Sejarah, Pertumbuhan Dan Pendekatan Dalam Studi Islam
Monday, March 23, 2020
Edit
Pendekatan Sejarah Dalam Studi Islam : Islam telah menjadi kajian yang menarik minat banyak kalangan. Studi keislaman pun semakin berkembang. Islam tidak lagi dipahami hanya dalam pengertian historis dan doktriner, tetapi telah menjadi fenomena yang kompleks. Islam tidak hanya terdiri dari rangkaian petunjuk formal perihal bagaimana seorang individu harus memaknai kehidupannya. Islam telah menjadi sebuah sistem budaya, peradaban, komunitas politik, ekonomi dan potongan sah dari perkembangan dunia. Mengkaji dan mendekati Islam, tidak lagi mungkin hanya dari satu aspek, karenanya dibutuhkan metode dan pendekatan interdisipliner.
Kajian agama, termasuk Islam, menyerupai disebutkan di atas dilakukan oleh sarjana Barat dengan memakai ilmu-ilmu sosial dan humanities, sehingga muncul sejarah agama, psikologi agama, sosiologi agama, antropologi agama, dan lain-lain. Dalam perjalanan dan pengembangannya, sarjana Barat bukan hanya menjadikan masyarakat Barat sebagai lapangan penelitiannya, namun juga masyarakat di negara-negara berkembang, yang kemudian memunculkan orientalisme.
Sarjana Barat bergotong-royong telah lebih dahulu dan lebih usang melaksanakan kajian terhadap fenomena Islam dari pelbagai aspek: sosiologis, kultural, sikap politik, doktrin, ekonomi, perkembangan tingkat pendidikan, jaminan keamanan, perawatan kesehatan, perkembangan minat dan kajian intelektual, dan seterusnya.
Sementara itu, agama atau keagamaan sebagai sistem kepercayaan dalam kehidupan umat insan sanggup dikaji melalui banyak sekali sudut pandang. Islam khususnya, sebagai agama yang telah berkembang selama empatbelas era lebih menyimpan banyak banyak kasus yang perlu diteliti, baik itu menyangkut fatwa dan pemikiran kegamaan maupun realitas sosial, politik, ekonomi dan budaya. Salah satu sudut pandang yang sanggup dikembangkankan bagi pengkajian Islam itu yakni pendekatan sejarah. Berdasarkan sudut pandang tersebut, Islam sanggup dipahami dalam banyak sekali dimensinya. Betapa banyak kasus umat Islam hingga dalam perkembangannya sekarang, bisa dipelajari dengan berkaca kepada peristiwa-peristiwa masa lampau, sehingga segala kearifan masa kemudian itu memungkinkan untuk dijadikan alternatif referensi di dalam menjawab persoalan-persoalan masa kini. Di sinilah arti pentingnya sejarah bagi umat Islam pada khususnya, apakah sejarah sebagai pengetahuan ataukah ia dijadikan pendekatan didalam mempelajari agama.
Bila sejarah dijadikan sebagai sesuatu pendekatan untuk mempelajari agama, maka sudut pandangnya akan sanggup membidik aneka-ragam insiden masa lampau. Sebab sejarah sebagai suatu metodologi menekankan perhatiannya kepada pemahaman banyak sekali tanda-tanda dalam dimensi waktu. Aspek kronologis sesuatu gejala, termasuk tanda-tanda agama atau keagamaan, merupakan ciri khas di dalam pendekatan sejarah. Karena itu penelitian terhadap gejala-gejala agama berdasarkan pendekatan ini haruslah dilihat segi-segi prosesnya dan perubahan-perubahannya. Bahkan secara kritis, pendekatan sejarah itu bukanlah sebatas melihat segi pertumbuhan, perkembangan serta keruntuhan mengenai sesuatu peristiwa, melainkan juga bisa memahami gejala-gejala struktural yang menyertai peristiwa. Inilah pendekatan sejarah yang sesungguhnya perlu dikembangkan di dalam penelitian masalahmasalah agama.
Makalah ini berusaha membahas perihal karakteristik pendekatan sejarah sebagai salah satu pendekatan di dalam Studi Islam dengan didahului pembahasan seputar aspek Studi Islam.
