Persamaan; Ontologi, Epistemologi Dan Aksiologi
Sunday, March 22, 2020
Edit
ONTOLOGI, EPISTEMOLOGI DAN AKSIOLOGI
PENDAHULUAN
Dalam makalah ini akan memaparkan wacana cabang-cabang dalam filsafat, yang pertama di sebut landasan ontologis; cabang ini menguak wacana objek apa yang di telaah ilmu? Bagaimana ujud yang hakiki dari objek tersebut ? bagaimana korelasi antara objek tadi dengan daya tangkap insan (sepert berpikir, merasa dan mengindera) yang membuakan pengetahuan?. Kedua di sebut dengan landasan epistimologis; berusaha menjawab bagaimna proses yang memungkinkan di timbanya pengetahuan yang berupa ilmu? Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa yang harus di perhatikan semoga kita mendapatkan pengetahuan yang benar? Apa yang disebut kebenaran itu sendiri? Apakah kriterianya? Cara/tehnik/sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu?. Sedang yang ketiga, di sebut dengan landasan aksiologi; landasan ini akan menjawab, untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu di pergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan objek yang ditelaah menurut pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral/professional?[1]
Makara untuk membedakan jenis pengetahuan yang satu dari pengetahuan-pengetahuan lainnya. Denganb mengetahuan jawaban-jawaban dari ketiga pertanyaan ini maka dengan gampang kita sanggup membedakan banyak sekali jenis pengetahuan yang terdapat dalam khasanah kehidupan manusia. Hal ini memungkinkan kita mengenali banyak sekali pengetahuan yang ada mirip ilmu, seni dan agama serta meletakkan mereka pada tempatnya masing-masing yang saling memperkaya kehidupan kita. Tanpa mengenal ciri-ciri tiap pengetahuan dengan benar maka bukan saja kita sanggup memanfaatkan kegunaanya secara maksimal namun kadang kita salah dalam menggunakannya. Ilmu di kacaukan dengan seni, ilmu dikonfrontasikan dengan agama, bukankah tak ada anarki yang lebih menyedihkan dari itu?
PEMBAHASAN
A. Ontologi
Objek telaah ontologi yaitu yang ada. Studi wacana yang ada, pada dataran studi filsafat pada umumnya di lakukan oleh filsafat metaphisika. Istilah ontologi banyak di gunakan ketika kita membahas yang ada dlaam konteks filsafat ilmu
Ontologi membahas wacana yang ada, yang tidak terikat oleh satu perwujudan tertentu. Ontologi membahas wacana yang ada yang universal, menampilkan pemikiran semesta universal. Ontologi berupaya mencari inti yang termuat dalam setiap kenyataan, atau dalam rumusan Lorens Bagus; menjelaskan yang ada yang mencakup semua realitas dalam semua bentuknya.
1. Objek Formal
Objek formal ontologi yaitu hakikat seluruh realitas. Bagi pendekatan kuantitatif, realitas tampil dalam kuantitas atau jumlah, tealaahnya akan menjadi kualitatif, realitas akan tampil menjadi aliran-aliran materialisme, idealisme, naturalisme, atau hylomorphisme. Referensi wacana kesemuanya itu penulis kira cukup banyak. Hanya dua yang terakhir perlu kiranya penulis lebih jelaskan. Yang natural ontologik akan diuraikan di belakang hylomorphisme di ketengahkan pertama oleh aristoteles dalam bukunya De Anima. Dalam tafsiran-tafsiran para jago selanjutnya di fahami sebagai upaya mencari alternatif bukan dualisme, tetapi menampilkan aspek materialisme dari mental.
2. Metode dalam Ontologi
Lorens Bagus memperkenalkan tiga tingkatan abstraksi dalam ontologi, yaitu : abstraksi fisik, abstraksi bentuk, dan abstraksi metaphisik. Abstraksi fisik menampilkan keseluruhan sifat khas sesuatu objek; sedangkan abstraksi bentuk mendeskripsikan sifat umum yang menjadi cirri semua sesuatu yang sejenis. Abstraksi metaphisik mengetangahkan prinsip umum yang menjadi dasar dari semua realitas. Abstraksi yang dijangkau oleh ontologi yaitu abstraksi metaphisik.
