kalaupun ada pelimpahan kewenangan dalam pelaksanaannya, pelimpahan tersebut dilakukan dalam rangka dekonsentrasi kepada pejabat-pejabat pemerintah pusat yang ada di daerah.
Berdasarkan fenomena tersebut, maka diharapkan suatu ketentuan peraturan perundang-undangan yang secara terang mengatur kewenangan-kewenangan apa yang ada di pemerintah pusat dan kewenagan-kewenangan yang didelegasikan kepada pemerintah daerah. Dari materi muatan yang terdapat dalam Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 perihal Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 perihal Pemerintahan Daerah, Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 perihal Pembagian Urusan Pemerintahan Antara pemerintah, Pemda Provinsi dan Pemda Kabupaten/Kota, kewenangan dari pusat meliputi hukum, kebijakan, pedoman mengenai pemberian hak-hak atas tanah, pendaftaran, landreform, dalam bentuk undang-undang, peraturan pemerintah maupun keputusan presiden. Sementara itu, kewenangan pemerintah kawasan cukup pada pelayanan masyarakat dan pelaksanaan kebijakan yang sanggup dituangkan dalam bentuk peraturan kawasan maupun keputusan kepala kawasan (Hutagalung, 2008: 59).
Dalam rangka menghemat biaya dan memudahkan tersedianya pejabat pelaksana yang professional dan berpengalaman, demikian juga dalam memelihara koordinasi dengan pelaksanaan tugas-tugas kewenangan lain di bidang pertanahan yang ada pada pemerintah, dalam melaksanakan urusan-urusan yang ditugaskan dalam rangka medebewind, tidak perlu pemerintah provinsi, kabupaten/kota membentuk perangkat pelaksana sendiri. Dengan tidak mengurangi tugasnya sebagai perangkat BPN, cukup kantor-kentor wilayah BPN provinsi, kantor-kantor pertanahan kabupaten/kota diperbantukan kepada provinsi, kabuoaten/kota yang bersangkutan dengan tetap berstatus perangkat Pemerintah Pusat, demikian juga pejabat dan karyawannya (Harsono, 2006:12).
Kewenangan pemerintah dalam bidang pertanahan yang dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/kota ditegaskan dalam pasal 2 Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 perihal Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan. Kewenangan tersebut meliputi: pemberian izin lokasi, penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan, penyelesaian sengketa tanah garapan, penyelesaian duduk kasus ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan, penetapan subyek dan obyek redistribusi tanah, serta ganti kerugian tanah kelebihan maksimum dan tanah absente, penetapan dan penyelesaian duduk kasus tanah ulayat, pemanfaatan dan penyelesaian tanah kosong, pemberian izin membuka tanah, perencanaan penggunaan tanah wilayah kabupaten/kota.
Sebagai tindak lanjut Keputusan Presiden tersebut, ditetapkan Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 2003 perihal Norma dan Standar Mekanisme Ketatalaksanaan Kewenangan Pemerintah di Bidang Pertanahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota. Dalam Keputusan Kepala Badan Peranahan Nasional Nomor 2 Tahun 2003 tersebut diatur secara rinci kewenangan bidang pertanahan yang dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/kota.
Dari muatan-muatan undang-undang ataupun peraturan pemerintah dan keputusan presiden yang terdapat delegasi kewenagnan, dalam pelaksanaannya sanggup dituangkan dalam peraturan kawasan yang diadaptasi dengan kondisi kawasan masing-masing. Khusus untuk masalah-masalah teknis yang sanggup berubah dari waktu ke waktu, pelaksanaan peraturan kawasan sanggup dituangkan dalam keputusan kepala kawasan setempat.
Dalam rangka menyerahkan kewenangan pertanahan pada pemerintah kabupaten/kota, perlu kiranya difahami makna politik pertanahan lokal dan manajemen pertanahan yang dikendalikan oleh pemerintah kabupaten/kota. Secara garis besar politik pertanahan lokal berkaitan dengan kebijakan pemerintah lokal dalam rangka penataan tata guna tanah bagi peri kehidupan sosial maupun ekonomi guna memenuhi interaksi antarindividu di daerah. Pengaturan ini meliputi pembentukan zona ekonomi, alokasi tanah untuk kepentingan sosial, penetapan instrumen kebijakan pertanahan, pengawasan terhadap harga pasar tanah dan pencadangan terhadap tanah. Politik pertanahan ini tentu sepenuhnya harus dikendalikan oleh pemerintah kabupaten/kota biar problema aplikasi sumber daya alam maupun sumber daya ekonomi sanggup diwujudkan untuk kemaslahatan rakyat setempat. Kewenagan semacam ini memang pada tempatnya diserahkan pada pemerintah kabupaten/kota mengingat kebijakan pemerintah pusat tidak bisa menjangkau setiap detail permasalahan tersebut (Subyanto, 2002:6)