Studi Islam sebagai Disiplin Ilmu
Munculnya istilah Studi Islam, yang di dunia Barat dikenal dengan istilah Islamic Studies, dalam dunia Islam dikenal dengan Dirasah Islamiyah, sesungguhnya telah didahului oleh adanya perhatian besar terhadap disiplin ilmu agama yang terjadi pada era ke sembilan belas di dunia Barat. Perhatian ini di tandai dengan munculnya banyak sekali karya dalam bidang keagamaan, seperti: buku Intruduction to The Science of Relegion karya F. Max Muller dari Jerman (1873); Cernelis P. Tiele (1630-1902), P.D. Chantepie de la Saussay (1848-1920) yang berasal dari Belanda. Inggris melahirkan tokoh Ilmu Agama menyerupai E. B. Taylor (1838-1919). Perancis mempunyai Lucian Levy Bruhl (1857-1939), Louis Massignon (w. 1958) dan sebagainya. Amirika menghasilkan tokoh menyerupai William James (1842-1910) yang dikenal melalui karyanya The Varieties of Relegious Experience (1902). Eropa Timur menampilkan Bronislaw Malinowski (1884-1942) dari Polandia, Mircea Elaide dari Rumania. Itulah sebagian nama yang dikenal dalam dunia ilmu agama, walaupun tidak seluruhnya sanggup penulis sebutkan di sini.
Tidak hanya di Barat, di Asia pun muncul beberapa tokoh Ilmu Agama. Di Jepang muncul J. Takakusu yang berjasa memperkenalkan Budhisme pada penghujung era kesembilan belas dan T. Suzuki dengan sederaetan karya ilmiahnya perihal Zen Budhisme. India mempunyai S Radhakrishnan selaku pundit Ilmu Agama maupun filsafat India, Moses D. Granaprakasam, Religious Truth an relation between Religions (1950), dan P. D. Devanadan, penulis The Gospel and Renascent Hinduism, yang diterbitkan di London pada 1959. dan filsafat analitis.
Berbeda dengan dunia Barat, Ilmu Agama (baca: Studi Islam) di dunia Islam telah usang muncul. Dalam dunia Islam dikenal beberapa tokoh dalam banyak sekali disiplin ilmu. Dalam bidang yurisprudensi (hukum) dikenal tokoh menyerupai Abu Hanifah, Al-Syafi’I, Malik, dan Ahmad bin Hanbal. Dalam bidang ilmu Tafsir dikenal tokoh menyerupai Al-Thabary, Ibn Katsir, Al-Zamahsyari, dan sebagainya pada sekitar era kedua dan keempat hijriyah. Dan jadinya muncul tokoh-tokoh era kesembilan belas seperti: Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, dan Abad kedua puluh menyerupai Musthafa al-Maraghy, penulis Tafsir al-Maraghy. Di bidang kalam pun muncul tokh-tokoh besar dari banyak sekali aliran: Khawarij, Murji’ah, Syi’ah, Asy’ariyah, dan Mu’tazilah. Penulis bidang ini antara lain; al-Qadhi Abdul Jabbar, penulis al-Mughny dan Syarah al-Ushul al-Khamsah (w. 415 H). Di bidang Tasawuf melahirkan tokoh-tokoh menyerupai al-qusyairi yang populer dengan Kitabnya Al-Risalah al-Qusyairiyah (w. 456), Abu Nasr al-Sarraj al-Thusy (w. 378 H), penulis al-Luma’, Al-Kalabadzi, penulis al-ta’arruf li Madzhab Ahl al-Tashawwuf, Abdul Qadir al-Jailany, penulis kitan Sirr al-Asrar, al-Fath al-Rabbaniy, dan sebagainya.
Walaupun secara realitas studi ilmu agama (baca: studi Islam [agama])keberadaannya tidak terbantahkan, tetapi dikalangan para jago masih terdapat perdebatan di sekitar permasalahan apakah ia (Studi Islam) sanggup dimasukkan ke dalam bidang ilmu pengetahuan, mengingat sifat dan karakteristik antara ilmu pengetahuan dan agama berbeda. Pembahasan di sekitar permasalahan ini banyak dikemukakan oleh para pemikir Islam cukup umur ini. Amin Abdullah contohnya menyampaikan jika penyelenggaraan dan penyampaian Islamic Studies, Studi Islam, atau Dirasah Islamiyah hanya mendengarkan dakwah keagamaan di kelas, kemudian apa bedanya dengan acara pengajian dan dakwah yang sudah ramai diselenggarakan di luar dingklik sekolah? Merespon sinyalemen tersebut berdasarkan Amin Abdullah, pangkal tolak kesulitan pengembangan scope wilayah kajian studi Islam atau Dirasah Islamiyah berakar pada kesukaran seorang agamawan untuk membedakan antara yang bersifat normative dan histories. Pada tataran normativ kelihatan Islam kurang pas kalau dikatakan sebagai disiplin ilmu, sedangkan untiuk dataran histories nampaknya relevan.
Tidak hanya kesukaran yang dihadapi oleh seorang agamawan saja, melainkan dosen dan guru juga mengalami hal yang sama. Banyak dijumpai seorang guru atau dosen yang tidak mengerti fungsi dan substansi mata pelajaran atau mata kuliah yang diajarkan. Sehingga banyak murid atau mahasiswa yang tidak memahami apa yang mereka pelajari, sungguh ironis.
Pada tataran normativitas studi Islam agaknya masih banyak terbebani oleh misi keagamaan yang bersifat memihak , romantis, dan apologis, sehingga kadar muatan analisis, kritis, metodologis, historis, empiris, terutama dalam menelaah teks-teks atau naskah-naskah produk sejarah terdahulu kurang begitu ditonjolkan, kecuali dalam lingkungan para peneliti tertentu yang masih sangat terbatas.
Dengan demikian secara sederhana sanggup ditemukan jawabannya bahwa dilihat dari segi normatif sebagaimana yang terdapat dalam al-Qur’an dan Hadits, maka Islam lebih merupakan agama yang tidak sanggup diberlakukan kepadanya paradigma ilmu ilmu pengetahuan yaitu paradigma analitis, kiritis, metodologis, historis, dan empiris. Sebagai agama, Islam lebih bersifat memihak, romantis, apologis, dan subyektif. Sedangkan jika dilihat dari segi historis, yakni Islam dalam arti yang dipraktekkan oleh insan serta tumbuh dan berkembang dalam kehidupan manusia, maka Islam sanggup dikatakan sebagai sebuah disiplin ilmu, yakni Ilmu Ke-Islaman, Islamic Studies, atau Dirasah Islamiyah.
Perbedaan dalam melihat Islam yang demikian itu sanggup mengakibatkan perbedaan dalam menjelaskan Islam itu sendiri. Ketika Islam dilihat dari sudut normatif, maka Islam merupakan agama yang di dalamnya berisi fatwa Tuhan yang berkaitan dengan urusan iman dan mu’amalah. Sedangkan ketika Islam dilihat dari sudut histories atau sebagaimana yang nampak dalam masyarakat, maka Islam tampil sebagai sebuah disiplin ilmu (Islamic Studies).
Selanjutnya studi Islam sebagaimana yang dikemukakan di atas, berbeda pula dengan apa yang disebut sebagai Sains Islam. Sains Islam sebagaimana yang dikemukakan oleh Sayyed Husen Nasr yakni sains yang dikembangkan oleh kaum muslimin semenjak era kedua hijriyah, menyerupai kedokteran, astronomi, dan lain sebagainya.
Dengan demikian sains Islam meliputi banyak sekali pengetahuan modern yang dibangun atas kode nilai-nilai Islami. Sementara studi Islam yakni pengetahuan yang dirumuskan dari fatwa Islam yang dipraktekkan dalam sejarah dan kehidupan manusia. Sedangkan pengetahuan agama yakni pengetahuan yang sepenuhnya diambil dari ajaran-ajaran Allah dan Rasulnya secara murni tanpa dipengaruhi oleh sejarah, menyerupai fatwa perihal akidah, ibadah, membaca al-Qur’an dan akhlak.
Berdasarkan uraian di atas, berkenaan dengan Studi Islam sebagai sebuah disiplin ilmu tersendiri sangat terkait erat dengan kasus metode dan pendekatan yang akan digunakan dalam melaksanakan pengkajian terhadapnya. Inilah yang menjadi topik utama dalam kajian makalah ini.
Metode dan pendekatan dalam Studi Islam mulai diperkenalkan oleh para pemikir Muslim Indonesia sekita tahun 1998 dan menjadi mejadi matakuliah gres dengan nama Metodologi Studi Islam (MSI) yang diajarkan di lingkup Perguruan Tinggi Agama Islam di Indonesia.
Pertumbuhan dan Obyek Studi Islam
Studi Islam, pada masa-masa awal, terutama masa Nabi dan sahabat, dilakukan di Masjid. Pusat-pusat studi Islam sebagaimana yang dikatakan oleh Ahmad Amin, Sejarawan Islam kontemporer, berada di Hijaz berpusat Makkah dan Madinah; Irak berpusat di Basrah dan Kufah serta Damaskus. Masing-masing daerah diwakili oleh sahabat ternama.
Pada masa keemasan Islam, pada masa pemerintahan Abbasiyah, studi Islam di pusatkan di Baghdad, Bait al-Hikmah. Sedangkan pada pemerintahan Islam di Spanyol di pusatkan di Universitas Cordova pada pemerintahan Abdurrahman III yang bergelar Al-Dahil. Di Mesir berpusat di Universitas al-Azhar yang didirikan oleh Dinasti Fathimiyah dari kalangan Syi’ah.
Studi Islam kini berkembang hampir di seluruh negara di dunia, baik Islam maupun yang bukan Islam. Di Indonesia studi Islam dilaksanakan di UIN, IAIN, STAIN. Ada juga sejumlah PTS yang menyelengggarakan Studi Islam menyerupai Unissula (Semarang) dan Unisba (Bandung).
Studi Islam di negara-negara non Islam diselenggarakan di beberapa negara, antara lain di India, Chicago, Los Angeles, London, dan Kanada. Di Aligarch University India, Studi Islam di bagi mnjadi dua: Islam sebagai doktrin di kaji di Fakultas Ushuluddin yang mempunyai dua jurusan, yaitu Jurusan Madzhab Ahli Sunnah dan Jurusan Madzhab Syi’ah. Sedangkan Islam dari Aspek sejarah di kaji di Fakultas Humaniora dalam jurusan Islamic Studies. Di Jami’ah Millia Islamia, New Delhi, Islamic Studies Program di kaji di Fakultas Humaniora yang membawahi juga Arabic Studies, Persian Studies, dan Political Science.
Di Chicago, Kajian Islam diselenggarakan di Chicago University. Secara organisatoris, studi Islam berada di bawah Pusat Studi Timur Tengah dan Jurusan Bahasa, dan Kebudayaan Timur Dekat. Dilembaga ini, kajian Islam lebih mengutamakan kajian perihal pemikiran Islam, Bahasa Arab, naskah-naskah klasik, dan bahasa-bahasa non-Arab.
Di Amirika, studi Islam pada umumnya mengutamakan studi sejarah Islam, bahasa-bahasa Islam selain bahasa Arab, sastra dan ilmu-ilmu social. Studi Islam di Amirika berada di bawah naungan Pusat Studi Timur Tengah dan Timur Dekat.
Di UCLA, studi Islam dibagi menjadi empat komponen. Pertama, doktrin dan sejarah Islam; kedua, bahasa Arab; ketiga, ilmu-ilmu social, sejarah, dan sosiologi. Di London, studi Islam digabungkan dalam School of Oriental and African Studies (Fakultas Studi Ketimuran dan Afrika) yang mempunyai banyak sekali jurusan bahasa dan kebudayaan di Asia dan Afrika.
Dengan demikian obyek studi Islam sanggup dikelompokkan menjadi beberapa bagian, yaitu, sumber-sumber Islam, doktrin Islam, ritual dan institusi Islam, Sejarah Islam, aliran dan pemikiran tokoh, studi kawasan, dan bahasa.
Metode dan Pendekatan Sejarah dalam Studi Islam
Jika disepakati bahwa Studi Islam (Islamic Studies) menjadi disiplin ilmu tersendiri. Maka telebih dahulu harus di bedakan antara kenyataan, pengetahuan, dan ilmu.
Setidaknya ada dua kenyataan yang dijumpai dalam hidup ini. Pertama, kenyataan yang disepakati (agreed reality), yaitu segala sesuatu yang dianggap nyata lantaran kita bersepakat menetapkannya sebagai kenyataan; kenyataan yang dialami orang lain dan kita akui sebagai kenyataan. Kedua, kenyataan yang didasarkan atas pengalaman kita sendiri (experienced reality). Berdasarkan adanya dua jenis kenyataan itu, pegetahuan pun terbagi menjadi dua macam; pengetahuan yang diperoleh melalui persetujuan dan pengetahuan yang diperoleh melalui pengalaman eksklusif atau observasi. Pengetahuan pertama diperoleh dengan cara mempercayai apa yang dikatakan orang lain lantaran kita tidak mencar ilmu segala sesuatu melalui pengalaman kita sendiri.
Bagaimanapun beragamnya pengetahuan, tetapi ada satu hal yang mesti diingat, bahwa setiap tipe pengetahuan mengajukan tuntutan (claim) supaya orang membangun apa yang diketahui menjadi sesuatu yang sahih (valid) atau benar (true).
Kesahihan pengetahuan benyak bergantung pada sumbernya. Ada dua sumber pengetahuan yang kita peroleh melalui agreement: tradisi dan autoritas. Sumber tradisi yakni pengetahuan yang diperoleh melalui warisan atau transmisi dari generasi ke generasi (al-tawatur). Sumber pengetahuan kedua yakni autoritas (authority), yaitu pengetahuan yang dihasilkan melalui penemuan-penemuan gres oleh mereka yang mempunyai wewenang dan keahlian di bidangnya. Penerimaan autoritas sebagai pengetahuan bergantung pada status orang yang menemukannya atau menyampaikannya.
Berbeda dengan pengetahuan, ilmu dalam arti science memberikan dua bentuk pendekatan terhadap kenyataan (reality), baik agreed reality maupun experienced reality, melalui kebijaksanaan sehat personal, yaitu pendekatan khusus untuk menemukan kenyataan itu. Ilmu memberikan pendekatan khusus yang disebut metodologi, yaitu ilmu untuk mengetahui.
Metode terbaik untuk memperoleh pengetahuan yakni metode ilmiah (scientific method). Untuk memahami metode ini terlebih dahulu harus dipahami pengertian ilmu. Ilmu dalam arti science sanggup dibedakan dengan ilmu dalam arti pengetahuan (knowledge). Ilmu yakni pengetahuan yang sistematik. Ilmu mengawali penjelajahannya dari pengalaman insan dan berhenti pada batas penglaman itu. Ilmu dalam pengertian ini tidak mempelajari ihwal nirwana maupun neraka lantaran keduanya berada diluar jangkauan pengalaman manusia. Demikian juga mengenai keadaan sebelum dan setelah mati, tidak menjadi obyek penjelajahan ilmu. Hal-hal menyerupai ini menjadi kajian agama. Namun demikian, pengetahuan agama yang telah tersusun secara sistematik, terstruktur, dan berdisiplin, sanggup juga dinyatakan sebagai ilmu agama.
Menurut Ibnu Taimiyyah ilmu apapun mempunyai dua macam sifat: tabi’ dan matbu’. Ilmu yang mempunyai sifat yang pertama ialah ilmu yang keberadaan obyeknya tidak memerlukan pengetahuan si subyeknya perihal keberadaan obyek tersebut. Sifat ilmu yang kedua, ialah ilmu yang keberadaan obyeknya bergantung pada pengetahuan dan impian si subyek.
Berdasarkan teori ilmu di atas, ilmu di bagi kepada dua cabang besar. Pertama ilmu perihal Tuhan, dan kedua ilmu perihal makhluk-makhluk ciptaan Tuhan. Ilmu pertama melahirkan ilmu kalam atau teology, dan ilmu kedua melahirkan ilmu-ilmu tafsir, hadits, fiqh, dan metodologi dalam arti umum. Ilmu-ilmu kealaman dengan memakai metode ilmiah termasuk kedalam cabang ilmu kedua ilmu ini.
Ilmu pada kategori kedua, berdasarkan Ibnu Taimiyyah sanggup dipersamakan dengan ilmu berdasarkan pengertian para pakar ilmu modern, yakni ilmu yang didasarkan atas mekanisme metode ilmiah dan kaidah-kaidahnya. Yang dimaksud metode di sini yakni cara mengetahui sesuatu dengan langkah-langkah yang sistematik. Sedangkan kajian mengenai kaidah-kaidah dalam metode tersebut disebut metodologi. Dengan demikian metode ilmiah sering dikenal sebagai proses logico-hipotetico-verifikasiyang merupakan adonan dari metode deduktif dan induktif. Dalam kontek inilah ilmu agama dalam Studi Islam (Islamic Studies) yang menjadi disiplin ilmu tersendiri, harus dipelajari dengan memakai mekanisme ilmiah. Yakni harus memakai metode dan pendekatan yang sistematis, terukur berdasarkan syarat-syarat ilmiah.
Dalam studi Islam dikenal adanya beberapa metode yang dipergunakan dalam memahami Islam. Penguasaan dan ketepatan pemilihan metode tidak sanggup dianggap sepele. Karena penguasaan metode yang sempurna sanggup mengakibatkan seseorang sanggup membuatkan ilmu yang dimilikinya. Sebaliknya mereka yang tidak menguasai metode hanya akan menjadi konsumen ilmu, dan bukan menjadi produsen. Oleh karenanya disadari bahwa kemampuan dalam menguasai materi keilmuan tertentu perlu diimbangi dengan kemampuan di bidang metodologi sehingga pengetahuan yang dimilikinya sanggup dikembangkan.
Diantara metode studi Islam yang pernah ada dalam sejarah, secara garis besar sanggup dibagi menjadi dua. Pertama, metode komparasi, yaitu suatu cara memahami agama dengan membandingkan seluruh aspek yang ada dalam agama Islam tersebut dengan agama lainnya. Dengan cara yang demikian akan dihasilkan pemahaman Islam yang obyektif dan utuh. Kedua metode sintesis, yaitu suatu cara memahami Islam yang memadukan antara metode ilmiah dengan segala cirinya yang rasional, obyektif, kritis, dan seterusnya dengan metode teologis normative. Metode ilmiah digunakan untuk memahami Islam yang nampak dalam kenyataan histories, empiris, dan sosiologis. Sedangkan metode teologis normative digunakan untuk memahami Islam yang terkandung dalam kitab suci. Melalui metode teologis normative ini seseorang memulainya dari meyakini Islam sebagai agama agama yang mutlak benar. Hal ini di dasarkan kerena agama berasal dari Tuhan, dan apa yang berasal dari Tuhan mutlak benar, maka agamapun mutlak benar. Setelah itu dilanjutkan dengan melihat agama sebagaimana norma fatwa yang berkaitan dengan banyak sekali aspek kehidupan insan yang secara keseluruhan diyakini amat ideal.
Metode-metode yang digunakan untuk memahami Islam itu suatu ketika mungkin dpandang tidak cukup lagi, sehingga diharapkan adanya pendekatan gres yang harus terus digali oleh para pembaharu. Dalam konteks penelitian, pendekatan-pendekatan (approaches)ini tentu saja mengandung arti satuan dari teori, metode, dan teknik penelitian. Terdapat banyak pendekatan yang digunakan dalam memahami agama. Diantaranya yakni pendekatan teologis normative, antropologis, sosiologis, psikologis, histories, kebudayaan, dan pendekatan filodofis. Adapun pendekatan yang dimaksud di sini (bukan dalam konteks penelitian), yakni cara pandang atau paradigma yang terdapat dalam satu bidang ilmu yang selanjutnya digunakan dalam memahami agama. Dalam relasi ini, Jalaluddin Rahmat, menandasakan bahwa agama sanggup diteliti dengan memakai banyak sekali paradigma. Realitas keagamaan yang diungkapkan mempunyai nilai kebenaran sesuai dengan kerangka paradigmanya. Karena itu tidak ada kasus apakah penelitian agama itu penelitian ilmu social, penelitian filosofis, atau penelitian legalistic.
Mengenai banyaknya pendekatan ini, penulis tidak akan menguraikan secara keseluruhan pendekatan yang ada, melaikan hanya pendekatan histories sesuai dengan judul di atas, yakni pendekatan histories.
Sejarah atau histories yakni suatu ilmu yang di dalamnya dibahas banyak sekali insiden dengan memperhatikan unsure tempat, waktu, obyek, latar belakang, dan pelaku dari insiden tersebut. Menurut ilmu ini segala insiden sanggup dilacak dengan melihat kapan insiden itu terjadi, di mana, apa sebabnya, siapa yang terlibat dalam insiden tersebut.
Melalui pendekatan sejarah seorang diajak menukik dari alam idealis ke alam yang bersifat emiris dan mendunia. Dari keadaan ini seseorang akan melihat adanya kesenjangan atau keselarasan antara yang terdapat dalam alam idealis dengan yang ada di alam empiris dan histories.
Pendekatan kesejarahan ini amat dibutuhkan dalam memahami agama, lantaran gama itu sendiri turun dalam situasi yang kasatmata bahkan berkaitan dengan kondisi social kemasyarakatan. Dalam relasi ini Kuntowijoyo telah melaksanakan studi yang mendalam terhadap agama yang dalam hal ini Islam, berdasarkan pendekatan sejarah. Ketika ia mempelajari al-Qur’an ia hingga pada satu kesimpulan bahwa pada dasarnya kandungan al-Qur’an itu terbagi menjadi dua bagian. Bagian pertama, berisi konsep-konsep, dan potongan kedua berisi kisah-kisah sejarah dan perumpamaan.
Dalam potongan pertama yang berisi konsep ini kita mendapati banyak sekali istilah al-Qur’an yang merujuk kepada pengertian-pengertian normative yang khusus, doktrin-doktrin etik, aturan-aturan legal, dan ajaran-ajaran keagamaan pada umumnya. Istilah-istilah atau singkatnya pernyataan-pernyataan itu mungkin diangkat dari konsep-konsep yang telah dikenal oleh masyarakat Arab pada waktu al-Qur’an, atau bias jadi merupakan istilah-istilah gres yang dibuat untuk mendukung adanya konsep-konsep relegius yang ingin diperkenalkannya. Yang terang istilah itu kemudian dintegrasikan ke dalam pandangan dunia al-Qur’an, dan dengan demikian, kemudian menjadi onsep-konsep yang otentik.
Dalam potongan pertama ini, kita mengenal banyak sekali konsep baik yang bersifat ajaib maupun konkret. Konsep perihal Allah, Malaikat, Akherat, ma’ruf, munkar, dan sebagainya yakni termasuk yang abstrak. Sedangkan konsep perihal fuqara’, masakin, termasuk yang konkret.
Selanjutnya, jika pada potongan yang berisi konsep, al-Qur’an bermaksud membentuk pemahaman yang komprehensif mengenai nilai-nilai Islam, maka pada potongan yang kedua yang berisi cerita dan perumpamaan, al-Qur’an ingin mengajak dilakukannya perenungan untuk memperoleh hikmah. Melalui pendekatan sejarah ini seseorang diajak untuk memasuki keadaan yang bergotong-royong berkenaan dengan penerapan suatu peristiwa. Dari sini maka seseorag tidak akan memahami agama keluar dari konteks historisnya. Seseorang yang ingin memahami al-Qur’an secara benar misalnya, yang bersangkutan harus memahami sejarah turunnya al-Qur’an atau kejadian-kejadian yang mengiringi turunnya al-Qur’an yang selanjutnya disebut dengan ilmu asbab al-nuzul yang pada pada dasarnya berisi sejarah turunnya ayat al-Qur’an. Dengan ilmu ini seseorang akan sanggup mengetahui pesan tersirat yang terkadung dalam suatu ayat yang berkenaan dengan hokum tertentu, dan ditujukan untuk memelihara syari’at dari kekeliruan memahaminya.
Islamic Studies atau Pengkajian Islam yakni sebuah disiplin yang sangat renta seumur dengan kemunculan Islam sendiri. Pengkajian Islam dalam sejarah panjangnya mewujud dalam banyak sekali tipe dan menyediakan lahan yang sangat kaya bagi kegelisahan akademik dari kalangan insider maupun outsider. Jika Studi outsider terwadahi dalam bentuk Orientalisme atau Islamologi, maka kajian insider memunculkan model ngaji yang berorientasi pengamalan, apologis yang memberi counter terhadap orientalisme, Islamisasi ilmu yang berupaya memberikan landasan paradigma Islam bagi ilmu-ilmu sekuler atau studi Islam klasik yang bersifat kritis namun masih berorientasi pada pengamalan.
Sebagai objek studi, Islam harus didekati dari banyak sekali aspeknya dengan memakai multidisiplin ilmu pengetahuan untuk mengurai fenomena agama ini. Salah satunya yakni melalui pendekatan sejarah yang tidak sanggup diabaikan begitu saja bagi seseorang yang ingin memahami perihal Islam dengan benar.