Sedangkan metode pembuktian dalam ontologi oleh Laurens Bagus di bedakan menjadi dua, yaitu : pembuktian a priori dan pembuktian a posteriori.
Pembuktian a priori disusun dengan meletakkan term tengah berada lebih dahulu dari predikat; dan pada kesimpulan term tengah menjadi alasannya yaitu dari kebenaran kesimpulan.
Contoh : Sesuatu yang bersifat lahirah itu fana (Tt-P)
Badan itu sesuatu yang lahiri (S-Tt)
Jadi, tubuh itu fana’ (S-P)
Sedangkan pembuktian a posteriori secara ontologi, term tengah ada sehabis realitas kesimpulan; dan term tengah menawarkan akhir realitas yang dinyatakan dalam kesimpulan hanya saja cara pembuktian a posterioris disusun dengan tata silogistik sebagai berikut:
Contoh : Gigi geligi itu gigi geligi rahang dinasaurus (Tt-S)
Gigi geligi itu gigi geligi pemakan flora (Tt-P)
Jadi, Dinausaurus itu pemakan flora (S-P)
Bandingkan tata silogistik pembuktian a priori dengan a posteriori. Yang apriori di berangkatkan dari term tengah di hubungkan dengan predikat dan term tengahj menjadi alasannya yaitu dari kebenaran kesimpulan; sedangkan yang a posteriori di berangkatkan dari term tengah di hubungkan dengan subjek, term tengah menjadi akhir dari realitas dalam kesimpulan.[2]
Sementara Jujun S. Suriasumantri dalam pembahasan wacana ontologi memaparkan juga wacana perkiraan dan peluang. Sementara dalam kiprah ini penulis tidak hendak ingin membahas dua point tersebut.
B. Epistemologi
Masalah epistemology bersangkutan dengan pertanyaan-pertanyaan wacana pengetahuan. Sebelum sanggup menjawab pertanyaan-pertanyaan kefilsafatan, perlu diperhatikan bagaimana dan dengan sarana apakah kita sanggup memperoleh pengetahuan. Jika kita mengetahui batas-batas pengetahuan, kita tidak akan mencoba untuk mengetahui hal-hal yang pada kesudahannya tidak sanggup di ketahui. Memang sebenarnya, kita gres sanggup menganggap mempunyai suatu pengetahuan setelah kita meneliti pertanyaan-pertanyaan epistemology. Kita mungkin terpaksa mengingkari kemungkinan untuk memperoleh pengetahuan, atau mungkin hingga kepada kesimpulan bahwa apa yang kita punyai hanyalah kemungkinan-kemungkinan dan bukannya kepastian, atau mungkin sanggup tetapkan batas-batas antara bidang-bidang yang memungkinkan adanya kepastian yang mutlak dengan bidang-bidang yang tidak memungkinkannya.
Manusia tidak lah mempunyai pengetahuan yang sejati, maka dari itu kita sanggup mengajukan pertanyaan “bagaimanakah caranya kita memperoleh pengetahuan”?[3]
Metode-metode untuk memperoleh pengetahuan
a. Empirisme
Empirisme yaitu suatu cara/metode dalam filsafat yang mendasarkan cara memperoleh pengetahuan dengan melalui pengalaman. John Locke, bapak empirisme Britania, menyampaikan bahwa pada waktu insan di lahirkan akalnya merupakan jenis catatan yang kosong (tabula rasa),dan di dalam buku catatan itulah dicatat pengalaman-pengalaman inderawi. Menurut Locke, seluruh sisa pengetahuan kita diperoleh dengan jalan memakai serta memperbandingkan ide-ide yang diperoleh dari penginderaan serta refleksi yang pertama-pertama dan sederhana tersebut.
Ia memandang budi sebagai sejenis kawasan penampungan,yang secara pasif mendapatkan hasil-hasil penginderaan tersebut. Ini berarti semua pengetahuan kita betapapun rumitnya sanggup dilacak kembali hingga kepada pengalaman-pengalaman inderawi yang pertama-tama, yang sanggup diibaratkan sebagai atom-atom yang menyusun objek-objek material. Apa yang tidak sanggup atau tidak perlu di lacak kembali secara demikian itu bukanlah pengetahuan, atau setidak-tidaknya bukanlah pengetahuan mengenai hal-hal yang factual.
b. Rasionalisme
Rasionalisme berpendirian bahwa sumber pengetahuan terletak pada akal. Bukan lantaran rasionalisme mengingkari nilai pengalaman, melainkan pengalaman paling-paling dipandang sebagai sejenis perangsang bagi pikiran. Para penganut rasionalisme yakin bahwa kebenaran dan kesesatan terletak di dalam wangsit kita, dan bukannya di dalam diri barang sesuatu. Jika kebenaran mengandung makna mempunyai wangsit yang sesuai dengan atau menunjuk kepada kenyataan, maka kebenaran hanya sanggup ada di dalam pikiran kita dan hanya sanggup diperoleh dengan penalaran saja.
c. Fenomenalisme
Bapak Fenomenalisme yaitu Immanuel Kant. Kant membuat uraian wacana pengalaman. Baran sesuatu sebagaimana terdapat dalam dirinyan sendiri merangsang alat inderawi kita dan diterima oleh budi kita dalam bentuk-bentuk pengalaman dan disusun secara sistematis dengan jalan penalaran. Karena itu kita tidak pernah mempunyai pengetahuan wacana barang sesuatu mirip keadaanya sendiri, melainkan hanya wacana sesuatu mirip yang menampak kepada kita, artinya, pengetahuan wacana tanda-tanda (Phenomenon).
Bagi Kant para penganut empirisme benar jika beropini bahwa semua pengetahuan di dasarkan pada pengalaman-meskipun benar hanya untuk sebagian. Tetapi para penganut rasionalisme juga benar, lantaran budi memaksakan bentuk-bentuknya sendiri terhadap barang sesuatu serta pengalaman.
d. Intusionisme
Menurut Bergson, intuisi yaitu suau sarana untuk mengetahui secara eksklusif dan seketika. Analisa, atau pengetahuan yang diperoleh dengan jalan pelukisan, tidak akan sanggup menggantikan hasil pengenalan secara eksklusif dari pengetahuan intuitif.
Salah satu di antara unsut-unsur yang berharga dalam intuisionisme Bergson ialah, paham ini memungkinkan adanya suatu bentuk pengalaman di samping pengalaman yang dihayati oleh indera. Dengan demikian data yang dihasilkannya sanggup merupakan materi pemanis bagi pengetahuan di samping pengetahuan yang dihasilkan oleh penginderaan. Kant masih tetap benar dengan menyampaikan bahwa pengetahuan didasarkan pada pengalaman, tetapi dengan demikian pengalaman harus mencakup baik pengalaman inderawi maupun pengalaman intuitif.
Hendaknya diingat, intusionisme tidak mengingkati nilai pengalaman inderawi yang biasa dan pengetahuan yang disimpulkan darinya. Intusionisme – setidak-tidaknya dalam beberapa bentuk-hanya menyampaikan bahwa pengetahuan yang lengkap di peroleh melalui intuisi, sebagai lawan dari pengetahuan yang nisbi-yang mencakup sebagian saja-yang diberikan oleh analisa. Ada yang berpendirian bahwa apa yang diberikan oleh indera hanyalah apa yang menampak belaka, sebagai lawan dari apa yang diberikan oleh intuisi, yaitu kenyataan. Mereka mengatakan, barang sesuatu tidak pernah merupakan sesuatu mirip yang menampak kepada kita, dan hanya intuisilah yang sanggup menyingkapkan kepada kita keadaanya yang senyatanya.
e. Dan masih masih banyak lagi yang menjadi bahasan dalam epistemology.
C. Aksiologi
Dewasa ini ilmu bahkan sudah berada di ambang kemajuan yang menghipnotis reproduksi dan penciptaan insan itu sendiri. Makara ilmu bukan saja menyebabkan tanda-tanda dehumanisasi namun bahkan kemungkinan mengubah hakikat kamanusiaan itu sendiri, atau dengan perkataan lain, ilmu bukan lagi merupakan sarana yang membantu insan mencapai tujuan hidupnya, namun bahkan kemungkinan mengubah hakikat kemanusiaan itu sendiri, atau dengan perkataan lain, ilmu bukan lagi merupakan sarana yang membantu insan mencapai tujuan hidupnya, namun juga membuat tujuan hidup itu sendiri. “bukan lagi Goethe yang membuat Faust.” Meminjamkan perkataan jago ilmu jiwa populer carl gustav jung,” melainkan faust yang membuat Goethe.”
Menghadapi kenyataan mirip ini, ilmu yang pada hakikatnya mempelajari alam sebagaimana adanya mulai mempertanyakan hal-hal yang bersifat seharusnya: untuk apa bersama-sama ilmu itu harus dipergunakan? Dimana batas wewenang penjelajahan keilmuan? Ke arah mana perkembangan keilmuan harus diarahkan? Pertanyaa semacam ini terperinci tidak merupakan urgensi bagi ilmuan mirip Copernicus, Galileo dan ilmuwan seangkatannya; namun bagi ilmuan yang hidup dalam kala kedua puluh yang telah mengalami dua kali perang dunia dan hidup dalam bayangan kekhawatiran perang dunia ketiga, pertanyaan-pertanyaan ini tak sanggup di elakkan. Dan untuk menjawan pertanyaan ini maka ilmuan berpaling kepada hakikat moral.
Sebenarnya semenjak ketika pertumbuhannya ilmu sudah terkait dengan masalah-masalah moral namun dalam perspektif yang berbeda. Ketika Copernicus (1473-1543) mengajukan teorinya wacana kesemestaan alam dan menemukan bahwa “bumi yang berputar mengelilingi matahari” dan bukan sebaliknya mirip apa yang dinyatakan oleh fatwa agama, maka timbullah interaksi antara ilmu dan moral (yang bersumber pada fatwa agama) yang berkonotasi metafisik. Secara metafisik ilmu ingin mempelajari alam sebagaimana adanya, sedangkan di pihak lain, terdapat harapan semoga ilmu mendasarkan kepada pernyataan-pernyataan (nilai-nilai) yang terdapat dalam ajaran-ajaran diluar bidang keilmuan di antaranya agama. Timbullah konflik yang bersumber pada penafsiran metafisik ini yang berkulminasi pada pengadilan inkuisisi Galileo pada tahun 1633. Galileo (1564-1642), oleh pengadilan agama tersebut, dipaksa untuk mencabut pernyataanya bahwa bumi berputar mengelilingi matahari.
Sejarah kemanusiaan di hiasi dengan semangat para martir yang rela mengorbankan nyawanya dalam mempertahankan apa yang mereka anggap benar. Peradaban telah menyaksikan sokrates di paksa meminum racun dan John Huss dibakar. Dan sejarah tidak berhenti di sini: kemanusiaan tak pernah urung di halangi untuk menemukan kebenaran. Tanpa landasan moral maka ilmuwan gampang sekali tergelincir sanggup melaksanakan prostitusi intelektual. Penalaran secara rasional yang telah membawa insan mencapai harkatnya mirip kini ini berganti dengan proses rasionalisasi yang bersifat mendustakan kebenaran. “segalanya punya moral,” kata Alice dalam petualangannya di negeri ajaib, “asalkan kamu bisa menemukannya.” (adakah yang lebih kemerlap dalam gelap; keberanian yang esensial dalam avontur intelektual?)
Makara intinya apa yang menjadi kajian dalam bidang ontologi ini yaitu berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan; untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu di pergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan objek yang ditelaah menurut pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral/professional?[4]
PENUTUP
Kesimpulan
Dari pembahasan di atas sanggup di tarik kesimpulan :
- Ontologis; cabang ini menguak wacana objek apa yang di telaah ilmu? Bagaimana ujud yang hakiki dari objek tersebut ? bagaimana korelasi antara objek tadi dengan daya tangkap insan (sepert berpikir, merasa dan mengindera) yang membuakan pengetahuan?.
- Epistemologi berusaha menjawab bagaimna proses yang memungkinkan di timbanya pengetahuan yang berupa ilmu? Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa yang harus di perhatikan semoga kita mendapatkan pengetahuan yang benar? Apa yang disebut kebenaran itu sendiri? Apakah kriterianya? Cara/tehnik/sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu?.
- Aksiologi menjawab, untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu di pergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan objek yang ditelaah menurut pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral?